Connect with us
Pidato Prof. Dr. Cornelis Lay, M.A. dalam Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada

Jalan Ketiga Peran Intelektual: Konvergensi Kekuasaan dan Kemanusiaan

Hadirin yang saya muliakan,

Saya harus menggarisbawahi bahwa fenomena birokratisasi bukanlah monopoli dunia ilmu pengetahuan Indonesia. Ia menjadi tantangan di banyak negara sebagaimana digambarkan Evans dalam bukunya Killing Thinking: The Death of the Universities (2004) melalui pengalaman di Inggris ketika birokratisasi menjadi monster yang membunuh daya kreativitas intelektual. Dan justru karena wataknya yang semakin mengglobal, persoalan ini harus menjadi kepedulian kita bersama. Pengabaian terhadapnya, bukan saja dapat membuat ilmu pengetahuan rawan terhadap manipulasi dan dengan mudah dijadikan alat pembenar dari tindakan represi dan aneka penyimpangan kekuasaan lainnya, tetapi sekaligus, dan terutama, bisa menjadi pembunuh kreativitas sebagai energi pokok bagi pembangunan peradaban dan kemanusiaan jangka panjang.

Terbunuhnya kreativitas kaum intelektual perlu mendapatkan perhatian khusus terutama di kalangan ilmuwan politik dan pemerintahan. Saya melihat ada perkembangan yang bersifat paradoksal. Di satu sisi, kita menyaksikan secara kuantitas tingkat kepadatan intelektual yang menggeluti ilmu-ilmu sosial, terutama politik dan pemerintahan semakin tinggi. Label intelektual – sering dihadirkan dengan penyebutan beragam seumpama ahli, pengamat, dan seterusnya – juga semakin mudah disematkan pada sembarang orang. Di sisi lain, dari sudut kualitas, kita menyaksikan berlangsungnya proses pendangkalan produksi ilmu pengetahuan dan metode pemecahan masalah-masalah kemanusiaan. Dari waktu ke waktu kita menyaksikan pengetahuan yang dihasilkan semakin monolitik. Sesuatu yang, menurut saya, mengungkapkan kealpaan pertarungan ide, perspektif, apalagi paradigma dalam proses produksi ilmu pengetahuan sosial Indonesia kontemporer.

Kita mencatat, pada fase-fase awal dan tengah Orba, produksi ilmu sosial ditandai oleh lebarnya spektrum perdebatan sekalipun dengan keresahan yang sama, yakni seberapa luas dan dalam kekuasaan menyebar. Jawaban atas keresahan besar ini melahirkan aneka label tentang Orba yang bersifat stereotyping mulai dari negara yang homogen hingga yang lebih plural, sebagaimana diistilahkan oleh McVey (1982) sebagai beamstenstaat hingga bureaucratic pluralism ala Emerson (1983), sekaligus menghasilkan aneka rekomendasi tindakan yang—sekalipun harus dibayar dengan harga mahal—cukup fungsional dalam mengontrol kekuasaan. Kini, sebaliknya, kita menyaksikan bagaimana ilmu sosial seakan dibangun di atas satu perspektif tunggal. Telah bertahun-tahun kita tenggelam dalam mereproduksi satu perspektif secara terus-menerus. “Governance” sebagai tema sentral yang diturunkan dari perspektif neo liberal dengan segala ramifikasinya, misalnya, tanpa memberikan ruang refleksi yang cukup terhadapnya. Padahal bertumpuk-tumpuk dokumen abstraksi dan rekomendasi yang sama telah diproduksi dengan akibat yang sangat terbatas bagi pemuliaan kemanusiaan dan pembangunan peradaban. Demikian pula, dalam beberapa tahun terakhir, ketika politik elektoral menjadi corak baru politik Indonesia, kita menyaksikan pergeseran pendulum di mana energi intelektual dan ilmu pengetahuan hampir sepenuhnya terkuras guna melayani dan memahami isu ini. Luar biasanya, kaum intelektual seakan tidak memiliki daya untuk keluar dari jebakan elektoral dan menempatkannya dalam kerangka mengontrol dan mengkritik kekuasaan. Di Indonesia, kita menyaksikan dengan sedih betapa ilmu politik dan pemerintahan mengalami proses pengerdilan, seolah menjadi penjabaran tunggal dari (frasa) “Pemilu” dengan segala pernak-perniknya, setelah sebelumnya di-setali-tiga-uang-kan dengan governance dengan segala pernak-perniknya.

Pada saat bersamaan, fungsi klasik ilmu pengetahuan dan intelektual yang diwarisi dari pengalaman di era Orba tetap menghantui alam pikir intelektual Indonesia yang tergambar dari pemusatan energi secara berlebihan pada usaha mengontrol kekuasaan negara lewat kontrol atas pemerintah atau rezim. Sebuah tema klasik yang menandai pergulatan ilmu pengetahuan di era otoritarian. Padahal, seperti yang akan didiskusikan lebih lanjut, kekuasaan telah, sedang dan, bisa dipastikan, akan mengalami transformasi ke fase ketika negara bukan lagi menjadi satu-satunya lokus kekuasaan yang harus dikontrol.

Perkembangan ini sangat mencemaskan karena Indonesia telah melewati tahun ke-20 Reformasi. Dalam rentang waktu antara 1998–2019 awal ini, kekuasaan telah mengalami transformasi berlapis-lapis. Telah terjadi migrasi sekaligus pemajemukan lokus kekuasaan yang mengubah secara mendasar sumber, skala, pola relasi, dan watak hingga agensi serta institusi yang berproses di dalamnya. Kekuasaan bermigrasi dari Jakarta sebagai ruang satu-satunya selama Orba ke lapis-lapis governance yang berbeda mengikuti logika desentralisasi yang menghadirkan multi-layers governance. Kekuasaan bermigrasi dari ruang tradisional—pusat-pusat kekuasaan di tingkat lokal—ke ruang baru seiring dengan terjadinya pemekaran wilayah secara masif (Lay, 2019). Kekuasaan juga bergeser dari penguasaan hampir mutlak di tangan segelintir agensi (institusi dan aktor, seperti presiden dan sejumlah terbatas elit militer, birokrasi teknokrat) di masa lalu ke agensi dan arena baru yang semakin beragam. Arena negara dan politik, misalnya birokrasi, partai politik, dan parlemen tidak lagi menjadi lokus yang memonopoli kekuasaan. Kekuasaan menyebar ke masyarakat sipil (CSO dan kelompok-kelompok terorganisasi lainnya, seperti masyarakat adat, kelompok relawan, kelompok keagamaan), berikut aneka lembaga sampiran negara. Institusi perantara, seperti partai dan pemilu, elit, kelas menengah, hingga kelompok yang termarjinalkan di masa lalu, kini ikut sebagai bagian dari pemilik kekuasaan. Singkat cerita, selama ini telah, sedang, dan akan terus terjadi ramifikasi kekuasaan. Lebih jauh, perkembangan teknologi informasi tampaknya akan menggiring transformasi kekuasaan memasuki tingkatan masa baru yang tidak terbayangkan sebelumnya. Fase ketika kekuasaan nir-rupa, nir-bentuk, menjadi amorf dan cair. Kita telah menyaksikan cukup banyak kasus sebagai prolog ke arah sana: sebuah video testimonial pendek yang menjadi viral bisa menjadi agenda setter dan sekaligus instrumen mobilisasi politik mahadahsyat yang merombak secara mendasar baik lanskap maupun konfigurasi kekuasaan. Kisah “Agni” yang baru saja mengguncang UGM adalah salah satu ekspresi dari watak amorf dan cair kekuasaan yang mudah bermigrasi secara cepat tanpa bisa diperkirakan.

Sayangnya, transformasi ini tidak diikuti kesiapan dan kapasitas ilmu politik dan pemerintahan berikut intelektualnya untuk merespons secara memadai, apalagi menemukan jalan keluar dari dilema yang dihasilkan proses ini. Ketiganya seakan menjadi true believer dari cara berpikir tradisional mengenai negara sebagai sesuatu yang omnipoten dan, karenanya, menjadi satu-satunya representasi kekuasaan yang harus dipelototi.

Rangkaian fenomena di atas mengantarkan saya pada kesimpulan awal bahwa ilmu politik dan pemerintahan kini sedang membeku di satu titik waktu dengan Orba sebagai simpul referensi utamanya. Ilmu politik dan pemerintahan mengalami stagnasi dan secara pasti mulai tunduk pada hukum spiral involusi–terminologi yang diperkenalkan oleh Geertz (1963)—yang membuatnya kehilangan relevansi dan orientasi dasarnya sebagai ilmu pengetahuan untuk kemanusiaan. Akibatnya, ilmu-ilmu sosial, terutama ilmu politik dan pemerintahan, semakin kehilangan kredibilitas dan kapasitas objektif untuk bisa menuntun ilmu-ilmu yang secara disiplin betul-betul steril dari kemasyarakatan, tetapi memiliki dampak luas, mendalam, dan permanen ketika diproyeksikan ke dalam masyarakat. Karenanya, ia membutuhkan kehadiran ilmu-ilmu sosial sebagai pelita kecil yang memberikan penerangan.

Baca Selengkapnya
Tulis Komentar

BERITA

Dyah Roro Ingatkan Konflik di Jazirah Arab Berimplikasi Kenaikan Harga Minyak

Oleh

Fakta News
Dyah Roro Ingatkan Konflik di Jazirah Arab Berimplikasi Kenaikan Harga Minyak
Anggota Komisi VII DPR RI Dyah Roro Esti. Foto: DPR RI

Jakarta – Anggota Komisi VII DPR RI Dyah Roro Esti mengungkapkan bahwa konflik antara Iran dan Israel dapat memiliki implikasi ekonomi dan geopolitik yang signifikan, terutama dalam segi harga minyak mentah dunia (crude palm oil/CPO).

“Konflik antara Iran dan Israel dapat memiliki implikasi ekonomi dan geopolitik. Terutama dalam segi harga minyak mentah dunia,” ujar Roro dalam siaran pers yang diterima Parlementaria, di Jakarta, Kamis (25/4/2024).

Meski, saat ini harga minyak mentah dunia masih terpantau cukup stabil, dan per tanggal 22 April 2024 pukul 16.00, harga untuk WTI Crude Oil berada pada kisaran 82,14 dolar AS per barel, dan untuk Brent berada pada kisaran 86,36 dolar AS per barel. Namun, konflik di jazirah arab itu berpotensi menimbulkan kenaikan harga minyak mentah dunia, yang bisa menembus 100 dolar AS per barel.

Terkait dengan dampak dari konflik geopolitik terhadap kondisi harga BBM di dalam negeri tersebut, Politisi dari Fraksi Partai Golkar menjelaskan bahwa dari pihak pemerintah, melalui Menteri Koordinator Bidang Ekonomi Airlangga Hartarto, telah menegaskan dan memastikan bahwa harga Bahan Bakar Minyak (BBM) tidak akan naik akibat konflik ini, paling tidak sampai bulan Juni 2024 ini.

“Untuk selanjutnya, Pemerintah masih perlu melihat dan mengobservasi lebih lanjut terlebih dahulu. Saya berharap agar dampak dari eskalasi konflik di Timur Tengah ini masih bisa ditahan dan diatasi oleh Pemerintah Indonesia, sehingga kenaikan BBM masih bisa dihindari,” pungkasnya.

Baca Selengkapnya

BERITA

Suntikan PMN Diharapkan Tambah Keuntungan Negara, Demi Kesejahteraan Rakyat

Oleh

Fakta News
Suntikan PMN Diharapkan Tambah Keuntungan Negara, Demi Kesejahteraan Rakyat
Anggota Komisi VI DPR RI Mahfudz Abdurrahman saat mengikuti kunjungan kerja reses Komisi VI DPR RI ke Kabupaten Badung, Provinsi Bali, Senin (22/4/2024). Foto: DPR RI

Badung – Anggota Komisi VI DPR RI Mahfudz Abdurrahman berharap BUMN Pariwisata dan Aviasi mampu hasilkan keuntungan bagi negara. Sebab, BUMN tersebut telah memperoleh suntikan Penyertaan Modal Negara (PMN) yang nilainya cukup besar.

“Komisi VI sudah mendukung upaya peningkatan kinerja BUMN Pariwisata dan Aviasi antara lain melalui persetujuan PMN. Sudah seharusnya ada perbaikan fasilitas dan layanan yang mereka hadirkan setelah memperoleh suntikan dana pemerintah melalui PMN agar bisa menghasilkan keuntungan untuk negara,” jelas Mahfudz di sela-sela kunjungan kerja reses Komisi VI DPR RI ke Kabupaten Badung, Provinsi Bali, Senin (22/4/2024).

Politisi PKS ini mengimbuhkan BUMN Pariwisata sudah semestinya berorientasi profit (mengejar keuntungan) agar mampu berkontribusi pada pemasukan negara. Negara seperti Jepang, Malaysia saat ini sangat serius mengelola industri pariwisatanya. Bagaimana Jepang berusaha memanjakan para wisatawan yang berkunjung ke negaranya agar tiap tahun semakin bertambah.

“Malaysia juga melakukan semacam rekayasa engineering, misalnya sekolah di sana lebih murah, biaya berobat general check up di sana juga lebih murah sehingga orang tertarik ke sana. Kalau orang sudah ke sana walau tujuannya berobat, sekolah itu kan nantinya butuh menginap, belanja dan akan meningkatkan penerimaan devisa negara tersebut,” tukasnya.

Legislator asal Dapil Jawa Barat VI meliputi Kota Bekasi dan Kota Depok ini menilai bahwa BUMN Pariwisata dan Aviasi perlu melakukan upaya dan terobosan yang luar biasa dan menarik, apalagi Bali sudah menjadi tujuan wisata utama masyarakat dunia. Tinggal variabel masalahnya yang perlu diperhatikan misalnya infrastruktur, daya dukung ekosistem pariwisata harus dikelola dengan baik.

“Seperti di Bali ini kurang fasilitas kendaraan umum, apakah ini bagian dari produk kebijakan daerah. Betapapun itu kendaraan umum menurut saya diperlukan untuk masyarakat Bali termasuk wisatawan juga,” katanya.

Masalah lainnya, menumpuknya wisatawan di Bali seharusnya bisa diarahkan ke Nusa Tenggara Barat, ada Lombok, Senggigi, dimana daya dukung kultural dan kebijakan pemerintah daerahnya perlu ada paradigma baru di sana. Perlu juga edukasi kepada masyarakat agar dapat ramah dengan wisatawan yang datang dari berbagai mancanegara.

“Paket wisata yang menawarkan destinasi alternatif selain Bali menurut saya sangat baik dan perlu dilakukan agar wisatawan mancanegara mengenal lebih banyak daerah di Indonesia. Sama halnya saat kita keluar negeri juga ditawarkan paket kunjungan ke berbagai destinasi,” tutupnya.

Baca Selengkapnya

BERITA

BMTH Harus Beri Manfaat Besar Bagi Masyarakat Bali

Oleh

Fakta News
BMTH Harus Beri Manfaat Besar Bagi Masyarakat Bali
Anggota Komisi VI DPR RI Siti Mukaromah saat diwawancarai Parlementaria usai mengikuti Kunjungan Kerja Reses Komisi VI DPR RI di Denpasar. Foto: DPR RI

Denpasar – Proyek Bali Maritime Tourism Hub (BMTH) yang sedang dibangun di Pelabuhan Benoa, Bali, harus memberi manfaat yang besar bagi masyarakat Bali. Akses pekerjaan dan ekonomi harus dibuka secara luas.

Anggota Komisi VI DPR RI Siti Mukaromah menyampaikan hal ini usai mengikuti pertemuan dengan para direksi BUMN yang terlibat dalam pembangunan BMTH tersebut, Senin (22/4). “Pelibatan masyarakat harus optimal. Masyarakat jangan sebagai bagian dari korban atau tikus mati di lumbung padi. Jangan sampai Bali go international tapi masyarakatnya secara ekonomi semakin menurun,” ucapnya.

Seperti diketahui, PT. Pelindo sedang membangun BMTH di Benoa, di atas areal ratusan hektar. Selain tempat bersandar kapal-kapal besar, kelak BMTH juga menjadi destinasi wisata, pusat perbelanjaan, konser musik, gerai UMKM, dan lain-lain. Semua fasilitas untuk para wisatawan yang datang dibangun, seperti kesehatan, keamanan, dan kebutuhan ekonomi lainnya.

Erma, sapaan akrab Siti Mukaromah berharap, pembangunan BMTH yang masif tidak meninggalkan masyarakat lokal. Akses pekerjaan jangan hanya diberikan kepada para pendatang atau orang asing. Masyarakat Bali harus dipastikan bisa ikut menikmati proyek strategis nasional itu.

“Jangan sampai orang Bali menjadi pengangguran ketika orang luar atau asing mendapatkan pekerjaan. Kita berharap, ketika membangun sebuah koneksi wisata dan pelabuhan harus betul-betul dipastikan masyarakat bisa menikmati,” seru Politisi PKB ini.

Baca Selengkapnya