DILANS-Indonesia: Realitas Sosial & Eksposisi Terbalik Tentang “Kemajuan” Perkotaan
Minggu lalu saya disibukkan dengan banyak perjumpaan dengan kawan-kawan yang keren dalam memahami “inklusivitas” dari berbagai latar belakang. Perbincangan yang memperkaya apa yang sedang saya teliti dan tuliskan dalam berbagai naskah yang menyentuh soal literasi dan rasionalitas di ruang publik.
Belajar untuk menuliskannya dalam bahasa keseharian, dan merenungkan arti “rasional” dalam pikiran dan praktek keseharian yang seringkali dianggap dan dikritisi banyak kawan saya sebagai “irrasional”.
Kota sama halnya juga dengan banyak kata lainnya selalu memiliki dualitas makna sebagai obyek materi atau berbagai kata yang selalu dilabeli berbagai atribut dengan berbagai persepsi. Sebagai obyek materi maka kota diwarnai berbagai instalasi berupa bangunan fisik yang kemudian seringkali diberi label dengan kata-kata yang memberikan persepsi tentang “makna” tentang keberadaanya. Kota yang kawasannya diberi “guiding block” inj label untuk kota yang “ramah bagi penyandang disabilitas”. Kota yang diimbuhi dengan banyak aplikasi dalam memperluas akses informasi ataupun pengelolaan secara digital dilabel sebagai “smart city”, dan banyak lainnya.
Atau juga dimasa lalu kita dilabeli dengan perlombaan jargon. Bandung seingat saya pernah melabeli dirinya dengan identitas, “Berhiber” (BERsih, HIjau dan BERbunga). Untuk melabeli diri sebagai kota yang nyaman.
Ini catatannya yang ingin saya bagi, ketika berinteraksi banyak kawan. Mudah-mudahan bagi siapapun untuk memperbaiki keadaan sekeliling kita lebih baik lagi:
22.06. Di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) berdialog dengan kumpulan dokter spesialis di Bagian Rehabilitasi Medik. Para dokter
yang penuh antusias untuk mendalami evolusi dampak yang saya alami pasca operasi tulang punggung lima tahun lalu. Evolusi kondisi tubuh saya tidak begitu menggembirakan, mobilitas sudah hampir tergantung sama kursi roda. Tetapi ada ikhtiar bukan sekedar untuk kepentingan mengembalikan keadaan saya kesedia kala, tetapi bisa sebagai rujukan pengalaman yang mudah2an bisa bermanfaat bagi warga lainnya yang mengalami kondisi seperti saya. Terutama warga penyandang disabilitas dan lansia.
Melihat semakin terus meningkatnya jumlah banyak kawan saya yang lansia dan penyandang disabilitas karena suatu sebab tertentu (kecelakaan), maka keberadaan suatu pusat rehabilitas menjadi penting. Karenanya keberhasilannya bukan sekedar berkembangnya fasilitas di rumah sakit yang pelayanannya tersentral dan hanya dapat dijangkau oleh pasien dengan kemampuan ekonomi tertentu. Pun dengan BPJS ataupun asuransi sekalipun tidak sepenuhnya dapat mengcover pembiyaannya. Ini yang terjadi dengan kasus yang saya alami, https://majalah.tempo.co/…/terapi-jitu-pembuluh-darah…
Literasi soal ini masih sangat terbatas. Sains dan pengetahuan yang saya telusuri masih terbatas. Dampak terusan yang pernah saya alami belum mempunyai jawabannya secara utuh hingga kini. Karenanya saya merelakan pada siapapun untuk menggunakan apa yang saya alami untuk diteliti lebih mendalam sebagai kasus. Mudah-mudahan praktik baik dan tak baik yang saya alami bisa memberikan kontribusi pada pengembangan suatu metodologi treatment medik, psikologis, dan hal lainnya yang bisa membalikan keadaan.
Pusat rehabilitasi komunal (community based rehabilition center) yang beroperasi dekat dengan kawasan yang dihuni warga penyandang disabilitas dan lansia dalam hemat saya menjadi ukuran penting dalam melihat kemajuan penanganan kesehatan warga perkotaan. Kelompok ini selain rentan terhadap berbagai perubahan apapun, perlu mendapat perhatian yang menerus dan berlanjut. India adalah salah satu yang saya anggap punya pengalaman baik dalam mempraktekan pendekatan ini, walaupun masih terkendala dengan pembiayaan karena mengandalkan pada individu untuk jasa layanan yang diberikan.
Indonesia sudah memiliki BPJS, modalitas yang bagus. Akan sangat kewalahan kalau memang dibebani oleh tambahan layanan menerus dari warga DILANS yang jumlahnya di Indonesia saat ini sekitar 60 juta orang (23 juta difabel, lebih dari 30 juta lansia). Perlu dicari skema pendanaan dalam suatu kebijakan sosial yang utuh. Di banyak negara maju mengaplikasikan asuransi LTHC, kewajiban membayar premi yang dibayar pada negara sejak usia mulai menginjak 40 tahun.
(21/23/24).06. Tiga hari yang menggairahkan berdialog dengan para ilmuwan dan seniman yang kritis untuk mendialogkan dan menginterpretasikan realitas keseharian secara metodologi.
Perangkap rujukan ilmiah yang diklaim paling benar selama ini, mungkin yang membuat pikiran kita terkungkung oleh pikiran-pikiran yang sepertinya sudah menjadi suatu perilaku tanpa suatu ulasan kritis. Yang rasional itu bila menggunakan metodologi ilmiah, itu kira-kira premisnya.
Tetapi seringkali yang saya jumpai tidak memberikan jawaban yang memuaskan manakala realitas bertentangan dengan apa yang dianggap sebagai “rasional”.
Ada kesepahaman untuk berfikir filosofis khas Indonesia, yang tidak sekedar menjadi pengesah banyak pemikiran filosof masa lalu dalam melihat realitas, tapi melahirkan filosof Indonesia dan bukan sekedar “kolektor pemikiran filsafat”. Nusantara sebagai ruang yang dinamis yang budayanya sudah teruji dan dicatatkan dalam perjalanan sejarah lebihbdari 20 abad lalu, terlampau naif untuk diserahkan interpretasinya apalagi refleksinya dari tradisi atau pemikiran “import” yang seringkali mengambil peran untuk mereduksi realitas sejarah.
Apakah estetika dan fungsi di ruang publik yang mewujud pada berbagai instalasi sosial, ntah itu infrastruktur maupun berbagai instalasi simbolik itu harus terlepas dari makna yang ingin dijangkau? Atau dua hal yang menyatu?
Perlakuan keduanya secara terpisah, mungkin bisa menjelaskan kenapa berbagai kekisruhan di ruang perkotaan terjadi.
Ini salah salah satu contohnya, kenapa banyak perpustakaan publik yang dibangun di beberapa taman di Bandung menjadi instalasi yang kosong. Indah secara arsitektur, tetapi terlepas fungsinya, bahwa perpustakaan itu tidak sekedar koleksi buku, tetapi lebih jauh lagi perannya. Sebagai ,”mall pemikiran” untuk terus diperbincangkan, dikritisi, dan diolah dan dipraktekan lebih lanjut. Literasi plus, kalau dalam hemat saya.
23.06. Berdialog praxis kecil2an soal pembuatan “guiding block” yang tidak hanya berhenti di ruang-ruang utama perkotaan, tetapi di gang. Gang adalah adalah suatu bagian ekosistem perkotaan. Memunahkannya, apalagi dengan suatu intervensi dari luar seringkali banyak menimbulkan persoalan etis dan moral. Berbagai perubahan haruslah menyatu dalam perilaku keseharian warga.
Kepemerintahan (governmentality) searah dari atas ke bawah (top down) dalam pengamatan saya bukan cara yang cermat kalau kita menginginkan suatu penghidupan dan peradaban terus berlanjut. Dan warga bertahan terhadap berbagi dinamika perubahan yang terjadi di sekelilingnya
Mudah-mudahan paviliun rumah yang direlakan oleh adik saya untuk dilengkapi dengan perpustakaan dan juga berbagai peralatan musik membuat aksesibilitas semakin baik didatangi kawan-kawan saya.
24.06. Berdialog soal semiotika dan persepsi soal instalasi sosial perkotaan yang dituangkan dalam banyak jargon yang melimpah ke publik dengan satu makna selektif dan dipaksakan. Kami menyebutnya, “berkata-kata tanpa makna”. Melakukan pemaksaan perbincangan sekedar sebagai sekedar penampilan yang diklaim sebagai “tata aturan”. Walaupun menjalankannya seperti memilih makan di restoran, “ala carte’😊 Realitas performance,
Tidak peduli apakah berkata-kata berupa jargon yang menghiasi ruang publik itu akan membangun kesadaran warga atau sebaliknya. Atau sekedar injeksi pemikiran dan perilaku dari para para “Event Organizer” (EO).
Jadi ketika dengungan soal kota yang ramah HAM, ramah Anak, kota inklusif, ramah lingkungan, ramah bencana, dan label lain yang ditempelkan, jargon itu suatu kesatuan dalam kehidupan perkotaan. Tak ada diskriminasi secara lokasi (jalur utama atau gang) ataupun latar belakang apapun dari warga (kemampuan ekonomi, agama, ras, disabilitas/non-disabilitas, etc). Semua diperlakukan setara dalam ekosistem perkotaan.
25.06. Menonton festival seni yang menampilkan kawan saya yang difabel den. bersama sahabat saya, pasangan yang luarbiasa Kang Aden dan Teh Ratna. Menutup malam minggu sambil menikmati lalu orang yang sudah mulai bergairah untuk keluar kandang dari situasi pandemi.
Saya sangat antusias mendorong agar warga #DILANS (Penyandang disabilitas dan lansia) mengisi ruang publik. “Ngencar” (berkeliaran) kalau dalam bahasa Indonesia. Tidak merasa jadi kelompok pinggiran. Dengan begitu kehidupan kota yang inklusif bisa diwujudkan.
Itulah ceritera minggu lalu. Menyita waktu tapi mencerahkan. Dari hari-hari sibuk yang saya jalani, saya semakin paham arti dari “sabatical leave” yang dijalankan para peneliti dan penulis mumpuni dalam menuntaskan banyak buku/naskahnya.
Saya sudah mengerem banyak untuk berdialog di sosmed, tapi distraksi terus juga terjadi karena banyak lintasan peristiwa yang melesat di hadapan saya. Peristiwa keseharian yang saya ga dikesampingkan, lebih-lebih ada antusias serupa dari banyak kawan yang melihat soal serupa tetapi dari sudut pandang masing-masing: tukang insinyur, dokter, seniman, aktivis, pemilik Cafe, etc.
Catatan dan perenungan saya adalah juga momentum untuk refleksi sebagai “eksposisi terbalik” dalam melihat perubahan dan kemajuan perkotaan. Kalau pemerintahan Jokowi keluar dengan jargon, “pembangunan dari pinggiran”, perenungan saya dalam satu proses keluar dengan semacam eksposisi melihat kemajuan perkotaan dari gang (jalan sempit) di kawasan padat perkotaan.
Secara rinci gagasan soal pendekatan terbalik ini akan saya ulas dalam posting terpisah.
Ada suatu yang membikin saya bergairah, setelah mendengar keinginan banyak kawan yang keren ini untuk segera menggelindingkan gagasan perubahan yang berbasis komunal/warga.
Bagi kawan-kawan seniman yang saya kenal, ini juga merupakan inspirasi bagaimana realisme sosial perkotaan tidak memisahkan gang dari ekosistem perkotaan. Mudah-mudahan gagasan segera akan dibumikan.
BERITA
Komisi III Minta Komnas HAM Tingkatkan Peran, Selesaikan Pelanggaran HAM Berat
Jakarta – Wakil Ketua Komisi III DPR RI Pangeran Khairul Saleh memimpin rapat kerja dengan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Dalam rapat ini Komisi III meminta Komnas HAM untuk meningkatkan peran dan mengoptimalkan pelaksanaan tugas dan fungsi dalam mendukung penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM, termasuk pelanggaran HAM berat.
“Baik itu penyelesaian yudisial maupun non-yudisial, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,” ujarnya di ruang rapat Komisi III, Nusantara II, Senayan, Jakarta, Rabu (30/5/2024).
Lebih lanjut Komisi III DPR meminta Komnas HAM untuk segera menyelesaikan peraturan terkait Penilaian Tindak Lanjut Kepatuhan Rekomendasi, agar dapat menjadi informasi dan tolak ukur dalam tindak lanjut rekomendasi yang telah diberikan.
Bahkan Komisi III meminta Komnas HAM dan Komnas Perempuan untuk lebih proaktif dan sinergis dalam mengidentifikasi potensi permasalahan, melakukan penanganan, maupun pendampingan terhadap seluruh pihak, dalam penerapan dan penegakan prinsip-prinsip HAM, termasuk perlindungan terhadap perempuan di seluruh sektor dan kegiatan.
Sementara itu di lain pihak, Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro menyampaikan bahwa pihaknya saat ini tengah menyusun rancangan Peraturan Komnas HAM terkait Penilaian Tindak Lanjut Kepatuhan Rekomendasi Komnas HAM. “Sebagai salah satu upaya pemasangan untuk meningkatkan efektivitas dari rekomendasi yang diberikan oleh Komnas HAM,” papar Atnike saat rapat.
Menurutnya rekomendasi yang diberikan oleh Komnas HAM dari hasil pemantauan, mediasi, maupun kajian tidak selalu ditindaklanjuti oleh stakeholders maupun kementerian/lembaga karena dianggap tidak mengikat. “Sejumlah kasus juga menunjukkan fungsi mediasi Komnas HAM masih belum dipahami sebagai sebuah solusi strategis,” ucap Atnike.
BERITA
Anggaran Pendidikan Kemenag Dinilai Masih Kecil
Jakarta – Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ace Hasan Syadzily menilai besaran anggaran pendidikan yang diterima Kemenag (Kementerian Agama) untuk mendanai seluruh lembaga pendidikan Islam dan keagamaan masih timpang dibanding kementerian lain.
“Soal anggaran pendidikan di bawah Kementerian Agama harus betul-betulan keadilan anggaran. Kalau kita dengar pidato Menteri Keuangan (Sri Mulyani) dalam rapat paripurna, ya anggaran pendidikan Rp630 triliun, tapi kalau Kemenag hanya dapat Rp35 triliun, buat saya mengkhawatirkan,” kata Kang Ace, sapaannya, dalam keterangan persnya, Rabu (29/5/2024).
Politisi Partai Golkar itu menyatakan, selain Sekretariat Jenderal (Sekjen) Kemenag, anggaran terbesar juga diberikan kepada Direktorat Jenderal (Ditjen) Pendidikan Islam (Pendis) Kemenag sebesar Rp35 triliun.
Ada satu hal yang sangat penting untuk didiskusikan bersama adalah soal berbagai hal terkait anggaran pendidikan nasional. Dari penjelasan Plt Dirjen Pendis, berapa persen KIP Kuliah untuk Perguruan Tinggi Agama Islam (PTKAI) dan perguruan tinggi agama lain.
“Apakah PIP, KIP, apakah sudah mencerminkan suatu keadilan anggaran? Rehab ruang kelas juga belum mencerminkan keseluruhan,” ujar dia.
Kang Ace melihat dari total anggaran pendidikan Rp630 triliun di APBN, Kemenag hanya mendapatkan Rp35 triliun, artinya belum mencerminkan suatu kesetaraan anggaran.
“Padahal anak-anak madrasah, yang kuliah di UIN, STAIN, STAI atau di manapun, mereka juga anak-anak bangsa yang sama untuk mendapatkan perlakuan sama dalam akses pendidikan,” tutur Kang Ace.
Ace mengatakan, keputusan tepat telah diambil Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas yang menunda status Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH) bagi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. “Itu keputusan yang tepat. Kalau tidak, meresnya sama mahasiswa. Berat,” ucap dia.
Jujur saja, ujar Ace, hampir sebagian besar siswa dan mahasiswa yang sekolah di bawah Kemenag berlatar belakang sosial ekonomi kelas menengah bawah. Namun penyaluran program KIP dan PIP untuk mereka juga sedikit.
“Itu anehnya. Jadi ada yang salah dari proses pendataan penyaluran program negara untuk kelompok-kelompok yang membutuhkan itu,” ujar Kang Ace.
BERITA
Imbas Kebakaran Smelter Nikel PT KFI, Komisi VII akan Audit Investigasi
Kutai Kartanegara – Anggota Komisi VII DPR RI Nasyirul Falah Amru mengatakan, pihaknya akan segera melakukan audit investigasi terhadap pabrik smelter nikel PT Kalimantan Ferro Industri. Hal tersebut imbas dari peristiwa dua kali ledakan di pabrik smelter PT KFI yang menewaskan pekerja asing dan lokal belum lama ini.
“Kami akan panggil PT KFI beserta seluruh jajaran direksinya, untuk datang ke Gedung Senayan dan kami akan melakukan audit investigasi. Secara mekanisme, bisa dengan membuat panja nikel atau kita panggil secara khusus di Rapat Dengar Pendapat (RDP). Kami juga tentunya akan melibatkan Kementerian Perindustrian dan Kementerian KLHK dari sisi amdalnya, supaya benar-benar kita melihat secara komprehensif sebab terjadinya ledakan,” ujarnya saat memimpin Tim Kunspek Komisi VII DPR mengunjungi PT KFI di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Rabu (29/5/2024).
Menurut Politisi F-PDI Perjuangan ini, pihaknya menilai, hasil dari temuan dilapangan seperti sarana untuk keselamatan kerja dan sebagainya juga masih jauh dari kurang. Walaupun mereka sudah mendatangkan tim dari Kementerian Industri untuk mekanisme aturan pedomannya, tetapi pihaknya menemukan fakta di lapangan masih belum sesuai dengan harapan.
“Saya berpesan agar tidak terulang terjadi kebakaran atau ledakan, yang paling penting ini adalah mesin yang ada di setiap semelter itu perlu dicek selalu setiap periodik. Kemudian, kalibrasi mesin itu juga penting karena dengan begitu kita akan tahu ukuran mesin ini sesuai dengan kapasitasnya dia berproduksi atau tidak. Sehingga, Insya Allah dengan adanya perawatan yang berkala dan pengawasan yang kita lakukan ini Insya Allah tidak akan terjadi kembali,” jelas Nasyirul.
Selain itu, kami juga tidak menemukan alat pemadam kebakaran sepanjang jalan menuju lokasi meledaknya smelter. Kemudian, rambu-rambu yang ada juga masih sangat terbatas sekali, sehinhha dianggap tidak layak untu perusahaan smelter. “Jadi ini harus segera diperbaiki,” imbuhnya.
“Kita menemukan sesuatu yang di luar dugaan, ketika PT KFI lagi dibangun ada proses namanya commissioning atau uji coba tetapi sudah menimbulkan kejadian terjadinya ledakan. Padahal masih tahap uji coba, tetapi dua tenaga kerja asing dan dua pekerja lokal turut menjadi korban akibat ledakan di smelter nikel tersebut,” ucapnya lagi.