Connect with us

Nadiem Bikin Heboh Soal “Shadow Organization” di Kemdikbudristek

Penulis:
Farid Gaban
Penulis, Jurnalis Senior
Mendikbudristek Nadiem Makarim

Pada 2019, ketika Nadiem diangkat jadi menteri pendidikan, saya sudah kuatir.

Terutama ketika mengatakan “akan menerapkan manajemen ala Gojek untuk memordenisasi pendidikan Indonesia.”

Saya menulis di facebook 3 tahun lalu:

*NADIEM MAKARIM, GOJEK DAN PENDIDIKAN.*

Teknologi itu cuma alat. Dia bisa membebaskan dan memberi solusi; tapi, dia juga bisa menjadi alat penindas serta memicu problem baru.

Saya mengingat ini di tengah riuhnya perdebatan soal susunan kabinet baru, khususnya berkaitan penunjukan Nadiem Makarim sebagai menteri pendidikan. Citra kuat penguasaan teknologi (informasi) adalah alasan utama di balik penunjukan itu.

Presiden Jokowi, seperti dikutip sejumlah media, mengatakan bahwa cakupan pendidikan di Indonesia itu sangat luas. “Kita punya 300 ribu sekolah dan 50 juta pelajar,” katanya.

Presiden berharap, Nadiem bisa menangani sekolah, pelajar dan guru yang banyak dan beragam itu “dengan standar yang sama”, lewat kekuatan teknologi informasi.

Menyambut baik penunjukan presiden, Nadiem sendiri mengatakan, “akan menerapkan sistem ala Gojek, yakni meningkatkan peran teknologi, untuk memodernisasi pendidikan”.

Gojek milik Nadiem adalah ikon startup teknologi informasi Indonesia dengan kelas decacorn, perusahaan dengan valuasi bisnis lebih dari Rp 150 trilyun. Sebagai bisnis, Gojek belasan kali lipat nilainya dibanding Garuda Indonesia, maskapai penerbangan milik negara. Dan itulah yang membuat Presiden Jokowi terpukau.

(Valuasi Gojek diperkirakan 5 kali anggaran Kementerian Pendidikan pada 2020; atau sepertiga dari total anggaran pendidikan nasional yang terserak di beberapa kementerian).

Saya tak ingin menyepelekan prestasi Nadiem di Gojek; atau prestasi pendidikannya di Harvard, salah satu universitas terkemuka Amerika.

(Nono Anwar Makarim, ayahanda Nadiem, adalah salah satu tokoh yang saya kagumi; dulu saya sering membantu mengedit tulisan beliau untuk Majalah Tempo).

Tidak juga ingin mengecilkan potensi disrupsi positif yang mungkin dibawa Nadiem di kementerian itu. Dunia pendidikan kita punya problem besar dan cenderung jumud karena pendekatan yang itu-itu saja. Kehadiran “orang luar” seperti Nadiem berpeluang mereformasi dunia pendidikan lewat pendekatan “out of the box”.

Tapi, menurut saya, problem utama pendidikan kita bukanlah soal lemahnya penguasaan dan penerapan teknologi.

“Standarisasi (penyeragaman) pendidikan” yang disampaikan Presiden Jokowi justru sebuah kemunduran di tengah kecenderungan untuk mengedepankan aspirasi lokal yang beragam.

Penerapan teknologi yang terlalu obsesif, di lain pihak, juga akan memperluas jurang kesenjangan ekonomi-sosial akibat ketimpangan teknologi digital (digital divide).

“Modernisasi pendidikan ala Gojek” yang disampaikan Nadiem punya jebakan lain: yakni memperkuat korporatisasi pendidikan, komersialisasi sekolah dan universitas, yang sudah sangat menonjol sekarang.

Untuk menakar potensi negatif ini, kita perlu memeriksa logika bisnis Gojek; tentang bagaimana perusahaan ini menjadi decacorn, dan sering digadang-gadang oleh Prof. Rhenald Kasali sebagai ikon (the so-called) “sharing economy”.

Orang sering keliru memahami Gojek (seperti juga Grab dan Uber) sebagai wujud “ekonomi gotong-royong” padahal bukan.

Gojek bertumpu pada kekuatan teknologi informasi. Lewat aplikasi yang memudahkan dan sejumlah skema promosi, Gojek sukses menjadi platform yang menyatukan interaksi sekitar 10 juta pengguna jasa dan 2 juta pengojek yang tersebar di 50 kota Indonesia.

Gojek mengutip komisi dari setiap transaksi antara pengojek dan pengguna. Jika satu pengojek bisa menyumbang komisi Rp 10.000 saja per hari, misalnya, maka pendapatan kotor Gojek sekitar Rp 20 miliar per hari, atau Rp 7,3 triliun per tahun.

Karena padat teknologi, ongkos operasional Gojek relatif kecil dan labanya besar. Lebih dari itu, berbeda dari armada taksi Bluebird, Gojek menjadi perusahaan raksasa transportasi tanpa perlu punya motor atau mobil sendiri; tanpa perlu punya karyawan sendiri dengan konsekuensi finansial dan kerumitannya mengurus sumberdaya manusia.

Saya mengasumsikan laba bersihnya cuma 30% (itu asumsi konservatif). Tapi, dengan asumsi itu saja, Gojek bisa membukukan untung Rp 11 trilyun dalam 5 tahun, hanya dari jasa ojek.

Laba lima tahunan adalah salah satu patokan orang menghitung valuasi bisnis, agar sebuah perusahaan bisa dijual sahamnya, baik untuk keuntungan pemilik (capital gain) maupun ekspansi bisnis.

Gojek diuntungkan oleh jumlah penduduk Indonesia yang besar, yang potensial menjadi pengguna maupun pengojek. Menguasai user/customer-base kolosal, serta prospeknya di masa depan, nilai saham Gojek melampaui nilai riil laba usahanya.

Gojek ibarat gadis cantik yang banyak dilirik raksasa investasi baik domestik (seperti Astra dan Djarum) maupun internasional (Sequa Capital). Dan berkat banjir investasi baru, Gojek bisa agresif mengembangkan sayap bisnis yang jauh lebih beragam, dan jauh lebih banyak menghasilkan uang, dari sekadar jasa ojek.

Menurut Nadiem sendiri, jasa antaran makanan (GoFood) dan keuangan (GoPay) membukukan pendapatan lebih dari Rp 120 triliun pada 2018. Diversifikasi bisnis itu pada akhirnya juga bermuara memperbesar laba Gojek dan kemakmuran pemiliknya.

Gojek adalah cerita sukses sebuah bisnis. Dan layak bikin ngiler. Berkat teknologi informasi, Gojek menjadi konglomersi bisnis raksasa dalam waktu singkat. Suatu yang tak terbayangkan bisa dilakukan oleh konglomerat tradisional seperti Liem Sioe Liong (Salim Group) atau William Soeryadjaya (Astra Group).

Beberapa penelitian juga menyebut Gojek dan usaha e-commerce lainnya berjasa meningkatkan pendapatan usaha kecil (pengojek, warung) serta mendongkrak pertumbuhan ekonomi negara.

Tapi, cerita tak hanya berhenti di situ. Dan tidak semua aspeknya menggembirakan. Bahkan jika benar ada sumbangannya, kontribusi e-commerce keseluruhan (tak hanya Gojek) hanya Rp 125 triliun, atau hanya sekitar 1% dari total Produk Domestik Bruto (GDP) Indonesia pada 2017.

Sementara itu, dampak negatifnya tak bisa diabaikan. Jasa tukang ojek, yang tadinya merupakan sektor informal, kini naik kelas (menjadi formal) tanpa mengubah watak informalnya secara struktural.

Di tengah luasnya pengangguran, kemudahan teknologi dan “reputasi keren” Gojek berjasa memperluas munculnya pengojek-pengojek baru, bahkan dari kalangan menengah mapan. Itu tak hanya meningkatkan persaingan di sektor informal, tapi juga menutupi fakta pengangguran terselubung.

Pengojek pada dasarnya adalah wirausahawan kecil. Mereka adalah pemilik aset dasar Gojek: motor/mobil, waktu, tenaga dan kesehatan tubuhnya sendiri. Tapi, tak ada kepastian income bagi mereka. Tak ada jaminan hukum. Bahkan juga tak ada jaminan asuransi.

(Gojek belakangan juga masuk ke bisnis asuransi, GoSure, menjadikan mitra pengojek dan penumpangnya sebagai captive-market yang preminya dikutip dari tarif).

Sejumlah ekonom menyebut, “sharing economy” model Gojek, Grab atau Uber justru bersifat eksploitatif, jauh dari prinsip gotong-royong. Usaha ini memberi keuntungan tidak proporsional kepada pemilik dan investor, di tengah ketidakpastian mitra pengojek.

Tak heran jika di Amerika dan beberapa negara Eropa, usaha-usaha ini diregulasi makin ketat, termasuk keharusan memberi jaminan gaji minimal kepada mitra pengojek.

Di Indonesia, Menteri Perhubungan zaman Ignasius Jonan pernah mencoba meregulasi bisnis model Gojek untuk memenuhi kewajiban sama seperti perusahaan jasa transportasi lain (Bluebird, misalnya). Tapi, Presiden Jokowi, yang nampak sangat terpukau oleh unicorn/decacorn startup digital, memvetonya.

Nadiem memang masih perlu menjabarkan lebih detil tentang apa yang dimaksud dengan “modernisasi pendidikan ala Gojek”. (Atau jangan-jangan itu cuma pernyataan spontan yang belum dipikirkannya dengan matang). Tapi, belajar dari konsep bisnis Gojek, saya kuatir.

Teknologi itu cuma alat. Dia bisa membebaskan dan memberi solusi; tapi, dia juga bisa menjadi alat penindas serta memicu problem (baru). Buruknya sistem pendidikan di Indonesia tak cuma soal teknologi; bukan pula soal efisiensi dalam menyelenggarakannya.

Kelemahan utama sistem pendidikan kita adalah tiadanya filosofi yang matang tentang pendidikan; lemahnya metode pengajaran; buruknya interaksi guru-murid yang seharusnya menyenangkan, imajinatif, memacu daya kritis dan kreativitas; serta kecenderungan berlebihan pada formalisme, standarisasi dan penyeragaman pikiran.

Kelemahan mendasar itu dipicu terutama oleh komersialisasi sekolah dan universitas yang makin menonjol. Masuknya Nadiem dan alam pikiran Gojek ke dalam pendidikan hanya memperkuat trend korporatisasi tadi. Mudah-mudahan saya salah.

Apa yang baik untuk sektor privat (bisnis), tidak selalu tepat diterapkan dalam kebijakan publik. Warga negara bukan kumpulan konsumen.***

Baca Selengkapnya
Tulis Komentar

BERITA

Hetifah Sjaifudian Apresiasi Kemenangan Timnas Indonesia Bantai Vietnam 3-0

Oleh

Fakta News
Hetifah Sjaifudian Apresiasi Kemenangan Timnas Indonesia Bantai Vietnam 3-0
Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian. Foto : DPR RI

Jakarta – Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian mengapresiasi kemenangan gemilang Timnas Indonesia dalam pertandingan tandang melawan Vietnam. Ia mengungkapkan bahwa kemenangan ini menjadi berkah dan kegembiraan di bulan puasa bagi seluruh rakyat Indonesia, serta juga membawa semangat bagi para pemain.

Dalam pertandingan yang berlangsung di Stadion My Dinh, Vietnam, Timnas Indonesia berhasil meraih kemenangan dengan skor 3-0 dengan gol yang tercipta berasal dari Jay Idzes, Ragnar Oratmangoen, dan Ramadhan Sananta. Para pemain berhasil menunjukkan performa maksimal di tengah keterbatasan waktu persiapan yang sangat singkat.

“Kemenangan yang diracik oleh Pelatih Shin Tae Yong di tengah keterbatasan waktu mempersiapkan Tim yang sangat singkat. Timnas Indonesia bisa menunjukan performa maksimal. Kita menikmati tontonan apik yang menghibur, dengan level permainan yang berbeda dari permainan sebelumnya,” kata Hetifah Sjaifudian melalui keterangan resmi yang diterima Parlementaria, di Jakarta, Rabu (27/03/2024).

Lebih lanjut, kata Hetifah, juga mengingatkan tentang kejayaan Timnas Indonesia di masa lalu. Hal ini mengingat pada Piala Dunia 1986, saat itu Indonesia hampir berhasil lolos ke Meksiko sebelum dikalahkan oleh Korea Selatan.

“Tentunya kita sangat bersyukur dengan situasi ini. Berarti semakin dekat pada tujuan akhir untuk lolos fase grup, seperti yang pernah dicapai oleh Timnas Indonesia ketika diracik oleh Pelatih Sinyo Aliandoe dengan pemain di antaranya Kapten Team Hery Kiswanto pada PPD 1986,” ujarnya.

Meskipun bertanding di kandang lawan yang dikenal angker, Politisi Partai Golkar itu menilai bahwa Timnas Indonesia mampu tampil dengan percaya diri yang tinggi. Tak hanya itu, para pemain berhasil menunjukkan permainan yang berbeda dan menghibur, serta mampu mengatasi tekanan dari suporter lawan.

“Tentunya dengan kerendahan hati, bertanding di kandang macan Stadion My Dinh Vietnam yang dikenal angker, ternyata Timnas Indonesia tampil sangat percaya diri. Semoga level permainan ini terus bertahan sampai fase grup berakhir dan kita bisa lolos ke tahap berikutnya,” ucapnya.

Dengan demikian, Legislator Dapil Kalimantan Timur berharap melalui kemenangan ini, tidak hanya menjadi kebanggaan bagi Timnas Indonesia, tetapi juga menjadi kebanggaan bagi bangsa Indonesia. Baginya, melalui prestasi gemilang ini dapat terus membangkitkan kebanggaan dan semangat nasionalisme di tengah masyarakat.

“Jalan masih terjal jangan berpuas diri, kita semua doakan selalu hasil terbaik buat Timnas kita. Kita selalu berikan dukungan terbaik untuk Timnas kita. IsnyaAllah pride (harga diri) Bangsa Indonesia selalu terjaga. Bravo sepakbola Indonesia,” pungkasnya.

Baca Selengkapnya

BERITA

Komisi XI: Pelaporan Dugaan Korupsi LPEI ke Kejaksaan Beri Efek Jera

Oleh

Fakta News
Komisi XI: Pelaporan Dugaan Korupsi LPEI ke Kejaksaan Beri Efek Jera
Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Fathan Subchi. Foto : DPR RI

Jakarta – Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Fathan Subchi menilai pelaporan yang dilakukan Menteri Keuangan terkait kasus dugaan korupsi di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) merupakan langkah yang tepat. Menurutnya, langkah ini untuk memberikan efek jera bagi praktik patgulipat di LPEI yang seolah terus terulang.

“Kami menilai langkah Menteri Keuangan, Sri Mulyani menunjukkan keseriusan pemerintah agar proses pembiayaan ekspor benar-benar bisa meningkatkan volume ekspor Indonesia, bukan sekadar praktek hengky pengky antara oknum pejabat LPEI dan pihak ketiga sehingga memicu fraud yang merugikan keuangan negara,” ujar Fathan dalam keterangan tertulis yang diterima Parlementaria, di Jakarta, Rabu (27/3/2024).

Pada Senin (18/3/2024) lalu Sri Mulyani bertandang ke Kejaksaan Agung untuk melaporkan temuan tim Kemenkeu terkait indikasi adanya fraud dalam kredit yang dikucurkan oleh LPEI. Sejumlah debitur diduga melakukan tindak pidana korupsi yang diduga menyebabkan kerugian negara hingga Rp2,5 triliun. Ada empat perusahaan yang diduga terlibat dalam kasus tersebut. Keempat perusahaan tersebut bergerak dalam usaha sawit, nikel, batu bara, dan perkapalan.

Fathan mengungkapkan dugaan korupsi di LPEI dengan berbagai modus ibarat kaset rusak yang terus berulang. Politisi Fraksi PKB ini menyebut pada 2022 Kejagung pernah menetapkan tersangka kasus dugaan korupsi pembiayaan ekspor nasional oleh LPEI selama periode 2013-2019. Saat itu kerugian negara diperkirakan mencapai Rp2,6 triliun yang berasal dari kredit macet ke delapan grup usaha yang terdiri dari 27 perusahaan.

“BPK juga pernah melakukan pemeriksaan investigatif terkait kasus dugaan korupsi LPEI dan menemukan kerugian negara hingga puluhan miliar,” tambahnya.

Lebih lanjut, Fathan menyampaikan di antara modus yang paling sering terjadi adalah LPEI tidak menerapkan prinsip tata kelola yang baik saat mengucurkan kredit kepada calon debitur. LPEI seolah gampangan dalam menyalurkan kredit kepada pihak ketiga dan akibatnya terjadi kredit macet yang merugikan LPEI dan keuangan negara.

“Saat ditelusuri lebih dalam ternyata ada hengky pengky antara oknum LPEI dengan pengusaha atau eksportir sehingga penyaluran kredit tidak memenuhi unsur prudent,” ungkapnya.

Anggota Badan Akuntabilitas Keuangan negara (BAKN) DPR RI ini pun mendukung upaya “bersih-bersih” sehingga LPEI kembali kepada khittah-nya. Menurutnya pembentukan LPEI awalnya untuk menciptakan ekosistem baik terhadap kegiatan ekspor produk-produk unggulan dalam negeri. Dengan LPEI, eksportir akan dibantu dari segi pembiayaan, penjaminan, dan asuransi.

“Namun faktanya seringkali proses penyaluran pembiayaan ini dilakukan secara serampangan bahkan minim pengawasan saat kredit telah dikucurkan. Maka saat ini kami menilai LPEI ini direformasi agar bisa kembali ke tujuan awal bisa mendorong iklim ekspor yang baik bagi produk unggulan Indonesia baik dari sektor UMKM maupun korporasi,” pungkasnya.

Baca Selengkapnya

BERITA

Workshop Kepemimpinan, Sekjen DPR Tekankan Pembinaan Disiplin Interpersonal di Era Parlemen Modern

Oleh

Fakta News
Workshop Kepemimpinan, Sekjen DPR Tekankan Pembinaan Disiplin Interpersonal di Era Parlemen Modern
Sekretaris Jenderal DPR RI Indra Iskandar foto bersama usai membuka workshop dengan tema "Pendekatan Kepemimpinan Situasional Dalam Rangka Peningkatan Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Ruang Rapat KK II, Gedung Nusantara DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (27/3/2024). Foto : DPR RI

Jakarta – Sekretariat Jenderal (Setjen) DPR RI melalui Bagian Manajemen Kinerja dan Informasi Aparatur Sipil Negara (ASN) dibawah Biro Sumber Daya Manusia Aparatur (SDMA) secara resmi menggelar kegiatan workshop dengan tema “Pendekatan Kepemimpinan Situasional Dalam Rangka Peningkatan Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS)” di Ruang Rapat KK II, Gedung Nusantara DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (27/3/2024).

Dalam acara yang dihadiri segenap Pejabat JPT Madya, JPT Pratama, Administrator dan Pengawas itu, Sekretaris Jenderal DPR RI Indra Iskandar menyatakan disiplin merupakan pondasi utama dalam menjaga produktivitas sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021. Indra menekankan disiplin tidak hanya soal penjatuhan hukuman tapi juga pembinaan disiplin secara interpersonal.

“Kewenangan pemimpin dalam penegakan disiplin dimulai dari pemeriksaan hingga penjatuhan hukuman disiplin. Namun tidak semua pemimpin atau pejabat berwenang mampu melaksanakan penegakan disiplin dengan baik dan benar, karena penegakan disiplin bukan hanya terkait hukum pelanggaran disiplin tetapi juga pembinaan disiplin secara interpersonal,” ujar Indra saat pidato pembukaan.

Terlebih, di lingkup kerja yang kompleks serta dinamis seperti halnya di Setjen DPR RI, memerlukan adanya pembinaan disiplin secara khusus di tengah gagasan menuju Parlemen Modern dengan Work From Anywhere (WFA) yang mulai dikenal sejak era pandemi Covid.

Terkait hal itu, Indra mengungkapkan Setjen DPR RI menghadirkan solusi adanya berbagai gagasan perkantoran modern yang sedang terus dibangun di Kompleks Parlemen dalam mengakomodir WFA. Diantaranya mulai dari Kantin Demokrasi dengan fasilitas Wi-Fi hingga kedepannya konsep Ecopark di kawasan Taman Jantung Sehat yang desainnya kini masih dalam tahap menunggu finalisasi.

Kesemuanya itu, ungkap Indra, dalam mewujudkan PNS di lingkungan Setjen DPR RI yang berintegritas bermoral, profesional akuntabel sehingga dapat mendorong PNS untuk lebih produktif untuk menunjang karirnya di era Parlemen Modern yang akan akan terus diwujudkan kedepannya.

Dengan demikian, diharapkan skor indeks Survei Penilaian Integritas (SPI) Setjen DPR RI kedepannya dapat semakin meningkat secara  maksimal. Apalagi, ungkap Indra, SPI nantinya juga berkaitan dengan secara keseluruhan Reformasi Birokrasi (RB) yang akan terus dievaluasi setiap tahunnya.

Turut hadir segenap pejabat tinggi Setjen DPR RI antara lain Deputi Bidang Administrasi Sumariyandono, Pelaksana Harian (Plh) Inspektur Utama Furcony Putri Syakura dan Kepala Biro SDMA Asep Ahmad Saefuloh. Hadir pula narasumber dari Direktur Perundang-Undangan Badan Kepegawaian Negara (BKN) Julia Leli Kurniati dan Analis Hukum Ahli Madya BKN Muhammad Syafiq.

Baca Selengkapnya