Jalan Ketiga Peran Intelektual: Konvergensi Kekuasaan dan Kemanusiaan
Para hadirin yang terhormat,
Tuntutan otonomi di atas berangkat dari kombinasi pemahaman mengenai fungsi atau peran ideal kaum intelektual, dilema-dilema yang dihadapi berikut bagaimana ilmu pengetahuan didefinisikan dan diperlakukan oleh kekuasaan, termasuk oleh institusi-institusi sosial dan pasar. Pemahaman yang bisa dilacak dari aneka kajian yang memusatkan perhatian pada intelektual sebagai aktor (Sparingga, 1997; Dhakidae, 2003, 2015; Latif, 2003; Kusman, 2018) dan pemahaman yang memusatkan perhatian pada politik ilmu pengetahuan (Kleden, 1987; Hadiz dan Dhakidae, 2005). Benda (1999) misalnya, menggarisbawahi peran intelektual sebagai pencerah masyarakat yang memiliki sifat altruistik dalam memburu kebenaran dan mengupayakan kemaslahatan bersama, serta keteguhan pada prinsip-prinsip kemanusiaan dan keadilan. Kerja intelektual, dengannya, adalah kerja mental. Dan dosa terbesar kaum intelektual tidak diperhitungkan berdasarkan jumlah kesalahan yang dibuat, tetapi oleh kebohongan dan ketakutan dalam mengungkapkan kebenaran yang diketahuinya.
Seperti diindikasikan di atas, secara empiris, kerasnya tuntutan otonomi merupakan respons atas pengalaman relasi kekuasaan dan intelektual selama Orba yang bersifat instrumentalistis. Orba berkepentingan memengaruhi dan bahkan, mendikte agenda-agenda ilmu pengetahuan, terutama ilmu-ilmu sosial, guna mendukung agenda pembangunan maupun ideologi negara. Peran sebagai alat rekayasa di aneka sektor publik—pendidikan, kebudayaan, hukum serta moral—ini, dalam pandangan Kleden (1987, hal. 6–7), menjadi lahan subur bagi berkembangnya budaya ilmu pengetahuan yang tidak reflektif dan ateoretis: budaya yang tidak peduli dengan pengembangan teori sebagai bagian dari tanggung jawab intelektual dalam memproduksi pengetahuan global bagi kepentingan kemanusiaan; budaya yang cenderung birokratis.
Sayangnya, pergantian rezim politik menyusul tumbangnya Orba tidak dengan sendirinya melahirkan budaya ilmu pengetahuan baru untuk kerja-kerja intelektual menemukan lingkungan atau ekosistem sosial, ekonomi dan politik yang kondusif. Dalam realitasnya, posisi instrumentalistis ilmu pengetahuan dan intelektual tidak mengalami perubahan berarti; bahkan mengalami pendangkalan sangat serius, yakni menjadi pelayan dari hasrat birokratisasi yang semakin tidak terkendali. Kita sama-sama menyaksikan dengan putus asa—bahkan menjadi bagian darinya—bagaimana proses riset di perguruan tinggi dan pusat-pusat riset berakhir dengan memproduksi bukti-bukti administrasi yang dari waktu ke waktu bukan saja semakin menghina akal sehat, tetapi sekaligus berangkat dari praduga bahwa kaum intelektual pertama-tama adalah makhluk “licik yang tidak bisa dipercayai”, yang menihilkan “kejujuran” sebagai fondasi etik paling utama yang melandasi kerja intelektual. Kita sama-sama menyaksikan dengan sedih betapa kaum intelektual justru harus menghabiskan lebih banyak waktu dan energi guna melayani kekakuan rezim administratif ketimbang melakukan penelitian dalam kerangka produksi ilmu pengetahuan dan pemecahan masalah-masalah kemanusiaan.
Di tengah-tengah proses birokratisasi yang sangat melelahkan, ajaibnya, volume keterlibatan kaum intelektual Indonesia dalam memproduksi ilmu pengetahuan secara global semakin membesar akhir-akhir ini. Meskipun demikian, posisi tradisional kaum intelektual Indonesia, terutama ilmuwan sosial, tetap tunduk pada logika klasik “pembagian kerja global” yakni menjadi konsumen dan sekaligus berfungsi terutama sebagai penyedia scientific evidence sebagai bahan mentah dalam proses produksi ilmu pengetahuan yang tetap dihegemoni oleh pusat-pusat produksi ilmu pengetahuan di negara-negara maju.
BERITA
Komisi III Minta Komnas HAM Tingkatkan Peran, Selesaikan Pelanggaran HAM Berat
Jakarta – Wakil Ketua Komisi III DPR RI Pangeran Khairul Saleh memimpin rapat kerja dengan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Dalam rapat ini Komisi III meminta Komnas HAM untuk meningkatkan peran dan mengoptimalkan pelaksanaan tugas dan fungsi dalam mendukung penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM, termasuk pelanggaran HAM berat.
“Baik itu penyelesaian yudisial maupun non-yudisial, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,” ujarnya di ruang rapat Komisi III, Nusantara II, Senayan, Jakarta, Rabu (30/5/2024).
Lebih lanjut Komisi III DPR meminta Komnas HAM untuk segera menyelesaikan peraturan terkait Penilaian Tindak Lanjut Kepatuhan Rekomendasi, agar dapat menjadi informasi dan tolak ukur dalam tindak lanjut rekomendasi yang telah diberikan.
Bahkan Komisi III meminta Komnas HAM dan Komnas Perempuan untuk lebih proaktif dan sinergis dalam mengidentifikasi potensi permasalahan, melakukan penanganan, maupun pendampingan terhadap seluruh pihak, dalam penerapan dan penegakan prinsip-prinsip HAM, termasuk perlindungan terhadap perempuan di seluruh sektor dan kegiatan.
Sementara itu di lain pihak, Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro menyampaikan bahwa pihaknya saat ini tengah menyusun rancangan Peraturan Komnas HAM terkait Penilaian Tindak Lanjut Kepatuhan Rekomendasi Komnas HAM. “Sebagai salah satu upaya pemasangan untuk meningkatkan efektivitas dari rekomendasi yang diberikan oleh Komnas HAM,” papar Atnike saat rapat.
Menurutnya rekomendasi yang diberikan oleh Komnas HAM dari hasil pemantauan, mediasi, maupun kajian tidak selalu ditindaklanjuti oleh stakeholders maupun kementerian/lembaga karena dianggap tidak mengikat. “Sejumlah kasus juga menunjukkan fungsi mediasi Komnas HAM masih belum dipahami sebagai sebuah solusi strategis,” ucap Atnike.
BERITA
Anggaran Pendidikan Kemenag Dinilai Masih Kecil
Jakarta – Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ace Hasan Syadzily menilai besaran anggaran pendidikan yang diterima Kemenag (Kementerian Agama) untuk mendanai seluruh lembaga pendidikan Islam dan keagamaan masih timpang dibanding kementerian lain.
“Soal anggaran pendidikan di bawah Kementerian Agama harus betul-betulan keadilan anggaran. Kalau kita dengar pidato Menteri Keuangan (Sri Mulyani) dalam rapat paripurna, ya anggaran pendidikan Rp630 triliun, tapi kalau Kemenag hanya dapat Rp35 triliun, buat saya mengkhawatirkan,” kata Kang Ace, sapaannya, dalam keterangan persnya, Rabu (29/5/2024).
Politisi Partai Golkar itu menyatakan, selain Sekretariat Jenderal (Sekjen) Kemenag, anggaran terbesar juga diberikan kepada Direktorat Jenderal (Ditjen) Pendidikan Islam (Pendis) Kemenag sebesar Rp35 triliun.
Ada satu hal yang sangat penting untuk didiskusikan bersama adalah soal berbagai hal terkait anggaran pendidikan nasional. Dari penjelasan Plt Dirjen Pendis, berapa persen KIP Kuliah untuk Perguruan Tinggi Agama Islam (PTKAI) dan perguruan tinggi agama lain.
“Apakah PIP, KIP, apakah sudah mencerminkan suatu keadilan anggaran? Rehab ruang kelas juga belum mencerminkan keseluruhan,” ujar dia.
Kang Ace melihat dari total anggaran pendidikan Rp630 triliun di APBN, Kemenag hanya mendapatkan Rp35 triliun, artinya belum mencerminkan suatu kesetaraan anggaran.
“Padahal anak-anak madrasah, yang kuliah di UIN, STAIN, STAI atau di manapun, mereka juga anak-anak bangsa yang sama untuk mendapatkan perlakuan sama dalam akses pendidikan,” tutur Kang Ace.
Ace mengatakan, keputusan tepat telah diambil Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas yang menunda status Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH) bagi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. “Itu keputusan yang tepat. Kalau tidak, meresnya sama mahasiswa. Berat,” ucap dia.
Jujur saja, ujar Ace, hampir sebagian besar siswa dan mahasiswa yang sekolah di bawah Kemenag berlatar belakang sosial ekonomi kelas menengah bawah. Namun penyaluran program KIP dan PIP untuk mereka juga sedikit.
“Itu anehnya. Jadi ada yang salah dari proses pendataan penyaluran program negara untuk kelompok-kelompok yang membutuhkan itu,” ujar Kang Ace.
BERITA
Imbas Kebakaran Smelter Nikel PT KFI, Komisi VII akan Audit Investigasi
Kutai Kartanegara – Anggota Komisi VII DPR RI Nasyirul Falah Amru mengatakan, pihaknya akan segera melakukan audit investigasi terhadap pabrik smelter nikel PT Kalimantan Ferro Industri. Hal tersebut imbas dari peristiwa dua kali ledakan di pabrik smelter PT KFI yang menewaskan pekerja asing dan lokal belum lama ini.
“Kami akan panggil PT KFI beserta seluruh jajaran direksinya, untuk datang ke Gedung Senayan dan kami akan melakukan audit investigasi. Secara mekanisme, bisa dengan membuat panja nikel atau kita panggil secara khusus di Rapat Dengar Pendapat (RDP). Kami juga tentunya akan melibatkan Kementerian Perindustrian dan Kementerian KLHK dari sisi amdalnya, supaya benar-benar kita melihat secara komprehensif sebab terjadinya ledakan,” ujarnya saat memimpin Tim Kunspek Komisi VII DPR mengunjungi PT KFI di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Rabu (29/5/2024).
Menurut Politisi F-PDI Perjuangan ini, pihaknya menilai, hasil dari temuan dilapangan seperti sarana untuk keselamatan kerja dan sebagainya juga masih jauh dari kurang. Walaupun mereka sudah mendatangkan tim dari Kementerian Industri untuk mekanisme aturan pedomannya, tetapi pihaknya menemukan fakta di lapangan masih belum sesuai dengan harapan.
“Saya berpesan agar tidak terulang terjadi kebakaran atau ledakan, yang paling penting ini adalah mesin yang ada di setiap semelter itu perlu dicek selalu setiap periodik. Kemudian, kalibrasi mesin itu juga penting karena dengan begitu kita akan tahu ukuran mesin ini sesuai dengan kapasitasnya dia berproduksi atau tidak. Sehingga, Insya Allah dengan adanya perawatan yang berkala dan pengawasan yang kita lakukan ini Insya Allah tidak akan terjadi kembali,” jelas Nasyirul.
Selain itu, kami juga tidak menemukan alat pemadam kebakaran sepanjang jalan menuju lokasi meledaknya smelter. Kemudian, rambu-rambu yang ada juga masih sangat terbatas sekali, sehinhha dianggap tidak layak untu perusahaan smelter. “Jadi ini harus segera diperbaiki,” imbuhnya.
“Kita menemukan sesuatu yang di luar dugaan, ketika PT KFI lagi dibangun ada proses namanya commissioning atau uji coba tetapi sudah menimbulkan kejadian terjadinya ledakan. Padahal masih tahap uji coba, tetapi dua tenaga kerja asing dan dua pekerja lokal turut menjadi korban akibat ledakan di smelter nikel tersebut,” ucapnya lagi.