Connect with us
DILANS-Indonesia

DILANS-Indonesia: Nihil de Nobis, Sine Nobis

Penulis:
Farhan Helmy
Inisiator Perhimpunan Pergerakan DILANS-Indonesia

Slogan “Nihil de Nobis, Sine Nobis” sangat populer di masa lalu. Diterjemahkan kedalam bahasa Inggris dengan frasa ‘Nothing about Us without Us”, dan secara luas dipopulerkan ke Bahasa Latin dengan ungkapan “Nihil de nobis, sine nobis”. Konon ini berasal dari tradisi politik di sebagian besar kawasan Eropa Tengah setelah peralihan bentuk kerajaan dimana raja sebagai pemegang otoriitas tertinggi ke bentuk negara yang lebih demokratis, dimana suara warga  diwakilkan di parlemen.

Slogan ini kemudian menjadi norma dalam kehidupan demokrasi dan meluas ke berbagai pengambilan keputusan dan penyusunan kebijakan terhadap berbagai aspirasi kelompok kepentingan yang diwakilinya atau terpengaruh, khususnya kelompok yang terpinggirkan secara politik, ekonomi, sosial dan budaya.

Tradisi partisipasi, dan keterlibatan langsung serta penuh sudah berakar lama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di masa lalu. Sesuatu yang sudah berakar lama ini dijadikan pengingat  tatakelola pemerintahan dalam  membangun kesetaraan dan inklusivitas warganya.

Slogan ini terus berevolusi dipakai juga oleh para aktivis penyandang disabilitas di tahun 1990an. PBB pertama kali menggunakannya sebagai tema pada peringatan Hari Penyandang Disabilitas International pada tahun 2004 dan menjadi slogan yang terus digunakan termasuk dalam Konvensi PBB tentang Penyandang Disabilitas yang ditetapkan tahun 2007.

Itulah yang menjadi alasan saya mengartikulasikannya pada International Seminar on Sharpening Urban 20 Issues Notes, “Strengthening the Role of Cities in Handling Climate and Pandemic Crisis”, 2 Maret lalu di Bandung. Pertemuan yang difasilitasi oleh Ikatan Ahli Perencaaan Wilayah dan Kota (IAP) bekerjasam dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat terkait dengan pembahasan isu yang akan dielaborasi pada pertemuan negara-negara G20 di Bali bulan November tahun ini.

Saya memberikan paparan dengan judul, “Seeing Urban Mobility from Sidewalks: Barriers and Potentials in Applying Universal Design”. Paparan yang merupakan refleksi kritis terhadap isu disabilitas dan lansia dimana saya menjalaninya sendiri sejak lima tahun lalu sebagai penyandang disabilitas.

Tiga Catatan Kritis soal Representasi

Representasi kepentingan yang diartikulasikan oleh lembaga negara maupun non-negara seringkali meleset dari realitas lapangan.

Ada tiga hal yang saya sampaikan pada sesi mobilitas perkotaan: pertama,  partisipasi penuh dan langsung dari warga penyandang disabilitas. Dengan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi bukanlah menjadi penghalang saat ini. Berkembangnya berbagai platform sosial media bisa menjadi tanda dan sekaligus penda bahwa suara-suara yang diperbincangkan tidak hanya terbatas pada aktor negara dan non-negara yang mengganggap memahami isu.yang dirasakan langsung oleh kelompok yang terpengaruh.

Saya memberikan fakta-fakta otentik lapangan terhadap banyaknya kendala bagi penyandang disabilitas dan lansia dalam mengakses fasilitas publik. Aksesibilitas terhadap berbagai gedung pemerintah, kawasan parawisata, restoran/cafe, tempat peribadatan, berbagai produk dan jasa layanan. Begitupun dalam konsumsi barang dan jasa keseharian seringkali menjadi beban yang berat, selain harga yang tak terjankau oleh kebanyakan warga ini juga seringkali materialnya tidak ramah.

Trotoar sebagai representasi ruang publik salah gambaran yang gamblang dalam keseharian dimana aksesibilitas penyandang disabiltas dan lansia di hampir sebagain besar kawasan kota sangat minim dan cenderung karikatif.

Kalaupun ada, seringkali terbatas pada sebagian besar jalan utama dan terputus koneksinya dengan domisili sebagian besar unummnya para warga ini tinggal, di permukiman padat.

Jumlah penyandang disabilitas dan lansia di Indonesia berdasarkan statistik terkini diperkirakan jumlahnya lebih lebih dari 60 juta orang dengan komposisi 23 juta lebih penyandang disabilitas, dan 30 jutaan lebih lansia (BPS, 2020). Khusus untuk penyandang disabilitas diperkirakan lebih dari 1 milyar.

Penyandang disabilitas adalah orang yang “memiliki masalah pada fungsi atau struktur tubuh, keterbatasan aktivitas, mengalami kesulitan dalam melaksanakan tugas atau tindakan”. Dari jumlah itu, statistik global lebih lanjut menguraikan 20% di antaranya hidup dengan kesulitan fungsional yang besar dalam kehidupan sehari-hari mereka, 253 juta orang terkena kebutaan dan gangguan penglihatan (3,2% dari populasi dunia), 466 juta orang mengalami ketulian dan gangguan pendengaran (6% dari populasi dunia). Sekitar 200 juta orang digolongkan disabilitas intelektual (IQ di bawah 75, 2,6% dari populasi dunia), dan 75 juta orang membutuhkan kursi roda setiap hari atau sekitar 1% dari populasi dunia (WHO, 2019).

Dalam konteks yang lebih luas seperti isu krisis iklim yang sudah kita rasakan dampaknya hingga kini yang ditunjukkan dengan berbagai bencana hidrometereologis warga DlLANS menjadi bagian bagian yang sangat rentan. Tidak ada krisis iklimpun berbagai kendala sudah menyertai. Mobilitas terganggu karena minimnya berbagai fasilitas publik. Resiliensinya lebih rendah dibanding dengan kelompok lain yang lebih bisa menyesuaikan diri.

Kedua, tata kelola penanganan isu penyandang disabilitas dan lansia. Berbagai konvensi PBB secara lugas telah menyatakan keberpihakannya pada berbagai isu yang terkait: HAM, penyandang disabilitas, perubahan iklim, sasaranpembangunan berkelanjutan (SDGs), dan pengurangan resiko bencana (Disaster Risk Reduction).  Dan puncaknya dengan disepakatinya Persetujuan Paris oleh seluruh negara yang tergabung dalam Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 2015.

Di tingkat nasional, Indonesia sudah  memiliki landasan normatif yang luar biasa selain dari UUD’45. UU 13/1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, UU 29/1999 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi, UU 39/1999 tentang HAM, UU 11/2005 tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, UU 12/2005 tentang Hak Sipil dan Politik, UU 11/2009 tentang Kesejahteraan Sosial, serta UU 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas. Sebagian UU ini bahkan sudah diturunkan dalam peraturan yang lebih teknis di Kementrian dan Lembaga Terkait.

Secara normatif berbagai fondasi ini secara ekplisiit sebenarnya kita sudah melandaskan pada “pembangunan berbasis hak”. Itu artinya kita sudah berada pada jalur yang benar bersama dengan negara-negara yang menjalankan kebijakan ekonomi dalam suatu kesatuan tak terpisahkan. Tidak berilusi menjalankannya sebagai proses sekuensial: pembangunan ekonomi dulu, lalu kehidupan sosial belakangan.

Ketiga, penerapan prinsip Universal Design. Dalam kontek praksis aksesibilitas ruang bersama secara internasional telah mempromosikan berbagai prinsip ini menjadi panduan praktis.

Paling tida ada tujuh prinsip yang bisa dipakai: penggunaaan yang merata (equitable use), fleksibilitas dalam penggunaan (flexibility in use), sederhana dan intuitif (simple intuitive use), informasi yang terlihat (perceptible information), toleransi kesalahan (tolerance for error), upaya fisik yang rendah (low physical effort), dan ukuran yang sesuai (appropriate size). Secara ringkas masing-masing dapat diuraikan sebagai berikut:

  • Penggunaan yang merata (equitable use) dimaksudkan agar berguna dan dapat dipasarkan untuk semua kelompok pengguna.
  • Fleksibilitas dalam penggunaan (flexibility in use) memungkinkan desain mengakomodasi berbagai preferensi dan kemampuan individu sehingga memberikan pilihan metode penggunaan yang akurat dan presisi dan pengguna dapat mengadaptasi dengan cepat.
  • Penggunaan sederhana dan Intuitif (simple intuitive use) memungkinkan desain mudah dipahami pengguna terlepas dari pengalaman, pengetahuan, keterampilan bahasa, atau tingkat konsentrasi pengguna saat ini.
  • Informasi yang terlihat (perceptible information) memungkinkan desain mengkomunikasikan informasi yang diperlukan secara efektif kepada pengguna, terlepas dari kondisi sekitar atau kemampuan sensorik pengguna. menggunakan mode yang beragam secara bergambar, verbal, atau bentuk penyajian lainnya yang efektif dan tidak berlebihan.
  • Toleransi kesalahan (tolerance for error), desain harus  meminimalkan bahaya dan konsekuensi yang merugikan dari tindakan yang tidak disengaja.
  • Upaya fisik rendah (lower physical effort), desain dapat digunakan secara efisien dan nyaman serta dengan, dan tidak menguras energi fisik tubuh secara berlebihan.
  • Ukuran dan ruang (appropiate space and size) yang sesuai dirancang sedemikian rupa sehingga tak terganggu penggunaannya terlepas dari ukuran tubuh, postur, atau mobilitas pengguna.

Krisis Iklim, Mobilitas Urban dan DILANS

Penundaan berbagai komitmen negara-negara dalam memenuhi sasaran Persetujuan Paris bagi banyak pihak sangat mengecewakan. Tidak sejalan dengan apa yang diperingatkan oleh para ilmuwan yang sudah banyak mengeluarkan laporan kredibel dalam suatu proses yang panjang dari proses Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC). Saya berasosiasi dengan pandangan ini.

Aksi yang ambisius dan progresif untuk mempertahankan kenaikan suhu rerata 1.5 derajat Celcius dibandingkan dengan suhu bumi sebelum pra industri abad 18 di akhir abad ini hanya mungkin dicapai apabila ada jalan yang konsisten untuk memenuhinya. Tahun 2030 dan  2050 adalah tonggaknya.

Tahun 2030 mensyaratkan total emisi globalberkurang setengahnya, sedangkan tahun 2050 bumi harus berada pada kondisi “net-zerro”. Pada tahun 2050 bumi mencqpai keseimbangan dimana emisi yang dikeluarkan akan mampu dikompensasi dengan berbagai upaya mitigasi dan perubahan perilaku yang rendah emisi.

Perbaikan berbagai komitmen beberapa negara terkini sejak pertama kalinya Nationally Determined Contributions (NDC) disampaikan setelah Persetujuan Paris disampaikan, agregrat global masih pada kisaran rerata 2.7 derajat Celsius diakhir abad ini (UNEP, 2022). Walaupun ada kemajuan komitmen dibandingkan pada submisi pertama pada kisaran rerata diatas 3 derajat, masih jauh dari harapan yang dituntut PA.

Periode emas menuju 2030, mungkin akan terkesampingkan. Rentang delapan tahun yang tersisa tidak akan termanfaatkan apabila tidak ada komitmen yang serius dan konsisten menjalankanya.

Apakah masih ada optimisme dengan situasi ini dalam rentang waktu yang sempit ini?

Selalu banyak jalan menuju Roma kalau kata orang bijak seberapa besarpun tantangannya.

Mengintegrasikan prinsip “Universal Design” mutlak dilakukan dalam dua aras berikut: pertama, koherensi agenda dan kebijakan melalui interpolasi dari komitmen internasional yang sudah disepakati dan diturunnkan dalam kebijakan nasional maupun maupun ekstrapolasi artikikulasi kepentingan nasional ke tingkat global. Khususnya yang terkait dengan upaya untuk menangani kelompok rentan.

Kedua, keterlibatan aktor non-negara menjadi sangat penting dan signifikan. Lebih dari 80 persen mobilisasi sumberdaya berada diluar aktor negara atau non-state party.  Berbagai skema pendanaan dapat dikembangkan pada skala yang pengaruh dari konflik kepentingnya tidak begitu keras seperti pada skala nasional. Kota adalah kawasan yang sangat ideal untuk memobilisasi sumberdaya yang secara langsung dapat merespon apa yang dirasakan warganya.

Dua upaya ini  memberikan harapan baru ditengah banyak kebuntuan karena kepentingan ekonomi politik yang masih memberi ruang toleransi yang besar pada pembangunan yang tidak ramah iklim.

Realitas paradoksial terhadap tiga keniscayaan relasi utuh antara: alam (nature), budaya (culture), agama/keyakinan/kepercayaan (belief) perlu direstorasi agar hubungannya seimbang dan harmonis.

Kehendak berkuasa antroposentrik yang menempatkan manusia adalah segala-galanya di alam semesta ini, tanpa menghiraukan keberadaan sekelilingnya haruslah segera ditinggalkan.

Inilah narasi yang saya sampaikan dua hari lalu. Mudah-mudahan dapat membuka jalan lain dari kebuntuan negosiasi internasional yang belum tahu akhirnya.  Aksi di perkotaan yang lebih terukur dan melibatkan representasi aktor yang terpengaruh seperti warga DILANS bisa jadi jalan alternatif komplementer lainnya.

Berbagai tantangan lainnya yang mungkin juga harus diselesaikan pada tataran pembangunan tata kelola yang lebih baik dan mendasar diantaranya: (1). Keberpihakan dan literasi penentu kebijakan (2). Konstruksi sosial yang mungkin berakar pada kepentingan sosial, ekonomi, politik dan budaya (3). Pembangunan inklusif yang berorientasi pada perluasan akses dibandingkan dengan penimbunan untuk kelompok kepentingan yang kecil (4). Tatakelola dan percepatan implementasi pada berbagai aras administrasi pemerintahan (5). Artikulasi kepentingan dalam pengorganisasian yang solid untuk merepresentasi kelompok yang terpengaruh, dan (6). Sains teknologi dan investasi pada pemenuhan hak warga dalam pembangunan, khususnya kehidupan inklusif di perkotaan.

Sintesis pada pertemuan ini bisa menjadi masukan signifikan pada pertemuan G20 di Bali l. Rekomendasi yang tidak hanya terfokus pada jangka pendek, akan tetapi jangka panjang pasca krisis pandemi.

Bali mempunyai arti penting dalam konteks proses negosiasi perubahan iklim yang panjang. Pada tahun 2007, di Bali fondasi Bali Action Plan dimana Indonesia menjadi Presiden COP-13 UNFCCC dikukuhkan dan menjadi tahapan penting menuju Persetujuan Paris tahun 2015.

Bandung, 4 Maret 2022

 

Tentang Penulis

Farhan Helmy adalah Anggota Climate Reality Leaders Corps, yang dalam kesehariannya menjadi Kepala Sekolah Thamrin School of Climate Change and Sustainability, suatu komunitas multi pihak yang mendalami isu tatakelola perubahan iklim dan keberlanjutan. Farhan baru saja terpilih sebagai Presiden Pergerakan Disabilitas dan Lansia(DILANS)-Indonesia, 2022-2024. Profil lengkapnya bisa diakses di farhanhelmy.carrd.co.

Baca Selengkapnya
Tulis Komentar

BERITA

Komisi III Minta Komnas HAM Tingkatkan Peran, Selesaikan Pelanggaran HAM Berat

Oleh

Fakta News
Komisi III Minta Komnas HAM Tingkatkan Peran, Selesaikan Pelanggaran HAM Berat
Wakil Ketua Komisi III DPR RI Pangeran Khairul Saleh saat memimpin rapat kerja dengan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia di ruang rapat Komisi III, Nusantara II, Senayan, Jakarta, Rabu (30/5/2024). Foto: DPR RI

Jakarta – Wakil Ketua Komisi III DPR RI Pangeran Khairul Saleh memimpin rapat kerja dengan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Dalam rapat ini Komisi III meminta Komnas HAM untuk meningkatkan peran dan mengoptimalkan pelaksanaan tugas dan fungsi dalam mendukung penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM, termasuk pelanggaran HAM berat.

“Baik itu penyelesaian yudisial maupun non-yudisial, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,” ujarnya di ruang rapat Komisi III, Nusantara II, Senayan, Jakarta, Rabu (30/5/2024).

Lebih lanjut Komisi III DPR meminta Komnas HAM untuk segera menyelesaikan peraturan terkait Penilaian Tindak Lanjut Kepatuhan Rekomendasi, agar dapat menjadi informasi dan tolak ukur dalam tindak lanjut rekomendasi yang telah diberikan.

Bahkan Komisi III meminta Komnas HAM dan Komnas Perempuan untuk lebih proaktif dan sinergis dalam mengidentifikasi potensi permasalahan, melakukan penanganan, maupun pendampingan terhadap seluruh pihak, dalam penerapan dan penegakan prinsip-prinsip HAM, termasuk perlindungan terhadap perempuan di seluruh sektor dan kegiatan.

Sementara itu di lain pihak, Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro menyampaikan bahwa pihaknya saat ini tengah menyusun rancangan Peraturan Komnas HAM terkait Penilaian Tindak Lanjut Kepatuhan Rekomendasi Komnas HAM. “Sebagai salah satu upaya pemasangan untuk meningkatkan efektivitas dari rekomendasi yang diberikan oleh Komnas HAM,” papar Atnike saat rapat.

Menurutnya rekomendasi yang diberikan oleh Komnas HAM dari hasil pemantauan, mediasi, maupun kajian tidak selalu ditindaklanjuti oleh stakeholders maupun kementerian/lembaga karena dianggap tidak mengikat. “Sejumlah kasus juga menunjukkan fungsi mediasi Komnas HAM masih belum dipahami sebagai sebuah solusi strategis,” ucap Atnike.

Baca Selengkapnya

BERITA

Anggaran Pendidikan Kemenag Dinilai Masih Kecil

Oleh

Fakta News
Anggaran Pendidikan Kemenag Dinilai Masih Kecil
Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ace Hasan Syadzily. Foto: DPR RI

Jakarta – Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ace Hasan Syadzily menilai besaran anggaran pendidikan yang diterima Kemenag (Kementerian Agama) untuk mendanai seluruh lembaga pendidikan Islam dan keagamaan masih timpang dibanding kementerian lain.

“Soal anggaran pendidikan di bawah Kementerian Agama harus betul-betulan keadilan anggaran. Kalau kita dengar pidato Menteri Keuangan (Sri Mulyani) dalam rapat paripurna, ya anggaran pendidikan Rp630 triliun, tapi kalau Kemenag hanya dapat Rp35 triliun, buat saya mengkhawatirkan,” kata Kang Ace, sapaannya, dalam keterangan persnya, Rabu (29/5/2024).

Politisi Partai Golkar itu menyatakan, selain Sekretariat Jenderal (Sekjen) Kemenag, anggaran terbesar juga diberikan kepada Direktorat Jenderal (Ditjen) Pendidikan Islam (Pendis) Kemenag sebesar Rp35 triliun.

Ada satu hal yang sangat penting untuk didiskusikan bersama adalah soal berbagai hal terkait anggaran pendidikan nasional. Dari penjelasan Plt Dirjen Pendis, berapa persen KIP Kuliah untuk Perguruan Tinggi Agama Islam (PTKAI) dan perguruan tinggi agama lain.

“Apakah PIP, KIP, apakah sudah mencerminkan suatu keadilan anggaran? Rehab ruang kelas juga belum mencerminkan keseluruhan,” ujar dia.

Kang Ace melihat dari total anggaran pendidikan Rp630 triliun di APBN, Kemenag hanya mendapatkan Rp35 triliun, artinya belum mencerminkan suatu kesetaraan anggaran.

“Padahal anak-anak madrasah, yang kuliah di UIN, STAIN, STAI atau di manapun, mereka juga anak-anak bangsa yang sama untuk mendapatkan perlakuan sama dalam akses pendidikan,” tutur Kang Ace.

Ace mengatakan, keputusan tepat telah diambil Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas yang menunda status Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH) bagi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. “Itu keputusan yang tepat. Kalau tidak, meresnya sama mahasiswa. Berat,” ucap dia.

Jujur saja, ujar Ace, hampir sebagian besar  siswa dan mahasiswa yang sekolah di bawah Kemenag berlatar belakang sosial ekonomi kelas menengah bawah. Namun penyaluran program KIP dan PIP untuk mereka juga sedikit.

“Itu anehnya. Jadi ada yang salah dari proses pendataan penyaluran program negara untuk kelompok-kelompok yang membutuhkan itu,” ujar Kang Ace.

Baca Selengkapnya

BERITA

Imbas Kebakaran Smelter Nikel PT KFI, Komisi VII akan Audit Investigasi

Oleh

Fakta News
Imbas Kebakaran Smelter Nikel PT KFI, Komisi VII akan Audit Investigasi
Anggota Komisi VII DPR RI Nasyirul Falah Amru saat memimpin Tim Kunspek Komisi VII DPR mengunjungi PT KFI di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Rabu (29/5/2024). Foto: DPR RI

Kutai Kartanegara – Anggota Komisi VII DPR RI Nasyirul Falah Amru mengatakan, pihaknya akan segera melakukan audit investigasi terhadap pabrik smelter nikel PT Kalimantan Ferro Industri. Hal tersebut imbas dari peristiwa dua kali ledakan di pabrik smelter PT KFI yang menewaskan pekerja asing dan lokal belum lama ini.

“Kami akan panggil PT KFI beserta seluruh jajaran direksinya, untuk datang ke Gedung Senayan dan kami akan melakukan audit investigasi. Secara mekanisme, bisa dengan membuat panja nikel atau kita panggil secara khusus di Rapat Dengar Pendapat (RDP). Kami juga tentunya akan melibatkan Kementerian Perindustrian dan Kementerian KLHK dari sisi amdalnya, supaya benar-benar kita melihat secara komprehensif sebab terjadinya ledakan,” ujarnya saat memimpin Tim Kunspek Komisi VII DPR mengunjungi PT KFI di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Rabu (29/5/2024).

Menurut Politisi F-PDI Perjuangan ini, pihaknya menilai, hasil dari temuan dilapangan seperti sarana untuk keselamatan kerja dan sebagainya juga masih jauh dari kurang. Walaupun mereka sudah mendatangkan tim dari Kementerian Industri untuk mekanisme aturan pedomannya, tetapi pihaknya menemukan fakta di lapangan masih belum sesuai dengan harapan.

“Saya berpesan agar tidak terulang terjadi kebakaran atau ledakan, yang paling penting ini adalah mesin yang ada di setiap semelter itu perlu dicek selalu setiap periodik. Kemudian, kalibrasi mesin itu juga penting karena dengan begitu kita akan tahu ukuran mesin ini sesuai dengan kapasitasnya dia berproduksi atau tidak. Sehingga, Insya Allah dengan adanya perawatan yang berkala dan pengawasan yang kita lakukan ini Insya Allah tidak akan terjadi kembali,” jelas Nasyirul.

Selain itu, kami juga tidak menemukan alat pemadam kebakaran sepanjang jalan menuju lokasi meledaknya smelter. Kemudian, rambu-rambu yang ada juga masih sangat terbatas sekali, sehinhha dianggap tidak layak untu perusahaan smelter. “Jadi ini harus segera diperbaiki,” imbuhnya.

“Kita menemukan sesuatu yang di luar dugaan, ketika PT KFI lagi dibangun ada proses namanya commissioning atau uji coba tetapi sudah menimbulkan kejadian terjadinya ledakan. Padahal masih tahap uji coba, tetapi dua tenaga kerja asing dan dua pekerja lokal turut menjadi korban akibat ledakan di smelter nikel tersebut,” ucapnya lagi.

Baca Selengkapnya