Ketika Batik Membawa Asa
Cerita ini berlangsung enam bulan yang lalu. Waktu pengunguman pemenang akhirnya tiba. Semua finalis ajang Young Social Entrepreneurs (YSE) di Singapura berkumpul di depan panggung hall auditorium Suntec Singapore Convention & Exhibition Centre. Wajah-wajah penasaran tak terhindarkan. Satu sama lain saling pandang dan menebar senyum penuh harapan. Mereka, 35 wirausaha muda di bidang sosial dari delapan negara, bersiap diri menerima apapun hasilnya.
“Tim Praxium dari Singapura,” seru Jean Tan, Direktur Eksekutif Singapore International Foundation (SIF) yang juga menjabat ketua panitia. Tepuk tangan langsung menyambut. Itu yang pertama, artinya ada lima lagi calon juara yang akan diumumkan. Sebab ajang bergengsi yang sudah tujuh kali digelar ini memang memperebutkan 6 pemenang dari 15 peserta yang lolos menjadi finalis tahun ini. Menariknya, lima di antaranya dari Indonesia.
Secara berurutan, Jean yang tampil modis kemudian menyebut satu per satu juara berikutnya. Mulai dari Saadhan (India), Psychkick (Singapura), Bebonobo (Azerbaijan-Malaysia-Yaman), hingga Nomad (Singapura). Sudah lima yang disebut, artinya tinggal satu slot yang tersisa—dan sampai sejauh ini, belum ada satu pun tim dari Indonesia.
Salah seorang wirausaha asal Tanah Air, Novi Anathasia Purba dari tim Kama Batik bahkan pesimistis dan sampai pindah ke barisan belakang. Untuk sesaat ia menunduk. Peluang untuknya menang kian menipis. “Kami yang dari Indonesia saling melihat satu sama lain. Ada rasa putus asa memang. Kalaupun masih ada satu harapan lagi untuk tim dari Indonesia, saat itu saya lebih menjagokan tim Iwak dan Riliv (Tim lain dari Indonesia). Mereka lebih matang dan sudah berjalan bisnisnya. Sementara saya masih merangkak,” aku Novi kepada Fakta.News, yang turut diundang saat itu.
Hingga akhirnya panitia melanjutkan pengunguman. Suara yang ditunggu-tunggu itu pun terdengar. “Dari Indonesia…. Kama Batik!”
Novi terhenyak sesaat. Ekspresinya membeku. Kakinya gemetar. Gadis berusia 22 tahun itu terdiam tak percaya pada apa yang baru saja didengarnya. Novi pun menangis sambil melangkah kecil menuju panggung mimpinya. Dalam riuh tepuk tangan para sahabat baru, ia melamun dan membayangkan wajah-wajah para ibu di Desa Sambon, Pekalongan—yang nasibnya sedang ia perjuangkan.
“Saat pamit, saya memang minta kepada ibu-ibu sedesa agar mendoakan yang terbaik untuk semua. Ini bukan tentang saya, tapi tentang mereka yang ingin sekali hidup sejahtera,” ujarnya.
Kama Batik memang layak juara. Konsep bisnis sosial yang diterapkan jebolan Administrasi Bisnis Universitas Diponegoro ini pun terbilang brilian. Ia memberdayakan ibu-ibu tuna karya di sebuah desa terpencil di Pekalongan untuk mengolah limbah batik padat menjadi sejumlah kerajinan tangan seperti gelang, kalung, bando dan lain-lain.
“Namun produk utamanya adalah bunga batik. Kain-kain batik bekas yang dibentuk menyerupai buket bunga dan vas ini merupakan yang pertama di Indonesia dan telah mendapat sertifikat dari Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan,” terang putri tunggal asal Medan ini.
Tanpa mengesampingkan ide-ide gila dari finalis wirausaha muda lain, konsep bisnis sosial Novi ini rupanya mendapat perhatian khusus dari para dewan juri. Padahal, akunya, ia sempat merasa tidak percaya diri lantaran kemampuan bahasa Inggrisnya belum sehebat kontestan lain. Ditambah lagi pengenalannya dengan batik pun sebenarnya baru berumur lima tahun. Namun begitu ia menyebut bahwa bunga batiknya merupakan yang pertama di Indonesia dan bisnisnya ini memiliki potensi menciptakan 450 lapangan pekerjaan, peluangnya untuk menang terbuka lebar.
“Rasanya lega setelah presentasi. Sebab sebelumnya saya sempat bolak-balik kamar mandi sampai 10 kali,” katanya lagi. Dara muda yang memulai bisnis sebagai reseller batik pekalongan ini lantas mengaku tak kuasa menahan gugup lantaran tekanannya bukan lagi untuk menang, melainkan menentukan apakah Kama Batik ini lanjut atau tidak. “Saya memang sudah kehabisan modal. Maka dari itu 15 menit kemarin, 8 menit presentasi dan 7 menit tanya jawab, menentukan nasib ibu-ibu sedesa,” lanjutnya.
Modal mungkin memang menjadi musuh besar utama para wirausaha rintisan. Novi sendiri sampai jatuh bangun untuk sekadar mengumpulkan uang Rp20 juta demi memulai bisnisnya. Uang tersebut ia kumpulkan dari tabungan, teman, orangtua teman, hingga teman orangtuanya. Ia pun merasa bersyukur bunga batiknya mendapat kucuran Rp30 juta dari Kementerian Perdagangan untuk membuka sayap baru dengan konsep sama di Desa Giriloyo, Yogyakarta.
“Di samping modal, masalah lainnya itu komitmen dan membangun sinergi,” tegasnya.
Menurutnya, menggabungkan konsep bisnis dan sosial tak semudah teorinya. Ia pun menemui hambatan itu saat mencoba memahami pemikiran para ibu-ibu yang sekadar berpikir: yang penting dapat uang. Sinergisitas antara pengurus manajemen dan para pekerjanya pun tak bisa dianggap remeh. Faktanya, banyak bisnis sosial yang kemudian “kedaluwarsa” dan terhenti di tengah jalan. Ini dinilai “bahaya” lantaran kegagalan bisnis sosial bisa berdampak ganda. Satu dari aspek bisnisnya, kedua dari sisi sosialnya yang berarti akan membuat orang-orang yang “diselamatkan” tadi kembali terjerembab dalam keputusasaan hidup.
Novi sendiri mendapatkan pelajaran berharga dari ayahnya sendiri yang pernah gagal dalam bisnis. Ibunya yang seorang pegawai negeri sipil pun sempat melarang keras putri satu-satunya itu terjun ke dunia bisnis, apalagi menyangkut hidup banyak orang pula. “Maka dari itu, ibu berpesan pada saya agar menjaga amanah ini baik-baik,” ujarnya mengacu pada hadiah Sin$20 ribu yang ia dapatkan dari ajang YSE.
Terkait hal ini, Jean pun beranggapan bahwa tujuan utama dari ajang YSE sendiri adalah dapat memberikan perubahan sosial. Bagaimana seseorang pengusaha muda bisa memberi dampak signifikan, menginspirasi, memfasilitasi, hingga menciptakan harapan dan mimpi banyak orang yang memang lebih membutuhkannya. “Dampak sosial ini bisa diimplementasikan dalam banyak bidang seperti pendidikan, kesehatan, pelestarian budaya, hingga tentunya kesejahteraan dan kemanusiaan,” terangnya, sesaat sebelum ia mengumumkan nama-nama juara YSE.
Tak Terbatas Media
Nah, salah satu pembeda antara “social entrepreneurs” dengan bisnis pada umumnya adalah media. Seperti diketahui, di zaman serbateknologi ini, digitalisasi seolah tak terbendung. Beberapa usaha rintisan (startup) menjamur begitu pesatnya. Namun hal ini tidak (atau setidaknya belum) terjadi secara keseluruhan di bisnis sosial.
Salah satu Pendiri Asian Philanthropic Ventures, Keith Chua, yang kerap menjembatani banyak perintis usaha dengan investor, pun menilai Novi punya visi yang baik terhadap hal ini. Menurut salah satu juri dari YSE 2016 itu, bisnis yang berangkat dari hati seperti yang Novi angkat, lebih mengedepankan apa dampak sosial yang muncul. Berbasis teknologi sekalipun—yang notabene tidak menciptakan pertemuan langsung—selama masih memberikan perubahan sosial tak bermasalah besar.
“Bahwa memang teknologi saat ini sangat penting iya. Namun teknologi hanya sebatas faktor pembantu saja, pelengkap fasilitas. Tidak bisa kita kategorikan bisnis dengan teknologi telah menggeser bisnis konvensional,” ucapnya kepada Fakta.News saat diminta komentarnya mengenai juara dari Indonesia itu.
Berkaca pada 15 tim dari 8 negara yang lolos jadi finalis YSE tahun ini saja, hanya ada 5 tim yang berbasis teknologi. Riliv, salah satu tim Indonesia yang digawangi tiga pemuda Audrey Maximillian Heri, Audy Christopher Herli, dan Imania Ainiputri Mahidin adalah salah satunya. Adapun Konsep Riliv memang sebuah aplikasi media sosial yang membantu orang-orang yang merasa terzalimi. Menurut penilitan mereka, hampir 800 ribu orang di Indonesia tertekan hidupnya karena di-bully di media sosial. Jadi ranahnya memang basis teknologi.
Lain hal dengan PsychKick dan Praxium, duo tim asal Negeri Singa berbasis teknologi yang sukses menjadi juara. Fasilitas teknologi yang mereka gunakan lebih kepada metode bantuan untuk para penggunanya. PsychKick, misalnya, yang digagas pasangan Shafiqah Nurul dan Sayid Hafiz, mengandalkan aplikasi perangkat ponsel yang berisi layanan psikoterapi. Sementara Praxium yang didirikan Louis Puah, membuat aplikasi belajar yang ditujukan untuk para pemuda usia 14-18 yang tak memiliki motivasi belajar sehingga membuat dirinya luntang-luntung tanpa arah hidup yang jelas. Singkatnya, aplikasi-aplikasi tadi pun tak berbayar alias gratis karena memang sifatnya sosial.
Terlepas dari teknologi atau konvensional, prinsip dasar bisnis sosial pastinya tidak hanya melulu berorientasi keuntungan dalam bentuk materi, tetapi lebih untuk memberdayakan kelompok-kelompok masyarakat tertentu dan ramah lingkungan. Menariknya, saat ada sentimen bahwa negara terkesan cuek pada nasib rakyat, justru anak muda yang muncul sebagai pahlawannya. Faktanya, hal ini telah jadi tren baru bisnis di kalangan anak muda.
Cerita Novi tadi boleh jadi merupakan contoh kecilnya. Apalagi, ini yang menurut penulis menarik, satu alasan besar mengapa dirinya ikut terjun ke dunia bisnis sosial karena ketergantungan ibu-ibu yang ia pekerjakan pada dirinya yang baru 22 tahun. “Ketika bilang ke mereka bahwa saya akan ke Singapura dalam waktu yang cukup lama, ibu-ibu itu bilang: Mbak Novi jangan pergi dong. Kalau Mbak Novi pergi kita mau makan apa?”
W. Novianto
BERITA
Sosok K’tut Tantri yang Terlupakan, Wanita yang Berjasa bagi NKRI di Masa Perjuangan
“Saya mungkin akan dilupakan oleh Indonesia…Tapi Indonesia adalah bagian hidup saya”
K’TUT TANTRI……
Masih sangat di sayangkan banyak yng tidak tahu perjuangan wanita bule untuk negeri ini. Disiksa Jepang nyaris membuat ia gila bahkan tewas… Tapi tak menyurutkan hati nya untuk memperjuangkan negeri barunya itu…
Bahkan Bung Tomo terkesiap saat menyaksikan bagaimana dengan tenang nya K’tut Tantri menyiarkan bombardir tentara Inggris pada kota Soerabaia dengan menulis catatan…..
“Saja tidak akan melupakan detik-detik dikala Tantri dengan tenang mengutjapkan pidatonja dimuka mikropon, sedangkan bom-bom dan peluru2 mortir berdjatuhan dengan dahsjatnja dikeliling pemantjar radio pemberontakan,” tulis Bung Tomo…..
K’tut Tantri lahir di Glasgow Skotlandia dengan nama Muriel Stuart Walker, pada 18 Februari 1899. Ia adalah anak satu-satunya dari pasangan James Hay Stuart Walker dan Laura Helen Quayle.
Setelah Perang Dunia I, bersama sang ibu, ia pindah ke California, Amerika Serikat (AS). Kelak di Negeri Paman Sam, Tantri bekerja sebagai penulis naskah dan antara 1930 hingga 1932 ia menikah dengan Karl Jenning Pearson.
Tantri memutuskan pindah ke Bali setelah ia menonton film berjudul, “Bali, The Last Paradise”. Hal itu ia ungkapkan gamblang dalam bukunya, “Revolt in Paradise” yang terbit pada 1960.
“Pada suatu sore saat hujan rintik-rintik, saya berjalan di Hollywood Boulevard, saya berhenti di depan sebuah gedung bioskop kecil yang memutar film asing, mendadak saya memutuskan untuk masuk. Film asing tersebut berjudul “Bali, The Last Paradise”. Saya menjadi terpesona,” tulis Tantri.
“Sebuah film yang menunjukkan contoh kehidupan penduduk yang cinta damai, penuh rasa syukur, cinta, dan keindahan. Ya, saya merasa telah menemukan kembali hidup saya. Saya merasa telah menemukan tempat di mana saya ingin tinggal,” ujar dia dalam bukunya.
Selang beberapa bulan kemudian, Tantri tiba di Pulau Dewata. Kala itu ia bersumpah mobil yang dikendarainya hanya akan berhenti jika sudah kehabisan bensin dan kelak ia akan tinggal di tempat pemberhentian terakhirnya itu.
Ternyata mobil Tantri kehabisan bensin di depan sebuah istana raja yang pada awalnya ia yakini adalah pura. Dengan langkah hati-hati ia memasuki tempat itu dan tak berapa lama kemudian perempuan itu diangkat sebagai anak keempat oleh Raja Bangli Anak Agung Gede –sejumlah sumber menyebut ia menyamarkan nama asli sang raja.
Tantri menetap di Bali sejak 1934 dan ketika Jepang mendarat di Pulau Dewata, ia berhasil melarikan diri ke Surabaya. Di kota inilah ia mulai membangun hubungan dengan para pejuang kemerdekaan.
Di Surabaya, Tantri bergabung dengan radio yang dioperasikan para pejuang pimpinan Sutomo atau akrab disapa Bung Tomo. Dan ketika pecah pertempuran hebat pada 10 November 1945, tanpa gentar, Tantri berpidato dalam bahasa Inggris sementara hujan bom dan peluru mortir terjadi di sekeliling pemancar radio.
“Aku akan tetap dengan rakyat Indonesia, kalah atau menang. Sebagai perempuan Inggris barangkali aku dapat mengimbangi perbuatan sewenang-wenang yang dilakukan kaum sebangsaku dengan berbagai jalan yang bisa kukerjakan,”..tulisnya dalam Revolt in Paradise.
Pilihannya untuk bergabung dalam perjuangan bangsa Indonesia meraih kemerdekaan itu membuat kalangan pers internasional menjulukinya “Surabaya Sue” atau penggugat dari Surabaya.
Ia diketahui mulai akrab dengan dunia politik setelah menjalani diskusi intens dengan Anak Agung Nura — putra tertua raja yang mengangkatnya sebagai anak.
Menyadari dirinya menjadi target Jepang, Tantri memutuskan sembunyi di Solo. Namun nahas, keberadaanya diketahui Jepang dan akhirnya ia pun ditahan Kempetai –satuan polisi militer Jepang.
Perempuan itu dibawa ke sebuah penjara di daerah Kediri. Kondisi selnya sangat memprihatinkan di mana tempat tidurnya hanya beralaskan tikar kotor, bantal yang terbuat dari merang sudah menjadi sarang bagi kutu busuk, sementara berfungsi sebagai jamban adalah lubang di tanah dengan seember air kotor di sampingnya.
Tantri hanya diberi makan dua hari sekali, itu pun hanya segenggam nasi dengan garam. Hasilnya, berat badannya turun 5 kilogram dalam minggu pertama.
Kelaparan dan kejorokan memang menjadi senjata andalan Jepang ketika itu. Ini ditujukan untuk mematahkan semangat para tahanan sehingga mereka mau memberi informasi yang dibutuhkan.
Kendati mengalami bertubi-tubi penyiksaan bahkan nyaris dieksekusi, Tantri memilih tetap bungkam ketika disodori pertanyaan terkait dengan aktivitas bawah tanahnya. Dan setelah ditahan kurang lebih selama tiga minggu, ia pun dibebaskan.
Pasca-kebebasannya, ia diberi dua pilihan. Kembali ke negerinya dengan jaminan pengamanan tentara Indonesia atau bergabung dengan para pejuang. Tantri memilih opsi kedua.
Pada satu waktu, ia diculik oleh sebuah faksi tentara Indonesia dan diminta untuk siaran di “radio gelap” yang mereka kelola. Namun ia berhasil dibebaskan oleh pasukan Bung Tomo.
Ketika pemerintahan Indonesia pindah ke Yogyakarta, ia pun bergabung sebagai penyiar di Voice of Free Indonesia era 1946-1947. Dan ia dilaporkan pernah menjadi mata-mata yang berhasil menjebak sekelompok pengkhianat.
Mara bahaya senantiasa mengincar Tantri. Sementara ketenaran dan kerelaannya untuk berkorban membuatnya menjadi rebutan sejumlah faksi politik.
Ia diutus oleh pemerintah Indonesia ke sebuah konferensi pers yang dihadiri wartawan dan koresponden kantor berita dan media massa asing untuk mengisahkan bagaimana rakyat begitu bersemangat mendukung perjuangan kemerdekaan. Berbeda dengan propaganda Belanda yang menyebutkan bahwa pemerintahan Sukarno – Hatta tak mendapat dukungan.
Tantri juga pernah dikirim ke Singapura dan Australia dalam rangka menggalang solidaritas internasional. Tanpa visa ataupun paspor dan dengan hanya bermodal kapal tua yang dinakhodai seorang pria berkebangsaan Inggris, ia berhasil lolos dari blokade laut Belanda.
Dari Singapura ia bergerak ke Belanda demi menggalang dana dan melakukan propaganda. Ia berhasil, sebuah demonstrasi mahasiswa terjadi di perwakilan pemerintahan Belanda di Negeri Kanguru itu.
K’tut Tantri menetap di Indonesia selama 15 tahun, sejak 1932 hingga 1947.
Pada tanggal 10 November 1998, pemerintah Indonesia mengganjarnya dengan Bintang Mahaputra Nararya atas jasanya sebagai wartawan sekaligus pegawai di Kementerian Penerangan pada 1950.
Tantri yang juga memiliki darah bangsa Viking –sehingga dikenal sebagai pemberani dan gemar petualangan– tutup usia pada Minggu 27 Juli 1997. Perempuan yang perjalanan hidupnya akan segera difilmkan itu, meninggal dunia di sebuah panti jompo di pinggiran Kota Sydney, Australia, di mana ia menjadi permanen resident sejak 1985.
Perempuan yang disebut sebagai salah satu perintis hubungan persahabatan Indonesia – Australia itu memang tak pernah mengangkat senjata atau tutup usia sebagai warga negara Indonesia. K’tut Tantri justru memanfaatkan identitasnya sebagai orang asing berbahasa Inggris untuk mengambil peran dalam ranah diplomasi yang mengedepankan komunikasi dan jelas apa yang dilakukannya itu penuh risiko.
Dalam tulisan di buku catatan harian nya sebelum meninggal ia menulis…..
“Apa yang aku lakukan untuk Indonesia mungkin tak tercatat di buku sejarah Indonesia, mungkin Indonesia akan melupakan ku, namun indonesia adalah bagian hidup ku, jika aku mati tabur abu ku di pantai Bali”……
Saat wanita gagah ini meninggal di peti jenasahnya ditutupi bendera Merah Putih dan di beri renda renda khas Bali seperti permintaannya….
Mengenang sejarah sekitar orang-orang yang berjasa bagi NKRI dimasa masa perjuangan.
BERITA
Kabar Duka: Tio Hui Eng, Istri Indrajono Sangkawang Meninggal Dunia
Surabaya – Kabar duka datang dari keluarga besar Indrajono Sangkawang, istri tercintanya Tio Hui Eng dikabarkan telah meninggal dunia pada Sabtu (5/2/2022) di Mayapada Hospital, Surabaya, pukul 00.58 WIB.
Almarhumah Tio Hui Eng meninggal dunia pada umur 62 tahun. Dari pernikahannya dengan Indrajono Sangkawang, beliau meninggalkan empat anak tercintanya.
Rencananya upacara tutup peti akan dilaksanakan pada hari Senin, 7 Februari 2022, pukul 09.00-11.00 WIB di Adijasa, Ruang E, F, dan G. Sementara pemakaman akan dilaksanakan berangkat dari rumah duka pada hari Jumat 11 Februari 2022, pukul 09.00 WIB.
Kami segenap keluarga besar redaksi Fakta.News mengucapkan duka yang sangat mendalam bagi almarhumah dan keluarga yang ditinggal.
Semoga almarhumah diberikan tempat yang terbaik di sisiNya dan untuk keluarga yang ditinggalkan diberi kekuatan oleh Allah Yang Maha Pengasih untuk menghadapi cobaan ini.
GAYA HIDUP
Kisah Changpeng Zhao si Pendiri Binance
Jakarta – Apa itu Binance? Binance adalah coin exchange atau juga dapat dikatakan pertukaran koin dari satu koin ke koin lainnya seperti dari Bitcoin ke Altcoin (dulu). Sekarang, anda bisa menggunakan kartu kredit atau uang fiat.
Salah satu platform perdagangan mata uang kripto yang sukses besar adalah Binance, yang didirikan oleh Changpeng Zhao. Bagaimana kisahnya yang menarik?
Zhao saat ini adalah salah satu orang terkaya dengan harta USD 1,9 miliar, sekitar Rp 27 triliun. Lelaki yang bermukim di Singapura ini lahir di China tapi kemudian berkewarganegaraan Kanada.
Zhao besar di Jiangsu, kedua orang tuanya adalah guru. Ketika beranjak remaja, Zhao sempat kerja di McDonald’s memasak burger dan tugas lainnya. Pada malam hari, dia juga bekerja di pom bensin.
Pada akhir 1980-an, Zhao dan keluarganya pindah ke Kanada. Ayahnya yang seorang profesor diasingkan karena bermasalah dengan negaranya. Zhao kemudian kuliah di MacGill University di Kota Montreal jurusan Ilmu Komputer.
Dia kemudian bekerja mengembangkan sistem perdagangan di bursa saham Tokyo di mana karirnya cepat menanjak. Namun pada tahun 2005, Zhao memutuskan keluar, pindah ke Shanghai, dan mendirikan perusahaan keuangan bernama Fusion Systems.
Tak puas dengan itu, Zhao mencium peluang bisnis besar di dunia kripto hingga mendirikan Binance di tahun 2017. Platform Binance bisa digunakan untuk memperdagangkan mata uang kripto ataupun untuk menyimpannya.
Binance juga punya uang kripto sendiri bernama BNB, terbesar ketiga di dunia dengan kapitalisasi pasar USD 54 miliar. Pada 2017 itu, Binance mengumpulkan pendanaan USD 15 juta dan mereka cepat berkembang. Pada tahun berikutnya, penggunanya mencapai 6 juta user.
Zhao dan Binance makin terkenal. Tahun 2020, Binance memperoleh pendapatan USD 800 juta dan volume total perdagangan tembus USD 2 triliun.
Zhao punya tato Binance di lengannya. Saking fanatik dengan bisnis kripto, dia mengklaim menginvestasikan seluruh uangnya dalam bentuk mata uang kripto.
“Barang-barang fisik yang aku punya mungkin tak ada artinya dibandingkan kekayaanku. Aku tidak menggunakan mata uang kripto untuk beli mobil, beli rumah. Aku hanya ingin menyimpannya. Aku tak berencana menukarnya menjadi uang di masa depan,” klaimnya.
Ya, dia mengaku hidup biasa-biasa saja. Dalam wawancara dengan Forbes di 2018, Zhang menyatakan tak punya kendaraan, jam mewah atau kapal pesiar. Tapi ia kadang memborong laptop, kadang enam unit sekaligus karena ia sering merusaknya.