Budaya Urban dan Industrialisasi Keramik Plered
“Abdi ngiriman ieu cau raja, cau emas, cau batu, kopi amis, kopi pahit jeung cerutu ka luluhur urang supados meuleum tiasa sae kalayan lancar; mugi katampi ku Pangeran Panjunan. Nyuhunkeun berkah salamet kalayan lancar dina pangicalanana”.
Jujun (42) salah seorang keturunan perajin keramik di Desa Anjun-Plered menuturkan, doa tersebut selalu dirapalkan secara turun-temurun itu pada saat akan membakar keramik; biasanya dilakukan pada malam Selasa Kliwon atau malam Jum’at Kliwon. Sesajen atau dalam bahasa lokal (Sunda) disebut “rujakan” yang berisikan beberapa jenis buah-buahan seperti pisang raja, pisang batu, pisang mas serta kopi manis, kopi pahit dan cerutu, yang diyakini menjadi kegemaran roh karuhun pun disajikan dalam talam keramik dan diletakkan di depan pintu tungku pembakaran. Setelah do’a selesai dipanjatkan, api kemudian disulut yang menandakan pembakaran keramik dimulai. Namun, do’a dan sesajen tersebut kini jarang terdengar
Yadi (43) teman segenerasi Jujun, membenarkan apa yang dikatakan Jujun. Ditambahkannya, meskipun doa tersebut sudah sangat jarang dirapalkan dan ‘rujakan’ pun hanya sesekali disajikan, tapi para perajin keramik di Plered masih memegang teguh ‘pantangan karuhun’ untuk tidak bermain judi dan melakukan hubungan suami istri selama proses pembakaran keramik berlangsung. Cara dan teknik pembakaran keramik Plered pun masih mengikuti tata cara yang masih diajarkan dan diturunkan leluhur.
Dengan nada bangga Yadi mengatakan, kualitas keramiki Plered bisa diuji dengan keramik dari daerah lain di Indonesia. Waktu pembakaran keramik di Plered relatif lebih lama dari daerah lain. Sebagai perbandingan, di Jogjakarta waktu pembakaran keramik hanya dilakukan rata-rata 8 jam, sementara di Plered bisa mencapai 24 jam. Yadi yang merupakan cucu dari Ki Darma Kapal, salah satu tokoh pembuat keramik Plered disamping Ki Dasjan, Ki Sarkun, Ki Aspi, dan Ki Entas, mengatakan kakek dan teman segenerasi kakeknya sudah . membuat keramik kasar untuk kebutuhan alat rumah tangga seperti kendi dan tempayan. Bahkan sekitar Desa Anjun (Panjunan) pada Tahun 1935 tembikar/gerabah kemudian menjadi seperti industri rumah tangga di kawasan ini. Dalam catatan sejarah, pada tahun yang sama di daerah ini berdiri satu perusahaan Pemerintah Kolonial Belanda bernama Hendrik De Boa di Warungkandang- Plered yang memproduksi keramik.
Yang menarik dalam doa tersebut adalah disebutkannya nama Pangeran Panjunan. Pangeran Panjunan ini juga disebut baik di Babad Cirebon. Beliau hidup sejaman dengan Sunan Gunung Djati. Mengingat bahwa Pangeran Panjunan pernah hidup sejaman dengan Sunan Gunung Djati yaitu di sekitar abad ke-15. Hal ini memberikan indikasi bahwa tradisi pembuatan keramik di beberapa sentra di Jawa Barat, juga termasuk di kawasan Plered telah ada jauh sebelum kedatangan bangsa Belanda. Pangeran Panjunan yang bernama asli Maulana Abdurrahman, menyebarluaskan agama Islam ke berbagai daerah di Jawa Barat, sambil mengajarkan keahliannya membuat barang-barang keramik kepada para pengikutnya di daerah yang ia kunjungi.
Sementara itu, dalam catatan sejarah Pemerintah Kolonial Belanda industri keramik di kawasan Plered sudah ada sejak tahun 1795. Pada saat itu, disekitar Desa Citalang Purwakarta banyak berdiri Lio-Lio (tempat pembuatan genteng dan batu-bata, gentong, dan tempayan dan alat-alat kebutuhan rumah tangga); sejak itu banyak rumah-rumah penduduk yang semula beratap injuk, sirap, daun kelapa dan alang-alang berganti menjadi genteng. Namun sumber lain menyebutkan, sejarah Plered dan keramiknya dimulai sejak jaman Neolitikum; bukti-bukti sejarah dari penggalian adalah banyak ditemukan benda purbakala peralatan rumah tangga berupa belanga serta periuk dari tanah liat.
Pendil dan Kendi
Kearifan lokal berupa do’a karuhun, rujakan dan ‘pantangan karuhun’ dalam pembuatan keramik Plered barangkali cukup sukar dipahami. Di dunia akademis keramik bahkan hanya dipandang sebagai produk seni dan kriya; eksperimen dalam pembuatan bahan baku dan teknik pembakaran dilakukan tanpa mengenal batasan atau suatu pantangan. Namun tidak demikian dengan Jujun. Meskipun pekerjaaannya sebagai peneliti di UPT Litbang Keramik DISKOPINDAG Kabupaten Purwakarta menuntutnya untuk memandang logis dalam pembuatan keramik sebagai produk dari industri, dia tetap memperlakukan dan memandang keramik sebagai suatu yang sakral.
Telah cukup banyak eksperimen bahan dan teknik pembakaran yang dia lakukan –Produk yang terakhir dia buat adalah Keremik Brintik; Jujun bereksperimen dengan teknik pelapisan dan pembakaran sehingga didapat tekstur keramik yang menyerupai sisik atau kulit yang terkelupas–. Namun jiwanya tetap bergetar bila melihat keramik; ‘muringkak bulu punduk’ kata Jujun setiap kali memulai proses pembuatan keramik; mulai dari ide, meramu bahan, rekayasa bentuk, pengeringan/penjemuran hingga proses pembakaran.
Jujun pun meyakini bahwa keramik Plered pada dasarnya mengacu hanya pada dua bentuk saja: pendil dan kendi. Bentuk lainnya adalah turunan atau rekayasa dari dua bentuk dasar itu. Ibarat Kelahiran dan kematian, Pendil dan Kensi bagi masyarakat Desa Anjun melambangkan dua kejadian sakral tersebut. Pendil atau Dalung adalah bentuk keramik keramik yang melambangkan permulaan dari kehidupan di dunia atau kelahiran. Di dalam pendil ini biasanya ari-ari dari bayi yang baru lahir ditempatkan atau dimasukkan untuk kemudian dilarung ke sungai atau dikuburkan di halaman dekat rumah dan diberikan penerangan dari lampu cempor minyak tanah.
Kendi ini tentu bukan melambangkan kematian, melainkan ‘menghormatan’ bagi jasad atau arah dari makam yang dikunjungi. Kendi biasanya selalu menyertai pada saat ‘nyekar’ atau ziarah ke makam dan kendi tersebut sering diletakkan di sisi nisan di atas makam. Di dalam kendi tersebut diisikan air yang telah didoakan sebelumnya; hal ini tentu lebih kepada ritual budaya tradisional dari pada ritual keagaaman. Dalam adat teradisi budaya Sunda, termasuk di Plered-Purwakarta, kendi juga sering digunakan dalam acara adat seperti acara pernikahan, peringatan hari ulang tahun yang disebut dengan ‘nakol’ atau ‘injek’ atau minum dari air kendi.
Dalam hal ragam hias dan warna, keramik Plered khususnya kendi, pada dasarnya hanya memiliki atau ragam hias berupa padi dan kapas dan hampir tidak pernah berubah hingga kini. Padi melambangkan kebutuhan dasar manusia akan pangan sedangkan kapas melambangkan kebutuhan dasar manusia akan sandang. Warna keramik Plered pun hanya terdiri dari empat warna dasar saja yaitu warna merah, kuning, hitam dan putih. Keempat warna tersebut tentu tidak muncul secara kontras karena adanya pengaruh dari warna terakota tanah liat itu sendiri; warna putih bahkan mengalami ‘mutasi’ menjadi oranye atau jingga karena adanya perpaduan dengan warna terakota dari dasar keramik.
Budaya Urban dan Industrialisasi
Pada jaman penjajahan Pemerintah Jepang, kerajinan dan industri rumahan keramik di Plered mengalami kemunduran. Para perajin dan penduduk di daerah ini hampir seluruhnya bekerja sebagai romusha, terutama mereka yang berada di sekitar Ciganea dan Gunung Cupu. Pabrik Keramik De Boa milik Pemerintah Kolonial Belanda pun dikuasai dan berganti nama menjadi Toki Kojo. Pada masa itu produksi keramik di daerah ini nyaris terhenti; selain sebagai pekerja romusha, banyak perajin tembikar/gerabah ikut maju ke medan peperangan bersama pasukan rakyat di barisan Banteng di Hisbullah menyerbu ke Front Padalarang, Tagog Apu atau Front Warung Jeruk.
Pasca proklamasi setelah keadaan berangsur membaik, produksi keramik Plered perlahan mulai menggeliat. Tahun 1950 bisa dikatakan tahun kebangkitan kerajinan dan industri rumahan keramik di kawasan ini; ketika Bung Hatta Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia membuka resmi induk keramik yang gedungnya dekat Gonggo-Plered. Pada masa itu dari Jakarta mulai didatangkan mesin-mesin untuk menghaluskan tanah liat dari Jerman dan konon pada masa itu merupakan masa kejayaan keramik Plered karena produksinya yang relatif tinggi.
Bagaimana dengan produsi keramik saat ini? Berdasarkan data dari UPTD Litbang Keramik DISKOPINDAG Purwakarta, pada Tahun 2009/2012 di Sentra Industi Kecil Keramik Plered terdapat 286 Unit usaha UMKM dengan jumlah pekerja sekitar 3.000-an orang. Menurut Jujun dan Yadi, para pengusaha kecil keramik di Plered ini saat ini sedang mengalami krisis atau kekurangan tukang ‘putar’; perajin keramik yang memiliki keahlian menggunakan alat putar tangan (hand wheel) atau alat putar kaki (kick wheel). Saat ini usia perajin yang cakap dibidang ketrampilan ini rata-rata sudah berusia hampir diatas usia produktif; mereka rata-rata bersusia di atas 60 tahun. Hanya beberapa orang saja yang dibawah usia 40-an tahun.
Neni (45) misalnya, ibu yang memiliki 5 (lima) orang cucu dari 5 (lima) orang anaknya, mengatakan tidak satu pun dari keturunannya memiliki ketrampilan ‘memutar’ keramik seperti dia dan tidak satu pun diantara mereka yang ingin atau berminat meneruskan usahanya. “Anak-anak sekarang lebih menyukai kerja sebagai buruh pabrik sekitar Purwakarta atau bekerja di bidang lain daripada meneruskan usaha membuat keramik”, katanya pada suatu siang sambil memutar kendi keramiknya. Neni dan suaminya barangkali adalah pemegang tongkat estafet terakhir usaha keramik keluarganya yang turun temurun.
Lain lagi dengan Shinta (27), yang juga warga Desa Anjun dan secara turun temurun keluarganya memiliki usaha keramik. Shinta sangat trampil ‘memutar keramik’, tapi bagi Shinta memutar keramik bukanlah pekerjaan utama. Shinta hanya membuat dan memutar keramik bila ada pesanan yang cukup besar. Sehari-harinya, Shinta banyak membantu UPTD Litbang Keramik bila ada pelatihan membuat keramik atau mendemontrasikan cara membuat menggunakan alat putar tangan (hand wheel) atau alat putar kaki (kick wheel) bila ada kunjungan anak-anak seklolah ke litbang tersebut. Shinta telah belajar membuat keramik sejak usia 9 tahun atau kelas 3 (tiga) sekolah dasar.
Di desa Anjun, setiap anak di Desa Anjun hampir rata-rata mempunyai kemampuan dan trampil membuat keramik, kata Shinta. Barangkali karena pekerjaan ini sudah dilakukan turun temurun, tambahnya. Namun diakuinya, setelah dewasa banyak diantara anak-anak di desanya memilih bekerja di bidang lain seperti menjadi buruh pabrik atau bekerja di kota lainnya. Hanya sebagian kecil yang melanjutkan usaha keluarga dalam membuatkeramik. Anak muda Plered yang sekolah di perguruan tinggi dan telah menjadi sarjana banyak yang enggan menjadi pengrajin keramik. Membuat keramik saat ini bukanlah pekerjaan menjajikan dan tidak cukup bergengsi karena ‘berlepotan’ dengan tanah dan lumpur. Dengan bercanda Shinta mengatakan, membuat keramik menjadikan anak-anak sekarang sulit memegang HP (handphone) dan takut tangannya atau HP-nya kotor.
Masih menurut Shinta, yang juga dibenarkan Jujun, para perajin dewasa yang cakap dan trampil pun kini banyak bekerja di luar Plered dan Purwakarta. Mereka bekerja di bidang yang sama, direkrut oleh pengusaha keramik di tempat lain. Biasanya, bila usaha keluarganya mendapat pesanan besar atau order yang cukup besar untuk eksport atau permintaan dalam negeri, baru mereka pulang sebentar ke desannya membantu usaha keluarga memenuhi order atau pesanan tersebut. Setelah itu, kembali lagi bekerja di tempat lain. Hal seperti ini adalah keadaan yang lumrah terjadi di Desa Anjun- Plered, kata Shinta.
Krisis tenaga cakap dan trampil di dalam membuat keramik di Plered memang tidak bisa dihindari. Banyak faktor yang menjadi penyebabnya. Salah satunya, seperti yang dituturkan Yadi, karena adanya disparitas harga yang sangat mencolok antara perajin dengan penjual keramik di kota sangat tinggai. Sebuah kendi, misalnya. Dari tangan Yadi dan Neni, sebuah kendi hanya dihargai Rp. 3.000,. sementara bila sampai ke kota, penjual keramik bisa menjualnya hingga di atas Rp. 20.000 rupiah. Harga yang relatif sangat murah dari para perajin ini membuat banyak perajin sukar bertahan untuk tetap berproduksi sehingga mulai berpikir mencari pekerjaan lain atau menjadi buruh pekerja keramik di industri-industi keramik atau di daerah lain yang membutuhkan keahliannya.
Kalaupun ada permintaan eksport, Yadi menambahkan, harga yang ditetapkan eksportir sebenarnya tidak terlalu menggiurkan atau memberikan keuntungan besar. Yang cukup bernilai atau memberikan keuntungan yang relatif besar, justru penjualan dari pasar lokal atau domestik seperti dari pengusaha hotel atau interior design yang memerlukan keramik. Jadi barangkali pasar domestik inilah harus dikembangkan maksimal, Yadi menyarankan.
Tidak ada data pasti berapa sebenarnya jumlah generasi produktif yang memilih profesi lain selain sebagai perajin keramik di Desa Anjun dan desa-desa lainnya di Plered Purwakarta yang merupakan desa sentra keramik. Juga tidak ada survey yang dapat menjelaskan seberapa besar sebenarnya minat generasi muda Plered untuk meneruskan usaha keluarga yang turun temurun ini. Fenomena yang terlihat, nampaknya para gernerasi muda atau generasi produktif di Plered cenderung memilih bekerja di pabrik-pabrik yang ada di sekitar Purwakarta, Karawangn dan Bekasi atau daerah lainnya. Apa yang dialami Neni serta yang diceritakan Shinta, Jujun dan Yedi secara kualitatif mungkin dapat menggambarkan fenomena tersebut. Budaya urban generasi mudanya dan industrialisasi yang terjadi di kawasan ini secara perlahan merenggut para perajin keramik dan generasi muda plered dari budaya kerajinan keramiknya.
Pertanyaan yang barangkali patut untuk dikemukakan adalah apakah mungkin Desa Anjun dan desa-desa lainnya penghasil keramik di Plered ini bisa bertahan sebagai desa perajin keramik? Satu hal yang harus diperhatikan adalah meskipun menurut kepercayaan masyarakat Anjun Plered tanah liat di kawasan ini tidak akan pernah habis walupun telah diambil terus menerus, seperti dikisahkan bahwa tanah liat Plered adalah jelmaan dari nasi-nya Dayang Sumbi, tapi alih fungsi lahan menjadi lokasi perumahan, industri atau yang lainnya dapat membatasi masyarakat perajin mengambil tanah liat Dari dalam aseupan Dayang Sumbi yang telah berubah menjadi gunung itu barangkali memang akan terus keluar nasi yang berubah menjadi tanah liat, tapi bisa jadi suatu saat masyarakat tidak dapat lagi mengambil tanah liat itu karena aseupannya telah ada yang memiliki.
Desa Anjun saat tidak jauh berbeda dengan kawasan permukiman padat di perkotaan. Desa yang merupakan kawasan perkampungan organik dengan jalan-jalan sempit yang berbelok-belok memiliki arsitekur bangunan pun sama dan serupa dengan arsitektur bangunan di kawasan permukiman perkotaan di Jawa Barat lainnya. Yang membedakannya adalah hampir di setiap rumah ada aktifitas membuat keramik dan di beberapa lokasi terdapat tungku-tungku pembakaran keramik secara turun temurun dengan halaman yang tidak begitu luas, tapi cukup untuk menjemur keramik sebelum dibakar.
Namun, di Jalan Arteri Plered, outlet keramik rakyat yang tadinya berderet-deret, 10 tahun terakhir telah banyak berubah. Kini outlet keramik itu telah banyak yang berganti rupa menjadi bengkel, toko bangunan atau rumah makan. Do’a dalam budaya untuk menghormati karuhun saat keramik mulai dibakar nampaknya harus dipanjatkan dan ‘rujakan’ kembali disajikan agar kawasan keramik Plered ramai dikunjungi wisatawan untuk membelinya.
*Lian Lubis, Urban Designer.
BERITA
Komisi III Minta Komnas HAM Tingkatkan Peran, Selesaikan Pelanggaran HAM Berat
Jakarta – Wakil Ketua Komisi III DPR RI Pangeran Khairul Saleh memimpin rapat kerja dengan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Dalam rapat ini Komisi III meminta Komnas HAM untuk meningkatkan peran dan mengoptimalkan pelaksanaan tugas dan fungsi dalam mendukung penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM, termasuk pelanggaran HAM berat.
“Baik itu penyelesaian yudisial maupun non-yudisial, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,” ujarnya di ruang rapat Komisi III, Nusantara II, Senayan, Jakarta, Rabu (30/5/2024).
Lebih lanjut Komisi III DPR meminta Komnas HAM untuk segera menyelesaikan peraturan terkait Penilaian Tindak Lanjut Kepatuhan Rekomendasi, agar dapat menjadi informasi dan tolak ukur dalam tindak lanjut rekomendasi yang telah diberikan.
Bahkan Komisi III meminta Komnas HAM dan Komnas Perempuan untuk lebih proaktif dan sinergis dalam mengidentifikasi potensi permasalahan, melakukan penanganan, maupun pendampingan terhadap seluruh pihak, dalam penerapan dan penegakan prinsip-prinsip HAM, termasuk perlindungan terhadap perempuan di seluruh sektor dan kegiatan.
Sementara itu di lain pihak, Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro menyampaikan bahwa pihaknya saat ini tengah menyusun rancangan Peraturan Komnas HAM terkait Penilaian Tindak Lanjut Kepatuhan Rekomendasi Komnas HAM. “Sebagai salah satu upaya pemasangan untuk meningkatkan efektivitas dari rekomendasi yang diberikan oleh Komnas HAM,” papar Atnike saat rapat.
Menurutnya rekomendasi yang diberikan oleh Komnas HAM dari hasil pemantauan, mediasi, maupun kajian tidak selalu ditindaklanjuti oleh stakeholders maupun kementerian/lembaga karena dianggap tidak mengikat. “Sejumlah kasus juga menunjukkan fungsi mediasi Komnas HAM masih belum dipahami sebagai sebuah solusi strategis,” ucap Atnike.
BERITA
Anggaran Pendidikan Kemenag Dinilai Masih Kecil
Jakarta – Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ace Hasan Syadzily menilai besaran anggaran pendidikan yang diterima Kemenag (Kementerian Agama) untuk mendanai seluruh lembaga pendidikan Islam dan keagamaan masih timpang dibanding kementerian lain.
“Soal anggaran pendidikan di bawah Kementerian Agama harus betul-betulan keadilan anggaran. Kalau kita dengar pidato Menteri Keuangan (Sri Mulyani) dalam rapat paripurna, ya anggaran pendidikan Rp630 triliun, tapi kalau Kemenag hanya dapat Rp35 triliun, buat saya mengkhawatirkan,” kata Kang Ace, sapaannya, dalam keterangan persnya, Rabu (29/5/2024).
Politisi Partai Golkar itu menyatakan, selain Sekretariat Jenderal (Sekjen) Kemenag, anggaran terbesar juga diberikan kepada Direktorat Jenderal (Ditjen) Pendidikan Islam (Pendis) Kemenag sebesar Rp35 triliun.
Ada satu hal yang sangat penting untuk didiskusikan bersama adalah soal berbagai hal terkait anggaran pendidikan nasional. Dari penjelasan Plt Dirjen Pendis, berapa persen KIP Kuliah untuk Perguruan Tinggi Agama Islam (PTKAI) dan perguruan tinggi agama lain.
“Apakah PIP, KIP, apakah sudah mencerminkan suatu keadilan anggaran? Rehab ruang kelas juga belum mencerminkan keseluruhan,” ujar dia.
Kang Ace melihat dari total anggaran pendidikan Rp630 triliun di APBN, Kemenag hanya mendapatkan Rp35 triliun, artinya belum mencerminkan suatu kesetaraan anggaran.
“Padahal anak-anak madrasah, yang kuliah di UIN, STAIN, STAI atau di manapun, mereka juga anak-anak bangsa yang sama untuk mendapatkan perlakuan sama dalam akses pendidikan,” tutur Kang Ace.
Ace mengatakan, keputusan tepat telah diambil Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas yang menunda status Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH) bagi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. “Itu keputusan yang tepat. Kalau tidak, meresnya sama mahasiswa. Berat,” ucap dia.
Jujur saja, ujar Ace, hampir sebagian besar siswa dan mahasiswa yang sekolah di bawah Kemenag berlatar belakang sosial ekonomi kelas menengah bawah. Namun penyaluran program KIP dan PIP untuk mereka juga sedikit.
“Itu anehnya. Jadi ada yang salah dari proses pendataan penyaluran program negara untuk kelompok-kelompok yang membutuhkan itu,” ujar Kang Ace.
BERITA
Imbas Kebakaran Smelter Nikel PT KFI, Komisi VII akan Audit Investigasi
Kutai Kartanegara – Anggota Komisi VII DPR RI Nasyirul Falah Amru mengatakan, pihaknya akan segera melakukan audit investigasi terhadap pabrik smelter nikel PT Kalimantan Ferro Industri. Hal tersebut imbas dari peristiwa dua kali ledakan di pabrik smelter PT KFI yang menewaskan pekerja asing dan lokal belum lama ini.
“Kami akan panggil PT KFI beserta seluruh jajaran direksinya, untuk datang ke Gedung Senayan dan kami akan melakukan audit investigasi. Secara mekanisme, bisa dengan membuat panja nikel atau kita panggil secara khusus di Rapat Dengar Pendapat (RDP). Kami juga tentunya akan melibatkan Kementerian Perindustrian dan Kementerian KLHK dari sisi amdalnya, supaya benar-benar kita melihat secara komprehensif sebab terjadinya ledakan,” ujarnya saat memimpin Tim Kunspek Komisi VII DPR mengunjungi PT KFI di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Rabu (29/5/2024).
Menurut Politisi F-PDI Perjuangan ini, pihaknya menilai, hasil dari temuan dilapangan seperti sarana untuk keselamatan kerja dan sebagainya juga masih jauh dari kurang. Walaupun mereka sudah mendatangkan tim dari Kementerian Industri untuk mekanisme aturan pedomannya, tetapi pihaknya menemukan fakta di lapangan masih belum sesuai dengan harapan.
“Saya berpesan agar tidak terulang terjadi kebakaran atau ledakan, yang paling penting ini adalah mesin yang ada di setiap semelter itu perlu dicek selalu setiap periodik. Kemudian, kalibrasi mesin itu juga penting karena dengan begitu kita akan tahu ukuran mesin ini sesuai dengan kapasitasnya dia berproduksi atau tidak. Sehingga, Insya Allah dengan adanya perawatan yang berkala dan pengawasan yang kita lakukan ini Insya Allah tidak akan terjadi kembali,” jelas Nasyirul.
Selain itu, kami juga tidak menemukan alat pemadam kebakaran sepanjang jalan menuju lokasi meledaknya smelter. Kemudian, rambu-rambu yang ada juga masih sangat terbatas sekali, sehinhha dianggap tidak layak untu perusahaan smelter. “Jadi ini harus segera diperbaiki,” imbuhnya.
“Kita menemukan sesuatu yang di luar dugaan, ketika PT KFI lagi dibangun ada proses namanya commissioning atau uji coba tetapi sudah menimbulkan kejadian terjadinya ledakan. Padahal masih tahap uji coba, tetapi dua tenaga kerja asing dan dua pekerja lokal turut menjadi korban akibat ledakan di smelter nikel tersebut,” ucapnya lagi.