Jalan Ketiga Peran Intelektual: Konvergensi Kekuasaan dan Kemanusiaan
Hadirin yang berbahagia,
Rangkaian kasus di atas sekaligus merepresentasikan sifat biner pemahaman umum mengenai posisi intelektual dan ilmu pengetahuan berkaitan dengan kekuasaan dan implikasinya pada pilihan jalan intelektual ke kekuasaan. Intelektual—di sini didefinisikan sebagai akademisi yang memiliki kemampuan berpikir bebas (Soemardjan, 1976) dan kearifan dalam bertindak, serta aktif dalam proses produksi ilmu pengetahuan dan pemecahan masalah-masalah kemanusiaan; dan, karenanya, memiliki reputasi tinggi—seolah-olah dihadapkan hanya pada dua pilihan jalan yang saling meniadakan, yaitu pertama, mendekat dan menjadi bagian dari kekuasaan; atau sebaliknya, kedua menjauhi dan bahkan memusuhi kekuasaan. Tidak tersedia jalan lain bagi intelektual dan kekuasaan untuk bisa hadir berdampingan. Soedjatmoko (1980)—intelektual, diplomat, dan politikus terkemuka Indonesia —menempatkan dua pilihan di atas sebagai dilema intelektual dalam berelasi dengan kekuasaan. Pembilahan yang paralel dilakukan Dhakidae (2015) yang mengontraskan technical intellegentia dengan humanistic intellectual, meskipun ia memberikan catatan penting bahwa keduanya tidak bisa dibaca hitam-putih. Gramsci (1971) membedakan intelektual ke dalam dua kelompok, yaitu intelektual tradisional dan intelektual organik. Intelektual tradisional akan bertindak sebagai antek penguasa, bahkan ketika mereka bersikap kritis terhadap status quo penguasa. Sedangkan intelektual organik adalah mereka yang berfungsi sebagai perumus dan artikulator ideologi dan kepentingan kelas. Hal yang sama terlihat dalam pembilahan Kleden (1987) mengenai relevansi sosial versus relevansi intelektual sebagai dua pilihan dilematis intelektual dalam memproduksi ilmu pengetahuan.
Pembilahan yang bersifat dikotomis di atas membuat “kemampuan berpikir bebas” sebagai karakter pokok intelektual tidak mendapat ruang ekspresi memadai. Intelektual secara dangkal dinilai hampir sepenuhnya dari jarak yang diambilnya dari kekuasaan yang secara hampir absolut diwakili negara yang dalam kebanyakan kasus direduksi menjadi sebatas rezim atau pemerintah. Mengontrol perangai kekuasaan negara lewat kontrol atas pemerintah, dengannya, menjadi satu-satunya pilihan. Pilihan ini, sudah tentu, adalah sahih karena memiliki justifikasi empiris sangat kuat. Sejarah panjang peradaban manusia mendemonstrasikan keganasan tak terbayangkan yang berulang dipamerkan rezim politik di sembarang era; di sembarang peradaban atas nama negara dan keselamatan publik. Namun, obsesi ini juga punya sisi gelap: ia dengan mudah mengantarkan imajinasi publik memberikan penekanan berlebihan pada sentralitas konflik sebagai sifat pokok relasi antara intelektual, ilmu pengetahuan, dan negara. Sifat yang mengawetkan pemisahan ekstrem antara ilmu pengetahuan, intelektual dan negara menutup peluang bagi persinggungan apalagi kolaborasi. Karenanya, tidak mengherankan jika persinggungan atau kolaborasi antara intelektual dan kekuasaan, dalam banyak kasus, secara cepat dan enteng dihakimi sebagai “pengkhianatan”. Pada saat bersamaan, obsesi ini membuat sebagian intelektual kehilangan kepekaan untuk menangkap argumen sekaligus peringatan Russell (1938, hal.10) bahwa kekuasaan—yang merupakan konsep fundamental dalam ilmu sosial, sebagaimana energi menjadi fundamental dalam ilmu fisika—memiliki raut beragam. Kekuasaan bisa memanifestasikan diri ke dalam wajah yang berbeda-beda (Lukes, 1974), tidak sebatas pengorganisasian dalam bentuk negara atau rezim/pemerintah; dan bahkan tidak memiliki wajah sama sekali (Hayward, 2000) meski tidak bisa menyembunyikan naluri dasarnya, meminjam perkataan Russell, untuk mensubordinasi yang lain.
Secara subjektif, kontruksi berpikir di atas berakibat pada munculnya sindrom antipolitik pada sebagian, bahkan mayoritas, intelektual yang secara bangga mempersepsikan diri—dan, karenanya, mudah tunduk pada represi opini publik—sebagai makhluk apolitis. Posisi yang dikemas dalam jargon seumpama “netral”, “profesional”, dan sederet pendakuan lainnya. Ironisnya, bahkan setelah terlibat jauh menjadi instrumen teknokratis dari kekuasaan lewat berbagai proyek kajian teknis yang dimintakan oleh kekuasaan, sejumlah intelektual masih gegabah mendapuk diri sebagai “netral dan profesional” dan terus bersembunyi di balik argumen kabur bahwa kekuasaan adalah dunia menjijikkan yang tidak pantas dimasuki. Hal ini, mengisolasi kaum intelektual dari kekuasaan dan menempatkannya dalam posisi rapuh, mudah dimanipulasi kekuasaan, atau mengikuti alur pemikiran Gramsci, mudah dihegemoni. Secara objektif, persepsi yang sama mengakibatkan mayoritas intelektual gagal memahami fungsinya sebagai agen dalam memproduksi pengetahuan yang di dalamnya sekaligus merupakan proses produksi kekuasaan. “Ipsa scientia potestas est”, ―knowledge itself is power‖, pengetahuan adalah kekuasaan, adagium yang pertama kali dideklarasikan Bacon—filsuf, ilmuwan, dan politisi berkebangsaan Inggris— menggarisbawahi sifat dari kedekatan dan relasi simbiotik antara pengetahuan dan kekuasaan. Di tengah-tengahnya berdiri kaum intelektual dan institusi-institusi pendidikan seperti UGM sebagai mata rantai utama yang menghubungkan keduanya, seperti tersirat dalam postulat filsafat Descartes, filsuf dan matematikawan Perancis: ―Aku berpikir maka Aku ada‖ – cogito, ergo sum.
BERITA
Komisi III Minta Komnas HAM Tingkatkan Peran, Selesaikan Pelanggaran HAM Berat
Jakarta – Wakil Ketua Komisi III DPR RI Pangeran Khairul Saleh memimpin rapat kerja dengan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Dalam rapat ini Komisi III meminta Komnas HAM untuk meningkatkan peran dan mengoptimalkan pelaksanaan tugas dan fungsi dalam mendukung penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM, termasuk pelanggaran HAM berat.
“Baik itu penyelesaian yudisial maupun non-yudisial, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,” ujarnya di ruang rapat Komisi III, Nusantara II, Senayan, Jakarta, Rabu (30/5/2024).
Lebih lanjut Komisi III DPR meminta Komnas HAM untuk segera menyelesaikan peraturan terkait Penilaian Tindak Lanjut Kepatuhan Rekomendasi, agar dapat menjadi informasi dan tolak ukur dalam tindak lanjut rekomendasi yang telah diberikan.
Bahkan Komisi III meminta Komnas HAM dan Komnas Perempuan untuk lebih proaktif dan sinergis dalam mengidentifikasi potensi permasalahan, melakukan penanganan, maupun pendampingan terhadap seluruh pihak, dalam penerapan dan penegakan prinsip-prinsip HAM, termasuk perlindungan terhadap perempuan di seluruh sektor dan kegiatan.
Sementara itu di lain pihak, Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro menyampaikan bahwa pihaknya saat ini tengah menyusun rancangan Peraturan Komnas HAM terkait Penilaian Tindak Lanjut Kepatuhan Rekomendasi Komnas HAM. “Sebagai salah satu upaya pemasangan untuk meningkatkan efektivitas dari rekomendasi yang diberikan oleh Komnas HAM,” papar Atnike saat rapat.
Menurutnya rekomendasi yang diberikan oleh Komnas HAM dari hasil pemantauan, mediasi, maupun kajian tidak selalu ditindaklanjuti oleh stakeholders maupun kementerian/lembaga karena dianggap tidak mengikat. “Sejumlah kasus juga menunjukkan fungsi mediasi Komnas HAM masih belum dipahami sebagai sebuah solusi strategis,” ucap Atnike.
BERITA
Anggaran Pendidikan Kemenag Dinilai Masih Kecil
Jakarta – Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ace Hasan Syadzily menilai besaran anggaran pendidikan yang diterima Kemenag (Kementerian Agama) untuk mendanai seluruh lembaga pendidikan Islam dan keagamaan masih timpang dibanding kementerian lain.
“Soal anggaran pendidikan di bawah Kementerian Agama harus betul-betulan keadilan anggaran. Kalau kita dengar pidato Menteri Keuangan (Sri Mulyani) dalam rapat paripurna, ya anggaran pendidikan Rp630 triliun, tapi kalau Kemenag hanya dapat Rp35 triliun, buat saya mengkhawatirkan,” kata Kang Ace, sapaannya, dalam keterangan persnya, Rabu (29/5/2024).
Politisi Partai Golkar itu menyatakan, selain Sekretariat Jenderal (Sekjen) Kemenag, anggaran terbesar juga diberikan kepada Direktorat Jenderal (Ditjen) Pendidikan Islam (Pendis) Kemenag sebesar Rp35 triliun.
Ada satu hal yang sangat penting untuk didiskusikan bersama adalah soal berbagai hal terkait anggaran pendidikan nasional. Dari penjelasan Plt Dirjen Pendis, berapa persen KIP Kuliah untuk Perguruan Tinggi Agama Islam (PTKAI) dan perguruan tinggi agama lain.
“Apakah PIP, KIP, apakah sudah mencerminkan suatu keadilan anggaran? Rehab ruang kelas juga belum mencerminkan keseluruhan,” ujar dia.
Kang Ace melihat dari total anggaran pendidikan Rp630 triliun di APBN, Kemenag hanya mendapatkan Rp35 triliun, artinya belum mencerminkan suatu kesetaraan anggaran.
“Padahal anak-anak madrasah, yang kuliah di UIN, STAIN, STAI atau di manapun, mereka juga anak-anak bangsa yang sama untuk mendapatkan perlakuan sama dalam akses pendidikan,” tutur Kang Ace.
Ace mengatakan, keputusan tepat telah diambil Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas yang menunda status Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH) bagi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. “Itu keputusan yang tepat. Kalau tidak, meresnya sama mahasiswa. Berat,” ucap dia.
Jujur saja, ujar Ace, hampir sebagian besar siswa dan mahasiswa yang sekolah di bawah Kemenag berlatar belakang sosial ekonomi kelas menengah bawah. Namun penyaluran program KIP dan PIP untuk mereka juga sedikit.
“Itu anehnya. Jadi ada yang salah dari proses pendataan penyaluran program negara untuk kelompok-kelompok yang membutuhkan itu,” ujar Kang Ace.
BERITA
Imbas Kebakaran Smelter Nikel PT KFI, Komisi VII akan Audit Investigasi
Kutai Kartanegara – Anggota Komisi VII DPR RI Nasyirul Falah Amru mengatakan, pihaknya akan segera melakukan audit investigasi terhadap pabrik smelter nikel PT Kalimantan Ferro Industri. Hal tersebut imbas dari peristiwa dua kali ledakan di pabrik smelter PT KFI yang menewaskan pekerja asing dan lokal belum lama ini.
“Kami akan panggil PT KFI beserta seluruh jajaran direksinya, untuk datang ke Gedung Senayan dan kami akan melakukan audit investigasi. Secara mekanisme, bisa dengan membuat panja nikel atau kita panggil secara khusus di Rapat Dengar Pendapat (RDP). Kami juga tentunya akan melibatkan Kementerian Perindustrian dan Kementerian KLHK dari sisi amdalnya, supaya benar-benar kita melihat secara komprehensif sebab terjadinya ledakan,” ujarnya saat memimpin Tim Kunspek Komisi VII DPR mengunjungi PT KFI di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Rabu (29/5/2024).
Menurut Politisi F-PDI Perjuangan ini, pihaknya menilai, hasil dari temuan dilapangan seperti sarana untuk keselamatan kerja dan sebagainya juga masih jauh dari kurang. Walaupun mereka sudah mendatangkan tim dari Kementerian Industri untuk mekanisme aturan pedomannya, tetapi pihaknya menemukan fakta di lapangan masih belum sesuai dengan harapan.
“Saya berpesan agar tidak terulang terjadi kebakaran atau ledakan, yang paling penting ini adalah mesin yang ada di setiap semelter itu perlu dicek selalu setiap periodik. Kemudian, kalibrasi mesin itu juga penting karena dengan begitu kita akan tahu ukuran mesin ini sesuai dengan kapasitasnya dia berproduksi atau tidak. Sehingga, Insya Allah dengan adanya perawatan yang berkala dan pengawasan yang kita lakukan ini Insya Allah tidak akan terjadi kembali,” jelas Nasyirul.
Selain itu, kami juga tidak menemukan alat pemadam kebakaran sepanjang jalan menuju lokasi meledaknya smelter. Kemudian, rambu-rambu yang ada juga masih sangat terbatas sekali, sehinhha dianggap tidak layak untu perusahaan smelter. “Jadi ini harus segera diperbaiki,” imbuhnya.
“Kita menemukan sesuatu yang di luar dugaan, ketika PT KFI lagi dibangun ada proses namanya commissioning atau uji coba tetapi sudah menimbulkan kejadian terjadinya ledakan. Padahal masih tahap uji coba, tetapi dua tenaga kerja asing dan dua pekerja lokal turut menjadi korban akibat ledakan di smelter nikel tersebut,” ucapnya lagi.