Jalan Ketiga Peran Intelektual: Konvergensi Kekuasaan dan Kemanusiaan
Hadirin yang saya hormati,
Bagi Indonesia, konstruksi biner tersebut punya akar empiris cukup panjang. Persentuhan dan proses awal pembentukan kelas intelektual Indonesia melalui sistem pendidikan kolonial sebagai bagian Politik Etis menggarisbawahi sifat instrumentalistis ilmu pengetahuan di hadapan kekuasaan. Di fase formatif pembentukan negara bangsa, peran intelektual dan ilmu pengetahuan bahkan menyatu dengan gerak kekuasaan, menjadi instrumen sekaligus pelaku aktif proses nation and character building. Sudjatmoko melabeli mereka sebagai “activists-intelectual” yang mendapatkan penerimaan luas karena kesediaannya mengambil risiko menghadapi kekuasaan kolonial. Presiden pertama Republik Indonesia, Bung Karno, memberikan penekanan bentuk ideal interaksi ilmu pengetahuan dan kekuasaan yang menandai periode formatif ini.
Dalam pidato penerimaan gelar Doctor Honoris Causa Ilmu Hukum, yang berjudul ―Ilmu dan Amal‖ (1986), enam puluh delapan tahun lalu, 19 September 1951, di ruang yang kita tempati hari ini, Balai Senat Universitas Gadjah Mada, Bung Karno berujar,
“Ilmu pengetahuan hanyalah berharga penuh jika ia dipergunakan untuk mengabdi kepada praktek hidupnya manusia, atau praktek hidupnya bangsa, atau praktek hidupnya kemanusiaan. … itulah sebabnya saya selalu mencoba menghubungkan ilmu dengan amal; menghubungkan pengetahuan dengan perbuatan, sehingga pengetahuan ialah untuk perbuatan dan perbuatan dipimpin oleh pengetahuan. … bahwa pengetahuan, bahwa ilmu, bahwa kennis, bahwa wetenschap, bahwa teori adalah tiada guna, tiada wujud, doelloos, jika tidak dipergunakan untuk mengabdi kepada prakteknya hidup. Buatlah ilmu berdwitunggal dengan amal!”
Hanya saja pengalaman romantik di atas berusia sangat singkat. Pengalaman interaksi antara kekuasaan, kaum intelektual, dan ilmu pengetahuan, terutama ilmu sosial, selama 32 tahun rezim otoritarian Orde Baru (Orba) membangkitkan kembali pengalaman traumatik era kolonial yang menggiring tuntutan ke arah otonomi ilmu pengetahuan dan kaum intelektual dari kekuasaan semakin mengeras dan menjadi agenda politik ilmu pengetahuan. Rekayasa dan pengendalian ilmu pengetahuan guna bisa berfungsi sebagai alat pembenaran pelaksanaan kekuasaan negara mengantar Hadiz dan Dhakidae pada kesimpulan bahwa tantangan pengembangan ilmu sosial pasca-Orba tidak sebatas pada persoalan melipatgandakan jumlah akademisi, tetapi justru pada penciptaan lingkungan politik, ekonomi, dan sosial yang memberikan otonomi bagi riset-riset ilmu sosial (Hadiz dan Dhakidae, 2005, hal. 26). Ini sebanding dengan argumen Foucault dan Deleuze (1977) yang menekankan pentingnya mengubah rezim produksi kebenaran yang sifatnya politis, ekonomi, dan institusional sebagai tantangan pokok politik ilmu pengetahuan. Dengannya, otonomi yang dibayangkan bukan saja bermakna terbebas dari belenggu dominasi kekuasaan negara dan perangkat-perangkat institusional yang bekerja dalam masyarakat, tetapi sekaligus dari tirani pasar.
Poin kedua menjadi krusial dalam perkembangan Indonesia kontemporer seiring dengan semakin meluasnya penggunaan secara manipulatif argumen-argumen ilmu pengetahuan sebagai instrumen konsolidasi identitas: suku dan agama. Akibatnya, ilmu pengetahuan dan intelektual gagal berfungsi sebagai fasilitas dialog yang menjembatani perbedaan antaridentitas guna menemukan basis dan nilai yang merupakan alasan fundamental hadirnya kekuasaan dan ilmu pengetahuan, yaitu kemanusiaan. Sebaliknya, ilmu pengetahuan dan intelektual justru semakin mengokohkan pembilahan menurut garis-garis identitas. Akibat lebih lanjut, secara politik, intelektual dengan segala pengetahuannya, gagal menghasilkan voice, kecuali kebisingan yang semakin diperburuk oleh kealpaan “saling mendengar” (Lay, 2016) sebagai fondasi sebuah masyarakat yang baik. Intelektual, dan pengetahuan yang dimilikinya, menghasilkan suara, berupa kata-kata dan jargon yang dangkal, gagal mencapai derajat keadaban yang dapat diletakkan dalam suatu dialektika berbasis ilmu pengetahuan. Kata-kata yang diproduksi semakin memperuncing pembilahan berbasis identitas ini dan mengalami konsolidasi secara masif dan cepat dengan fasilitasi teknologi sebagaimana didemonstrasikan melalui media sosial akhir-akhir ini. Kecenderungan ini membuat ilmu sosial dan ilmu politik bukan saja semakin menjauhi fungsi kemanusiaannya guna membebaskan masyarakat dari penjara praduga indentitas–suku, agama dan gender–yang membelenggu masyarakat pada fase kegelapan sejumlah peradaban di masa lalu. Akan tetapi, juga mengonsolidasi dan menjustifikasi kemunculan “post-truth” sebagai corak baru masyarakat. Sementara poin terakhir, yakni tirani pasar, bahkan menjadi tantangan global yang sedang dihadapkan pada proses komersialisasi ilmu pengetahuan dan institusi yang memproduksi ilmu pengetahuan yang sedang berlangsung sedahsyat-dahsyatnya (Washburn, 2005). Sebuah persoalan–komersialisasi pendidikan—yang menjadi tema percakapan sosial yang semakin membesar dari waktu ke waktu.
BERITA
Komisi III Minta Komnas HAM Tingkatkan Peran, Selesaikan Pelanggaran HAM Berat
Jakarta – Wakil Ketua Komisi III DPR RI Pangeran Khairul Saleh memimpin rapat kerja dengan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Dalam rapat ini Komisi III meminta Komnas HAM untuk meningkatkan peran dan mengoptimalkan pelaksanaan tugas dan fungsi dalam mendukung penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM, termasuk pelanggaran HAM berat.
“Baik itu penyelesaian yudisial maupun non-yudisial, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,” ujarnya di ruang rapat Komisi III, Nusantara II, Senayan, Jakarta, Rabu (30/5/2024).
Lebih lanjut Komisi III DPR meminta Komnas HAM untuk segera menyelesaikan peraturan terkait Penilaian Tindak Lanjut Kepatuhan Rekomendasi, agar dapat menjadi informasi dan tolak ukur dalam tindak lanjut rekomendasi yang telah diberikan.
Bahkan Komisi III meminta Komnas HAM dan Komnas Perempuan untuk lebih proaktif dan sinergis dalam mengidentifikasi potensi permasalahan, melakukan penanganan, maupun pendampingan terhadap seluruh pihak, dalam penerapan dan penegakan prinsip-prinsip HAM, termasuk perlindungan terhadap perempuan di seluruh sektor dan kegiatan.
Sementara itu di lain pihak, Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro menyampaikan bahwa pihaknya saat ini tengah menyusun rancangan Peraturan Komnas HAM terkait Penilaian Tindak Lanjut Kepatuhan Rekomendasi Komnas HAM. “Sebagai salah satu upaya pemasangan untuk meningkatkan efektivitas dari rekomendasi yang diberikan oleh Komnas HAM,” papar Atnike saat rapat.
Menurutnya rekomendasi yang diberikan oleh Komnas HAM dari hasil pemantauan, mediasi, maupun kajian tidak selalu ditindaklanjuti oleh stakeholders maupun kementerian/lembaga karena dianggap tidak mengikat. “Sejumlah kasus juga menunjukkan fungsi mediasi Komnas HAM masih belum dipahami sebagai sebuah solusi strategis,” ucap Atnike.
BERITA
Anggaran Pendidikan Kemenag Dinilai Masih Kecil
Jakarta – Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ace Hasan Syadzily menilai besaran anggaran pendidikan yang diterima Kemenag (Kementerian Agama) untuk mendanai seluruh lembaga pendidikan Islam dan keagamaan masih timpang dibanding kementerian lain.
“Soal anggaran pendidikan di bawah Kementerian Agama harus betul-betulan keadilan anggaran. Kalau kita dengar pidato Menteri Keuangan (Sri Mulyani) dalam rapat paripurna, ya anggaran pendidikan Rp630 triliun, tapi kalau Kemenag hanya dapat Rp35 triliun, buat saya mengkhawatirkan,” kata Kang Ace, sapaannya, dalam keterangan persnya, Rabu (29/5/2024).
Politisi Partai Golkar itu menyatakan, selain Sekretariat Jenderal (Sekjen) Kemenag, anggaran terbesar juga diberikan kepada Direktorat Jenderal (Ditjen) Pendidikan Islam (Pendis) Kemenag sebesar Rp35 triliun.
Ada satu hal yang sangat penting untuk didiskusikan bersama adalah soal berbagai hal terkait anggaran pendidikan nasional. Dari penjelasan Plt Dirjen Pendis, berapa persen KIP Kuliah untuk Perguruan Tinggi Agama Islam (PTKAI) dan perguruan tinggi agama lain.
“Apakah PIP, KIP, apakah sudah mencerminkan suatu keadilan anggaran? Rehab ruang kelas juga belum mencerminkan keseluruhan,” ujar dia.
Kang Ace melihat dari total anggaran pendidikan Rp630 triliun di APBN, Kemenag hanya mendapatkan Rp35 triliun, artinya belum mencerminkan suatu kesetaraan anggaran.
“Padahal anak-anak madrasah, yang kuliah di UIN, STAIN, STAI atau di manapun, mereka juga anak-anak bangsa yang sama untuk mendapatkan perlakuan sama dalam akses pendidikan,” tutur Kang Ace.
Ace mengatakan, keputusan tepat telah diambil Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas yang menunda status Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH) bagi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. “Itu keputusan yang tepat. Kalau tidak, meresnya sama mahasiswa. Berat,” ucap dia.
Jujur saja, ujar Ace, hampir sebagian besar siswa dan mahasiswa yang sekolah di bawah Kemenag berlatar belakang sosial ekonomi kelas menengah bawah. Namun penyaluran program KIP dan PIP untuk mereka juga sedikit.
“Itu anehnya. Jadi ada yang salah dari proses pendataan penyaluran program negara untuk kelompok-kelompok yang membutuhkan itu,” ujar Kang Ace.
BERITA
Imbas Kebakaran Smelter Nikel PT KFI, Komisi VII akan Audit Investigasi
Kutai Kartanegara – Anggota Komisi VII DPR RI Nasyirul Falah Amru mengatakan, pihaknya akan segera melakukan audit investigasi terhadap pabrik smelter nikel PT Kalimantan Ferro Industri. Hal tersebut imbas dari peristiwa dua kali ledakan di pabrik smelter PT KFI yang menewaskan pekerja asing dan lokal belum lama ini.
“Kami akan panggil PT KFI beserta seluruh jajaran direksinya, untuk datang ke Gedung Senayan dan kami akan melakukan audit investigasi. Secara mekanisme, bisa dengan membuat panja nikel atau kita panggil secara khusus di Rapat Dengar Pendapat (RDP). Kami juga tentunya akan melibatkan Kementerian Perindustrian dan Kementerian KLHK dari sisi amdalnya, supaya benar-benar kita melihat secara komprehensif sebab terjadinya ledakan,” ujarnya saat memimpin Tim Kunspek Komisi VII DPR mengunjungi PT KFI di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Rabu (29/5/2024).
Menurut Politisi F-PDI Perjuangan ini, pihaknya menilai, hasil dari temuan dilapangan seperti sarana untuk keselamatan kerja dan sebagainya juga masih jauh dari kurang. Walaupun mereka sudah mendatangkan tim dari Kementerian Industri untuk mekanisme aturan pedomannya, tetapi pihaknya menemukan fakta di lapangan masih belum sesuai dengan harapan.
“Saya berpesan agar tidak terulang terjadi kebakaran atau ledakan, yang paling penting ini adalah mesin yang ada di setiap semelter itu perlu dicek selalu setiap periodik. Kemudian, kalibrasi mesin itu juga penting karena dengan begitu kita akan tahu ukuran mesin ini sesuai dengan kapasitasnya dia berproduksi atau tidak. Sehingga, Insya Allah dengan adanya perawatan yang berkala dan pengawasan yang kita lakukan ini Insya Allah tidak akan terjadi kembali,” jelas Nasyirul.
Selain itu, kami juga tidak menemukan alat pemadam kebakaran sepanjang jalan menuju lokasi meledaknya smelter. Kemudian, rambu-rambu yang ada juga masih sangat terbatas sekali, sehinhha dianggap tidak layak untu perusahaan smelter. “Jadi ini harus segera diperbaiki,” imbuhnya.
“Kita menemukan sesuatu yang di luar dugaan, ketika PT KFI lagi dibangun ada proses namanya commissioning atau uji coba tetapi sudah menimbulkan kejadian terjadinya ledakan. Padahal masih tahap uji coba, tetapi dua tenaga kerja asing dan dua pekerja lokal turut menjadi korban akibat ledakan di smelter nikel tersebut,” ucapnya lagi.