Connect with us

Budaya Urban dan Industrialisasi Keramik Plered

“Abdi ngiriman ieu cau raja, cau emas, cau batu, kopi amis, kopi pahit jeung cerutu ka luluhur urang supados meuleum tiasa sae kalayan lancar; mugi katampi ku Pangeran Panjunan. Nyuhunkeun berkah salamet kalayan lancar dina pangicalanana”.

 

Jujun (42) salah seorang keturunan perajin keramik di Desa Anjun-Plered  menuturkan,  doa tersebut selalu dirapalkan secara turun-temurun itu pada saat akan membakar keramik; biasanya dilakukan pada malam Selasa Kliwon atau malam Jum’at Kliwon.  Sesajen atau dalam bahasa lokal (Sunda) disebut “rujakan”  yang berisikan beberapa jenis buah-buahan seperti   pisang raja, pisang batu, pisang mas serta  kopi manis, kopi pahit dan cerutu,  yang diyakini menjadi kegemaran roh karuhun   pun disajikan dalam talam keramik dan diletakkan  di depan pintu tungku pembakaran. Setelah do’a  selesai dipanjatkan,  api kemudian disulut yang menandakan pembakaran keramik dimulai.  Namun, do’a dan sesajen  tersebut kini jarang terdengar

Yadi (43) teman segenerasi Jujun, membenarkan apa yang dikatakan Jujun. Ditambahkannya, meskipun doa tersebut sudah sangat jarang dirapalkan dan ‘rujakan’  pun hanya sesekali  disajikan,  tapi para perajin keramik di Plered masih memegang teguh  ‘pantangan karuhun’  untuk tidak bermain judi dan melakukan hubungan suami istri selama proses pembakaran keramik berlangsung. Cara dan teknik pembakaran keramik Plered pun masih mengikuti tata cara  yang masih diajarkan dan diturunkan leluhur.

Dengan nada bangga Yadi mengatakan, kualitas keramiki Plered bisa diuji dengan keramik dari daerah lain di Indonesia.  Waktu pembakaran keramik di Plered relatif lebih lama dari daerah lain. Sebagai perbandingan, di Jogjakarta waktu pembakaran keramik hanya dilakukan rata-rata 8 jam, sementara di Plered  bisa mencapai 24 jam. Yadi yang merupakan cucu dari Ki Darma Kapal,  salah satu  tokoh pembuat keramik  Plered disamping  Ki Dasjan, Ki Sarkun, Ki Aspi, dan Ki Entas, mengatakan kakek dan teman segenerasi kakeknya sudah . membuat keramik kasar untuk kebutuhan alat rumah tangga seperti kendi dan tempayan. Bahkan sekitar Desa Anjun (Panjunan)  pada Tahun 1935 tembikar/gerabah kemudian menjadi seperti industri rumah tangga di kawasan ini. Dalam catatan sejarah,  pada tahun yang sama di daerah ini  berdiri satu perusahaan Pemerintah Kolonial Belanda bernama Hendrik De Boa di Warungkandang- Plered yang memproduksi keramik.

DSC02699

Keramik Plered Purwakarta Hari Kartana, Koperasi Ovop Keramik Plered

Yang menarik dalam doa tersebut adalah disebutkannya nama Pangeran Panjunan. Pangeran Panjunan ini  juga disebut baik di Babad Cirebon. Beliau hidup sejaman dengan Sunan Gunung Djati.  Mengingat bahwa Pangeran Panjunan pernah hidup sejaman dengan Sunan Gunung Djati yaitu di sekitar abad ke-15. Hal ini  memberikan  indikasi bahwa tradisi pembuatan keramik di beberapa sentra di Jawa Barat, juga termasuk di kawasan Plered telah ada jauh sebelum kedatangan bangsa Belanda.  Pangeran Panjunan yang bernama asli Maulana Abdurrahman, menyebarluaskan agama Islam ke berbagai daerah di Jawa Barat, sambil mengajarkan keahliannya membuat barang-barang keramik kepada para pengikutnya di daerah yang ia kunjungi.

Sementara itu, dalam catatan sejarah Pemerintah Kolonial Belanda   industri keramik di kawasan Plered sudah ada sejak tahun 1795.  Pada saat itu, disekitar Desa Citalang Purwakarta banyak berdiri Lio-Lio (tempat pembuatan genteng dan batu-bata, gentong, dan tempayan dan alat-alat kebutuhan rumah tangga); sejak itu banyak rumah-rumah penduduk yang semula beratap injuk, sirap, daun kelapa dan alang-alang berganti  menjadi genteng. Namun sumber lain menyebutkan, sejarah Plered dan keramiknya  dimulai  sejak jaman Neolitikum; bukti-bukti sejarah dari penggalian adalah banyak ditemukan benda purbakala peralatan rumah tangga berupa  belanga serta periuk dari tanah liat.

Pendil dan Kendi

Kearifan lokal berupa do’a karuhun, rujakan dan ‘pantangan karuhun’  dalam pembuatan keramik Plered barangkali cukup sukar dipahami. Di dunia akademis keramik bahkan hanya dipandang sebagai produk seni dan kriya; eksperimen dalam pembuatan bahan baku dan teknik  pembakaran dilakukan tanpa mengenal batasan atau suatu pantangan. Namun tidak demikian dengan Jujun. Meskipun pekerjaaannya sebagai peneliti di UPT Litbang Keramik DISKOPINDAG Kabupaten Purwakarta menuntutnya untuk memandang logis dalam pembuatan keramik sebagai produk dari industri,  dia tetap memperlakukan dan memandang keramik sebagai suatu yang sakral.

Telah cukup banyak eksperimen bahan dan teknik pembakaran yang dia lakukan –Produk yang terakhir dia buat adalah Keremik Brintik; Jujun bereksperimen dengan teknik pelapisan dan pembakaran sehingga didapat tekstur keramik yang menyerupai sisik atau kulit yang terkelupas–.  Namun jiwanya tetap bergetar  bila melihat keramik; ‘muringkak  bulu punduk’ kata Jujun  setiap kali memulai  proses pembuatan keramik;  mulai dari ide, meramu bahan, rekayasa bentuk,  pengeringan/penjemuran  hingga proses pembakaran.

8530377231_f68483315e_b

Pengrajin keramik Plered – Foto: Cak Adi

Jujun pun  meyakini bahwa keramik Plered  pada dasarnya mengacu hanya pada dua bentuk saja: pendil dan kendi. Bentuk lainnya adalah turunan atau rekayasa dari dua bentuk dasar itu. Ibarat Kelahiran dan kematian, Pendil dan Kensi bagi masyarakat Desa Anjun melambangkan dua kejadian sakral tersebut. Pendil atau Dalung adalah bentuk keramik keramik yang melambangkan permulaan dari kehidupan di dunia atau kelahiran. Di dalam pendil ini biasanya ari-ari dari bayi yang baru lahir ditempatkan atau dimasukkan untuk kemudian dilarung ke sungai atau dikuburkan di halaman dekat rumah dan diberikan penerangan dari lampu cempor minyak tanah.

Kendi ini tentu bukan melambangkan kematian, melainkan ‘menghormatan’ bagi jasad atau arah dari makam yang dikunjungi. Kendi biasanya selalu menyertai pada saat ‘nyekar’ atau ziarah ke makam dan kendi tersebut sering diletakkan di sisi nisan di atas makam. Di dalam kendi tersebut  diisikan air yang telah didoakan sebelumnya; hal ini tentu lebih kepada ritual budaya tradisional  dari pada ritual keagaaman. Dalam adat teradisi  budaya Sunda, termasuk di Plered-Purwakarta,  kendi juga sering digunakan dalam acara adat seperti  acara pernikahan, peringatan hari ulang tahun yang disebut dengan ‘nakol’ atau ‘injek’  atau minum dari air kendi.

Dalam hal ragam hias dan warna,  keramik Plered khususnya kendi,  pada dasarnya hanya memiliki  atau ragam hias berupa padi dan kapas dan hampir tidak pernah berubah hingga kini. Padi melambangkan kebutuhan dasar manusia akan pangan sedangkan kapas melambangkan kebutuhan dasar manusia akan sandang. Warna keramik Plered pun  hanya terdiri dari empat warna dasar saja yaitu warna  merah, kuning, hitam dan  putih. Keempat warna tersebut tentu tidak muncul secara kontras karena adanya pengaruh dari warna terakota tanah liat itu sendiri; warna putih bahkan mengalami ‘mutasi’ menjadi oranye atau jingga karena adanya perpaduan dengan warna terakota dari dasar keramik.

Budaya Urban dan Industrialisasi

Pada jaman penjajahan Pemerintah Jepang, kerajinan dan industri rumahan keramik di Plered mengalami kemunduran. Para perajin dan penduduk di daerah ini hampir seluruhnya bekerja sebagai romusha, terutama mereka yang berada di sekitar Ciganea dan Gunung Cupu. Pabrik Keramik De Boa milik Pemerintah Kolonial Belanda pun dikuasai dan berganti nama menjadi Toki Kojo.  Pada masa itu  produksi keramik di daerah ini nyaris terhenti; selain sebagai pekerja romusha, banyak perajin tembikar/gerabah ikut maju ke medan peperangan bersama pasukan rakyat di barisan Banteng di Hisbullah menyerbu ke Front Padalarang, Tagog Apu atau Front Warung Jeruk.

Pasca proklamasi setelah keadaan berangsur membaik, produksi keramik Plered perlahan mulai menggeliat. Tahun 1950 bisa dikatakan tahun kebangkitan kerajinan dan industri rumahan keramik di kawasan ini; ketika Bung Hatta Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia membuka resmi induk keramik yang gedungnya dekat Gonggo-Plered. Pada masa itu dari Jakarta mulai didatangkan mesin-mesin untuk menghaluskan tanah liat dari Jerman dan  konon pada masa itu merupakan masa kejayaan keramik Plered karena produksinya  yang relatif tinggi.

Bagaimana dengan produsi keramik saat ini?  Berdasarkan data dari UPTD Litbang Keramik DISKOPINDAG Purwakarta, pada  Tahun 2009/2012 di  Sentra Industi Kecil Keramik Plered terdapat  286 Unit usaha UMKM  dengan jumlah pekerja sekitar 3.000-an orang.  Menurut Jujun dan Yadi, para pengusaha kecil keramik di Plered ini saat ini sedang mengalami krisis atau kekurangan tukang ‘putar’; perajin keramik yang memiliki keahlian menggunakan   alat putar tangan (hand wheel)  atau alat putar kaki (kick wheel).  Saat ini usia perajin yang cakap dibidang ketrampilan ini rata-rata sudah berusia hampir diatas usia produktif; mereka rata-rata bersusia di atas 60 tahun. Hanya beberapa orang saja yang dibawah usia 40-an tahun.

Neni (45) misalnya, ibu yang memiliki  5 (lima) orang cucu  dari 5 (lima)  orang anaknya,  mengatakan tidak satu pun dari keturunannya memiliki ketrampilan ‘memutar’ keramik seperti dia dan tidak satu pun diantara mereka yang ingin atau berminat meneruskan usahanya. “Anak-anak  sekarang  lebih menyukai kerja sebagai buruh pabrik sekitar Purwakarta atau bekerja di bidang lain daripada meneruskan usaha membuat keramik”, katanya pada suatu siang sambil memutar kendi keramiknya.   Neni dan suaminya barangkali adalah pemegang tongkat estafet terakhir usaha keramik keluarganya yang turun temurun.

Lain lagi dengan Shinta (27), yang juga warga Desa Anjun dan secara turun temurun keluarganya memiliki usaha keramik. Shinta sangat trampil ‘memutar keramik’, tapi bagi Shinta memutar keramik  bukanlah pekerjaan utama.  Shinta hanya membuat dan memutar keramik bila ada pesanan yang cukup besar. Sehari-harinya,  Shinta banyak membantu UPTD Litbang Keramik bila ada  pelatihan membuat keramik atau mendemontrasikan cara membuat menggunakan alat putar tangan (hand wheel)  atau alat putar kaki (kick wheel) bila ada kunjungan anak-anak seklolah ke litbang tersebut.  Shinta telah belajar membuat keramik sejak usia 9 tahun atau kelas 3 (tiga) sekolah dasar.

Di desa Anjun, setiap anak di Desa Anjun hampir rata-rata mempunyai kemampuan dan trampil membuat keramik, kata Shinta.  Barangkali karena pekerjaan ini sudah dilakukan turun temurun, tambahnya.  Namun diakuinya, setelah dewasa banyak diantara anak-anak di desanya memilih bekerja di bidang lain seperti menjadi buruh pabrik atau bekerja di kota lainnya. Hanya sebagian kecil yang melanjutkan usaha keluarga dalam membuatkeramik. Anak muda Plered yang sekolah di perguruan tinggi dan telah menjadi sarjana  banyak yang enggan menjadi pengrajin keramik. Membuat keramik saat ini bukanlah pekerjaan menjajikan dan tidak cukup bergengsi karena ‘berlepotan’ dengan tanah dan lumpur. Dengan bercanda Shinta mengatakan, membuat keramik menjadikan anak-anak sekarang sulit memegang HP (handphone) dan takut tangannya atau HP-nya kotor.

Masih menurut Shinta, yang juga dibenarkan Jujun,  para perajin dewasa yang cakap dan trampil pun kini banyak bekerja di luar Plered dan Purwakarta. Mereka bekerja di bidang yang sama, direkrut oleh pengusaha keramik di tempat lain. Biasanya, bila usaha keluarganya mendapat pesanan besar atau order yang cukup besar untuk eksport atau permintaan dalam negeri,  baru mereka pulang sebentar ke desannya membantu usaha keluarga memenuhi order atau pesanan tersebut. Setelah itu,  kembali lagi bekerja di tempat lain. Hal seperti  ini adalah keadaan yang lumrah terjadi di Desa Anjun- Plered, kata Shinta.

Krisis tenaga cakap dan trampil di dalam membuat keramik di Plered memang tidak bisa dihindari. Banyak faktor yang menjadi penyebabnya. Salah satunya, seperti yang dituturkan Yadi, karena adanya  disparitas harga yang sangat mencolok antara perajin dengan penjual keramik di kota sangat tinggai. Sebuah kendi, misalnya. Dari tangan Yadi dan Neni, sebuah kendi hanya dihargai  Rp. 3.000,. sementara bila sampai ke kota, penjual keramik bisa menjualnya  hingga di atas Rp. 20.000 rupiah. Harga yang relatif sangat murah dari para perajin ini  membuat  banyak perajin sukar bertahan untuk  tetap berproduksi sehingga mulai berpikir mencari pekerjaan  lain atau menjadi buruh pekerja keramik di industri-industi keramik atau di daerah lain yang membutuhkan keahliannya.

Kalaupun ada permintaan eksport, Yadi menambahkan, harga yang ditetapkan eksportir sebenarnya tidak terlalu menggiurkan atau memberikan  keuntungan besar. Yang cukup bernilai atau memberikan keuntungan yang relatif besar, justru penjualan dari pasar lokal atau domestik seperti dari pengusaha hotel atau interior design yang memerlukan keramik. Jadi barangkali pasar domestik inilah harus dikembangkan maksimal, Yadi menyarankan.

Tidak ada data pasti berapa sebenarnya jumlah generasi produktif yang memilih profesi lain selain sebagai perajin keramik di Desa Anjun dan desa-desa lainnya di Plered Purwakarta yang merupakan desa sentra keramik. Juga tidak ada survey yang dapat menjelaskan seberapa besar sebenarnya minat generasi muda  Plered untuk meneruskan usaha keluarga yang turun temurun ini. Fenomena yang terlihat, nampaknya para gernerasi muda atau generasi produktif di Plered cenderung memilih bekerja di pabrik-pabrik yang ada di sekitar Purwakarta, Karawangn dan Bekasi atau daerah lainnya.  Apa yang dialami Neni serta yang diceritakan Shinta, Jujun dan Yedi secara kualitatif mungkin dapat menggambarkan fenomena tersebut. Budaya urban generasi mudanya dan industrialisasi yang terjadi di kawasan ini secara perlahan merenggut para perajin keramik dan generasi muda plered dari budaya kerajinan keramiknya.

20140614_105034_keramik-terakota-dari-plered

Keramik terakota dari Plered – foto: tribunnews

Pertanyaan yang barangkali patut untuk dikemukakan adalah apakah mungkin Desa Anjun dan desa-desa lainnya penghasil keramik di Plered ini bisa bertahan sebagai desa perajin keramik?  Satu hal yang harus diperhatikan adalah meskipun menurut kepercayaan masyarakat  Anjun  Plered tanah liat di kawasan ini  tidak akan pernah habis walupun telah diambil terus menerus,  seperti dikisahkan  bahwa tanah liat Plered adalah jelmaan dari nasi-nya Dayang Sumbi, tapi alih fungsi lahan menjadi lokasi perumahan,  industri atau yang lainnya dapat membatasi masyarakat perajin  mengambil tanah liat Dari dalam aseupan Dayang Sumbi yang telah berubah menjadi gunung itu barangkali memang akan terus keluar nasi yang berubah menjadi tanah liat,  tapi bisa jadi suatu saat masyarakat tidak dapat lagi mengambil tanah liat itu karena aseupannya telah ada yang memiliki.

Desa Anjun saat tidak jauh berbeda dengan kawasan permukiman padat di perkotaan. Desa yang merupakan kawasan perkampungan organik dengan jalan-jalan sempit yang berbelok-belok memiliki  arsitekur bangunan pun sama dan serupa dengan arsitektur bangunan di kawasan permukiman perkotaan di Jawa Barat lainnya. Yang membedakannya adalah hampir di setiap rumah ada aktifitas membuat keramik  dan di beberapa lokasi terdapat tungku-tungku pembakaran keramik secara turun temurun dengan halaman yang tidak begitu luas, tapi cukup untuk menjemur keramik sebelum dibakar.

Namun, di Jalan Arteri Plered, outlet keramik rakyat  yang tadinya berderet-deret, 10 tahun terakhir telah banyak berubah. Kini outlet keramik  itu telah banyak yang berganti rupa menjadi bengkel, toko bangunan atau rumah makan.  Do’a dalam budaya untuk menghormati karuhun saat keramik mulai dibakar nampaknya harus  dipanjatkan  dan  ‘rujakan’ kembali  disajikan agar kawasan keramik Plered ramai dikunjungi wisatawan untuk membelinya.

*Lian Lubis, Urban Designer.

Baca Selengkapnya
Tulis Komentar

BERITA

Novita Wijayanti: Perlu Perbaikan dan Pelayanan dalam Evaluasi Mudik 2024

Oleh

Fakta News
Novita Wijayanti: Perlu Perbaikan dan Pelayanan dalam Evaluasi Mudik 2024
Anggota Komisi V DPR RI Novita Wijayanti. Foto : DPR RI

Jakarta – Pelaksanaan arus mudik dan balik angkutan Lebaran terus menjadi pusat perhatian masyarakat Indonesia. Terlebih, setiap tahun pelaksanaannya terus mengalami tantangan yang cukup signifikan.

Terkait hal itu, Anggota Komisi V DPR RI Novita Wijayanti mengapresiasi seluruh pelaksanaan arus mudik dan balik angkutan lebaran 2024 yang telah berlangsung dengan baik. Meski, terdapat sejumlah catatan atau evaluasi dalam pelaksanaannya.

“Pemerintah telah mengambil langkah dalam meningkatkan infrastruktur dan mengatur sistem transportasi. Namun, peningkatan jumlah pemudik dan kepadatan lalu lintas masih menjadi permasalahan utama,” ujar Novita dalam wawancara tertulis kepada Parlementaria, di Jakarta, Kamis (18/4/2024).

Lebih lanjut dikatakan oleh Legislator dari Dapil Banyumas-Cilacap (Jawa Tengah VIII) ini, peran koordinasi antara Pemerintah Daerah dengan operator transportasi serta pihak terkait lainnya masih perlu ditingkatkan.

“Komunikasi yang lebih efektif dan perencanaan yang matang diperlukan untuk menghindari kemacetan yang berlebihan dan memastikan keselamatan pemudik,” tandas Politisi Fraksi Partai Gerindra tersebut.

Tak hanya itu, Novita juga mencatat perlunya peningkatan pengawasan yang lebih ketat terhadap protokol kesehatan di tempat-tempat peristirahatan dan terminal, guna mencegah penyebaran penyakit. Terlebih, lanjutnya, di tengah cuaca ekstrem yang dapat mempengaruhi kondisi tubuh para pemudik.

Kendati demikian, Novita mengapresiasi secara keseluruhan pelaksanaan arus mudik dan balik angkutan lebaran 2024 yang baru saja selesai terselenggara. Dirinya berharap, perbaikan dan peningkatan pelayanan dapat terus dilakukan di setiap tahunnya.

“Secara keseluruhan, meskipun ada beberapa perbaikan yang telah dilakukan, tentunya masih diperlukan upaya lebih lanjut untuk meningkatkan efisiensi, keselamatan, dan kenyamanan pelaksanaan arus mudik dan balik angkutan lebaran di masa mendatang,” pungkasnya.

Baca Selengkapnya

BERITA

Penguatan Konten Kearifan Lokal Bali Diharapkan Semakin Meningkatkan Industri Pariwisata

Oleh

Fakta News
Penguatan Konten Kearifan Lokal Bali Diharapkan Semakin Meningkatkan Industri Pariwisata
Wakil Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis Almasyhari saat memimpin pertemuan Kunjungan Kerja Reses Komisi I DPR RI ke LPP RRI Denpasar, Bali, Kamis (18/4/2024). Foto: DPR RI

Denpasar – Wakil Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis Almasyhari memimpin Kunjungan Kerja Reses Komisi I DPR RI ke LPP RRI Denpasar, Bali. Dalam kunjungan ini Komisi I DPR RI memberikan perhatian serius pada konten kearifan lokal di Bali. Dengan kuatnya konten kearifan lokal yang ada di Bali maka diharapkan kedepan akan semakin meningkatkan industri pariwisata yang ada di Bali.

“Tim Kunjungan Kerja Reses Komisi I DPR RI mendorong LPP RRI Denpasar Bali untuk selalu mengupdate program siaran bermuatan kearifan lokal secara multiplatform guna mendorong peningkatan pariwisata di Bali,” papar Politisi Fraksi PKS itu di kantor LPP RRI Denpasar, Bali, Kamis (18/4/2024).

Kearifan lokal merupakan suatu identitas budaya sebuah bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap, bahkan mengolah kebudayaan yang berasal dari luar bangsa lain menjadi watak dan kemampuan sendiri. Kearifan lokal juga merupakan ciri khas etika dan nilai budaya dalam masyarakat lokal yang diturunkan dari generasi ke generasi. Konten kearifan lokal merupakan suatu muatan yang ditampilkan kepada masyarakat melalui media yang menampilkan kebudayaan suatu bangsa.

Komisi I mendorong LPP RRI turut andil dalam mempertahankan kearifan lokal di tiap satuan kerja (Satker) yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Tiap Satker dari Sabang sampai Merauke, berperan penting untuk mengikat kearifan lokal yang menjadi ciri khas LPP RRI selama ini. Sebagai gambaran,  siaran RRI sendiri terdiri dari PRO 1 hingga PRO 4. Khusus PRO 4, merupakan program yang menyajikan konten kearifan lokal yang tersebar di kota-kota yang memiliki potensi budaya besar, termasuk Denpasar Bali.

Promosi kearifan lokal budaya di Bali dapat dilakukan dengan memanfatkan media massa seperti media elektronik, media cetak, dan media online maupun media sosial lainnya. LPP RRI turut menyajikan  konten yang sesuai dengan sasaran wisatawan.  LPP RRI Denpasar telah menyediakan saluran khusus untuk Budaya Bali melalui PRO 4, dengan menggunakan bahasa Bali untuk berkomunikasi dengan pendengar dan narasumber.

Baca Selengkapnya

BERITA

Evaluasi Antrean Panjang Mudik, ASDP Harus Perbaiki Manajemen Tiket via Aplikasi Ferizy

Oleh

Fakta News
Evaluasi Antrean Panjang Mudik, ASDP Harus Perbaiki Manajemen Tiket via Aplikasi Ferizy
Anggota Komisi V DPR RI Suryadi Jaya Purnama. Foto: DPR RI

Jakarta – Peristiwa terjadinya puluhan pemudik yang sempat memblokade jalan menuju kapal Eksekutif Bakauheni, Lampung, Minggu (14/04/2024) belum lama ini menuai respon dari Anggota Komisi V DPR RI Suryadi Jaya Purnama. Para pemudik mobil ini, imbuh pria yang akrab disapa SJP, memprotes karena petugas mendahulukan kendaraan yang terakhir tiba.

“PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) atau ASDP meminta maaf dan menyebut bahwa ada kesalahan jalur antrean karena kekeliruan pengarahan pengguna jasa atau pemudik yang giliran masuk kapal,” ujar SJP sebagaimana keterangan resmi yang diterima Parlementaria, di Jakarta, Kamis (18/4/2024).

Masalah tersebut, tandas Politisi Fraksi PKS ini, semakin menambah panjang daftar kesalahan ASDP dalam memberikan pelayanan bagi pemudik di lintasan penyeberangan kapal feri Merak-Bakauheni.

“Sebelumnya, jalan menuju Pelabuhan Merak, Banten sempat mengalami kemacetan hingga belasan kilometer selama 5-12 jam karena banyaknya kendaraan atau masyarakat yang belum memiliki tiket kapal feri, tapi tetap datang ke pelabuhan,” terangnya.

Sebagaimana data ASDP, ungkap Suryadi, total masyarakat yang belum memiliki tiket mudik pada 6-7 April lalu sebanyak 19.700 orang atau 32 persen. Sementara calon penumpang yang sudah mempunyai tiket hanya 68 persen.

“Padahal ASDP sudah mewajibkan pengguna jasa membeli tiket secara daring via aplikasi Ferizy dengan radius maksimal 4,7 km dari Pelabuhan Merak dan sudah bertiket maksimal H-1 keberangkatan demi menghindari terjadinya antrean kendaraan dan penjualan tiket oleh calo,” tuturnya.

Namun di lapangan, masih banyak ditemukan para calon penumpang masih membeli tiket di Pelabuhan Merak dari agen-agen penjualan. Tanpa berbekal tiket, lanjut SJP, para pemudik ini tetap nekat berangkat menuju Pelabuhan Merak. Akibatnya, mereka berdesakan dengan para pemudik yang sudah membeli tiket. Karena mereka masih yakin bisa memperoleh tiket di Pelabuhan dan faktanya masih bisa mendapatkannya melalui agen-agen penjualan tidak resmi.

“Kita meminta agar alasan para pemudik datang langsung ke pelabuhan untuk membeli tiket tanpa menggunakan aplikasi Ferizy ini dievaluasi oleh pihak ASDP dan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) karena banyaknya keluhan pembeli tiket terkait aplikasi ini,” pungkas SJP.

Rating 2,5 dan ulasan-ulasan buruk terhadap Ferizy di Google Play Store, kata Suryadi, dapat menjadi bahan evaluasi tersebut. Misalkan kuota pemesanan tiket begitu cepat habis yang kemungkinan besar sudah diborong oleh calo yang kemudian menawarkannya di sekitar pelabuhan, bahkan ada yang hilang uangnya setelah melakukan pembayaran dan masih banyak lagi.

Baca Selengkapnya