Connect with us
Cerita Pendek

Rosario dari Gilisempang

illustrasi: demasiadomar

Oleh Nila Oktaningrum

 

+ Aku mencuri rosario berwarna biru dari gerejamu…bersama gadis-gadis lainnya.

Dulu,  waktu perayaan Misa  Ekaristi pertama di Gereja sekolah kita.
Aku yang menyimpan nya di saku rok seragamku. Apakah Tuhanmu akan marah?
(suara tawa yg lembut dan renyah membuat mata sipit lelaki  itu semakin menghilang)

– Tentu saja Tuhanku akan segera mengampuni. Aku rasa Tuhanmu pun akan berbuat yang sama, karena kita masih kanak-kanak.. masih remaja belia.

+ Kami gadis-gadis non-katolik  yang tidak ikut ritual misa kalian, asik bercanda di barisan bangku belakang Gereja, dan bertaruh siapa yang paling berani mencuri rosario terindah di Gereja..

Pilihan mereka  jatuh padaku…

– Pastor kami mengetahuinya.. Bukankah para suster akhirnya “menghukum”mu saat itu?

Meski kau tak diberitau mengapa kau diberi tugas menyulam dan berdoa selama seminggu…?

(Gigi gingsul nya nampak manis saat dia tertawa kecil)

+ Bagaimana kau tau? Bukankah itu dirahasiakan di sekolah? Aku menghabiskan berjam- jam waktu sepulang sekolah di beranda susteran dengan menghayati belajar  menyulam dan merajut dalam diam. Suster  Bernadhette menyuruhku berdoa dalam hati.

Aku kemudian belajar merajut  sambil bertasbih, bertahmid dan bertakbir, karena aku tak pandai berdoa…

(Perempuan itu tertunduk, sambil membenahi lipatan kerudung hijau  mudanya)

+ Aku tau.. Karena begitulah cara kami ‘dihukum’… Kau begitu beruntung mendapati sendiri saat-saat  teduhmu di susteran saat usiamu demikian belia…

(Tangan lelaki  itu terangkat akan menyentuh ujung kerudung kekasihnya, namun diurungkan kembali)

– Tuhanku pasti marah besar waktu itu, agamaku melarang kami merusak tempat peribadatan agama lain, juga jelas2 kami dilarang mencuri.. Jika usia dewasa, di negara seberang, aku sudah kehilangan tanganku karena tindakan memalukan tersebut. Mereka akan menghukum pencurian dengan menghilangkan tangan.

(Ia mengedikkan bahu krn merasa tidak nyaman dan gelisah…)

– Apakah kau tidak lebih takut saat ini…?
(ia mencari cari jawaban di wajah kekasihnya..)

+ Aku takut..

– Namun mengapa kau datang juga menjawab kerinduanku ke bangku taman ini..?
(Airmata mulai merebak saat perempuan ini  tercekat menjawab)

+ Aku tidak pernah berhenti mencintaimu…sejak mereka mentertawakan cinta kita sebagai cinta monyet.. Hingga detik ini.. Saat usia kita tak lagi muda.. Aku tidak pernah bisa menemukan cinta seperti ini…

Suara anak-anak  bermain bola di kejauhan, deru motor dan mobil di jalan raya, tiba-tiba demikian jelas dalam keheningan…

Deretan kebun anggrek milik petani berselingan dengan sederet perumahan mewah.. Yang dulunya adalah kebun-kebun sayur milik penduduk asli.

Mereka berdua menghela nafas…

– Apakah kau  ingat kita bersepeda menyebrangi sungai kecil, kebun-kebun bayam dan selada
Di seberang  sekolah kita? Lalu menuju saung di ujung ladang di bawah pohon Asam Jawa..?

+ Ya aku ingat… Rok sekolahku kotor, dan basah terkena air  solokan penyiram sayuran…

Aku tak mungkin lupa, karena itu adalah kali pertama kita bergenggaman tangan..
(Suara gugup dan malu terdengar jelas..)

Lelaki itu merapatkan duduknya dan menghadapkan wajahnya pada kekasihnya..
– Berapa usia kita waktu itu? Muda sekali ya… 13 atau 14 tahun? Aku terpaksa menggenggam tanganmu karena kau ketakutan dan akan menangis..

Rok mu basah dan seragam sekolahmu kotor kena lumpur.

+ Sungguh ganjil memikirkan bahwa hal-hal sepele dan sangat sederhana bisa membuat ketakutan seorang anak. Yaa aku sangat takut waktu itu, aku takut guru-guru dan Suster  Kepala memergoki kita, dan aku takut kena marah ibuku..

– Akupun ketakutan waktu itu.. Jika kita terlihat berdua di dangau, kita akan dihukum berat di sekolah, dan kau akan dipukuli lagi oleh ibumu..

(Kali ini diberanikan nya tangannya mengusap lembut bahu kekasihnya..)

Ia beringsut..menjauh, karena kaget dengan sentuhan halus tiba-tiba dari  kekasihnya, namun hatinya tak bisa berbohong.. Puluhan tahun tidak membuat ia kebal pada sentuhan kekasihnya. Selalu setiap kali mereka bersentuhan, dadanya dipenuhi gelombang pasang samudera saat purnama,

batinnya bergetar….
Ia memejamkan mata, menguatkan hati dan memohon kekuatan bagi kerapuhannya…

Angin lembab mengisi ruang-ruang diantara pepohononan di taman itu..
Di seberang mereka nampak Gereja Sekolah mereka dulu.
Di Kampung Gilisampeng Tempat mereka kini kembali bertemu

Seekor kupu2 bergoyang mengikuti helaan bunga cosmos yg tertiup angin ringan…

– Aku memintamu datang utk berpamitan..

Aku ingin mengucapkan selamat tinggal..
(Lirih suaranya menyebabkan lelaki itu seperti mengeluarkan nada yang ganjil….oh atau apakah itu suara tertahan dari seorang lelaki yang akan menangis?)

+ Apa maksudmu..?
(Dengan gelisah ia memberanikan diri memandang wajah kekasihnya)

Setiap tahun sejak mereka berpisah sekolah, taman ini menjadi tempat pertemuan mereka.. perjalanan hidup yang memisahkan mereka, membuat perjumpaan kian sulit dan perlahan menyurut menjadi perjumpaan setiap tahun yang mereka nanti-nantikan.
sekali dalam setahun, mereka akan mencari alasan agar bisa datang dan bertemu disini.

Di Kota masa kanak-kanak mereka dibesarkan.
Setiap sore di Tahun Baru Masehi.
Bangku taman ini telah berganti model, letak, warna dan corak berkali kali..
Namun keduanya setia datang menepati janji masing2..

– Kasih..Aku tidak mungkin bertahan disini..aku harus pergi.. Usiaku tak lagi muda.. Aku tak pernah berhasil menemukan hidupku  sampai saat ini…aku harus berusaha mencari jalanku sendiri.
(Ia menghela nafas dengan berat)

Terisak-isak dalam airmata yang hangat menderas, Ia beringsut kembali mendekat pada lelaki  yang sangat dikasihinya…
beban di dadanya demikian berat, ia merasa bersalah,
ia merasa menjadi penyebab kedukaan…

+ Sayang…aku tau betapa egoisnya aku.. Mencari dan menemukan hidupku sendiri.. Meski terhempas dan terus bertahan..
Bersikeras memilih jalanku..
Tidak berjalan di sisimu…

+ Namun mengapakah Dia tidak mencabut saja kehadiran Cinta dalam hatiku padamu?
Mengapa cintaku padamu tak kunjung padam?
Apakah dayaku? Dapatkah kita membunuh perasaan paling utama yang mempengaruhi hidup kita sebagai manusia? Dapatkah kita membunuh cinta..?

Sore yang tiba-tiba sunyi…

Lelaki itu menangkupkan kedua tangannya pada wajah. Kedua tangannya tampak lebih putih dari biasanya…

– Kasih.. Jika aku sanggup membunuh cinta yang ada di hatiku dan hatimu, aku akan melakukannya, aku akan membunuh cintaku dan  cintamu sekaligus…,
agar engkau terbebas dari derita ini..
Dan biarkan setelah itu aku mati karena seluruh jiwaku telah ikut tercabut besama cinta kita..
Tapi aku seorang pengecut..

– Aku tak bisa membunuh cintaku padamu..
Ratusan atau ribuan orang pernah melewati jalan takdir yang kini kita lewati ini.
Mereka yang  memilih bersama
Mereka yang memilih berpisah
Mereka yang memilih berdamai dengan jalan mereka masing-masing

kita tidak memilih satupun..

Perempuan itu mengangkat wajahnya, menatap kekasihnya dengan hampa melalui bola mata yang sayu dan kelelahan..
(Dulu mata itu demikian berkilau cemerlang penuh harapan)

+ Sayangku..Apakah tahun demi tahun yang kita habiskan dalam cinta yang absurd ini bukan merupakan dosa pada diri kita sendiri…?
Maafkan aku tak bisa mengikutimu..
Meski cintaku padamu membuatku tak ingin hidup lebih lama
Namun cintaku padaNya yang menyalakan harapan
Bahwa kelak aku akan meminta padaNya,
Agar mengijinkanmu menemaniku meski hanya sesaat  di Surga..

– Apakah Surgamu menerima aku? Aku pendosa yg tinggal di nerakamu… Dan engkau jiwa yang harus melewati api pensucian di neraka-ku..
Surgaku akan menolakmu
Seperti hal nya Surgamu menolak aku…
(Senyum pahit itu bukan yang pertama mereka perlihatkan)

+ Apakah Tuhan boleh digugat? Bukankah Dia Maha Adil dan Maha Pembela..?
Jika aku taat dan takwa padaNya, kelak aku tidak meminta apa-apa padaNya di akhirat..
kecuali hari-hari bersamamu, mereguk semua bejana cinta kemudian setelah itu
aku rela menjadi tiada..
Aku tidak tertarik pada taman keabadian, tanpamu serta di dalamnya..

– Menurutmu, Tuhan siapakahkah yang telah mengutuk kita dengan cinta yang begini perih? Hingga kita tak berdaya menjalani hidup tanpanya?

+ menurutku, Tuhan yang manakah yang berbaik hati, meminjamkan kita sedikit dari Cinta milikNya di hati kita? Hingga demikian tak berdayanya kita menjalani hidup tanpanya..?

Keduanya kembali diam…

Ketika perlahan kedua tangan saling mencari dalam genggaman..
Semua perjalanan derita,
Sesaat  seolah sirna
Kelembutan
Kehangatan
Aliran darah bersorak ria berlarian di pembuluh semesta ..
Pengakuan
Penyatuan

Lelaki  itu yang pertama mengeratkan genggaman..
Seolah melalui jaringan kulit  manusia yang tipis, pembuluh darah yang bersilangan dan jutaan dendrit yang mengembara, mereka saling bicara dan menyatukan cinta..

– Aku menyerah, Kasih..
Aku tak sanggup bertahan dalam jalan penuh kutukan ini..
Kita tak mungkin bersama di dunia..
Aku pun meragukan kita akan bersama si Surga..
Mungkin Tuhan kita tengah bertanding, masing-masing menguji bidaknya yang paling kuat untuk  keluar sebagai pemenang.
Mungkin kini  Tuhanmu yang menang
Karena aku tak sanggup melanjutkan  permainan…

Tertegun dan kaget dengan kata-kata kekasihnya yang demikian pahit, ia membalas erat genggaman tangan kekasihnya..
(Sekali ini saja…oh Tuhan sekali ini saja..)

+ Tidak..tidak… Dengarkan aku Sayang.. Dengarkan aku…
Apakah kau tidak mau merenungkan, bahwa ada kemungkinan bahwa Tuhan kita adalah sama…?
Jika Dia meminjamkan sekerat  CintaNya padaku, yang demikian serupa sebanding dan seberat  dengan keratan yg Dia berikan pada hatimu, bukankah lebih mungkin Ia adalah Tuhan yang sama…?

Suara titik-titik  air hujan yang perlahan turun satu satu sebutir demi sebutir menyentuh bangku kayu dan dedaunan…Membuat  keduanya menengadah ke langit dan menyadari,  pertanda waktu yang sempit yang mereka nikmati harus segera usai..

– Pilihan manapun bagi kita… Selama kita bertahan di jalan kita masing masing, kita tak akan bahagia… ini adalah tahun ke 20 bagi kita bersama dalam perzinahan batin yang menyiksa…
Aku memutuskan untuk pergi, biarkan titian  tak berujung ini patah…
menenggelamkan aku bersama seluruh cintaku…

+ Apakah kepergianmu akan membuatmu mati dan melupakan aku…?

– Aku tidak tau…
Sungguh tidak tau
Kepergianku adalah juga bukti cintaku pada Tuhanku.
Dia mengorbankan segalanya bagiku dan bagi seluruh manusia…
Dia menerima penghinaan, derita, siksaan tak terperi
dan penyaliban..
PenebusanNya terasa terlalu berat buatku,
aku malu menanggungkan semuanya seumur hidupku..
Aku akan mengabdikan jiwaku yang kotor ini melalui ziarah abadi di jalanNya..

+ Apakah itu artinya kita tak akan pernah bertemu lagi?

– Ya Kasih…berat sekali harus kusampaikan inilah pilihanku, aku tak akan bisa lagi menatap matamu yang selalu penuh cinta…

+ Apakah kau akan pergi jauh?

– Ya aku pergi sejauh yang aku bisa… Agar aku bisa menjalani  penebusanku sendiri…
Aku berdoa, perjalanan ziarahku akan cukup bagi penebusan dosa kita berdua.

Hening…

+ Aku berharap cintaku mati dengan kepergianmu..
Aku berharap jiwaku juga mati dengan kepergianmu..
Aku berharap pinjaman cinta ini terlunasi dan aku akan menanti saat terakhirku menagih janji pada Tuhanku..
(Nada getir dalam suaranya jauh lebih mengiris, seolah suara malaikat yang kecewa)

Lelaki itu menahan pedih hatinya mendengar kata-kata kekasihnya…
jantungnya seolah ditikam belati setan, lagi dan lagi…

Tetes hujan mulai berkeretak
Butiran air yang memecah senja…

Perlahan ia mengambil seuntai manik-manik  gemerlapan dari sakunya,
Sebuah rosario biru muda..

Kekasihnya terbelalak melihatnya…

– Rosariomu sangat mirip dengan yang kucuri di Gerejamu, ketika kita bersekolah…

+ ini memang “rosariomu”

– Maksudmu…?

+ Aku memilikinya sejak hari kau mengembalikan rosario ini ke Kapel Sekolah…
Selama lebih dari 20 tahun aku menggunakannya untuk berdoa..

Menderaskan Salam  Maria dari pagi ke pagi
Agar Dia mengubah jalanmu, mengikuti jalanku..
Namun aku kini paham,
Jalanmu tidak bersamaku..
Bukan bersamaku..

Lelaki itu kemudian membuka tangan kekasihnya,
Meletakkan untaian manik-manik penuntun  doa itu di telapak tangan perempuan yang tidak pernah sekalipun berhenti dicintainya.

– Sekarang ia menjadi milikmu. Aku menitipkan untaian doa ini padamu.
Jagalah…
Hingga hari akhir mempertemukan kita
Aku mencintaimu. Selalu.

(Tetesan airmata tanpa suara).

+ Apakah Tuhanmu tak akan marah..?

(Lelaki itu tertawa kecil penuh perih).

– Tentu saja Dia tak akan marah… Kurasa Tuhanmu pun tak akan marah… Kita terlalu tua untuk kena marah..

(Canda yang getir lagi, batin mereka berdua)

+ Aku mau dipeluk…
(Bagai suara  malaikat menangis)
Perempuan itu bangkit terlalu segera dari bangku taman

Lelaki itu terkejut…
ia berdiri lalu memeluk erat kekasihnya…
Hujan menderas

– Kasih… Aku tak ingin melukai keyakinanmu.. Menodai Cintamu pada Tuhanmu..
Maafkan aku..

Perempuan itu lalu menjatuhkan dirinya dalam  pelukan sang kekasih…
(Tuhan… Oh Tuhan…
Bertahun kujaga kesucianku, agar aku dapat menagih janji di hari akhir..
Agar aku dapat mencicipi sehari  bersamanya kelak tanpa murkaMu…
Namun kini kukembalikan potongan cinta yang Kau pinjamkan padaku
karena aku tak sanggup menanggungnya hingga akhir hayatku..
Ijinkan aku menjadi malaikat yang berkhianat selama semenit dalam pelukan kekasihku…)

Suara anak-anak di kejauhan berlarian pulang karena hujan..
Suara geretak hujan di atap-atap rumah dan di pepohonan,
Langkah kaki orang orang yang berderap menghindari hujan.
Klakson mobil dan deru motor di  jalan raya ujung kampung.

Semua terdengar bagai suara mimpi dan musik yang tanpa komposisi..

Keduanya tetap erat berpelukan

Di deras hujan keduanya meneteskan air mata..

Tak mungkin denyut bahagia dan perih yang menyatu demikian bertubi tubi di dada mereka,  hadir  tanpa campur tangan Tuhan..

Kutukan atau Pinjaman..
Mereka sudah tak lagi peduli

Surga atau neraka,  mereka tak mau bertanya

Yang mereka yakini,
Surga mereka hadir
Meski hanya sesaat
Di taman yang terlantar
Di deras hujan yang mengaburkan pandangan
Di kampung yang sederhana
Dan entah mengapa
Mereka sangat yakin
Tuhan tengah tersenyum
melihat mereka…
Tuhan yang mana
Tuhan punya siapa
Mereka tak lagi bertanya…

¤ Gilisampeng, 22 Oktober 1991.

Baca Selengkapnya
Tulis Komentar

BERITA

Target APK Pendidikan Tinggi Tidak Mungkin Tercapai Jika Biaya Kuliah Mahal

Oleh

Fakta News
Target APK Pendidikan Tinggi Tidak Mungkin Tercapai Jika Biaya Kuliah Mahal
Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah saat kunjungan kerja reses di Kota Medan, Sumatera Utara, Senin (06/05/2024). Foto : DPR RI

Medan – Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap mahalnya biaya pendidikan tinggi di perguruan tinggi negeri. Menurutnya, dengan mahalnya biaya pendidikan tinggi itu dapat menghambat pencapaian target pemerintah dalam meningkatkan Angka Partisipasi Kasar (APK) perguruan tinggi. Menurut data tahun 2023, APK untuk laki-laki hanya 29,12 persen dan untuk perempuan 33,87 persen, angka yang jauh dari target yang diharapkan.

Konsekuensinya, tambah Ledia, dengan biaya pendidikan yang sangat mahal  itu banyak calon mahasiswa yang terhambat untuk melanjutkan pendidikan. “Dengan mahalnya perguruan tinggi negeri ini, bagaimana mungkin kita bisa mencapai target APK yang lebih baik jika banyak anak-anak kita yang tidak mampu melanjutkan pendidikan karena biaya?” ujar Ledia kepada Parlementaria, di Kota Medan, Sumatera Utara, Senin (06/05/2024).

Diketahui, Angka Partisipasi Kasar (APK) Perguruan Tinggi (PT) adalah perbandingan antara jumlah penduduk yang masih bersekolah di jenjang pendidikan Perguruan Tinggi (PT) (tanpa memandang usia penduduk tersebut) dengan jumlah penduduk yang memenuhi syarat resmi penduduk usia sekolah di jenjang pendidikan Perguruan Tinggi (PT) (umur 19- 23 tahun).

Ledia pun mengkritik sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang berlaku di banyak perguruan tinggi, yang menurutnya masih memberatkan bagi sebagian besar calon mahasiswa. “Ada perguruan tinggi dengan sistem UKT yang sangat tinggi, dan ada pula yang menengah namun tetap mahal, belum lagi adanya uang pangkal yang harus dibayar di awal,” ujar politisi Alumni Master Psikologi Terapan dari Universitas Indonesia ini.

Ledia juga menyoroti perlunya sebuah sistem pendidikan tinggi yang lebih pro kepada masyarakat, terutama bagi warga negara Indonesia yang memiliki kemampuan akademis namun ada keterbatasan ekonomi. “Kita perlu membuat sistem yang lebih baik, yang lebih mendukung anak-anak kita untuk bisa kuliah tanpa dibebani biaya yang tidak mampu mereka tanggung,” ujar Politisi Fraksi PKS ini.

Lebih lanjut, Ledia menegaskan bahwa pendidikan tinggi harus diakses oleh semua lapisan masyarakat. “Kita membuat kampus itu mandiri, namun bukan berarti kita bisa mengabaikan warga negara Indonesia, terutama anak-anak muda kita yang sebenarnya punya kemampuan dalam akademisnya tapi tidak dalam ekonominya,” ujarnya.

Kebijakan saat ini, menurut Ledia, harus segera dibahas dan diperbaiki, dengan keterlibatan langsung dari kampus-kampus dan pemerintah untuk mencari solusi yang efektif. “Perlu ada diskusi serius antara pemerintah dengan perguruan tinggi untuk menata ulang sistem pendanaan pendidikan tinggi di negara kita,” tutur Ledia.

Dalam mencari solusi, Ledia juga menyarankan agar perguruan tinggi negeri bisa terhubung lebih baik dengan program beasiswa dan bantuan finansial lainnya yang bisa membantu meringankan beban mahasiswa. “Harus ada lebih banyak opsi beasiswa dan bantuan finansial yang dapat diakses oleh mahasiswa yang membutuhkan,” ucap Ledia.

Ledia berharap bahwa dengan perbaikan sistem yang lebih inklusif dan mendukung, Indonesia bisa mencapai tujuan menjadi negara dengan sumber daya manusia yang unggul pada 2045. “Ini semua tentang membangun fondasi yang kuat untuk pendidikan tinggi di Indonesia, memastikan semua anak berhak dan mampu mendapatkan pendidikan yang layak,” pungkasnya.

Baca Selengkapnya

BERITA

Geramnya Komisi II terhadap Biaya PBB yang Membengkak Akibat Sertifikat Tanah

Oleh

Fakta News
Geramnya Komisi II terhadap Biaya PBB yang Membengkak Akibat Sertifikat Tanah
Anggota Komisi II DPR RI Rosiyati MH Thamrin saat Kunjungan Kerja Reses Tim Komisi II ke Maros, Sulawesi Selatan, Senin (06/05/2024). Foto : DPR RI

Maros – Anggota Komisi II DPR RI Rosiyati MH Thamrin mengecam kebijakan terkait sertifikat tanah yang merugikan masyarakat. Dalam pernyataannya, ia menyampaikan keprihatinannya terhadap biaya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang melonjak drastis setelah penerbitan sertifikat tanah.

“Sangat disayangkan melihat betapa besarnya biaya PBB yang harus ditanggung masyarakat setelah memiliki sertifikat tanah. Hal ini menjadi hambatan besar bagi petani dan pengguna lahan lainnya untuk mendaftarkan tanah mereka,” ujar Rosiyati MH Thamrin saat Kunjungan Kerja Reses Tim Komisi II ke Maros, Sulawesi Selatan, Senin (06/05/2024).

Menurutnya, masyarakat enggan membuat sertifikat tanah karena adanya komponen biaya PBB yang meningkat secara signifikan setelah kepemilikan tanah tersebut bersertifikat. Hal ini berdampak negatif terutama bagi para petani dan pengguna lahan lainnya yang mayoritas hidup dengan penghasilan terbatas.

Rosiayati pun menyerukan pentingnya koordinasi antara pemerintah daerah dan Dinas Pajak untuk meninjau ulang kebijakan terkait tarif PBB. “Saya berharap agar Dinas Pajak dapat mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat yang terdampak dan menyesuaikan tarif PBB dengan lebih adil,” tambahnya.

Kemudian, Politisi Fraksi PDI-Perjuangan itu juga menegaskan bahwa pembenahan terhadap kebijakan tersebut penting dilakukan agar masyarakat merasa lebih terbantu dan terjamin hak-haknya atas tanah yang mereka miliki.

“Pemerintah harus fokus pada upaya mempermudah akses masyarakat terhadap kepemilikan tanah dengan biaya yang terjangkau, sehingga tidak menghambat pembangunan dan kesejahteraan masyarakat,” tutupnya.

Baca Selengkapnya

BERITA

PON XXI Sebentar Lagi, Pembangunan Venue Ternyata Belum Tuntas!

Oleh

Fakta News
PON XXI Sebentar Lagi, Pembangunan Venue Ternyata Belum Tuntas!
Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah saat mengikuti Kunjungan Kerja Reses Tim Komisi X DPR RI, di Kota Medan Sumatera Utara, Senin (06/05/2024). Foto: DPR RI

Medan – Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah mengungkapkan, kekhawatirannya terkait kesiapan pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI yang dijadwalkan pada September 2024 di Aceh dan Sumatera Utara. Ledia menyatakan bahwa meskipun pemerintah daerah telah berkomitmen dengan mengalokasikan dana besar, masih terdapat kekurangan yang perlu ditangani oleh pemerintah pusat.

“Pemerintah Provinsi Sumatera Utara telah mengeluarkan anggaran sekitar Rp2,1 triliun, dan belum lagi dari Pemerintah Kabupaten/Kota dari APBD untuk pembangunan venue dan lain-lain. Namun, ada beberapa hal penting yang masih harus di-cover oleh pemerintah pusat,” ujar Ledia, Medan, Sumatera Utara, Senin (6/5/2024).

Menurutnya, masih ada kebutuhan dana tambahan untuk menyelesaikan infrastruktur yang belum rampung. “Persoalnnya ada hal yang harus dicover oleh pemerintah pusat, apakah itu bisa selesai atau enggak. Kita belum tahu sampai sekarang pemerintah daerah juga enggak bisa apa-apa, itu sangat tergantung dari pusat,” ujarnya.

Ledia juga menyampaikan bahwa Komisi X DPR RI telah mengusulkan agar penundaan PON hingga awal tahun 2025 untuk memastikan semua persiapan bisa tuntas. “Beberapa dari kami sudah mengusulkan untuk ditunda sampai Januari atau Februari 2025 sehingga penyelenggaraannya bisa berjalan dengan baik dan tidak terburu-buru,” tegas Ledia.

Selain itu, Ledia menekankan bahwa ada kesamaan situasi dengan PON sebelumnya di Papua, yang juga harus diundur karena pandemi COVID-19. “Situasinya serupa dengan apa yang terjadi di Papua. Jika memang belum siap, jangan dipaksakan,” tegasnya.

Ledia juga berharap dengan waktu yang masih ada, bisa di optimalkan dengan baik. “Harapan nanti penyelenggarannya bisa berjalan dengan baik, karena ini baru pertama kali diselenggarakan di dua  provinsi, belum lagi setelah itu ada peparnas untuk disabilitas. Nah jadi memang harusnya lebih matang, kalau memang belum siap jangan dipaksakan,” ungkap Ledia.

Pemerintah Provinsi Sumatera Utara telah berkomitmen untuk juga menggunakan venue yang sudah ada dengan memperbaikinya. Namun, Ledia menyatakan, “Sekarang ini yang ditunggu adalah dukungan anggaran dari pemerintah pusat, bisa atau tidak,” ungkapnya.

Ditambah lagi, menurut Ledia, “Telah dianggarkan dari Kementerian Pemuda dan Olahraga sebanyak Rp300 miliar untuk biaya operasional seperti pembayaran wasit dan juri, namun untuk infrastruktur, kecepatan penyelesaian dari pemerintah pusat masih menjadi tanda tanya”.

Kekhawatiran terus mengemuka seiring dengan mendekatnya waktu pelaksanaan PON XXI, dengan banyak pihak berharap agar pemerintah pusat dapat segera mengambil tindakan untuk menyelesaikan persiapan yang masih tertunda.

Baca Selengkapnya