Connect with us
Cerpen

Dia yang Menjinjing Kepalanya

Ilustrasi cerpen - rebloggy.com

 

Oleh Lian Lubis

Sekumpulan anak bermain ucin-ucingan1. Kaki-kaki kecil mereka lincah berlari diantara pepohonan; saling kejar, berteriak, dan tertawa riuh rendah. Ada yang ganjil. Kedua bola mataku hampir meledak melihatnya; kaleng minuman soda yang kugenggam lebih dahulu meledak. Isinya berbusa-busa membasahi baju dan lenganku. Sambil bermain, anak-anak itu  menjinjing kepala mereka. Tubuhku melayang; seperti sehelai bulu ayam yang lepas dari kemoceng lapuk. Ringan. Kemudian terjerembab!

***

Ku buka perlahan kedua kelopak mataku. Cahaya bulan keemasan, yang bertengger diantara  cabang dan ranting, menerpa wajahku. Silhouette ranting dan cabang yang mengering seperti jari-jari nenek penyihir berkuku panjang. Kepalaku berat dan berdenyut-denyut.

“Lama sekali kamu pingsan. Kupikir kamu tidak akan pernah siuman.

”Kedua bola mataku berputar-putar mencari pemilik suara.

“Aku di sini’.

Seorang gadis duduk di atas batang kayu pohon tumbang. Beberapa depa di sebelah kanan tempatku terkapar; tak berdaya di lantai hutan. Rambut panjangnya terurai menutupi kedua payudara. Jantungku menyentak dada. Seketika tanganku mencengram keras; meremukan kaleng minuman soda yang masih tergenggam di tangan kanan. Darah merembes dari sela-sela kuku di ujung jari.

“Maaf, aku tidak mengenakan baju sepertimu atau seperti perempuan-perempuan temanmu”, katanya seraya bangkit berdiri, berjalan mendekatiku. Bunyi serasa dari langkahnya menghentikan sejenak nyayian serangga malam di hutan ini. Dia membantuku duduk.

“Maaf aku tidak mengenakan baju sepertimu atau seperti perempuan-perempuan temanmu”. Dia mengulangi kata-katanya lagi seperti tidak yakin aku telah mendengarnya.

Kaleng minuman soda yang tercengkeram jemariku dilepaskannya pelan-pelan. Tubuhku berguncang. Menggigil. Rasa takut yang sangat hebat melandaku melihat dia yang tak dibalut selembar benang. Kepalaku semakin berdenyut nyeri.

“Di hutan ini tidak ada binatang buas yang akan memangsamu walau kamu pingsan. Aku menungguimu karena ingin mendengar kisahmu. Kamu pingsan saat melihat anak-anak bermain sambil menjinjing kepalanya, ya?”. Dia tersenyum.

Kengerian kembali menyerang hebat. Lambungku melilit dan meronta ingin  keluar dari tenggorokan dan mulutku.

“Pandangi aku. Ketakutan dan kengerianmu akan berangsur reda”.

Kuturuti kata-katanya. Semerbak wangi melati halus berhembus dari nafasnya yang hangat dan teratur.

“Minumlah air nira ini; akan mengembalikan jiwamu ke dalam raga”.

Air nira dalam ‘gelas’ batang bambu yang diberikannya keteguk perlahan. Dingin. Dia menatapku. Wangi melati dan air nira yang manis membuatku bisa melihat lentik bulu matanya. Cahaya bulan berpendar-pendar di bola matanya.

“Sejak lepas dari susu ibu, anak-anak di sini memang menjinjing kepala mereka dan membawanya kemana mereka bermain. Dulu aku pun begitu. Ayah dan ibuku pun begitu. Juga kakek dan nenekku”.

Wangi melati semakin semerbak. Memenuhi rongga dadaku.

“Kata ibuku….” Dia terdiam sejenak. Seekor katak pohon berwarna putih pucat ‘hinggap’ di bahu kirinya. Ditatapnya, sebentar kemudian katak ‘terbang’ menghilang di kerimbunan perdu.

“Suatu masa, prahara melanda negeri kami. Menjadikan hati kami beku. Kepala kami membatu. Nafsu, akal, dan hati nurani saling membohogi dan memperdayai.  Akal memperdayai hati nurani dan bekerja sama dengan nafsu. Nafsu yang bekerja sama dengan akal mengabaikan dan mengganggu eksistensi mahluk lain2. Hati nurani membohongi dirinya sendiri; atau termakan hasutan akal dengan kata-kata ‘logis’ yang  akal ciptakan. Bahkan nafsu membunuh akal dan hati nurani”.

Dia seperti bermonolog. Tidak kupahami kata-katanya.

“Kamu tahu, –dia menatap bulan; bulan jatuh di bola matanya– kejujuran, ketulusan, keberanian, kasih sayang sirna di negeri kami. Kami hidup dalam keegoisan; berkelompok-kelompok dan bergolongan-golongan dengan segala sifat dan perilaku buruk yang jahat”.

Kata-katanya seperti  angin malam yang berlalu diantara rimbunan daun; menjatuhkan helai-helai daun rapuh dari tangkainya. Aku hanya mendengar nyanyian burung malam yang melengking menyayat luka.

“Masa itu, banjir besar dimana-mana. Gunung meletus tiba-tiba. Terjadi jaman yang terbolak balik. Tidak ikut gila tidak akan kebagian. Yang sehat akalnya, sedih hatinya. Penjahat berkeliaran. Manusia makan manusia. kayu gelondongan dan besi juga dimakan dianggap enak seperti roti bolu. Kalau malam tidak bisa tidur. Orang yang salah semakin bahagia. Perbuatan jahat dibanggakan. Orang yang hidupnya benar dan adil menjadi susah dan terpencil. Yang tidak bisa mencuri dibenci3”.

Sementara kata-katanya terus mewangi dibawa angin,  diambilnya helai-helai daun yang jatuh di kepala dan yang menempel di bajuku. Daun di rambutnya dibiarkan seperti pita gadis remaja.

“Prahara terus melanda negeri kami, hingga akhirnya datang seorang yang berhati cahaya. Dia yang berhati cahaya mengajak anak-anak memisahkan akal di kepala dengan  hati nurani di dada untuk sementara waktu, hingga awal masa dewasa.  Agar jiwa anak-anak tetap bening. Agar keburukan dan kejahatan tidak terus diajarkan dan ditularkan.”

Dia meraih kedua tanganku. “Darah dari  ujung-ujung jarimu telah berhenti”, katanya tersenyum. “Selama pingsan kamu menangis, hingga air matamu berdarah”. Jari-jemarinya yang halus, lembut mengusap sudut-sudut mataku, membersihkan darah yang mengering.  Aku menahan perih.

“Kamu mungkin bertanya-tanya, kenapa kami menanggalkan pakaian pada saat beranjak dewasa?

Jangankan untuk bertanya, sedang berpikirpun aku tak sanggup. Wangi melati dari nafas dan tubuhnya menyumbat akal dan pikiranku.

“Setelah prahara berlalu, hanya anak-anak yang berpakaian di negeri kami. Ibuku tidak berpakaian sejak usia 13 tahun. Aku lebih cepat setahun dari ibuku. Para laki-laki  menanggalkan baju dan celananya setelah suara anak-anaknya menghilang4. Di masa prahara, pakaian lebih berharga dari jiwa dan hati kami. Jiwa-jiwa yang kerdil dan hati yang busuk bersembunyi dibalik pakaian halus dan mewah. Banyak perempuan berpakaian laki-laki dan sebaliknya”.

Kata-katanya berhenti. Angin masih membawa wangi melati. Dia bangkit dari duduk di hadapanku, berjalan beberapa langkah membelakangiku ke arah  batang kayu pohon tumbang tempat dia tadi menungguiku selama pingsan. Duduk di atas batang kayu,  kaki kanan ditumpangkan di atas kaki kirinya. Rambutnya disibakkan, lalu kedua tangannya bersedekap di dada menahan dinginnya hutan. Cahaya bulan menyelimuti seluruh tubuhnya. Silhouette bayangan ranting-ranting  pohon seperti sketsa yang bergerak-gerak di tubuh gadis yang seperti baru saja melepaskan semua pakaian.

Dia kembali mendekatiku. Membantuku berdiri. Wangi melati memeluk erat tubuhku. Nyayian serangga malam berhenti. Sepi. Lurus kaku pepohonan sampai ke puncak5.

Seperti berbisik dia berkata, “Peluk aku. Aku belum mendengar kisahmu. Aku akan menunggumu di sini. Ingin mendengar kisahmu, tapi kamu harus pulang. Langkahkanlah kakimu mengikuti bayangamu, perlahan menjauhi bulan”.

giphy

****

Rembulan semakin pudar. Begitu juga bayanganku. Kutanggalkan seluruh pakain, berjalan menuju semburat merah jingga cahaya matahari yang  belum terbit. Melewati kampung dan rumah yang berbaris-baris. Di belakangku, di batas cakrawala, hutan berwarna abu-abu berselimut kabut tipis. Orang-orang masih menutup semua pintu dan jendela. Ayam jago bergantian memanggil matahari.

Serombongan orang yang baru pulang dari masjid berpapasan denganku. Beberapa orang terkejut dan setengah berteriak menyebutkan namaku. Yang lain berhamburan berlarian. Kegaduhan terjadi di pagi yang belum sempurna. Seseorang menyelimutiku dengan sorbannya. Aku mengenalnya; dia guru mengaji di kampung kami.

“Tiga malam kami mengkhawatirkanmu dan mencarimu hingga ke batas hutan. Istrimu menangis tak berhenti sejak tadi malam. Dua malam lalu dia masih ikut mencarimu. Kami tidak berani memasuki hutan terlampau dalam. Kata istrimu, kamu pamit sebentar ke hutan, hendak mencari anak kucing hutan buat anakmu. Untunglah di dekat masjid ada anak kucing kampung yang baru beberapa minggu dilahirkan induknya. Kami  berikan pada anakmu  untuk menghiburnya.

Guru mengaji menuntun dan menggandengku menuju rumah yang sangat ku akrabi. Sorbannya hanya menutupi sebagian tubuhku. Pagi mulai tenang. Beberapa ibu-ibu yang masih bermukena sepulang dari sholat subuh di mesjid menitikkan air mata. Mereka mengikutiku dan guru mengaji dari belakang. Istriku memeluk erat dan menangis begitu melihatku. Anakku yang baru berusia lima tahun terbangun oleh tangis ibunya ikut memelukku.

Guru mengaji meminta istriku mengambilkan baju dan kain sarung. Seekor anak kucing berwarna campuran hitam kuning pulas tertidur di sisi pintu kamar; beralaskan koran bekas. Di ujung ekornya terpampang foto yang menguning dan hampir koyak; orang-orang berjas mewah saling tunjuk, bermuka ganas dan berkelahi di parlemen dan foto seseorangyang tertawa lebar setelah merampok uang negara. Sebaris judul berita, ‘Seorang Anak Sekolah Dasar Membunuh Adik Kelasnya’, membuatku memeluk erat anakku yang masih memelukku.

“Aku tak mau memakai baju dan kain sarung”, kataku lirih. Sorban guru mengaji masih membalut sebagian tubuhku.

Istriku tertunduk. Air mata menitik membasahi baju dan kain sarung yang digenggamnya. Guru mengaji  mengucapkan istigfar berkali-kali. Nafasnya berat dan tertahan.

“Aku tak mau memakai baju dan kain sarung”, kuulangi kata-kataku. “Kita harus segera menanggalkan semua pakaian dan anak-anak harus mulai belajar menjinjing kepalanya. Akan kuceritakan pada kalian tentang dia. Dia yang menjinjing kepalanya ketika masih anak-anak dan melepaskan seluruh pakaian ketika haid pertama datang. Juga kisah tentang ….”.

Tak ku lanjutkan kalimatku. Ada rindu yang diam-diam menyelinap.

Semerbak wangi melati memenuhi seluruh ruangan rumah, merebak hingga ke halaman. Orang-orang yang masih berkumpul di halaman menjadi gaduh.  Sambil mengenggam segelas air bening, guru mengaji semakin khusuk berdoa. Tangannya bergetar; membuat riak-riak air di dalam gelas. Kedua matanya dipejamkam rapat-rapat. Kulihat istriku jatuh pingsan.
*Cisaranten Endah-Bandung,  Oktober 2014.

Catatan:

  1. Permainan tradisional anak-anak di daerah Jawa barat (Sunda). Ucing-ucingan yang dimainkan adalah “Ucing-ucingan Ada sebuah” berasal dari daerah Garut. Setiap anak yang menjadi ucing (kucing) harus mengejar kawannya dan mengucapkan lakon (peran) dari kawasannya dengan benar.  Jika benar, maka ucing akan berpindah kepada kawan yang disentuh dan terus berlanjut atau berulang hingga dihentikan permainan atas kesepakatan anak-anak karena letih, bosan atau sudah terlau lama dimainkan.
  2. Tentang nafsu, akal, dan hati nurani disarikan dari berbagai sumber salahsatunya dari tulisan Nicholaus Prasetya berjudul: Trinitas Manusia: Nafsu, akal, dan Hati Nurani. Kompasiana 31 May 2010.
  3. Ramalan Joyoboyo (1135-1157); bait terakhir (141,142, 143, 145).
  4. Memasuki masa puber; kaum wanita mengalami menstruasi pertama kali dan para laki-laki mengalami perubahan suran dari suara anak-anak ke suara remaja (dewasa)
  5. Sepi; Sajak Chairil Anwar.

 

Baca Selengkapnya
Tulis Komentar

BERITA

Target APK Pendidikan Tinggi Tidak Mungkin Tercapai Jika Biaya Kuliah Mahal

Oleh

Fakta News
Target APK Pendidikan Tinggi Tidak Mungkin Tercapai Jika Biaya Kuliah Mahal
Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah saat kunjungan kerja reses di Kota Medan, Sumatera Utara, Senin (06/05/2024). Foto : DPR RI

Medan – Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap mahalnya biaya pendidikan tinggi di perguruan tinggi negeri. Menurutnya, dengan mahalnya biaya pendidikan tinggi itu dapat menghambat pencapaian target pemerintah dalam meningkatkan Angka Partisipasi Kasar (APK) perguruan tinggi. Menurut data tahun 2023, APK untuk laki-laki hanya 29,12 persen dan untuk perempuan 33,87 persen, angka yang jauh dari target yang diharapkan.

Konsekuensinya, tambah Ledia, dengan biaya pendidikan yang sangat mahal  itu banyak calon mahasiswa yang terhambat untuk melanjutkan pendidikan. “Dengan mahalnya perguruan tinggi negeri ini, bagaimana mungkin kita bisa mencapai target APK yang lebih baik jika banyak anak-anak kita yang tidak mampu melanjutkan pendidikan karena biaya?” ujar Ledia kepada Parlementaria, di Kota Medan, Sumatera Utara, Senin (06/05/2024).

Diketahui, Angka Partisipasi Kasar (APK) Perguruan Tinggi (PT) adalah perbandingan antara jumlah penduduk yang masih bersekolah di jenjang pendidikan Perguruan Tinggi (PT) (tanpa memandang usia penduduk tersebut) dengan jumlah penduduk yang memenuhi syarat resmi penduduk usia sekolah di jenjang pendidikan Perguruan Tinggi (PT) (umur 19- 23 tahun).

Ledia pun mengkritik sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang berlaku di banyak perguruan tinggi, yang menurutnya masih memberatkan bagi sebagian besar calon mahasiswa. “Ada perguruan tinggi dengan sistem UKT yang sangat tinggi, dan ada pula yang menengah namun tetap mahal, belum lagi adanya uang pangkal yang harus dibayar di awal,” ujar politisi Alumni Master Psikologi Terapan dari Universitas Indonesia ini.

Ledia juga menyoroti perlunya sebuah sistem pendidikan tinggi yang lebih pro kepada masyarakat, terutama bagi warga negara Indonesia yang memiliki kemampuan akademis namun ada keterbatasan ekonomi. “Kita perlu membuat sistem yang lebih baik, yang lebih mendukung anak-anak kita untuk bisa kuliah tanpa dibebani biaya yang tidak mampu mereka tanggung,” ujar Politisi Fraksi PKS ini.

Lebih lanjut, Ledia menegaskan bahwa pendidikan tinggi harus diakses oleh semua lapisan masyarakat. “Kita membuat kampus itu mandiri, namun bukan berarti kita bisa mengabaikan warga negara Indonesia, terutama anak-anak muda kita yang sebenarnya punya kemampuan dalam akademisnya tapi tidak dalam ekonominya,” ujarnya.

Kebijakan saat ini, menurut Ledia, harus segera dibahas dan diperbaiki, dengan keterlibatan langsung dari kampus-kampus dan pemerintah untuk mencari solusi yang efektif. “Perlu ada diskusi serius antara pemerintah dengan perguruan tinggi untuk menata ulang sistem pendanaan pendidikan tinggi di negara kita,” tutur Ledia.

Dalam mencari solusi, Ledia juga menyarankan agar perguruan tinggi negeri bisa terhubung lebih baik dengan program beasiswa dan bantuan finansial lainnya yang bisa membantu meringankan beban mahasiswa. “Harus ada lebih banyak opsi beasiswa dan bantuan finansial yang dapat diakses oleh mahasiswa yang membutuhkan,” ucap Ledia.

Ledia berharap bahwa dengan perbaikan sistem yang lebih inklusif dan mendukung, Indonesia bisa mencapai tujuan menjadi negara dengan sumber daya manusia yang unggul pada 2045. “Ini semua tentang membangun fondasi yang kuat untuk pendidikan tinggi di Indonesia, memastikan semua anak berhak dan mampu mendapatkan pendidikan yang layak,” pungkasnya.

Baca Selengkapnya

BERITA

Geramnya Komisi II terhadap Biaya PBB yang Membengkak Akibat Sertifikat Tanah

Oleh

Fakta News
Geramnya Komisi II terhadap Biaya PBB yang Membengkak Akibat Sertifikat Tanah
Anggota Komisi II DPR RI Rosiyati MH Thamrin saat Kunjungan Kerja Reses Tim Komisi II ke Maros, Sulawesi Selatan, Senin (06/05/2024). Foto : DPR RI

Maros – Anggota Komisi II DPR RI Rosiyati MH Thamrin mengecam kebijakan terkait sertifikat tanah yang merugikan masyarakat. Dalam pernyataannya, ia menyampaikan keprihatinannya terhadap biaya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang melonjak drastis setelah penerbitan sertifikat tanah.

“Sangat disayangkan melihat betapa besarnya biaya PBB yang harus ditanggung masyarakat setelah memiliki sertifikat tanah. Hal ini menjadi hambatan besar bagi petani dan pengguna lahan lainnya untuk mendaftarkan tanah mereka,” ujar Rosiyati MH Thamrin saat Kunjungan Kerja Reses Tim Komisi II ke Maros, Sulawesi Selatan, Senin (06/05/2024).

Menurutnya, masyarakat enggan membuat sertifikat tanah karena adanya komponen biaya PBB yang meningkat secara signifikan setelah kepemilikan tanah tersebut bersertifikat. Hal ini berdampak negatif terutama bagi para petani dan pengguna lahan lainnya yang mayoritas hidup dengan penghasilan terbatas.

Rosiayati pun menyerukan pentingnya koordinasi antara pemerintah daerah dan Dinas Pajak untuk meninjau ulang kebijakan terkait tarif PBB. “Saya berharap agar Dinas Pajak dapat mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat yang terdampak dan menyesuaikan tarif PBB dengan lebih adil,” tambahnya.

Kemudian, Politisi Fraksi PDI-Perjuangan itu juga menegaskan bahwa pembenahan terhadap kebijakan tersebut penting dilakukan agar masyarakat merasa lebih terbantu dan terjamin hak-haknya atas tanah yang mereka miliki.

“Pemerintah harus fokus pada upaya mempermudah akses masyarakat terhadap kepemilikan tanah dengan biaya yang terjangkau, sehingga tidak menghambat pembangunan dan kesejahteraan masyarakat,” tutupnya.

Baca Selengkapnya

BERITA

PON XXI Sebentar Lagi, Pembangunan Venue Ternyata Belum Tuntas!

Oleh

Fakta News
PON XXI Sebentar Lagi, Pembangunan Venue Ternyata Belum Tuntas!
Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah saat mengikuti Kunjungan Kerja Reses Tim Komisi X DPR RI, di Kota Medan Sumatera Utara, Senin (06/05/2024). Foto: DPR RI

Medan – Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah mengungkapkan, kekhawatirannya terkait kesiapan pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI yang dijadwalkan pada September 2024 di Aceh dan Sumatera Utara. Ledia menyatakan bahwa meskipun pemerintah daerah telah berkomitmen dengan mengalokasikan dana besar, masih terdapat kekurangan yang perlu ditangani oleh pemerintah pusat.

“Pemerintah Provinsi Sumatera Utara telah mengeluarkan anggaran sekitar Rp2,1 triliun, dan belum lagi dari Pemerintah Kabupaten/Kota dari APBD untuk pembangunan venue dan lain-lain. Namun, ada beberapa hal penting yang masih harus di-cover oleh pemerintah pusat,” ujar Ledia, Medan, Sumatera Utara, Senin (6/5/2024).

Menurutnya, masih ada kebutuhan dana tambahan untuk menyelesaikan infrastruktur yang belum rampung. “Persoalnnya ada hal yang harus dicover oleh pemerintah pusat, apakah itu bisa selesai atau enggak. Kita belum tahu sampai sekarang pemerintah daerah juga enggak bisa apa-apa, itu sangat tergantung dari pusat,” ujarnya.

Ledia juga menyampaikan bahwa Komisi X DPR RI telah mengusulkan agar penundaan PON hingga awal tahun 2025 untuk memastikan semua persiapan bisa tuntas. “Beberapa dari kami sudah mengusulkan untuk ditunda sampai Januari atau Februari 2025 sehingga penyelenggaraannya bisa berjalan dengan baik dan tidak terburu-buru,” tegas Ledia.

Selain itu, Ledia menekankan bahwa ada kesamaan situasi dengan PON sebelumnya di Papua, yang juga harus diundur karena pandemi COVID-19. “Situasinya serupa dengan apa yang terjadi di Papua. Jika memang belum siap, jangan dipaksakan,” tegasnya.

Ledia juga berharap dengan waktu yang masih ada, bisa di optimalkan dengan baik. “Harapan nanti penyelenggarannya bisa berjalan dengan baik, karena ini baru pertama kali diselenggarakan di dua  provinsi, belum lagi setelah itu ada peparnas untuk disabilitas. Nah jadi memang harusnya lebih matang, kalau memang belum siap jangan dipaksakan,” ungkap Ledia.

Pemerintah Provinsi Sumatera Utara telah berkomitmen untuk juga menggunakan venue yang sudah ada dengan memperbaikinya. Namun, Ledia menyatakan, “Sekarang ini yang ditunggu adalah dukungan anggaran dari pemerintah pusat, bisa atau tidak,” ungkapnya.

Ditambah lagi, menurut Ledia, “Telah dianggarkan dari Kementerian Pemuda dan Olahraga sebanyak Rp300 miliar untuk biaya operasional seperti pembayaran wasit dan juri, namun untuk infrastruktur, kecepatan penyelesaian dari pemerintah pusat masih menjadi tanda tanya”.

Kekhawatiran terus mengemuka seiring dengan mendekatnya waktu pelaksanaan PON XXI, dengan banyak pihak berharap agar pemerintah pusat dapat segera mengambil tindakan untuk menyelesaikan persiapan yang masih tertunda.

Baca Selengkapnya