Connect with us
Cerpen

Hujan yang Tak Bersuara

Oleh Lian Lubis

 

Sore itu, dia tiba-tiba duduk di hadapanku. Entah dari mana datangnya. Wanginya pun tak tercium sebelumnya. Katanya, dia sudah mati  lima kali dan mungkin akan mati lagi. Aku tak berani melihat wajahnya berlama-lama. Bukan kengerian yang kutatap, tapi wajah yang sangat lelah yang datang entah dari mana.

Katanya, sebentar lagi hujan akan turun. Menjelang malam. Hujan yang tidak berbunyi dan tak bersuara ketika menimpa atap-atap rumah dan helai-helai daun di hutan. Seperti air mata yang menitik. Tidak terdengar gemericik airnya. Aku bergidik.

Sudah hampir setahun aku bekerja di hutan ini. Sering aku mendengar cerita bahwa di sini banyak mahluk halus, tapi belum pernah sekali pun aku bertemu atau melihat meraka. Sore itu adalah pertemuanku yang pertama dengan salah satu dari mereka dan membuat tenggorokanku seperti tercekat bila mengingatnya. Pertemuan itu terjadi kira-kira seminggu yang lalu. Kengerian yang kurasakan justru terjadi saat ini setelah dia pergi menghilang.

Serombongan anak sekolah dasar berlarian memasuki hutan. Hutan tempat ku bekerja ini memang merupakan lokasi kunjungan wisata dan penelitian. Jadi, sering sekali kedatangan rombongan anak sekolah untuk study tour. Biasanya mereka dipandu oleh beberapa orang pemandu lokal warga di sini. Guru-guru terlihat berada diantara mereka. Anak-anak itu cukup gaduh. Beberapa kali pemandu mengingatkan mereka untuk sedikit tenang  dan tidak terlalu banyak bercakap-cakap.

Ade-ade tenang dulu ya, nanti tidak terdengar dengan jelas informasi yang kakak ceritakan”, kata pemandu.

Aku yakin, sebenarnya para pemandu itu was-was mendengar kegaduhan anak-anak. Mereka sangat khawatir ada yang berbicara sompral1 dan petaka kan menimpa anak yang berbicara sembarangan. Aku pernah mendengar  tentang kejadiaan seorang siswa sekolah menengah pertama yang hilang dari rombongan dan baru ditemukan beberapa hari kemudian.

Ngapain juga sih study tour ke hutan  seperti ini? Apa yang dilihat di sini? Cuma goa-goa gelap. Apa serem dan angkernya goa kayak gini?

Beberapa saat kemudian anak itu menghilang dan baru disadari kehilangannya ketika rombongan akan pulang meninggalkan hutan ini.

Banyak memang cerita mistik dan kejadian yang tidak masuk akal di hutan ini, tapi yang cukup misteri bagiku adalah kehadiran manusianya. Entah sejak kapan mereka telah bermukim di sekitar sini. Dalam catatan sejarah, manusia telah tinggal di kawasan ini sejak zaman prasejarah.  Peninggalan-peninggalan berupa piranti hidup sehari-hari atau artefak manusia pra sejarah berupa kapak, pisau, mata anak panah, dan lain-lain yang terbuat dari bebatuan dan batu kaca (obsidian) banyak ditemukan di dalam kawasan hutan  ini. Diduga kawasan ini dulunya merupakan bengkel senjata sehingga kawasan ini dinamakan ‘Pakar’ yang berasal dari Kata Sunda Klasik ‘Pakarang’.

Saya sudah lama berdagang di sini, pak. Sebelum bapak bertugas  dan juga sebelum balai ini ada. Ibu dan kakek saya juga berdagang di sini. Saya ‘mah’ melanjutkan usaha mereka.

Dalam bahasan Indonesia berdialek Sunda yang kental, kalimatnya seperti ingin menegaskan pada ku bahwa dia patut dihormati karena leluhurnya telah bedagang di hutan ini sejak dahulu kala. Secara halus sebenarnya dia ingin mengatakan tidak ingin dipindah dari berjualan di sini. Aku hanya tersenyum menanggapinya. Aku memang selalu berniat menata ulang tempat ibu ini dan 75 orang lagi kawannya yang berjualan. Menata ulang gubug-gubug dagangan mereka pada suatu suatu zona kuliner agar tidak ‘berserakan’  di dalam kawasan hutan.  Mereka adalah generasi ke sekian dalam sejarah perkembangbiakan manusia di dalam dan sekitar hutan ini..

Seingatku, dulu ibu pedagang jagung bakar ini adalah anak dari ibu penjual jagung bakar  yang sering aku singgahi untuk menikmati jagung bakarnya. Inikah yang disebut kemiskinan struktural itu?  Turun temurun sebagai orang miskin, sementara hutan ini begitu indah dan banyak vila-vila mewah yang dibangun di sekitar sini. Mengangkangi hutan dan mencuri keindahan panorama hutan peninggalan Pemerintah Kolonial Belanda. Berdiri di atas tanah yang dulunya barangkali milik moyang ibu pedang jagung ini. Sedang aku, takdir akademiskah yang membawaku ke sini? Setelah dua puluh tahun bekerja di berbagai bidang, ‘ujung-ujungnya’ aku menjadi pengelola hutan ini.

Ketika aku mahasiswa, aku sering bermain ke sini. Diantara waktu luang jam-jam kuliah, aku selalu kemari bersama dengan seorang teman seangkatanku untuk saling bercerita berlama-lama tentang segala hal. “Belajar bareng sambil makan jagung bakar, yuuk”, begitu alasanku setiap kali mengajak  gadis manis, pintar, dan nyaman diajak berbicara yang aku rencanakan menjadi istriku ke hutan ini. Anak perempuan kecil pedang jagung itu, biasanya tidak jauh berada diantara kami; bermain sambil mencari biji-bijian yang jatuh dari pohonnya. Aku tidak ingin membangkitkan ingatannya bahwa aku sering melihat dia waktu kecil dulu bersama ibunya berjulan jagung bakar.

Upaya negoisasiku dengan generasi ketiga penjual jagung bakar ini tidak berlanjut. Seorang gadis belia seumuran  anak sulungku datang menghampiri kami.

Kunaon ya pak, leuweng ayeuna  sareukseuk jeung heurin ku imah?” 2

Muhun, ayeuna mah heurin pisan, neng. Seueur jalmi benghar ti kota nyieun villa mewah di gigireun  leuweung.  Neng dimana bumina?” 3  Aku menimpali sekedarnya saja.

Di hutan ini sering gadis-gadis belia bermain berkawa-kawan. Ada juga yang  berpasang-pasangan. Menjalin cinta dan bermimpi tentang cinta yang abadi.  Di sini cinta tak perlu diucapkan. Angin hutan yang dingin sering membakar gairah cinta mereka. Menjelang sore, nyanyian turaes akan mengiringi syair cinta yang mereka dendangkan.

Abdi ti Subang, pak 4, kata gadis belia itu.

Aku mencuri pandang pada wajahnya yang berparas gadis Sunda asli, namum terlihat pucat.

“Upami asli ti Subang, naha neng terang di dieu rame jeung ayeuna leuweung heurin? Neng mineung kadieu?” 5.   

Aku tak melihat dia datang bersama kawan-kawannya juga tak ada jejaka yang bersamanya. Gadis itu menjentikkan ulat bulu yang menempel di lengan kirinya. Tidak ada rasa jijik atau takut di wajahnya. Seperti umumnya anak perempuan.

Upami ayeuna mah, abdi linggih di dieu. Kapungkur nuju alit basa nuju ameung, abdi pernah  katinggang tangkal6  Gadis itu menunjuk ke salah satu pohon.

Jantungku terjatuh dari tempatnya. Lidahku pun tertelan. Jagung yang sedang dipegang  wajah ibu penjual jagung bakar itu seketika terlepas dari genggamannya. Wajahnya seperti tak dialiri darah. Putih pucat.

Kira-kira sepuluh tahun lalu –pada suatu siang–  seorang anak perempuan berumur sembilan tahun tewas tertimpa dahan yang patah dari pohon yang ditunjuk gadis belia ini. Ketika itu tidak ada hujan atau angin yang cukup kencang yang bisa memaatahkan dahan.  Kejadian itu membuat keheranan dan menjadi berita di koran-koran lokal.

Tewasnya seorang anak perempuan  yang tertimpa dahan pohon, memang pernah diceritakan padaku oleh seorang petugas keamanan kantorku kira-kira empat bulan yang lalu.  Dia juga bercerita tentang seorang anak lelaki kelas lima sekolah dasar yang tewas terseret arus saluran air yang menuju reservoar pembangkit listrik tenaga air yang terletak di sebelah timur hutan ini.

Apakah mungkin gadis belia ini roh gadis kecil yang tertimpa dahan patah itu? Kalau dia roh gadis kecil itu, apakah roh memang bisa tumbuh dan berkembang seperti tubuh manusia hidup?  Kalau pun dia roh si anak perempuan itu, kenapa dia tidak bisa ‘pulang’ dan menjadi penghuni hutan ini?

Tiba-tiba hujan yang sangat dingin dan lebat mengguyur hutan. Deru derasnya tak terdengar. Daun-daun memudar warnanya. Air berwarna hijau dari klorofil daun yang luntur berjatuhan membasahi baju dinasku. Airnya sangat pahit di lidah. Wajah ibu penjual jagung bakar itu semakin pucat hingga hampir terlihat tulang-tulang pipinya. Bara api dari potongan-potongan arang untuk membakar jagung padam tanpa terdengar desis apinya yang tersiram air hujan. Asapnya pun tak terlihat.

Di kejauhan, di atas-atas bukit sana, vila-vila  dan bangunan-bangunan mewah meleleh disiram hujan; melebur dengan tanah yang mulai membubur dan mengalir menuju sungai yang membelah hutan. Orang-orang berlarian meninggalkan dan menjauhi hutan.

Hujan teu aya soraan. Hujan teu aya soaraan 7. Mereka berlari lintang pukang sambil  menjerit  ketakutan. Rombongan anak sekolah itu pun berhamburan tak tentu arah. Guru-guru mereka berlari menyelamatkan diri. Para pemandu lokal komat-kamit merapal doa-doa sambil setengah berlari menarik tangan beberapa anak yang menangis sejadi-jadinya

Kalau turun hujan mendadak pasti ada orang yang memukul go’ong8,  begitu cerita dari warga sini. Biarpun bukan musim hujan dan matahari sedang bersinar dengan teriknya, bila ada go’ong yang dipukul di dalam hutan ini, maka tidak berapa lama kemudian hujan akan turun, kata salah seorang sesepuh warga pinggiran hutan kepada ku pada suatu hari.

Sebenarnya aku tidak yakin dengan kata-katanya. Tapi setiap kali diadakan pertunjukan seni tradisional sunda seperti calung dan reog, setelah itu hujan turun. Cuaca sangat terik siang ini dan tiba-tiba hujan turun sangat lebatnya. Sebelumnya, aku tidak pernah berfikir atau mengkaitkan hubungan antara hujan dan go’ong.

Ataukah ada salah seorang dari anak-anak sekolah yang gaduh tadi berbicara sompral? Lupakah para pemandu untuk  mengingatkan kepada anak-anak sekolah itu pantang  mengucapkan kata ‘lada’ di dalam Goa Belanda dan Jepang yang ada di sini?

‘Lada’ adalah penggalan dari nama Eyang Anggadilada yang juga adalah kata dalam Bahasa Sunda yang berarti rasa pedas.  Bukan Eyang Anggadilada yang marah karena penggalan namanya disebut, tapi adik-adik dari Eyang Anggadilada yang murka. Eyang Anggakawasa, Jaki, Rengko, dan Tanjung Anom. Mereka  pengawal setia Prabu Siliwangi.

Eyang Anggadilada yang memiliki nama lain Eyang Wicaksana adalah pemimpin dari pengawal Prabu Siliwangi. Mereka tilem9 setelah ‘menghilangkan’  Istana Pajajaran Prabu Siliwangi yang tidak ditemukan hingga saat ini. Warga di sini percaya Eyang Anggadilada dan adik-adiknya  bermukim di dalam kawasan Hutan Pakar. Eyang Anggadilada menetap di dalam Goa Belanda. Umurnya saat ini 950 tahun. Eyang Rengko dan Tanjung Anom mendiami Mata Air Cibitung dan sekitarnya; salah satu mata air  di Hutan Pakar.

Orang-orang tua masih suka memberikan sesaji secangkir kopi hitam pahit dan beberapa jenis panganan tradisional pada setiap malam selasa di Lembah Kaendahan dekat Sungai Cikapundung yang membelah Hutan Pakar. Lembah pembuangan  mayat-mayat mereka yang mati karena berhari-hari dipaksa bekerja oleh para penjajah membuat lubang-lubang goa tanpa diberi makan. Lalaikah mereka memberikan sesaji tadi malam?

Ataukah mahluk-mahluk halus di hutan ini terganggu karena hutan diganggu? Kemudian ramai-ramai mereka murka.  Seperti kata roh gadis belia itu, “leuweng ayeuna  sareukseuk jeung heurin ku imah”. Pikiranku sibuk mengkait-kaitkan kejadian satu dengan yang lainnya dan mencari hubungan sebab akibatnya dari yang sedang terjadi, tapi semua  sudah terlambat.

Samar-samar terdengar sisa gema suara go’ong dari dalam Goa Belanda. Siapa yang telah menabuh go’ong di dalam sana?

Ketakutan menyerangku dengan hebat. Menghancurkan nyaliku. Dalam seminggu ini, dua kali aku berbincang dengan mereka. Hujan yang tak bersuara meruntuhkan keyakinanku tentang manusia dan mahluk halus yang berada di alam berbeda. Sesepuh warga di sini pernah bercerita tentang trowongan atau pintu yang menuju ke dunia mahluk halus di hutan. Aku membayangkannya seperti portal ke dunia yang lain  dan sekarang aku sedang berdiri di depan portal itu. Di sebelah sana, gadis belia berwajah pucat tadi tersenyum. Rambutnya panjang terurai; mewangi melati  menyengat rongga hidungku. Sekujur tubuhku menggigil.

Goa Pakar, Agustus 2014.-

Catatan

Kejadian dalam cerita ini sebagian besar merupakan kejadian nyata dan mitos yag ada di masyarakat sekitar Taman Hutan Raya Ir. H Djuanda atau Goa Pakar dan kejadian-kejadian mistik yang pernah terjadi.

  1. Berkata-kata yang tidak semestinya atau tidak pada tempatnya dan melanggar pantangan.
  2. Kenapa ya pak, hutan sekarang sempit dan penuh sesak dengan rumah?
  3. Iya, sekarang sempit sekali. Oranng-orang lota banyak yang mendirikan rumah mweah di pinggir-pinggir hutan. Neng rumahnya dimana?
  4. Saya berasal dari Subang, pak. (salah satu kabupaten di Jawa Barat)
  5. kalau dari Subang, kenapa neng tahu di sini rame dan hutan jadi sempit? Neng sering ke sini?
  6. Sekarang saya tinggal di sini, pak. Dulu waktu kecil, waktu sedang bermain di sini saya tertimpa dahan pohon.
  7. Hujan tidak ada suaranya.
  8. Go’ong adalah alat musik tradisional dan biasa juga disebut gong.
  9. Tilem Bahasa Sunda artinya menghilangkan raga.

 

Baca Selengkapnya
Tulis Komentar

BERITA

DPR RI Minta Jepang Ajarkan ‘Smart Farming’ kepada Petani Muda Indonesia

Oleh

Fakta News
DPR RI Minta Jepang Ajarkan ‘Smart Farming’ kepada Petani Muda Indonesia
Wakil Ketua DPR RI Rachmat Gobel, saat menerima delegasi dari partai berkuasa di Jepang, Liberal Democratic Party (LDP), di Ruang Delegasi, Gedung Nusantara III, DPR RI, Jakarta, Jumat (3/5/2024). Foto: DPR RI

Jakarta – DPR RI, melalui Wakil Ketua DPR RI Bidang Koordinator Industri dan Pembangunan (Korinbang) Rachmat Gobel, meminta Jepang untuk menerima petani muda Indonesia untuk belajar bertani dengan metode smart farming di negara tersebut. Hal itu ia sampaikan saat menerima delegasi dari partai berkuasa di Jepang, Liberal Democratic Party (LDP), di Ruang Delegasi, Gedung Nusantara III, DPR RI, Jakarta, Jumat (3/5/2024).

“Bukan untuk bekerja dan juga bukan untuk sekolah, tapi belajar praktik bertani yang baik dan berkualitas serta smart farming kepada petani muda Indonesia. Cukup satu tahun saja,” kata Gobel.

Gobel mengatakan, dunia sedangkan dihadapkan pada krisis pangan akibat perubahan iklim dan konflik geopolitik dunia. Perubahan iklim berdampak pada hadirnya cuaca panas yang tinggi atau curah hujan yang berlebihan dan tidak pasti. Sedangkan, konflik geopolitik berdampak pada kenaikan harga pupuk yang tinggi.

“Semua itu berakibat Indonesia melakukan impor beras dengan jumlah yang sangat besar. Padahal Indonesia adalah negara agraris, memiliki lahan yang luas, tanah yang subur, dan jumlah petani yang besar. Namun faktanya Indonesia harus impor beras dari berbagai negara seperti Myanmar, Vietnam, Thailand, India, dan Cina,” jelas Politisi Fraksi Partai NasDem itu.

Di sisi lain, kata Gobel, Jepang adalah negara yang memiliki keunggulan teknologi sehingga bisa menghasilkan produktivitas pertanian yang besar dan kemampuan menghadapi perubahan iklim. Selain itu, katanya, produk pertanian Jepang dikenal dengan cita rasa yang lezat dan memiliki harga yang bagus. Ia juga meminta Jepang mengajarkan pembuatan pupuk organik dan smart farming. Teknologi penggilingan beras Jepang, katanya, juga menghasilkan beras yang berkualitas.

Walaupun sudah melakukan impor beras dengan jumlah sangat besar, kata Gobel, secara ironis harga beras di Indonesia tetap tinggi.

“Harga beras premium di Indonesia mendekati harga beras di Jepang. Padahal kualitasnya sangat berbeda. Tentu ini memprihatinkan,” kata pria yang pernah ditunjuk Presiden Jokowi sebagai Utusan Khusus untuk Jepang tersebut.

Selain itu, katanya, karena jumlah petani di Indonesia sangat besar maka membangun pertanian akan secara otomatis akan meningkatkan kesejahteraan penduduk Indonesia.

“Jumlah penduduk Indonesia juga sangat besar. Jadi memecahkan masalah kebutuhan pokok ini akan sangat fundamental bagi kemajuan dan stabilitas Indonesia. Untuk itu, saya berharap Jepang dan Indonesia bisa meningkatkan kerja sama yang lebih erat di bidang pertanian ini,” jelasnya.

Selain itu, Gobel juga menyampaikan tentang pentingnya Jepang membagi teknologinya dalam pengolahan air bersih. Hingga saat ini, katanya, masalah penyediaan air bersih yang sehat masih merupakan tantangan besar bagi Indonesia.

“Air bersih higienis sangat penting dalam mengatasi stunting dan penyakit kulit. Dua hal ini masih merupakan problem mendasar bagi masyarakat lapis bawah Indonesia dan bagi peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Jepang memiliki kemampuan dan teknologi pengolahan air bersih yang sehat,” katanya.

Jika masalah pertanian dan penyediaan air bersih bisa diatasi Indonesia, kata Gobel, maka ekonomi Indonesia akan tumbuh lebih baik lagi. “Ini tentu saja juga akan baik bagi ekonomi kawasan di Asia Tenggara dan akan memiliki dampak yang baik pula bagi ekonomi Jepang. Jadi ini kerja sama yang sifatnya saling menguntungkan,” katanya.

Adapun Delegasi Jepang itu dipimpin oleh Ketua Badan Riset Kebijakan LDP, Tokai Kisaburo. Sedangkan anggota delegasinya antara lain Ketua Harian Badan Riset Kebijakan LDP Shibayama Masahito dan Kepala Sekretariat Badan Riset Kebijakan LDP Nakai Toyoron. Hadir pula Wakil Dirjen untuk urusan Asia Tenggara dan Asia Barat Daya Kementerian Luar Negeri Jepang Hayashi Makoto serta Duta Besar Jepang untuk Indonesia Yasushi Masahi.

Baca Selengkapnya

BERITA

Tindakan Penyimpangan Turis Nakal di Bali Harus Ditangani secara Bijaksana

Oleh

Fakta News
Tindakan Penyimpangan Turis Nakal di Bali Harus Ditangani secara Bijaksana
Anggota Komisi III DPR RI I Wayan Sudirta dalam foto bersama usai mengikuti pertemuan Kunjungan Kerja Reses Komisi III DPR RI di Denpasar, Bali. Foto: DPR RI

Denpasar – Tim Komisi III DPR RI melakukan Kunjungan Kerja Reses ke Denpasar, Bali. Salah satu yang disoroti Komisi III dalam Kunker Reses ini adalah banyaknya turis yang melakukan tindakan penyimpangan, seperti pelanggaran adat maupun tindakan semena-mena lainnya. Tak ayal,  tindakan tersebut kerap menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat setempat.

Menanggapi hal itu, Anggota Komisi III DPR RI I Wayan Sudirta berharap kepada Kapolda Bali Ida Bagus Kade Putra Narendra agar penanganan yang bijak terhadap pelanggaran, sambil tetap memperhatikan dan menghormati adat serta budaya Bali.

Oleh karena, menurut I Wayan, bahwa Bali memiliki cara tersendiri untuk menangani turis yang berulah. Sehingga, tidak bisa serta merta langsung dilakukan deportasi.

“Karena bagaimana pun orang Bali hidup dari sektor pariwisata. Sehingga sudah tidak asing dengan keberadaan turis. Namun, jangan juga sampai terlalu lemah karena turis yang berulah akan mengotori pariwisata-pariwisata yang ada, sehingga malah Bali bisa jatuh perekonomiannya. Jadi harus dicari solusi yang bijak,” ungkap I Wayan dalam pertemuan di Denpasar, Bali, Jumat (3/5/2024).

Politisi Fraksi PDI-Perjuangan itu pun menyampaikan apresiasinya terhadap Kapolda Bali beserta segenap jajarannya karena telah berhasil menangani banyak kasus dengan pendekatan restorative justice. Selain itu, Polda Bali juga dinilai telah bekerja sama baik dengan lembaga imigrasi yang berada di bawah lingkup Kantor Wilayah (Kanwil) Kemenkumham Provinsi Bali dalam penanganan kasus penyimpangan turis.

“Saya juga tentunya mengapresiasi Kapolda Bali dan segenap jajaran atas kinerjanya. Bagaimana mereka mengawasi, serta menindak pelaporan-pelaporan yang ada rerlebih mengedepankan restorative justice sebagai jalan keluar penanganan kasus,” pungkasnya.

Menanggapi masukan tersebut, Kapolda Bali Ida Bagus Kade Putra Narendra juga sepakat dengan gagasan I Wayan Sudirta bahwa penanganan terhadap turis yang berulah harus dilakukan dengan hati-hati. Khususnya, mempertimbangkan dampaknya terhadap sektor pariwisata dan kelestarian budaya Bali.

“Kami akan bekerja sama, jika diperlukan lintas sektoral untuk menemukan solusi yang menghormati adat, budaya, dan kepentingan ekonomi masyarakat Bali,” ujar Ida Bagus.

Kunjungan kerja reses ini diharapkan dapat menjadi langkah awal menuju penanganan yang lebih baik terhadap turis nakal di Bali. Dengan pendekatan yang bijaksana dan kolaborasi lintas sektoral antara Kapolda Bali, institusi terkait, serta pemerintah daerah, diharapkan akan tercipta lingkungan pariwisata yang lebih aman, nyaman, dan berkelanjutan bagi wisatawan dan masyarakat setempat.

Baca Selengkapnya

BERITA

Peredaran Narkoba Beralih ke Ranah Daring, Johan Budi Minta Perkuat BNNP

Oleh

Fakta News
Peredaran Narkoba Beralih ke Ranah Daring, Johan Budi Minta Perkuat BNNP
Anggota Komisi III DPR Johan Budi saat bertukar cenderamata usai Rapat Kerja Tim Kunjungan Kerja Reses Komisi III DPR RI dengan Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) di Denpasar, Bali, Kamis (02/05/2024). Foto: DPR RI

Denpasar Komisi III DPR RI mengungkapkan kekhawatirannya terhadap meningkatnya modus operandi peredaran narkoba yang beralih ke ranah daring (online) melalui platform media sosial dengan menggunakan modus kamuflase. Pernyataan ini disampaikan Anggota Komisi III DPR Johan Budi dalam Rapat Kerja Tim Kunjungan Kerja Reses Komisi III DPR RI dengan Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) di Denpasar, Bali, Kamis (02/05/2024).

“Menarik sekali yang disampaikan BNN Provinsi Bali. Mereka menjelaskan adanya jual beli narkoba melalui online. Nah ini cukup mengagetkan buat saya, kok bisa narkoba ini diperjual belikan melalui online, hal ini terungkap ketika BNNP Bali menangkap tersangka di lapangan,” ungkapnya.

Dalam konteks ini, Johan Budi menekankan perlunya penguatan pada Badan Narkotika Nasional (BNN) untuk menghadapi perubahan modus operandi tersebut. Menurutnya, modus operandi peredaran narkoba akan selalu berubah-ubah. Untuk itu, perlu penguatan-penguatan kepada BNN agar lebih maksimal dalam memberantas peredaran narkoba ini. Selain itu, lanjutnya, kekurangan sumber daya manusia menjadi salah satu faktor, terutama di daerah, ada sebagian yang juga pegawainya atau penyidiknya cuma sedikit.

“Ini problem laten yang perlu segera diperbaiki. Saya sendiri ketika rapat dengan BNN di Komisi III mengusulkan, agar BNN ini diberi penguatan, termasuk penyediaan sumber daya manusia, infrastruktur yang ada di daerah, termasuk soal rehabilitasi,” pungkas Legislator Dapil Jatim VII ini.

Johan menambahkan, pusat rehabilitasi narkoba ini juga menjadi sangat penting dalam kaitannya dengan restorative justice bagi para pengguna narkoba. Pengguna narkoba, tambahnya, di beberapa negara itu dikategorikan sebagai korban, bukan pelaku, bukan tersangka, sehingga pusat rehabilitasi menjadi penting. Jadi yang sebetulnya tersangka itu seharusnya pengedar dan bandar.

“Menurut saya untuk pengguna narkoba dapat diselesaikan melalui restorative justice, dengan mendapatkan kesempatan untuk dilakukan rehabilitasi medis ataupun sosial, tanpa harus menunggu putusan dari pengadilan,” tutup Politisi Fraksi PDI-Perjuangan ini.

Johan berharap pertemuan Kunker Reses ini diharapkan dapat menjadi momentum bagi berbagai pihak, termasuk pemerintah dan lembaga terkait. Selain itu juga untuk mengimplementasikan strategi yang lebih efektif dalam mengatasi peredaran narkoba yang semakin canggih dan menyebar melalui platform digital. Langkah-langkah preventif dan represif yang terintegrasi diharapkan dapat mengurangi dampak negatif peredaran narkoba di masyarakat.

Baca Selengkapnya