Connect with us

Jacob Ereste: Obrolan Ala Sufi dan Wali Spiritual Pada Acara Halal Bihalal

Ada buah hati, ada juga buah pikiran. Getaran vibrasinya berbeda. Karena buah hati itu lahir bukan atas dasar pikiran, tetapi buah hati itu lahir karena getaran perasaan atas bisikan jiwa. Begitulah kata pembuka diskusi serius tapi santai antara kaum sufi dan wali spiritual.

Eko Sriyanto Galgendu bersama Tim GMRI sengaja menyambangi kediaman Profesor Yudi Latief di Kawasan Bintaro, Jakarta, Selasa, 10 Mei 2022. Praktis ngobrol santai tapi serius bisa berlangsung tak kurang dari 5 jam itu, seperti menguras laut yang tengah pasang, karena gunung es di kutub utara sedang mencair sejak kemarin.

Profesor Yudi Latief memang dikenal sebagai intelektual Islam yang serius dan terus bergelut dengan pemikiran keagamaan, kebangsaan dan kenegaraan yang berdimensi spiriual. Sebagai cendikiawan muslim, Yudi Latief sempat masuk lingkaran Istana khusus diminta oleh Presiden Joko Widodo untuk membumikan kembali Pancasila. Tapi kemudian dia tinggalkan, meski tampat ditanyakan penyebab serta alasannya untuk meninggalkan jabatan yang bergaji wah itu.

Diskusi ba’da sholat ashar itu, cukup serilius membicarakan banyak masalah. Mulai dari soal spiritual sampai keberadaan Tuhan. Bahkan kelebihan orang yang menekuni laku spiritual, seperti kaum sufi itu, kemampuan bersastranya tidak perlu diragukan. Sebab kekuatan spiritual sungguh mempunyai pengetahuan dan kemampuan bersastra yang mumpuni. Karena kaum sufi itu memiliki kekayaan bahasa ucap sastra yang tinggi nilainya.

Kecuali itu, Yudi Latief juga menyoroti perubahan peradaban yang tengah berlangsung di Timur, seperti yang dijngkapkan oleh Eko Sriyanto Galgendu. Karena pusat peradaban dengan segenap sumber daya dan kekayaan budaya memang ada di Timur.

Masalahnya sekarang, menurut Yudi Latief diperlukan semacam aliansi spiritual untuk segera membangun link ke berbagai lapisan masyarakat, termasuk jaringan pada semua elemen yang ada baik untuk yang berada di dalam negeri maupun yang berasa di luar negeri. Sehingga tingkat kesadaran dan pemahaman spiritual dapat segera membumi.

Dalam upaya membangun budaya politik di Indonesia, bisa saja terjadinya suatu persainga. Namun hendaknya rakyat jangan sampai dijadikan korban. Karena rakyat sudah terlalu lama dan bantak lenderitaannya.

Lain lagi paparan dari Eko Sriyanto Galgendu, katanya siapapun yang menjadi Presiden di Indonesia tahun 2024 tidak akan dapat banyak diharap melakulan perubahan yang mendasar untuk memperbaiki Indonesia yang sudah terlanjur russk parah. Karena untuk memperbaiki semua kebobrokan yang sudah terjadi, pemimpin politik tidak akan mampu berbuat apa-apa, sebab harus didampingi oleh pemimpin spiritual sebagai pengarah dan penasehatnya agar tidak makin jauh mengabai dimensi Ketuhanan seperti yang cuma jadi pajangan dalam Pancasila.

Jadi menurut Eko Sriyanto Galgendu diperlukan Wali Spiritual untuk melakukan pembenahan dan menara kembali tatanan bernegara maupun tatanan berbangsa bagi Indonesia di masa mendatang.

Jadi selama Wali Spiritual belum tampil dan tidak dilibatkan dalam penataan bangsa dan negara Indonesia, maka perbaikan untuk beragam masalah yang telah membuat banyak hal menjadi rusak, tidak mungkin bisa diselesaikan oleh para politisi yang cuma mementingkan dirinya sendiri itu.

Sebab hanya melalui Wali Spuritual, maka tuntunan dari wali spiritual yang terikat serta memiliki jalinan kesepakatan dengan Tuhan semata yang mampu mengatasinya, kata Eko Sriyanto Galgendu.

Setudaknya dalam memimpin negara, tandas Eko Sriyanto Galgendu tidak boleh disamakan dengan cara memimpin perusahaan. Begitulah, imbuh Yudi Latief, awal dari kekacauan politik di Indonesia, adanya politik anggaran dan anggaran politik yang tidak pernah jelas juntrungan alokasi penggunaannya.

Sekilas filosofis dari kebetadaan Candi Borobudur, itu pun perlu dipahami liputan reliefnya yang bernilai spiritual sekaligus yang menggambarkan sejarah peradaban masa lampau yang pernah gemilang di negeri ini. Dan jalan menuju ketinggian keimanan itu bisa dipahami lewat pepohonan yang ada. Karena kalau cuma dilihat dari keberadaan batang pohon itu, namun tidak mencapai pucuk pohon, maka yang terjadi sekedar pertengkaran yang tidak pernah memahami bahwa pepohonan yang rimbun itu adalah hamparan hutan yang maha luas.

Demikuan juga menurut Yudi Latief, jauh sebelum adanya agama manusia sudah mengenal adanya Tahun. Lalu agama yang muncul kemudian dalam formatnya yang beragam itu, acap salah digunakan untuk untuk mencapai Tuhan. Jadi ideal sekali kalau melakukan perjalan menuju Tuhan itu tidaklah sampai terjabak oleh cara yang diatur oleh agama. Sebab agama itu sebdiri bukan tujuan, tapi cuma sekedar sarana atau kenderaan semata untuk mendekatkan diri dengan Tuhan.

Celakanya yang dominan terjadi selama ini, kata Yudi Latief, cara menuju Tuhan yang dilakoni oleh banyak orang itu jadi terbelenggu oleh cara atau wadah yang dikonstruksikan oleh manusia yang kemudian dinamakan agama.

Padahal menurut Yudi Latief, jauh sebelum adanya agama manusia sudah mengenal Tuhan. Lalu agama kemudian muncul dalam formatnya seperti yang ada sekarang. Maka itu untuk mencapai Tuhan, jangan sampai terjebak oleh cara yang harus dilakukan. Sebab yang terjadi selama ini, kata Yudi Latief, cara menuju Tuhan banyak orang terbelenggu oleh cara atau wadah yang dikonstruksi oleh manusia. Jadi pada dasarnya atheis itu sesungguhnya tidak ada. Sebab pada dasarnya manusia selalu merindukan Tuhan.

Usai acara makan malam yang sangat indah dan istimewa ini, dialog pun kembali berlanjut sambil merenung betapa nikmatnya makan yang dilayani langsung oleh Profesor Yudi Latief, sehingga dia harus bolak-balik menuju dapur cuma untuk memenuhi keperluan tamu yang membutuhkan sendok dan mangkok. Jadi lauk pauk seperti sate bumbu kacang mete, ayam bakar yang gurih yang ditimpali sambel cabe ijo lengkap krupuk krecek khas Jawa, jadi terasa menjadi semakin istimewa dan super nikmat ketika dilahap.

Pelayanan yang dilakukan oleh Profedor Yudi Latief sungguh dilakukannya penuh suka rela, mungkin juga ada rasa dan gembira tatkala dilakukan, karena memang dia sebagai tuan rumahnya yang indah itu.

Pada akhirnya, penulis pun sesungguhnya tidak cukup yakin, sungguhkah acara ngobrol dan makan-makan seperti itu adalah model dari acara halal bihalal model kaum sufi dan wali spiritual pada era milineal sekarang ini ?

Entahlah

Jakarta, 10 Mei 2022

Baca Selengkapnya
Tulis Komentar

BERITA

Target APK Pendidikan Tinggi Tidak Mungkin Tercapai Jika Biaya Kuliah Mahal

Oleh

Fakta News
Target APK Pendidikan Tinggi Tidak Mungkin Tercapai Jika Biaya Kuliah Mahal
Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah saat kunjungan kerja reses di Kota Medan, Sumatera Utara, Senin (06/05/2024). Foto : DPR RI

Medan – Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap mahalnya biaya pendidikan tinggi di perguruan tinggi negeri. Menurutnya, dengan mahalnya biaya pendidikan tinggi itu dapat menghambat pencapaian target pemerintah dalam meningkatkan Angka Partisipasi Kasar (APK) perguruan tinggi. Menurut data tahun 2023, APK untuk laki-laki hanya 29,12 persen dan untuk perempuan 33,87 persen, angka yang jauh dari target yang diharapkan.

Konsekuensinya, tambah Ledia, dengan biaya pendidikan yang sangat mahal  itu banyak calon mahasiswa yang terhambat untuk melanjutkan pendidikan. “Dengan mahalnya perguruan tinggi negeri ini, bagaimana mungkin kita bisa mencapai target APK yang lebih baik jika banyak anak-anak kita yang tidak mampu melanjutkan pendidikan karena biaya?” ujar Ledia kepada Parlementaria, di Kota Medan, Sumatera Utara, Senin (06/05/2024).

Diketahui, Angka Partisipasi Kasar (APK) Perguruan Tinggi (PT) adalah perbandingan antara jumlah penduduk yang masih bersekolah di jenjang pendidikan Perguruan Tinggi (PT) (tanpa memandang usia penduduk tersebut) dengan jumlah penduduk yang memenuhi syarat resmi penduduk usia sekolah di jenjang pendidikan Perguruan Tinggi (PT) (umur 19- 23 tahun).

Ledia pun mengkritik sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang berlaku di banyak perguruan tinggi, yang menurutnya masih memberatkan bagi sebagian besar calon mahasiswa. “Ada perguruan tinggi dengan sistem UKT yang sangat tinggi, dan ada pula yang menengah namun tetap mahal, belum lagi adanya uang pangkal yang harus dibayar di awal,” ujar politisi Alumni Master Psikologi Terapan dari Universitas Indonesia ini.

Ledia juga menyoroti perlunya sebuah sistem pendidikan tinggi yang lebih pro kepada masyarakat, terutama bagi warga negara Indonesia yang memiliki kemampuan akademis namun ada keterbatasan ekonomi. “Kita perlu membuat sistem yang lebih baik, yang lebih mendukung anak-anak kita untuk bisa kuliah tanpa dibebani biaya yang tidak mampu mereka tanggung,” ujar Politisi Fraksi PKS ini.

Lebih lanjut, Ledia menegaskan bahwa pendidikan tinggi harus diakses oleh semua lapisan masyarakat. “Kita membuat kampus itu mandiri, namun bukan berarti kita bisa mengabaikan warga negara Indonesia, terutama anak-anak muda kita yang sebenarnya punya kemampuan dalam akademisnya tapi tidak dalam ekonominya,” ujarnya.

Kebijakan saat ini, menurut Ledia, harus segera dibahas dan diperbaiki, dengan keterlibatan langsung dari kampus-kampus dan pemerintah untuk mencari solusi yang efektif. “Perlu ada diskusi serius antara pemerintah dengan perguruan tinggi untuk menata ulang sistem pendanaan pendidikan tinggi di negara kita,” tutur Ledia.

Dalam mencari solusi, Ledia juga menyarankan agar perguruan tinggi negeri bisa terhubung lebih baik dengan program beasiswa dan bantuan finansial lainnya yang bisa membantu meringankan beban mahasiswa. “Harus ada lebih banyak opsi beasiswa dan bantuan finansial yang dapat diakses oleh mahasiswa yang membutuhkan,” ucap Ledia.

Ledia berharap bahwa dengan perbaikan sistem yang lebih inklusif dan mendukung, Indonesia bisa mencapai tujuan menjadi negara dengan sumber daya manusia yang unggul pada 2045. “Ini semua tentang membangun fondasi yang kuat untuk pendidikan tinggi di Indonesia, memastikan semua anak berhak dan mampu mendapatkan pendidikan yang layak,” pungkasnya.

Baca Selengkapnya

BERITA

Geramnya Komisi II terhadap Biaya PBB yang Membengkak Akibat Sertifikat Tanah

Oleh

Fakta News
Geramnya Komisi II terhadap Biaya PBB yang Membengkak Akibat Sertifikat Tanah
Anggota Komisi II DPR RI Rosiyati MH Thamrin saat Kunjungan Kerja Reses Tim Komisi II ke Maros, Sulawesi Selatan, Senin (06/05/2024). Foto : DPR RI

Maros – Anggota Komisi II DPR RI Rosiyati MH Thamrin mengecam kebijakan terkait sertifikat tanah yang merugikan masyarakat. Dalam pernyataannya, ia menyampaikan keprihatinannya terhadap biaya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang melonjak drastis setelah penerbitan sertifikat tanah.

“Sangat disayangkan melihat betapa besarnya biaya PBB yang harus ditanggung masyarakat setelah memiliki sertifikat tanah. Hal ini menjadi hambatan besar bagi petani dan pengguna lahan lainnya untuk mendaftarkan tanah mereka,” ujar Rosiyati MH Thamrin saat Kunjungan Kerja Reses Tim Komisi II ke Maros, Sulawesi Selatan, Senin (06/05/2024).

Menurutnya, masyarakat enggan membuat sertifikat tanah karena adanya komponen biaya PBB yang meningkat secara signifikan setelah kepemilikan tanah tersebut bersertifikat. Hal ini berdampak negatif terutama bagi para petani dan pengguna lahan lainnya yang mayoritas hidup dengan penghasilan terbatas.

Rosiayati pun menyerukan pentingnya koordinasi antara pemerintah daerah dan Dinas Pajak untuk meninjau ulang kebijakan terkait tarif PBB. “Saya berharap agar Dinas Pajak dapat mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat yang terdampak dan menyesuaikan tarif PBB dengan lebih adil,” tambahnya.

Kemudian, Politisi Fraksi PDI-Perjuangan itu juga menegaskan bahwa pembenahan terhadap kebijakan tersebut penting dilakukan agar masyarakat merasa lebih terbantu dan terjamin hak-haknya atas tanah yang mereka miliki.

“Pemerintah harus fokus pada upaya mempermudah akses masyarakat terhadap kepemilikan tanah dengan biaya yang terjangkau, sehingga tidak menghambat pembangunan dan kesejahteraan masyarakat,” tutupnya.

Baca Selengkapnya

BERITA

PON XXI Sebentar Lagi, Pembangunan Venue Ternyata Belum Tuntas!

Oleh

Fakta News
PON XXI Sebentar Lagi, Pembangunan Venue Ternyata Belum Tuntas!
Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah saat mengikuti Kunjungan Kerja Reses Tim Komisi X DPR RI, di Kota Medan Sumatera Utara, Senin (06/05/2024). Foto: DPR RI

Medan – Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah mengungkapkan, kekhawatirannya terkait kesiapan pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI yang dijadwalkan pada September 2024 di Aceh dan Sumatera Utara. Ledia menyatakan bahwa meskipun pemerintah daerah telah berkomitmen dengan mengalokasikan dana besar, masih terdapat kekurangan yang perlu ditangani oleh pemerintah pusat.

“Pemerintah Provinsi Sumatera Utara telah mengeluarkan anggaran sekitar Rp2,1 triliun, dan belum lagi dari Pemerintah Kabupaten/Kota dari APBD untuk pembangunan venue dan lain-lain. Namun, ada beberapa hal penting yang masih harus di-cover oleh pemerintah pusat,” ujar Ledia, Medan, Sumatera Utara, Senin (6/5/2024).

Menurutnya, masih ada kebutuhan dana tambahan untuk menyelesaikan infrastruktur yang belum rampung. “Persoalnnya ada hal yang harus dicover oleh pemerintah pusat, apakah itu bisa selesai atau enggak. Kita belum tahu sampai sekarang pemerintah daerah juga enggak bisa apa-apa, itu sangat tergantung dari pusat,” ujarnya.

Ledia juga menyampaikan bahwa Komisi X DPR RI telah mengusulkan agar penundaan PON hingga awal tahun 2025 untuk memastikan semua persiapan bisa tuntas. “Beberapa dari kami sudah mengusulkan untuk ditunda sampai Januari atau Februari 2025 sehingga penyelenggaraannya bisa berjalan dengan baik dan tidak terburu-buru,” tegas Ledia.

Selain itu, Ledia menekankan bahwa ada kesamaan situasi dengan PON sebelumnya di Papua, yang juga harus diundur karena pandemi COVID-19. “Situasinya serupa dengan apa yang terjadi di Papua. Jika memang belum siap, jangan dipaksakan,” tegasnya.

Ledia juga berharap dengan waktu yang masih ada, bisa di optimalkan dengan baik. “Harapan nanti penyelenggarannya bisa berjalan dengan baik, karena ini baru pertama kali diselenggarakan di dua  provinsi, belum lagi setelah itu ada peparnas untuk disabilitas. Nah jadi memang harusnya lebih matang, kalau memang belum siap jangan dipaksakan,” ungkap Ledia.

Pemerintah Provinsi Sumatera Utara telah berkomitmen untuk juga menggunakan venue yang sudah ada dengan memperbaikinya. Namun, Ledia menyatakan, “Sekarang ini yang ditunggu adalah dukungan anggaran dari pemerintah pusat, bisa atau tidak,” ungkapnya.

Ditambah lagi, menurut Ledia, “Telah dianggarkan dari Kementerian Pemuda dan Olahraga sebanyak Rp300 miliar untuk biaya operasional seperti pembayaran wasit dan juri, namun untuk infrastruktur, kecepatan penyelesaian dari pemerintah pusat masih menjadi tanda tanya”.

Kekhawatiran terus mengemuka seiring dengan mendekatnya waktu pelaksanaan PON XXI, dengan banyak pihak berharap agar pemerintah pusat dapat segera mengambil tindakan untuk menyelesaikan persiapan yang masih tertunda.

Baca Selengkapnya