Connect with us

Refleksi Sejarah: Bendera dan Himne Papua

Penulis:
Laksamana Madya (Purn) Freddy Numberi
Sesepuh Masyarakat Papua

 1. Latar Belakang

Gejolak yang terjadi selama 56 tahun (1 Mei 1963-1 Mei 2019), sesungguhnya berakar pada konflik antara Belanda dan Indonesia mengenai siapa yang dari aspek legalitas paling berhak memiliki Papua. Sejak awal berdirinya Republik Indonesia, 17 Agustus 1945, Bapak Proklamator Soekarno-Hatta menyatakan bahwa Indonesia yang dimerdekakan itu meliputi seluruh wilayah bekas penjajahan Hindia Belanda (Nederlands Indie), termasuk wilayah koloni Papua yang waktu itu dikenal dengan nama West Nieuw Guinea (WNG). Pihak Belanda berpolitik bahwa Papua memiliki karakteristik sosio-kultural dan geografis yang berbeda, supaya diberi “status tersendiri ataupun pada suatu saat nanti menentukan nasibnya sendiri”.

Pendapat tersebut sangat “misleading” (menyesatkan), karena Belanda sebenarnya melanggar konstitusinya sendiri, yaitu Proklamasi van Delden tanggal 24 Agustus tahun 1828 atas nama Raja Belanda Willem I.  Isi Proklamasi menyatakan bahwa wilayah koloni Nieuw Guinea mulai dari 141o Bujur Timur Greenwich di pantai selatan terus kearah barat, barat daya dan utara sampai ke semenanjung “Goede Hoop” (Tanjung Harapan) di Pantai Utara dinyatakan sebagai milik pemerintah Belanda baik secara “de facto maupun de jure”.(Freddy Numberi, Quo Vadis Papua,2013:hal.523).

Selanjutnya pemerintah Belanda memberikan otoritas kekuasaannya kepada pemerintahan Hindia Belanda yang berkedudukan di Batavia (Jakarta). Koloni Nieuw Guinea (Papua) adalah satu-satunya koloni yang memiliki pernyataan tertulis berupa proklamasi saat itu. Sedangkan koloni lainnya dibawah pemerintahan Hindia Belanda adalah limpahan dari VOC yang dikuasakan kepada pemerintahan Hindia Belanda di Batavia.

Proklamasi 24 Agustus 1828 ini terjadi 117 tahun sebelum Indonesia merdeka. Kemudian lebih dikokohkan lagi dalam  Staatsblad van Nederlands-Indie Nomor 2 tahun 1885. (60 tahun sebelum Indonesia merdeka).

2. Politik Belanda Tentang Papua

Meskipun dalam KMB Belanda telah mengakui kemerdekaan Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949, namun Papua masih tetap dipertahankan dengan berbagai alasan. Presiden Soekarno merasa dikhianati, karena Belanda tidak menepati perjanjian KMB tersebut untuk mengembalikan Papua satu tahun kemudian (tahun 1950) kepada Indonesia sebagai pemilik wilayah Hindia Belanda yang dimerdekakan. Sepanjang tahun 1950-an, Presiden Soekarno mendesak PBB agar Belanda ditekan untuk menyerahkan Papua kepada Indonesia, namun tidak berhasil. Setelah gagal di PBB, pada 5 Desember 1957, Bung Karno mengambil tindakan represif dengan mengusir semua warganegara Belanda serta perusahaan-perusahaan Belanda yang ada di Indonesia di nasionalisasi.(Justus M. Van Der Kroef, 1958:hal.1).

Sepanjang periode 1950-1959 secara sistematis Belanda semakin mengukuhkan kekuasaannya atas Papua. Belanda terus menebar janji tentang “zelf beschikking recht” (right to self-determination) bagi rakyat Papua. Hal ini dilakukan dengan memantapkan pengembangan sistem politik, partai politik dan pemerintahan beserta aparaturnya.(Papuans building their future, March 1961:hal.17). Belanda juga membangun infrastruktur fisik di Papua dalam rangka menumbuh kembangkan pola pikir, sikap dan tindak perilaku rakyat serta para elit politik Papua yang pro-Belanda agar semakin anti-Indonesia (politik devide et impera). Sejarah membuktikan bahwa persepsi tentang “Negara Papua” yang dibuat Belanda, berhasil mempengaruhi AS, dan PBB serta membuat pemerintah Indonesia ikut terperangkap di dalamnya dan menganggap “Negara Papua” dan atribut-atributnya adalah musuh yang harus dibasmi, padahal sumber konflik yang terjadi adalah mengembalikan koloni Papua (provinsi bukan negara) kepada pemiliknya yang sah yaitu Indonesia.

John Saltford dalam bukunya The United Nations and the Indonesian Takeover of West Papua,1962-1969-The Anatomy of Betrayal (2003,hal.8) mengatakan: “Oleh karena itu dibawah prinsip uti possidetis juris WNG milik Indonesia. Jika Belanda memberikan WNG kemerdekaannya, akan menjadi tindakan separatisme terhadap Indonesia”.

Belanda berhasil dalam politik adu dombanya dan tetap menguasai Papua sebagai salah satu provinsinya di seberang lautan. Pada tahun 1961 Belanda mempercepat langkahnya, dimana Gubernur Nederlands Nieuw Guinea, Pieter J. Platteel mengeluarkan keputusan Gubernur Nederlands-Nieuw Guinea No.362 Tahun 1961, tanggal 18 November 1961 perihal bendera Papua yang disebut LANDS VLAG van Nederlands-Nieuw Guinea. (Lembaran Daerah No.69 Tahun 1961). Ini adalah bendera tanah atau budaya, berupa bendera “Bintang Kejora”. Bukan NATIONALE VLAG atau yang disebut dalam Bahasa Inggris National Flag (Bendera Kebangsaan). Juga ditetapkan keputusan Gubernur Nederlands-Nieuw Guinea No.364 Tahun 1961, tanggal 18 November 1961 tentang HIMNE DAERAH Nederlands-Nieuw Guinea (Lembaran Daerah No.69 Tahun 1961). Ini adalah Himne Hai Tanahku Papua berupa lagu rakyat yang memuji kebesaran Tuhan Yang Maha Kuasa.

3. Harapan Ke Depan

Presiden ke-4, KH Abdurraman Wahid (Gus Dur), Bapak Pluralisme Indonesia, pada waktu meresmikan penggunaan nama Papua diawal millennium ke-3, tanggal 1 Januari 2001, dan mengijinkan pengibaran bendera “Bintang Kejora”, mengatakan kepada penulis (saat itu penulis menjabat sebagai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan masih merangkap Gubernur Provinsi Irian Jaya): “Pak Freddy, apakah dengan mengembalikan nama Papua, akan berdampak kepada rakyat Papua untuk minta merdeka”? Penulis menjawab: “Bapak Presiden justru hal ini merupakan “obat mujarab”, suatu momentum untuk merebut “hati dan pikiran” orang Papua karena bendera “Bintang Kejora” dan “Himne Hai Tanahku Papua” sesuai dengan keputusan Belanda bukan merupakan simbol suatu negara melainkan lebih mewarnai budaya rakyat Papua, karena Belanda tetap ingin berkuasa di Papua sebagai titik tumpuannya di kawasan Asia. Dengan pengembalian nama Papua tersebut maupun penggunaan bendera “Bintang Kejora” dan “Himne Hai Tanahku Papua” akan memperkaya budaya bangsa Indonesia yang beragam ini serta bukti bahwa bangsa Indonesia melalui Bapak Presiden Gus Dur sangat peduli dengan saudara-saudaranya di Tanah Papua, ungkap penulis.

Kemudian, Gus Dur selesai meresmikan penggunaan nama Papua berkelakar “Gitu Saja Kok Repot”.

Dengan penjelasan di atas semoga masyarakat dapat mengerti bahwa bendera dan lagu tersebut adalah simbol kultural.  UU Otsus Pasal 1, butir H. mengamanatkan bahwa daerah boleh memiliki lambang dan lagu daerah sebagai simbol kultural yang tidak diposisikan sebagai kedaulatan.

Abraham Lincoln (1809-1865) berkata:”Anda dapat membodohi semua orang beberapa saat. Anda bisa menipu sebagian orang sepanjang waktu; tetapi Anda tidak bisa membodohi semua orang sepanjang waktu” (Clinton Illnois,1858).

 

Laksamana Madya (Purn) Ambasador Freddy Numberi
(Tokoh Masyarakat Papua)

Baca Selengkapnya
Tulis Komentar

BERITA

Mulyanto Sesalkan Impor Migas dari Singapura Semakin Meningkat

Oleh

Fakta News
Mulyanto Sesalkan Impor Migas dari Singapura Semakin Meningkat
Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto. Foto: DPR RI

Jakarta – Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto menyesalkan nilai impor Migas (Minyak dan Gas) nasional dari Singapura yang semakin hari bukan semakin berkurang, melainkan semakin meningkat. Menurutnya, hal ini merupakan kabar buruk bagi pengelolaan Migas nasional.

Hal tersebut diungkapkannya menyusul rencana Menteri ESDM yang akan menaikkan impor BBM menjadi sebesar 850 ribu barel per hari (bph), terutama dari Singapura. “Pemerintah jangan manut saja didikte oleh mafia migas. Harus ada upaya untuk melepas ketergantungan impor migas. Paling tidak impor migas ini harus terus-menerus dikurangi. Jangan sampai pemerintah tersandera oleh mafia impor migas,” ungkap Mulyanto dalam keterangan tertulis yang diterima Parlementaria, di Jakarta, Kamis (25/4/2024).

Untuk itu, lanjut Politisi dari Fraksi PKS ini, perlu adanya terobosan berarti terkait upaya pembangunan dan pengelolaan kilang minyak nasional di tanah air. Pasalnya, Sejak Orde Baru belum ada tambahan pembangunan kilang minyak baru, sementara rencana pembangunan Kilang Minyak Tuban, sampai hari ini tidak ada kemajuan yang berarti.

“Masa kita kalah dan tergantung pada Singapura, karena kita tidak punya fasilitas blending dan storage untuk mencampur BBM. Padahal sumber Migas kita tersedia cukup besar dibandingkan mereka,” tambahnya.

Mulyanto berharap Pemerintah mendatang perlu lebih serius menyelesaikan masalah ini. Hal itu jika memang ingin mengurangi defisit transaksi berjalan sektor migas serta melepas ketergantungan pada Singapura. Diketahui, Singapura dan Malaysia memiliki banyak fasilitas blending dan storage yang memungkinkan untuk mencampur berbagai kualitas BBM yang diproduksi dari berbagai kilang dunia, untuk menghasilkan BBM yang sesuai dengan spesifikasi yang dibutuhkan.

“Karena kita tidak memiliki fasilitas ini maka kita terpaksa mengimpor BBM sesuai dengan spesifikasi kebutuhan kita dari negara jiran tersebut,” pungkasnya.

Untuk diketahui, produksi minyak nasional saat ini hanya mencapai sekitar 600 ribu barel per hari, sementara kebutuhan mencapai 840 ribu barel per hari. Kekurangan tersebut harus ditutupi melalui impor, dengan 240 ribu barel per hari berasal dari minyak mentah dan 600 ribu barel per hari dari BBM.

Baca Selengkapnya

BERITA

Proyek BMTH di Pelabuhan Benoa Diharapkan Mampu Pulihkan Ekonomi Nasional

Oleh

Fakta News
Proyek BMTH di Pelabuhan Benoa Diharapkan Mampu Pulihkan Ekonomi Nasional
Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Martin Manurung saat memimpin pertemuan dalam Kunjungan Kerja Reses Tim Komisi VI DPR RI di Denpasar, Bali, Senin (22/4/2024). Foto : DPR RI

Denpasar – Proyek Bali Maritime Tourism Hub (BMTH) yang sedang dibangun di Pelabuhan Benoa, diharapkan mampu memulihkan ekonomi nasional, selain mempromosikan pariwisata Bali lebih luas lagi.

Demikian disampaikan Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Martin Manurung saat memberi sambutan pembuka pada pertemuan Komisi VI dengan sejumlah direksi BUMN yang terlibat dalam pembangunan BMTH. Komisi VI berkepentingan mengetahui secara detail progres pembangunan proyek strategi nasional tersebut.

“Ini proyek strategis nasional  (PSN) yang diharapkan mampu  memulihkan ekonomi nasional melalui kebangkitan pariwisata Bali. Proyek BMTH diharapkan mampu membangkitkan kembali sektor pariwisata Bali pasca pandemi Covid 19,” katanya saat memimpin pertemuan dalam Kunjungan Kerja Reses Tim Komisi VI DPR RI di Denpasar, Bali, Senin (22/4/2024).

Dijelaskan Martin, PSN ini dikelola PT. Pelindo  III  yang merupakan mitra kerja Komisi VI DPR RI. Proyek ini membutuhkan dukungan berbagai pihak, seperti PT. Pertamina Patra Niaga, PT. Pertamina Gas Negara, dan pihak terkait lainnya, agar bisa bekerja optimal dalam memulihkan ekonomi nasional. Pariwisata Bali yang sudah dikenal dunia juga kian meluas promosinya dengan eksistensi BMTH kelak.

Proyek ini, sambung Politisi Fraksi Partai Nasdem tersebut, memang harus dikelola secara terintegrasi. Namun, ia menilai, progres pembangunan BMTH ini cenderung lamban. Untuk itu, ia mengimbau semua BUMN yang terlibat agar solid berkolaborasi menyelesaikan proyek tersebut.

Baca Selengkapnya

BERITA

Dyah Roro Ingatkan Konflik di Jazirah Arab Berimplikasi Kenaikan Harga Minyak

Oleh

Fakta News
Dyah Roro Ingatkan Konflik di Jazirah Arab Berimplikasi Kenaikan Harga Minyak
Anggota Komisi VII DPR RI Dyah Roro Esti. Foto: DPR RI

Jakarta – Anggota Komisi VII DPR RI Dyah Roro Esti mengungkapkan bahwa konflik antara Iran dan Israel dapat memiliki implikasi ekonomi dan geopolitik yang signifikan, terutama dalam segi harga minyak mentah dunia (crude palm oil/CPO).

“Konflik antara Iran dan Israel dapat memiliki implikasi ekonomi dan geopolitik. Terutama dalam segi harga minyak mentah dunia,” ujar Roro dalam siaran pers yang diterima Parlementaria, di Jakarta, Kamis (25/4/2024).

Meski, saat ini harga minyak mentah dunia masih terpantau cukup stabil, dan per tanggal 22 April 2024 pukul 16.00, harga untuk WTI Crude Oil berada pada kisaran 82,14 dolar AS per barel, dan untuk Brent berada pada kisaran 86,36 dolar AS per barel. Namun, konflik di jazirah arab itu berpotensi menimbulkan kenaikan harga minyak mentah dunia, yang bisa menembus 100 dolar AS per barel.

Terkait dengan dampak dari konflik geopolitik terhadap kondisi harga BBM di dalam negeri tersebut, Politisi dari Fraksi Partai Golkar menjelaskan bahwa dari pihak pemerintah, melalui Menteri Koordinator Bidang Ekonomi Airlangga Hartarto, telah menegaskan dan memastikan bahwa harga Bahan Bakar Minyak (BBM) tidak akan naik akibat konflik ini, paling tidak sampai bulan Juni 2024 ini.

“Untuk selanjutnya, Pemerintah masih perlu melihat dan mengobservasi lebih lanjut terlebih dahulu. Saya berharap agar dampak dari eskalasi konflik di Timur Tengah ini masih bisa ditahan dan diatasi oleh Pemerintah Indonesia, sehingga kenaikan BBM masih bisa dihindari,” pungkasnya.

Baca Selengkapnya