Jalan Ketiga Peran Intelektual: Konvergensi Kekuasaan dan Kemanusiaan
Hadirin yang saya muliakan,
Di sepanjang pergaulan dan interaksi panjang saya dengan banyak pelaku di dunia politik, saya telah cukup menyaksikan bagaimana sebagian mereka bahkan gagal pada jebakan yang paling sederhana ketika mendapatkan kekuasaan, yakni menempatkan kekuasaan sebagai sesuatu yang wajar, sesuatu yang normal. Begitu banyak pelaku politik tergagap menerima kekuasaan dan berakhir dengan perilaku membelakangi akal sehat; menampakkan diri sebagai manusia kemaruk yang gila hormat. Ada yang begitu mudah tersinggung ketika diundang dan tidak menempati tempat duduk yang dianggap mewakili derajatnya, ada yang kebingungan mengatur penampilan, ada yang merasa perlu mendeklarasikan kehadirannya secara rutin di jalanan lewat suara ngiung-ngiung voorijder, ada yang membangun jarak sangat panjang, bahkan dengan sahabat masa lalu melalui penciptaan saluran protokoler yang rumit dan panjang, ada yang merasa perlu mendemonstrasikan kepemilikan kekuasaannya dengan kawin lagi atau memiliki “peliharaan”, dan masih sederetan perangai lainnya.
Sejumlah pelaku politik yang mampu melewati fase awal ini kadang gagal melewati jebakan fase berikutnya: penyalahgunaan kekuasaan yang membuat imparsialitas, sebagai properti khas dari institusi dan jabatan publik, kehilangan jejaknya; bertukar wajah menjadi institusi dan jabatan partisan; bahkan tidak jarang merosot menjadi properti keluarga atau individual pemegang kekuasaan. Hal ini seakan membangkitkan kembali klaim yang begitu luas dikritik, L’Etat C’est Moi (Negara adalah Aku) ala Louis XIV. Sialnya, bertumpuk alasan yang bisa membenarkan godaan ke arah penyalahgunaan kekuasaan, mulai dari yang bersifat askriptif (identitas dan kekerabatan) hingga alasan kemanusiaan seumpama membantu orang yang membutuhkan. Saya menyaksikan, cukup banyak pelaku politik yang gugur di fase ini. Bagi yang mampu melewati, di hadapannya telah menghadang jebakan lain: menjadikan kekuasaan bermanfaat bagi banyak orang. Di fase ini sebagian pelaku politik gagal karena dua alasan yang berada pada aras yang berbeda: mentahnya penguasaan ideologi dan rendahnya penguasaan aspek teknokratik-manajerial yang menandai kebanyakan pelaku politik Indonesia. Keasyikan intelektual Indonesia mengontrol, mengkritik, bahkan memaki dan menghina bekerjanya kekuasaan dan para pelakunya, membikin mayoritas mereka, terutama ilmuwan sosial, alpa dalam menjalankan fungsi empowering dan strengthening yang justru sangat diperlukan para pelaku politik guna menjadikan kekuasaan yang digenggam bermanfaat bagi publik, bangsa, negara, dan, di atas segalanya, bagi kemanusiaan. Bagi pelaku politik yang melewati fase ini, tantangan berikutnya yang tidak mudah dilewati adalah menemukan alasan dan jalan turun dari kekuasaan secara elegan dan bermartabat. Secara subjektif banyak alasan untuk bertahan di kekuasaan, bahkan tidak jarang dengan cara-cara yang tidak masuk akal. Secara objektif, saya menyaksikan terlampau banyak alasan di luar kontrol sang pelaku politik yang membikin penemuan alasan dan jalan mundur seakan menjadi pekerjaan yang mustahil. Karena alasan tersebut, penting digarisbawahi bahwa jalan ketiga ini, mengandaikan setiap intelektual, terlepas dari disiplin ilmu yang digeluti, adalah sekaligus zoon politicon dalam pengertian Aristotelian—makhluk politik yang bermasyarakat yang bukan saja mempersenjatai diri dengan pengetahuan dan kesadaran tentang politik, tapi sekaligus bersedia bertindak secara politik bagi kepentingan kolektivitas ketika diperlukan.
Bagi intelektual yang ingin memasuki atau keluar dari dunia politik, mereka dituntut senantiasa sadar dan waspada akan bahaya yang melekat dalam kekuasaan, baik yang terbentang di belantara dunia politik maupun di dunia ilmu pengetahuan sebagai ekosistem di mana proses memproduksi dan mereproduksi ilmu pengetahuan sekaligus merupakan proses produksi dan reproduksi kekuasaan dalam raut yang lain. Kaum intelektual harus waspada bahwa hukum sederhana “power changes people!” berlaku universal, termasuk bagi kaum intelektual. Kaum intelektual harus menyadari bahwa kekuasaan tidak mungkin dihilangkan dan exercise of power tidak melulu merupakan hal yang buruk (Wallace, 2015, hal. 111–113). Seorang intelektual juga harus menyadari bahwa setiap keterlibatannya mempunyai suatu sifat politis seperti yang secara indikatif disampaikan Soedjatmoko (1980). Yang sama pentingnya, kaum intelektual harus menyadari bahwa idealisme sekalipun bukan merupakan jaminan memadai untuk menghindarkan diri dari jebakan kekuasaan dan sindrom superioritas. Intelektual harus menyadari bahwa, sebagai agen utama untuk memproduksi dan mendesiminasi ilmu pengetahuan, intelektual dan institusi perguruan tinggi sangat terpengaruh oleh politik pengetahuan (Weiller, 2011). Karena itu, intelektual harus menyadari beragam kekuatan politik yang berkontribusi dalam membentuk kurikulum dan penelitian, penilaian kualitas akademik, dan relasinya dengan negara.
Bagi saya, ujian terbesar seorang intelektual bukanlah pada kemampuan dan kesiapannya untuk dengan lantang memaki kekuasaan dan para pelakunya, tetapi justru ketika ia bisa bersahabat dan menjadi bagian dari kekuasaan sembari tetap mampu menjaga kewarasan dan karakter dasar intelektual: berpikir bebas dan bertindak bijak bagi kepentingan kemanusiaan. Hal terakhir ini perlu digarisbawahi karena saya menyaksikan cukup banyak intelektual yang terjangkiti sindrom superioritas yang secara keliru mengira dirinya unggul secara intelektual dan moral di hadapan kekuasaan. Sindrom yang mengantarkan mereka pada sikap jemawa yang memosisikan pelaku politik sebatas sebagai robot pelaksana atau corong baginya. Saya sudah cukup sering menyaksikan betapa intelektual berubah menjadi musuh paling gigih dari kekuasaan yang pernah didukungnya hanya karena alasan sangat sederhana: pemikiran atau usulannya tidak diakomodasi. Dengan serangkaian alasan ini, saya perlu menggarisbawahi bahwa jalan ketiga yang ditawarkan— masuk dan keluar kekuasaan secara fleksibel dengan menempatkan kemanusiaan sebagai motif pokoknya—menuntut kematangan, kepekaan dan kapasitas dalam menilai politik. Sesuatu yang tidak bisa dihasilkan secara instan.
BERITA
Komisi III Minta Komnas HAM Tingkatkan Peran, Selesaikan Pelanggaran HAM Berat
Jakarta – Wakil Ketua Komisi III DPR RI Pangeran Khairul Saleh memimpin rapat kerja dengan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Dalam rapat ini Komisi III meminta Komnas HAM untuk meningkatkan peran dan mengoptimalkan pelaksanaan tugas dan fungsi dalam mendukung penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM, termasuk pelanggaran HAM berat.
“Baik itu penyelesaian yudisial maupun non-yudisial, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,” ujarnya di ruang rapat Komisi III, Nusantara II, Senayan, Jakarta, Rabu (30/5/2024).
Lebih lanjut Komisi III DPR meminta Komnas HAM untuk segera menyelesaikan peraturan terkait Penilaian Tindak Lanjut Kepatuhan Rekomendasi, agar dapat menjadi informasi dan tolak ukur dalam tindak lanjut rekomendasi yang telah diberikan.
Bahkan Komisi III meminta Komnas HAM dan Komnas Perempuan untuk lebih proaktif dan sinergis dalam mengidentifikasi potensi permasalahan, melakukan penanganan, maupun pendampingan terhadap seluruh pihak, dalam penerapan dan penegakan prinsip-prinsip HAM, termasuk perlindungan terhadap perempuan di seluruh sektor dan kegiatan.
Sementara itu di lain pihak, Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro menyampaikan bahwa pihaknya saat ini tengah menyusun rancangan Peraturan Komnas HAM terkait Penilaian Tindak Lanjut Kepatuhan Rekomendasi Komnas HAM. “Sebagai salah satu upaya pemasangan untuk meningkatkan efektivitas dari rekomendasi yang diberikan oleh Komnas HAM,” papar Atnike saat rapat.
Menurutnya rekomendasi yang diberikan oleh Komnas HAM dari hasil pemantauan, mediasi, maupun kajian tidak selalu ditindaklanjuti oleh stakeholders maupun kementerian/lembaga karena dianggap tidak mengikat. “Sejumlah kasus juga menunjukkan fungsi mediasi Komnas HAM masih belum dipahami sebagai sebuah solusi strategis,” ucap Atnike.
BERITA
Anggaran Pendidikan Kemenag Dinilai Masih Kecil
Jakarta – Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ace Hasan Syadzily menilai besaran anggaran pendidikan yang diterima Kemenag (Kementerian Agama) untuk mendanai seluruh lembaga pendidikan Islam dan keagamaan masih timpang dibanding kementerian lain.
“Soal anggaran pendidikan di bawah Kementerian Agama harus betul-betulan keadilan anggaran. Kalau kita dengar pidato Menteri Keuangan (Sri Mulyani) dalam rapat paripurna, ya anggaran pendidikan Rp630 triliun, tapi kalau Kemenag hanya dapat Rp35 triliun, buat saya mengkhawatirkan,” kata Kang Ace, sapaannya, dalam keterangan persnya, Rabu (29/5/2024).
Politisi Partai Golkar itu menyatakan, selain Sekretariat Jenderal (Sekjen) Kemenag, anggaran terbesar juga diberikan kepada Direktorat Jenderal (Ditjen) Pendidikan Islam (Pendis) Kemenag sebesar Rp35 triliun.
Ada satu hal yang sangat penting untuk didiskusikan bersama adalah soal berbagai hal terkait anggaran pendidikan nasional. Dari penjelasan Plt Dirjen Pendis, berapa persen KIP Kuliah untuk Perguruan Tinggi Agama Islam (PTKAI) dan perguruan tinggi agama lain.
“Apakah PIP, KIP, apakah sudah mencerminkan suatu keadilan anggaran? Rehab ruang kelas juga belum mencerminkan keseluruhan,” ujar dia.
Kang Ace melihat dari total anggaran pendidikan Rp630 triliun di APBN, Kemenag hanya mendapatkan Rp35 triliun, artinya belum mencerminkan suatu kesetaraan anggaran.
“Padahal anak-anak madrasah, yang kuliah di UIN, STAIN, STAI atau di manapun, mereka juga anak-anak bangsa yang sama untuk mendapatkan perlakuan sama dalam akses pendidikan,” tutur Kang Ace.
Ace mengatakan, keputusan tepat telah diambil Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas yang menunda status Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH) bagi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. “Itu keputusan yang tepat. Kalau tidak, meresnya sama mahasiswa. Berat,” ucap dia.
Jujur saja, ujar Ace, hampir sebagian besar siswa dan mahasiswa yang sekolah di bawah Kemenag berlatar belakang sosial ekonomi kelas menengah bawah. Namun penyaluran program KIP dan PIP untuk mereka juga sedikit.
“Itu anehnya. Jadi ada yang salah dari proses pendataan penyaluran program negara untuk kelompok-kelompok yang membutuhkan itu,” ujar Kang Ace.
BERITA
Imbas Kebakaran Smelter Nikel PT KFI, Komisi VII akan Audit Investigasi
Kutai Kartanegara – Anggota Komisi VII DPR RI Nasyirul Falah Amru mengatakan, pihaknya akan segera melakukan audit investigasi terhadap pabrik smelter nikel PT Kalimantan Ferro Industri. Hal tersebut imbas dari peristiwa dua kali ledakan di pabrik smelter PT KFI yang menewaskan pekerja asing dan lokal belum lama ini.
“Kami akan panggil PT KFI beserta seluruh jajaran direksinya, untuk datang ke Gedung Senayan dan kami akan melakukan audit investigasi. Secara mekanisme, bisa dengan membuat panja nikel atau kita panggil secara khusus di Rapat Dengar Pendapat (RDP). Kami juga tentunya akan melibatkan Kementerian Perindustrian dan Kementerian KLHK dari sisi amdalnya, supaya benar-benar kita melihat secara komprehensif sebab terjadinya ledakan,” ujarnya saat memimpin Tim Kunspek Komisi VII DPR mengunjungi PT KFI di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Rabu (29/5/2024).
Menurut Politisi F-PDI Perjuangan ini, pihaknya menilai, hasil dari temuan dilapangan seperti sarana untuk keselamatan kerja dan sebagainya juga masih jauh dari kurang. Walaupun mereka sudah mendatangkan tim dari Kementerian Industri untuk mekanisme aturan pedomannya, tetapi pihaknya menemukan fakta di lapangan masih belum sesuai dengan harapan.
“Saya berpesan agar tidak terulang terjadi kebakaran atau ledakan, yang paling penting ini adalah mesin yang ada di setiap semelter itu perlu dicek selalu setiap periodik. Kemudian, kalibrasi mesin itu juga penting karena dengan begitu kita akan tahu ukuran mesin ini sesuai dengan kapasitasnya dia berproduksi atau tidak. Sehingga, Insya Allah dengan adanya perawatan yang berkala dan pengawasan yang kita lakukan ini Insya Allah tidak akan terjadi kembali,” jelas Nasyirul.
Selain itu, kami juga tidak menemukan alat pemadam kebakaran sepanjang jalan menuju lokasi meledaknya smelter. Kemudian, rambu-rambu yang ada juga masih sangat terbatas sekali, sehinhha dianggap tidak layak untu perusahaan smelter. “Jadi ini harus segera diperbaiki,” imbuhnya.
“Kita menemukan sesuatu yang di luar dugaan, ketika PT KFI lagi dibangun ada proses namanya commissioning atau uji coba tetapi sudah menimbulkan kejadian terjadinya ledakan. Padahal masih tahap uji coba, tetapi dua tenaga kerja asing dan dua pekerja lokal turut menjadi korban akibat ledakan di smelter nikel tersebut,” ucapnya lagi.