Berkeliling Dunia Lewat Boneka
Kata siapa boneka tidak bernyawa? Di tangan Maria Tri Sulistiyani atau yang lebih dikenal dengan nama Ria Papermoon, sebuah boneka bisa seolah-olah hidup. Dengan mengandalkan paduan antara musik, properti, dan set panggung, ia menciptakan sebuah pertunjukkan boneka yang selalu berhasil menghipnotis penontonnya. Pertunjukkan boneka itu lantas disebut Papermoon Puppet Theater.
Papermoon Puppet Theater ini sudah berdiri sejak 2006. Berbeda dengan pertunjukan wayang kulit atau wayang golek yang “dihidupkan” oleh seorang dalang melalui gerakan dan suara, di atas panggung satu karakter boneka Papermoon digerakkan satu hingga tiga orang. Kehadiran boneka di tengah panggung ini didukung oleh sistem pencahayaan, musik, dan tata busana sesuai cerita yang diangkat. Tidak berbeda dengan pentas teater pada umumnya.
Kisahnya sendiri diceritakan melalui gerakan-gerakan boneka yang luwes dan simbol-simbol yang ditampilkan di atas panggung. Begitu hidup dan memukau, penonton merasa seperti tidak menonton pentas boneka, melainkan teater sungguhan. Hebatnya lagi, gerakan boneka bisa dibuat sedemikian mirip dengan gerakan manusia. Setiap sosok boneka menunjukkan hasil sebuah karya seni tingkat tinggi, sehingga menampilkan sosok dalam naskah teater dengan sempurna.
Saking uniknya, teater boneka karya Ria Papermoon ini bahkan sudah mendunia. Malah di sejumlah negara, seperti Malaysia, Singapura, India, Vietnam, Jepang, Korea Selatan, bahkan Inggris, Belanda, dan Amerika Serikat, Papermoon Puppet Theater mendapat apresiasi tinggi dan kerap dipertunjukkan. Paling terbaru saat film Ada Apa dengan Cinta 2 turut menampilkannya dalam sebuah adegan.
Meski mengandalkan boneka, penonton Papermoon Puppet Theater justru kebanyakan dari kalangan pelajar dan dewasa. Seringnya mengangkat tema-tema serius menjadi alasannya. Terkadang juga, Ria mengangkat kisah-kisah “terpendam” yang pernah menjadi bagian dari sejarah tertentu–yang banyak tidak diketahui orang.
Meski kini disukai kaum dewasa, Papermoon Puppet Theater awalnya merupakan sebuah sanggar atau komunitas kecil yang dilengkapi dengan perpustakaan untuk anak-anak. Setiap sore hari, anak-anak datang untuk membaca, belajar, dan membuat boneka di tempat tersebut. Selain itu, mereka kerap mengadakan pertunjukan boneka yang awalnya ditujukan untuk anak-anak.
Kemudian, Ria bersama dengan sang suami Iwan Effendi, mengubah komunitas kecil tersebut menjadi sebuah Theatre Company. Seiring dengan perubahan ke arah yang lebih serius, komunitas atau sanggar yang mulanya diperuntukkan untuk anak-anak tersebut juga berubah segmentasi untuk kalangan dewasa, karena memiliki jalan cerita yang cukup serius dan membawakan isu-isu dewasa.
Dalam debut karya pertamanya “Noda Lelaki di Dada Mona”, Papermoon berhasil membangun perhatian publik dengan tema cerita yang dewasa. Llau dalam kelanjutannya hingga saat ini, Papermoon terus berinovasi dengan tema cerita yang lebih beragam dan menjangkau publik yang jauh lebih luas. Tidak hanya dari segi cerita, keunikan Papermoon yang pertama kali menangkap mata audiens, tiada lain dari tampilan puppet-nya yang khas ala Papermoon.
Namun, sebelum melangkah lebih jauh mengenai prestasi Papermoon Puppet Theater, perlu diketahui juga sepak terjang Ria mengapa memilih jalur ini. Pastinya, terceburnya ia ke dunia ini memang tak terlepas dari kecintaannya pada pertunjukkan dan seni rupa.
Berawal dari Teater
Ria tidak lahir dari keluarga seni. Namun seni pertunjukan dan seni rupa begitu kental mengalir di darahnya. Perkenalannya pada dunia seni diawali dengan bergabung bersama kelompok teater pada masa kuliah.
Empat tahun berkecimpung di dunia teater menumbuhkan kecintaannya pada proses sebuah karya pertunjukan, bukan sebagai aktor panggung seperti yang selama ini dikerjakannya. Ria pun keluar dari kelompok teater tersebut. Sambil menyelesaikan kuliah, dia bekerja sebagai manajer sekaligus desainer di sebuah studio keramik di Yogyakarta. Nah, di tempat inilah ia jatuh cinta pada dunia seni rupa.
Tak ingin berlama-lama di satu tempat, tepatnya setelah lulus, sarjana komunikasi dari Universitas Gadjah Mada ini bekerja di sebuah Taman Kanak-kanak. Beberapa waktu berselang, lagi-lagi wanita kelahiran 4 November 1981 ini memutuskan keluar dan membuat sanggar untuk anak-anak yang diberinya nama Papermoon.
Setelah sanggar berjalan selama dua tahun, Maria mengubah formatnya menjadi teater boneka dengan mengawinkan dunia seni rupa dan seni pertunjukkan. Lahirlah Papermoon Puppet Theatre.
Meski menampilkan cerita untuk penonton dewasa, Papermoon tidak menepiskan sisi komedi. Untuk naskah “Lunang, Laki-Laki Laut” yang dipentaskan di ArtJOG 2013 lalu misalnya, Ria menggarapnya dengan lebih banyak melibatkan unsur kontemporer. Dari tarian, musik yang lebih ringan, dan karakter lucu yang mudah mengundang derai tawa. Laki-Laki Laut ini menampilkan kumpulan cerita penjelajah laut dari berbagai negara yang berusaha menemukan nusantara.
Layaknya film-film besar, Ria selalu melakukan riset yang detail agar mendalami karakter bonekanya. Untuk “Laki-laki Laut” saja, ia sampai mengunjungi daerah Lasem dan Rembang untuk mendapatkan ilham. Seperti diketahui, di abad ke-15 daerah tersebut adalah bandar yang ramai dan sukses disinggahi pelayar mancanegara. Pasalnya saat ini daerah tersebut terbengkalai, jauh dari kesuksesan pada zaman dahulu.
Adapun dipilihnya teater boneka kontemporer bukan tanpa alasan. Menurutnya orang cenderung lebih mudah menerima pesan sebuah pertunjukkan jika disampaikan lewat teater boneka. Entah karena boneka memang mengesankan sebagai objek yang menghibur, sehingga membuat penonton rileks saat menontonnya. Walaupun cerita yang diangkat merupakan kisah yang cukup berat atau kelam.
Salah satu buktinya bisa dilihat dari karyanya yang berjudul “Mwathrikayang”. Bercerita tentang korban politik pasca September 1965, pertunjukkan ia kemas dalam pementasan imajinatif dengan teknik berkisah yang bagus. Hasilnya lahirlah sebuah penampilan yang menguras emosi. Adapun dalam membuat karya berlatar belakang sejarah ini, Ria memerlukan waktu yang tidak sedikit untuk riset mendalam.
“Kami bertanya pada pelaku sejarah tentang peristiwa yang mereka alami saat itu. Memang banyak buku yang menceritakan tragedi 1965, tapi sedikit yang bisa menggambarkan perasaan mereka. Seperti cerita seorang narasumber yang saat itu masih berusia 12 tahun. Dia terpaksa mengasuh adik-adiknya sendiri setelah ayahnya ditangkap pemerintah dan baru kembali setelah 13 tahun. Sebagai anak tanpa orangtua, tidak ada satu orang pun di kampungnya yang berani menolong karena mereka takut akan ditangkap tentara. Sampai-sampai untuk makan, dia harus menangkap kodok di sawah,” tutur Ria seperti dikutip dalam wawancaranya bersama Huffingtonpost.com.
Menariknya lagi, seperti dikutip dari Astralife, ide-ide Ria yang dituangkan dalam teater bonekanya ini lahir dari kehidupan sehari-hari. Ia pun mengakui bahwa inspirasinya banyak datang dari cerita tentang kehidupan orang-orang dan juga dari barang-barang tua. Jadi jangan heran bila kerap menemui Ria tengah asik dengan barang-barang kunonya. Ria pun dikenal sebagai wanita yang senang menyusuri bangunan-bangunan tua hingga pasar-pasar loak di Yogyakarta maupun di kota-kota lain. Baginya, sesuatu yang usang menyimpan banyak kisah yang menarik untuk diceritakan lagi. Hal ini dibuktikan dengan karyanya “Secangkir Kopi dari Playa” yang berlatar belakang toko barang antik.
Keliling Dunia
Siapa sangka, sepuluh tahun sejak berdiri pada tahun 2006 sudah banyak kisah yang ditampilkan Papermoon Puppet Theatre. Menempati kursi Direktur Artistik, Ria bersama suaminya Iwan Effendi sebagai penata artistik telah berkeliling dunia. Dari mulai Malaysia, Korea, India, Jepang, Amerika Serikat, dan Inggris, Ria sukses menyampaikan pesan akan kekayaan sejarah nasional.
Pernah juga di tahun 2015, ia selama tiga bulan lamanya diundang khusus oleh University of New Hampshire untuk mengajar teater boneka kepada mahasiswanya. Tidak hanya filosofi tentang teater boneka, mereka juga mengajarkan cara membuat boneka-boneka yang biasa digunakan Papermoon Puppet Theatre. Pada akhir program, bersama para mahasiswa jurusan teater dan tari, mereka sukses melakukan pementasan.
Bahkan tidak hanya berdua dengan suami. Belakangan ini mereka pun ditemani putra terkasih, Lunang Pramusesa. Meski masih kecil, Lunang sudah berkeliling kota dan negara. Status sebagai ibu pun tidak menghentikan langkahnya untuk membawa Papermoon Puppet Theatre mendunia. Bisa dibilang juga, Ria seperti tidak mau kehilangan momen perkembangan si kecil. Oleh karena itulah ke mana Ria pergi, Lunang kerap mengikuti.
Nah, jika negara-negara lain saja begitu mengapresiasi teater boneka, mengapa kita tidak?
W. Novianto
BERITA
Sosok K’tut Tantri yang Terlupakan, Wanita yang Berjasa bagi NKRI di Masa Perjuangan
“Saya mungkin akan dilupakan oleh Indonesia…Tapi Indonesia adalah bagian hidup saya”
K’TUT TANTRI……
Masih sangat di sayangkan banyak yng tidak tahu perjuangan wanita bule untuk negeri ini. Disiksa Jepang nyaris membuat ia gila bahkan tewas… Tapi tak menyurutkan hati nya untuk memperjuangkan negeri barunya itu…
Bahkan Bung Tomo terkesiap saat menyaksikan bagaimana dengan tenang nya K’tut Tantri menyiarkan bombardir tentara Inggris pada kota Soerabaia dengan menulis catatan…..
“Saja tidak akan melupakan detik-detik dikala Tantri dengan tenang mengutjapkan pidatonja dimuka mikropon, sedangkan bom-bom dan peluru2 mortir berdjatuhan dengan dahsjatnja dikeliling pemantjar radio pemberontakan,” tulis Bung Tomo…..
K’tut Tantri lahir di Glasgow Skotlandia dengan nama Muriel Stuart Walker, pada 18 Februari 1899. Ia adalah anak satu-satunya dari pasangan James Hay Stuart Walker dan Laura Helen Quayle.
Setelah Perang Dunia I, bersama sang ibu, ia pindah ke California, Amerika Serikat (AS). Kelak di Negeri Paman Sam, Tantri bekerja sebagai penulis naskah dan antara 1930 hingga 1932 ia menikah dengan Karl Jenning Pearson.
Tantri memutuskan pindah ke Bali setelah ia menonton film berjudul, “Bali, The Last Paradise”. Hal itu ia ungkapkan gamblang dalam bukunya, “Revolt in Paradise” yang terbit pada 1960.
“Pada suatu sore saat hujan rintik-rintik, saya berjalan di Hollywood Boulevard, saya berhenti di depan sebuah gedung bioskop kecil yang memutar film asing, mendadak saya memutuskan untuk masuk. Film asing tersebut berjudul “Bali, The Last Paradise”. Saya menjadi terpesona,” tulis Tantri.
“Sebuah film yang menunjukkan contoh kehidupan penduduk yang cinta damai, penuh rasa syukur, cinta, dan keindahan. Ya, saya merasa telah menemukan kembali hidup saya. Saya merasa telah menemukan tempat di mana saya ingin tinggal,” ujar dia dalam bukunya.
Selang beberapa bulan kemudian, Tantri tiba di Pulau Dewata. Kala itu ia bersumpah mobil yang dikendarainya hanya akan berhenti jika sudah kehabisan bensin dan kelak ia akan tinggal di tempat pemberhentian terakhirnya itu.
Ternyata mobil Tantri kehabisan bensin di depan sebuah istana raja yang pada awalnya ia yakini adalah pura. Dengan langkah hati-hati ia memasuki tempat itu dan tak berapa lama kemudian perempuan itu diangkat sebagai anak keempat oleh Raja Bangli Anak Agung Gede –sejumlah sumber menyebut ia menyamarkan nama asli sang raja.
Tantri menetap di Bali sejak 1934 dan ketika Jepang mendarat di Pulau Dewata, ia berhasil melarikan diri ke Surabaya. Di kota inilah ia mulai membangun hubungan dengan para pejuang kemerdekaan.
Di Surabaya, Tantri bergabung dengan radio yang dioperasikan para pejuang pimpinan Sutomo atau akrab disapa Bung Tomo. Dan ketika pecah pertempuran hebat pada 10 November 1945, tanpa gentar, Tantri berpidato dalam bahasa Inggris sementara hujan bom dan peluru mortir terjadi di sekeliling pemancar radio.
“Aku akan tetap dengan rakyat Indonesia, kalah atau menang. Sebagai perempuan Inggris barangkali aku dapat mengimbangi perbuatan sewenang-wenang yang dilakukan kaum sebangsaku dengan berbagai jalan yang bisa kukerjakan,”..tulisnya dalam Revolt in Paradise.
Pilihannya untuk bergabung dalam perjuangan bangsa Indonesia meraih kemerdekaan itu membuat kalangan pers internasional menjulukinya “Surabaya Sue” atau penggugat dari Surabaya.
Ia diketahui mulai akrab dengan dunia politik setelah menjalani diskusi intens dengan Anak Agung Nura — putra tertua raja yang mengangkatnya sebagai anak.
Menyadari dirinya menjadi target Jepang, Tantri memutuskan sembunyi di Solo. Namun nahas, keberadaanya diketahui Jepang dan akhirnya ia pun ditahan Kempetai –satuan polisi militer Jepang.
Perempuan itu dibawa ke sebuah penjara di daerah Kediri. Kondisi selnya sangat memprihatinkan di mana tempat tidurnya hanya beralaskan tikar kotor, bantal yang terbuat dari merang sudah menjadi sarang bagi kutu busuk, sementara berfungsi sebagai jamban adalah lubang di tanah dengan seember air kotor di sampingnya.
Tantri hanya diberi makan dua hari sekali, itu pun hanya segenggam nasi dengan garam. Hasilnya, berat badannya turun 5 kilogram dalam minggu pertama.
Kelaparan dan kejorokan memang menjadi senjata andalan Jepang ketika itu. Ini ditujukan untuk mematahkan semangat para tahanan sehingga mereka mau memberi informasi yang dibutuhkan.
Kendati mengalami bertubi-tubi penyiksaan bahkan nyaris dieksekusi, Tantri memilih tetap bungkam ketika disodori pertanyaan terkait dengan aktivitas bawah tanahnya. Dan setelah ditahan kurang lebih selama tiga minggu, ia pun dibebaskan.
Pasca-kebebasannya, ia diberi dua pilihan. Kembali ke negerinya dengan jaminan pengamanan tentara Indonesia atau bergabung dengan para pejuang. Tantri memilih opsi kedua.
Pada satu waktu, ia diculik oleh sebuah faksi tentara Indonesia dan diminta untuk siaran di “radio gelap” yang mereka kelola. Namun ia berhasil dibebaskan oleh pasukan Bung Tomo.
Ketika pemerintahan Indonesia pindah ke Yogyakarta, ia pun bergabung sebagai penyiar di Voice of Free Indonesia era 1946-1947. Dan ia dilaporkan pernah menjadi mata-mata yang berhasil menjebak sekelompok pengkhianat.
Mara bahaya senantiasa mengincar Tantri. Sementara ketenaran dan kerelaannya untuk berkorban membuatnya menjadi rebutan sejumlah faksi politik.
Ia diutus oleh pemerintah Indonesia ke sebuah konferensi pers yang dihadiri wartawan dan koresponden kantor berita dan media massa asing untuk mengisahkan bagaimana rakyat begitu bersemangat mendukung perjuangan kemerdekaan. Berbeda dengan propaganda Belanda yang menyebutkan bahwa pemerintahan Sukarno – Hatta tak mendapat dukungan.
Tantri juga pernah dikirim ke Singapura dan Australia dalam rangka menggalang solidaritas internasional. Tanpa visa ataupun paspor dan dengan hanya bermodal kapal tua yang dinakhodai seorang pria berkebangsaan Inggris, ia berhasil lolos dari blokade laut Belanda.
Dari Singapura ia bergerak ke Belanda demi menggalang dana dan melakukan propaganda. Ia berhasil, sebuah demonstrasi mahasiswa terjadi di perwakilan pemerintahan Belanda di Negeri Kanguru itu.
K’tut Tantri menetap di Indonesia selama 15 tahun, sejak 1932 hingga 1947.
Pada tanggal 10 November 1998, pemerintah Indonesia mengganjarnya dengan Bintang Mahaputra Nararya atas jasanya sebagai wartawan sekaligus pegawai di Kementerian Penerangan pada 1950.
Tantri yang juga memiliki darah bangsa Viking –sehingga dikenal sebagai pemberani dan gemar petualangan– tutup usia pada Minggu 27 Juli 1997. Perempuan yang perjalanan hidupnya akan segera difilmkan itu, meninggal dunia di sebuah panti jompo di pinggiran Kota Sydney, Australia, di mana ia menjadi permanen resident sejak 1985.
Perempuan yang disebut sebagai salah satu perintis hubungan persahabatan Indonesia – Australia itu memang tak pernah mengangkat senjata atau tutup usia sebagai warga negara Indonesia. K’tut Tantri justru memanfaatkan identitasnya sebagai orang asing berbahasa Inggris untuk mengambil peran dalam ranah diplomasi yang mengedepankan komunikasi dan jelas apa yang dilakukannya itu penuh risiko.
Dalam tulisan di buku catatan harian nya sebelum meninggal ia menulis…..
“Apa yang aku lakukan untuk Indonesia mungkin tak tercatat di buku sejarah Indonesia, mungkin Indonesia akan melupakan ku, namun indonesia adalah bagian hidup ku, jika aku mati tabur abu ku di pantai Bali”……
Saat wanita gagah ini meninggal di peti jenasahnya ditutupi bendera Merah Putih dan di beri renda renda khas Bali seperti permintaannya….
Mengenang sejarah sekitar orang-orang yang berjasa bagi NKRI dimasa masa perjuangan.
BERITA
Kabar Duka: Tio Hui Eng, Istri Indrajono Sangkawang Meninggal Dunia
Surabaya – Kabar duka datang dari keluarga besar Indrajono Sangkawang, istri tercintanya Tio Hui Eng dikabarkan telah meninggal dunia pada Sabtu (5/2/2022) di Mayapada Hospital, Surabaya, pukul 00.58 WIB.
Almarhumah Tio Hui Eng meninggal dunia pada umur 62 tahun. Dari pernikahannya dengan Indrajono Sangkawang, beliau meninggalkan empat anak tercintanya.
Rencananya upacara tutup peti akan dilaksanakan pada hari Senin, 7 Februari 2022, pukul 09.00-11.00 WIB di Adijasa, Ruang E, F, dan G. Sementara pemakaman akan dilaksanakan berangkat dari rumah duka pada hari Jumat 11 Februari 2022, pukul 09.00 WIB.
Kami segenap keluarga besar redaksi Fakta.News mengucapkan duka yang sangat mendalam bagi almarhumah dan keluarga yang ditinggal.
Semoga almarhumah diberikan tempat yang terbaik di sisiNya dan untuk keluarga yang ditinggalkan diberi kekuatan oleh Allah Yang Maha Pengasih untuk menghadapi cobaan ini.
GAYA HIDUP
Kisah Changpeng Zhao si Pendiri Binance
Jakarta – Apa itu Binance? Binance adalah coin exchange atau juga dapat dikatakan pertukaran koin dari satu koin ke koin lainnya seperti dari Bitcoin ke Altcoin (dulu). Sekarang, anda bisa menggunakan kartu kredit atau uang fiat.
Salah satu platform perdagangan mata uang kripto yang sukses besar adalah Binance, yang didirikan oleh Changpeng Zhao. Bagaimana kisahnya yang menarik?
Zhao saat ini adalah salah satu orang terkaya dengan harta USD 1,9 miliar, sekitar Rp 27 triliun. Lelaki yang bermukim di Singapura ini lahir di China tapi kemudian berkewarganegaraan Kanada.
Zhao besar di Jiangsu, kedua orang tuanya adalah guru. Ketika beranjak remaja, Zhao sempat kerja di McDonald’s memasak burger dan tugas lainnya. Pada malam hari, dia juga bekerja di pom bensin.
Pada akhir 1980-an, Zhao dan keluarganya pindah ke Kanada. Ayahnya yang seorang profesor diasingkan karena bermasalah dengan negaranya. Zhao kemudian kuliah di MacGill University di Kota Montreal jurusan Ilmu Komputer.
Dia kemudian bekerja mengembangkan sistem perdagangan di bursa saham Tokyo di mana karirnya cepat menanjak. Namun pada tahun 2005, Zhao memutuskan keluar, pindah ke Shanghai, dan mendirikan perusahaan keuangan bernama Fusion Systems.
Tak puas dengan itu, Zhao mencium peluang bisnis besar di dunia kripto hingga mendirikan Binance di tahun 2017. Platform Binance bisa digunakan untuk memperdagangkan mata uang kripto ataupun untuk menyimpannya.
Binance juga punya uang kripto sendiri bernama BNB, terbesar ketiga di dunia dengan kapitalisasi pasar USD 54 miliar. Pada 2017 itu, Binance mengumpulkan pendanaan USD 15 juta dan mereka cepat berkembang. Pada tahun berikutnya, penggunanya mencapai 6 juta user.
Zhao dan Binance makin terkenal. Tahun 2020, Binance memperoleh pendapatan USD 800 juta dan volume total perdagangan tembus USD 2 triliun.
Zhao punya tato Binance di lengannya. Saking fanatik dengan bisnis kripto, dia mengklaim menginvestasikan seluruh uangnya dalam bentuk mata uang kripto.
“Barang-barang fisik yang aku punya mungkin tak ada artinya dibandingkan kekayaanku. Aku tidak menggunakan mata uang kripto untuk beli mobil, beli rumah. Aku hanya ingin menyimpannya. Aku tak berencana menukarnya menjadi uang di masa depan,” klaimnya.
Ya, dia mengaku hidup biasa-biasa saja. Dalam wawancara dengan Forbes di 2018, Zhang menyatakan tak punya kendaraan, jam mewah atau kapal pesiar. Tapi ia kadang memborong laptop, kadang enam unit sekaligus karena ia sering merusaknya.