Hujan yang Tak Bersuara
Oleh Lian Lubis
Sore itu, dia tiba-tiba duduk di hadapanku. Entah dari mana datangnya. Wanginya pun tak tercium sebelumnya. Katanya, dia sudah mati lima kali dan mungkin akan mati lagi. Aku tak berani melihat wajahnya berlama-lama. Bukan kengerian yang kutatap, tapi wajah yang sangat lelah yang datang entah dari mana.
Katanya, sebentar lagi hujan akan turun. Menjelang malam. Hujan yang tidak berbunyi dan tak bersuara ketika menimpa atap-atap rumah dan helai-helai daun di hutan. Seperti air mata yang menitik. Tidak terdengar gemericik airnya. Aku bergidik.
Sudah hampir setahun aku bekerja di hutan ini. Sering aku mendengar cerita bahwa di sini banyak mahluk halus, tapi belum pernah sekali pun aku bertemu atau melihat meraka. Sore itu adalah pertemuanku yang pertama dengan salah satu dari mereka dan membuat tenggorokanku seperti tercekat bila mengingatnya. Pertemuan itu terjadi kira-kira seminggu yang lalu. Kengerian yang kurasakan justru terjadi saat ini setelah dia pergi menghilang.
Serombongan anak sekolah dasar berlarian memasuki hutan. Hutan tempat ku bekerja ini memang merupakan lokasi kunjungan wisata dan penelitian. Jadi, sering sekali kedatangan rombongan anak sekolah untuk study tour. Biasanya mereka dipandu oleh beberapa orang pemandu lokal warga di sini. Guru-guru terlihat berada diantara mereka. Anak-anak itu cukup gaduh. Beberapa kali pemandu mengingatkan mereka untuk sedikit tenang dan tidak terlalu banyak bercakap-cakap.
“Ade-ade tenang dulu ya, nanti tidak terdengar dengan jelas informasi yang kakak ceritakan”, kata pemandu.
Aku yakin, sebenarnya para pemandu itu was-was mendengar kegaduhan anak-anak. Mereka sangat khawatir ada yang berbicara sompral1 dan petaka kan menimpa anak yang berbicara sembarangan. Aku pernah mendengar tentang kejadiaan seorang siswa sekolah menengah pertama yang hilang dari rombongan dan baru ditemukan beberapa hari kemudian.
“Ngapain juga sih study tour ke hutan seperti ini? Apa yang dilihat di sini? Cuma goa-goa gelap. Apa serem dan angkernya goa kayak gini?”
Beberapa saat kemudian anak itu menghilang dan baru disadari kehilangannya ketika rombongan akan pulang meninggalkan hutan ini.
Banyak memang cerita mistik dan kejadian yang tidak masuk akal di hutan ini, tapi yang cukup misteri bagiku adalah kehadiran manusianya. Entah sejak kapan mereka telah bermukim di sekitar sini. Dalam catatan sejarah, manusia telah tinggal di kawasan ini sejak zaman prasejarah. Peninggalan-peninggalan berupa piranti hidup sehari-hari atau artefak manusia pra sejarah berupa kapak, pisau, mata anak panah, dan lain-lain yang terbuat dari bebatuan dan batu kaca (obsidian) banyak ditemukan di dalam kawasan hutan ini. Diduga kawasan ini dulunya merupakan bengkel senjata sehingga kawasan ini dinamakan ‘Pakar’ yang berasal dari Kata Sunda Klasik ‘Pakarang’.
“Saya sudah lama berdagang di sini, pak. Sebelum bapak bertugas dan juga sebelum balai ini ada. Ibu dan kakek saya juga berdagang di sini. Saya ‘mah’ melanjutkan usaha mereka.”
Dalam bahasan Indonesia berdialek Sunda yang kental, kalimatnya seperti ingin menegaskan pada ku bahwa dia patut dihormati karena leluhurnya telah bedagang di hutan ini sejak dahulu kala. Secara halus sebenarnya dia ingin mengatakan tidak ingin dipindah dari berjualan di sini. Aku hanya tersenyum menanggapinya. Aku memang selalu berniat menata ulang tempat ibu ini dan 75 orang lagi kawannya yang berjualan. Menata ulang gubug-gubug dagangan mereka pada suatu suatu zona kuliner agar tidak ‘berserakan’ di dalam kawasan hutan. Mereka adalah generasi ke sekian dalam sejarah perkembangbiakan manusia di dalam dan sekitar hutan ini..
Seingatku, dulu ibu pedagang jagung bakar ini adalah anak dari ibu penjual jagung bakar yang sering aku singgahi untuk menikmati jagung bakarnya. Inikah yang disebut kemiskinan struktural itu? Turun temurun sebagai orang miskin, sementara hutan ini begitu indah dan banyak vila-vila mewah yang dibangun di sekitar sini. Mengangkangi hutan dan mencuri keindahan panorama hutan peninggalan Pemerintah Kolonial Belanda. Berdiri di atas tanah yang dulunya barangkali milik moyang ibu pedang jagung ini. Sedang aku, takdir akademiskah yang membawaku ke sini? Setelah dua puluh tahun bekerja di berbagai bidang, ‘ujung-ujungnya’ aku menjadi pengelola hutan ini.
Ketika aku mahasiswa, aku sering bermain ke sini. Diantara waktu luang jam-jam kuliah, aku selalu kemari bersama dengan seorang teman seangkatanku untuk saling bercerita berlama-lama tentang segala hal. “Belajar bareng sambil makan jagung bakar, yuuk”, begitu alasanku setiap kali mengajak gadis manis, pintar, dan nyaman diajak berbicara yang aku rencanakan menjadi istriku ke hutan ini. Anak perempuan kecil pedang jagung itu, biasanya tidak jauh berada diantara kami; bermain sambil mencari biji-bijian yang jatuh dari pohonnya. Aku tidak ingin membangkitkan ingatannya bahwa aku sering melihat dia waktu kecil dulu bersama ibunya berjulan jagung bakar.
Upaya negoisasiku dengan generasi ketiga penjual jagung bakar ini tidak berlanjut. Seorang gadis belia seumuran anak sulungku datang menghampiri kami.
“Kunaon ya pak, leuweng ayeuna sareukseuk jeung heurin ku imah?” 2
“Muhun, ayeuna mah heurin pisan, neng. Seueur jalmi benghar ti kota nyieun villa mewah di gigireun leuweung. Neng dimana bumina?” 3 Aku menimpali sekedarnya saja.
Di hutan ini sering gadis-gadis belia bermain berkawa-kawan. Ada juga yang berpasang-pasangan. Menjalin cinta dan bermimpi tentang cinta yang abadi. Di sini cinta tak perlu diucapkan. Angin hutan yang dingin sering membakar gairah cinta mereka. Menjelang sore, nyanyian turaes akan mengiringi syair cinta yang mereka dendangkan.
“Abdi ti Subang, pak” 4, kata gadis belia itu.
Aku mencuri pandang pada wajahnya yang berparas gadis Sunda asli, namum terlihat pucat.
“Upami asli ti Subang, naha neng terang di dieu rame jeung ayeuna leuweung heurin? Neng mineung kadieu?” 5.
Aku tak melihat dia datang bersama kawan-kawannya juga tak ada jejaka yang bersamanya. Gadis itu menjentikkan ulat bulu yang menempel di lengan kirinya. Tidak ada rasa jijik atau takut di wajahnya. Seperti umumnya anak perempuan.
“Upami ayeuna mah, abdi linggih di dieu. Kapungkur nuju alit basa nuju ameung, abdi pernah katinggang tangkal”6 Gadis itu menunjuk ke salah satu pohon.
Jantungku terjatuh dari tempatnya. Lidahku pun tertelan. Jagung yang sedang dipegang wajah ibu penjual jagung bakar itu seketika terlepas dari genggamannya. Wajahnya seperti tak dialiri darah. Putih pucat.
Kira-kira sepuluh tahun lalu –pada suatu siang– seorang anak perempuan berumur sembilan tahun tewas tertimpa dahan yang patah dari pohon yang ditunjuk gadis belia ini. Ketika itu tidak ada hujan atau angin yang cukup kencang yang bisa memaatahkan dahan. Kejadian itu membuat keheranan dan menjadi berita di koran-koran lokal.
Tewasnya seorang anak perempuan yang tertimpa dahan pohon, memang pernah diceritakan padaku oleh seorang petugas keamanan kantorku kira-kira empat bulan yang lalu. Dia juga bercerita tentang seorang anak lelaki kelas lima sekolah dasar yang tewas terseret arus saluran air yang menuju reservoar pembangkit listrik tenaga air yang terletak di sebelah timur hutan ini.
Apakah mungkin gadis belia ini roh gadis kecil yang tertimpa dahan patah itu? Kalau dia roh gadis kecil itu, apakah roh memang bisa tumbuh dan berkembang seperti tubuh manusia hidup? Kalau pun dia roh si anak perempuan itu, kenapa dia tidak bisa ‘pulang’ dan menjadi penghuni hutan ini?
Tiba-tiba hujan yang sangat dingin dan lebat mengguyur hutan. Deru derasnya tak terdengar. Daun-daun memudar warnanya. Air berwarna hijau dari klorofil daun yang luntur berjatuhan membasahi baju dinasku. Airnya sangat pahit di lidah. Wajah ibu penjual jagung bakar itu semakin pucat hingga hampir terlihat tulang-tulang pipinya. Bara api dari potongan-potongan arang untuk membakar jagung padam tanpa terdengar desis apinya yang tersiram air hujan. Asapnya pun tak terlihat.
Di kejauhan, di atas-atas bukit sana, vila-vila dan bangunan-bangunan mewah meleleh disiram hujan; melebur dengan tanah yang mulai membubur dan mengalir menuju sungai yang membelah hutan. Orang-orang berlarian meninggalkan dan menjauhi hutan.
“Hujan teu aya soraan. Hujan teu aya soaraan” 7. Mereka berlari lintang pukang sambil menjerit ketakutan. Rombongan anak sekolah itu pun berhamburan tak tentu arah. Guru-guru mereka berlari menyelamatkan diri. Para pemandu lokal komat-kamit merapal doa-doa sambil setengah berlari menarik tangan beberapa anak yang menangis sejadi-jadinya
Kalau turun hujan mendadak pasti ada orang yang memukul go’ong8, begitu cerita dari warga sini. Biarpun bukan musim hujan dan matahari sedang bersinar dengan teriknya, bila ada go’ong yang dipukul di dalam hutan ini, maka tidak berapa lama kemudian hujan akan turun, kata salah seorang sesepuh warga pinggiran hutan kepada ku pada suatu hari.
Sebenarnya aku tidak yakin dengan kata-katanya. Tapi setiap kali diadakan pertunjukan seni tradisional sunda seperti calung dan reog, setelah itu hujan turun. Cuaca sangat terik siang ini dan tiba-tiba hujan turun sangat lebatnya. Sebelumnya, aku tidak pernah berfikir atau mengkaitkan hubungan antara hujan dan go’ong.
Ataukah ada salah seorang dari anak-anak sekolah yang gaduh tadi berbicara sompral? Lupakah para pemandu untuk mengingatkan kepada anak-anak sekolah itu pantang mengucapkan kata ‘lada’ di dalam Goa Belanda dan Jepang yang ada di sini?
‘Lada’ adalah penggalan dari nama Eyang Anggadilada yang juga adalah kata dalam Bahasa Sunda yang berarti rasa pedas. Bukan Eyang Anggadilada yang marah karena penggalan namanya disebut, tapi adik-adik dari Eyang Anggadilada yang murka. Eyang Anggakawasa, Jaki, Rengko, dan Tanjung Anom. Mereka pengawal setia Prabu Siliwangi.
Eyang Anggadilada yang memiliki nama lain Eyang Wicaksana adalah pemimpin dari pengawal Prabu Siliwangi. Mereka tilem9 setelah ‘menghilangkan’ Istana Pajajaran Prabu Siliwangi yang tidak ditemukan hingga saat ini. Warga di sini percaya Eyang Anggadilada dan adik-adiknya bermukim di dalam kawasan Hutan Pakar. Eyang Anggadilada menetap di dalam Goa Belanda. Umurnya saat ini 950 tahun. Eyang Rengko dan Tanjung Anom mendiami Mata Air Cibitung dan sekitarnya; salah satu mata air di Hutan Pakar.
Orang-orang tua masih suka memberikan sesaji secangkir kopi hitam pahit dan beberapa jenis panganan tradisional pada setiap malam selasa di Lembah Kaendahan dekat Sungai Cikapundung yang membelah Hutan Pakar. Lembah pembuangan mayat-mayat mereka yang mati karena berhari-hari dipaksa bekerja oleh para penjajah membuat lubang-lubang goa tanpa diberi makan. Lalaikah mereka memberikan sesaji tadi malam?
Ataukah mahluk-mahluk halus di hutan ini terganggu karena hutan diganggu? Kemudian ramai-ramai mereka murka. Seperti kata roh gadis belia itu, “leuweng ayeuna sareukseuk jeung heurin ku imah”. Pikiranku sibuk mengkait-kaitkan kejadian satu dengan yang lainnya dan mencari hubungan sebab akibatnya dari yang sedang terjadi, tapi semua sudah terlambat.
Samar-samar terdengar sisa gema suara go’ong dari dalam Goa Belanda. Siapa yang telah menabuh go’ong di dalam sana?
Ketakutan menyerangku dengan hebat. Menghancurkan nyaliku. Dalam seminggu ini, dua kali aku berbincang dengan mereka. Hujan yang tak bersuara meruntuhkan keyakinanku tentang manusia dan mahluk halus yang berada di alam berbeda. Sesepuh warga di sini pernah bercerita tentang trowongan atau pintu yang menuju ke dunia mahluk halus di hutan. Aku membayangkannya seperti portal ke dunia yang lain dan sekarang aku sedang berdiri di depan portal itu. Di sebelah sana, gadis belia berwajah pucat tadi tersenyum. Rambutnya panjang terurai; mewangi melati menyengat rongga hidungku. Sekujur tubuhku menggigil.
Goa Pakar, Agustus 2014.-
Catatan
Kejadian dalam cerita ini sebagian besar merupakan kejadian nyata dan mitos yag ada di masyarakat sekitar Taman Hutan Raya Ir. H Djuanda atau Goa Pakar dan kejadian-kejadian mistik yang pernah terjadi.
- Berkata-kata yang tidak semestinya atau tidak pada tempatnya dan melanggar pantangan.
- Kenapa ya pak, hutan sekarang sempit dan penuh sesak dengan rumah?
- Iya, sekarang sempit sekali. Oranng-orang lota banyak yang mendirikan rumah mweah di pinggir-pinggir hutan. Neng rumahnya dimana?
- Saya berasal dari Subang, pak. (salah satu kabupaten di Jawa Barat)
- kalau dari Subang, kenapa neng tahu di sini rame dan hutan jadi sempit? Neng sering ke sini?
- Sekarang saya tinggal di sini, pak. Dulu waktu kecil, waktu sedang bermain di sini saya tertimpa dahan pohon.
- Hujan tidak ada suaranya.
- Go’ong adalah alat musik tradisional dan biasa juga disebut gong.
- Tilem Bahasa Sunda artinya menghilangkan raga.
BERITA
Komisi III Minta Komnas HAM Tingkatkan Peran, Selesaikan Pelanggaran HAM Berat
Jakarta – Wakil Ketua Komisi III DPR RI Pangeran Khairul Saleh memimpin rapat kerja dengan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Dalam rapat ini Komisi III meminta Komnas HAM untuk meningkatkan peran dan mengoptimalkan pelaksanaan tugas dan fungsi dalam mendukung penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM, termasuk pelanggaran HAM berat.
“Baik itu penyelesaian yudisial maupun non-yudisial, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,” ujarnya di ruang rapat Komisi III, Nusantara II, Senayan, Jakarta, Rabu (30/5/2024).
Lebih lanjut Komisi III DPR meminta Komnas HAM untuk segera menyelesaikan peraturan terkait Penilaian Tindak Lanjut Kepatuhan Rekomendasi, agar dapat menjadi informasi dan tolak ukur dalam tindak lanjut rekomendasi yang telah diberikan.
Bahkan Komisi III meminta Komnas HAM dan Komnas Perempuan untuk lebih proaktif dan sinergis dalam mengidentifikasi potensi permasalahan, melakukan penanganan, maupun pendampingan terhadap seluruh pihak, dalam penerapan dan penegakan prinsip-prinsip HAM, termasuk perlindungan terhadap perempuan di seluruh sektor dan kegiatan.
Sementara itu di lain pihak, Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro menyampaikan bahwa pihaknya saat ini tengah menyusun rancangan Peraturan Komnas HAM terkait Penilaian Tindak Lanjut Kepatuhan Rekomendasi Komnas HAM. “Sebagai salah satu upaya pemasangan untuk meningkatkan efektivitas dari rekomendasi yang diberikan oleh Komnas HAM,” papar Atnike saat rapat.
Menurutnya rekomendasi yang diberikan oleh Komnas HAM dari hasil pemantauan, mediasi, maupun kajian tidak selalu ditindaklanjuti oleh stakeholders maupun kementerian/lembaga karena dianggap tidak mengikat. “Sejumlah kasus juga menunjukkan fungsi mediasi Komnas HAM masih belum dipahami sebagai sebuah solusi strategis,” ucap Atnike.
BERITA
Anggaran Pendidikan Kemenag Dinilai Masih Kecil
Jakarta – Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ace Hasan Syadzily menilai besaran anggaran pendidikan yang diterima Kemenag (Kementerian Agama) untuk mendanai seluruh lembaga pendidikan Islam dan keagamaan masih timpang dibanding kementerian lain.
“Soal anggaran pendidikan di bawah Kementerian Agama harus betul-betulan keadilan anggaran. Kalau kita dengar pidato Menteri Keuangan (Sri Mulyani) dalam rapat paripurna, ya anggaran pendidikan Rp630 triliun, tapi kalau Kemenag hanya dapat Rp35 triliun, buat saya mengkhawatirkan,” kata Kang Ace, sapaannya, dalam keterangan persnya, Rabu (29/5/2024).
Politisi Partai Golkar itu menyatakan, selain Sekretariat Jenderal (Sekjen) Kemenag, anggaran terbesar juga diberikan kepada Direktorat Jenderal (Ditjen) Pendidikan Islam (Pendis) Kemenag sebesar Rp35 triliun.
Ada satu hal yang sangat penting untuk didiskusikan bersama adalah soal berbagai hal terkait anggaran pendidikan nasional. Dari penjelasan Plt Dirjen Pendis, berapa persen KIP Kuliah untuk Perguruan Tinggi Agama Islam (PTKAI) dan perguruan tinggi agama lain.
“Apakah PIP, KIP, apakah sudah mencerminkan suatu keadilan anggaran? Rehab ruang kelas juga belum mencerminkan keseluruhan,” ujar dia.
Kang Ace melihat dari total anggaran pendidikan Rp630 triliun di APBN, Kemenag hanya mendapatkan Rp35 triliun, artinya belum mencerminkan suatu kesetaraan anggaran.
“Padahal anak-anak madrasah, yang kuliah di UIN, STAIN, STAI atau di manapun, mereka juga anak-anak bangsa yang sama untuk mendapatkan perlakuan sama dalam akses pendidikan,” tutur Kang Ace.
Ace mengatakan, keputusan tepat telah diambil Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas yang menunda status Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH) bagi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. “Itu keputusan yang tepat. Kalau tidak, meresnya sama mahasiswa. Berat,” ucap dia.
Jujur saja, ujar Ace, hampir sebagian besar siswa dan mahasiswa yang sekolah di bawah Kemenag berlatar belakang sosial ekonomi kelas menengah bawah. Namun penyaluran program KIP dan PIP untuk mereka juga sedikit.
“Itu anehnya. Jadi ada yang salah dari proses pendataan penyaluran program negara untuk kelompok-kelompok yang membutuhkan itu,” ujar Kang Ace.
BERITA
Imbas Kebakaran Smelter Nikel PT KFI, Komisi VII akan Audit Investigasi
Kutai Kartanegara – Anggota Komisi VII DPR RI Nasyirul Falah Amru mengatakan, pihaknya akan segera melakukan audit investigasi terhadap pabrik smelter nikel PT Kalimantan Ferro Industri. Hal tersebut imbas dari peristiwa dua kali ledakan di pabrik smelter PT KFI yang menewaskan pekerja asing dan lokal belum lama ini.
“Kami akan panggil PT KFI beserta seluruh jajaran direksinya, untuk datang ke Gedung Senayan dan kami akan melakukan audit investigasi. Secara mekanisme, bisa dengan membuat panja nikel atau kita panggil secara khusus di Rapat Dengar Pendapat (RDP). Kami juga tentunya akan melibatkan Kementerian Perindustrian dan Kementerian KLHK dari sisi amdalnya, supaya benar-benar kita melihat secara komprehensif sebab terjadinya ledakan,” ujarnya saat memimpin Tim Kunspek Komisi VII DPR mengunjungi PT KFI di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Rabu (29/5/2024).
Menurut Politisi F-PDI Perjuangan ini, pihaknya menilai, hasil dari temuan dilapangan seperti sarana untuk keselamatan kerja dan sebagainya juga masih jauh dari kurang. Walaupun mereka sudah mendatangkan tim dari Kementerian Industri untuk mekanisme aturan pedomannya, tetapi pihaknya menemukan fakta di lapangan masih belum sesuai dengan harapan.
“Saya berpesan agar tidak terulang terjadi kebakaran atau ledakan, yang paling penting ini adalah mesin yang ada di setiap semelter itu perlu dicek selalu setiap periodik. Kemudian, kalibrasi mesin itu juga penting karena dengan begitu kita akan tahu ukuran mesin ini sesuai dengan kapasitasnya dia berproduksi atau tidak. Sehingga, Insya Allah dengan adanya perawatan yang berkala dan pengawasan yang kita lakukan ini Insya Allah tidak akan terjadi kembali,” jelas Nasyirul.
Selain itu, kami juga tidak menemukan alat pemadam kebakaran sepanjang jalan menuju lokasi meledaknya smelter. Kemudian, rambu-rambu yang ada juga masih sangat terbatas sekali, sehinhha dianggap tidak layak untu perusahaan smelter. “Jadi ini harus segera diperbaiki,” imbuhnya.
“Kita menemukan sesuatu yang di luar dugaan, ketika PT KFI lagi dibangun ada proses namanya commissioning atau uji coba tetapi sudah menimbulkan kejadian terjadinya ledakan. Padahal masih tahap uji coba, tetapi dua tenaga kerja asing dan dua pekerja lokal turut menjadi korban akibat ledakan di smelter nikel tersebut,” ucapnya lagi.