Connect with us
DILANS-Indonesia

DILANS-Indonesia: Nihil de Nobis, Sine Nobis

Penulis:
Farhan Helmy
Inisiator Perhimpunan Pergerakan DILANS-Indonesia

Slogan “Nihil de Nobis, Sine Nobis” sangat populer di masa lalu. Diterjemahkan kedalam bahasa Inggris dengan frasa ‘Nothing about Us without Us”, dan secara luas dipopulerkan ke Bahasa Latin dengan ungkapan “Nihil de nobis, sine nobis”. Konon ini berasal dari tradisi politik di sebagian besar kawasan Eropa Tengah setelah peralihan bentuk kerajaan dimana raja sebagai pemegang otoriitas tertinggi ke bentuk negara yang lebih demokratis, dimana suara warga  diwakilkan di parlemen.

Slogan ini kemudian menjadi norma dalam kehidupan demokrasi dan meluas ke berbagai pengambilan keputusan dan penyusunan kebijakan terhadap berbagai aspirasi kelompok kepentingan yang diwakilinya atau terpengaruh, khususnya kelompok yang terpinggirkan secara politik, ekonomi, sosial dan budaya.

Tradisi partisipasi, dan keterlibatan langsung serta penuh sudah berakar lama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di masa lalu. Sesuatu yang sudah berakar lama ini dijadikan pengingat  tatakelola pemerintahan dalam  membangun kesetaraan dan inklusivitas warganya.

Slogan ini terus berevolusi dipakai juga oleh para aktivis penyandang disabilitas di tahun 1990an. PBB pertama kali menggunakannya sebagai tema pada peringatan Hari Penyandang Disabilitas International pada tahun 2004 dan menjadi slogan yang terus digunakan termasuk dalam Konvensi PBB tentang Penyandang Disabilitas yang ditetapkan tahun 2007.

Itulah yang menjadi alasan saya mengartikulasikannya pada International Seminar on Sharpening Urban 20 Issues Notes, “Strengthening the Role of Cities in Handling Climate and Pandemic Crisis”, 2 Maret lalu di Bandung. Pertemuan yang difasilitasi oleh Ikatan Ahli Perencaaan Wilayah dan Kota (IAP) bekerjasam dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat terkait dengan pembahasan isu yang akan dielaborasi pada pertemuan negara-negara G20 di Bali bulan November tahun ini.

Saya memberikan paparan dengan judul, “Seeing Urban Mobility from Sidewalks: Barriers and Potentials in Applying Universal Design”. Paparan yang merupakan refleksi kritis terhadap isu disabilitas dan lansia dimana saya menjalaninya sendiri sejak lima tahun lalu sebagai penyandang disabilitas.

Tiga Catatan Kritis soal Representasi

Representasi kepentingan yang diartikulasikan oleh lembaga negara maupun non-negara seringkali meleset dari realitas lapangan.

Ada tiga hal yang saya sampaikan pada sesi mobilitas perkotaan: pertama,  partisipasi penuh dan langsung dari warga penyandang disabilitas. Dengan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi bukanlah menjadi penghalang saat ini. Berkembangnya berbagai platform sosial media bisa menjadi tanda dan sekaligus penda bahwa suara-suara yang diperbincangkan tidak hanya terbatas pada aktor negara dan non-negara yang mengganggap memahami isu.yang dirasakan langsung oleh kelompok yang terpengaruh.

Saya memberikan fakta-fakta otentik lapangan terhadap banyaknya kendala bagi penyandang disabilitas dan lansia dalam mengakses fasilitas publik. Aksesibilitas terhadap berbagai gedung pemerintah, kawasan parawisata, restoran/cafe, tempat peribadatan, berbagai produk dan jasa layanan. Begitupun dalam konsumsi barang dan jasa keseharian seringkali menjadi beban yang berat, selain harga yang tak terjankau oleh kebanyakan warga ini juga seringkali materialnya tidak ramah.

Trotoar sebagai representasi ruang publik salah gambaran yang gamblang dalam keseharian dimana aksesibilitas penyandang disabiltas dan lansia di hampir sebagain besar kawasan kota sangat minim dan cenderung karikatif.

Kalaupun ada, seringkali terbatas pada sebagian besar jalan utama dan terputus koneksinya dengan domisili sebagian besar unummnya para warga ini tinggal, di permukiman padat.

Jumlah penyandang disabilitas dan lansia di Indonesia berdasarkan statistik terkini diperkirakan jumlahnya lebih lebih dari 60 juta orang dengan komposisi 23 juta lebih penyandang disabilitas, dan 30 jutaan lebih lansia (BPS, 2020). Khusus untuk penyandang disabilitas diperkirakan lebih dari 1 milyar.

Penyandang disabilitas adalah orang yang “memiliki masalah pada fungsi atau struktur tubuh, keterbatasan aktivitas, mengalami kesulitan dalam melaksanakan tugas atau tindakan”. Dari jumlah itu, statistik global lebih lanjut menguraikan 20% di antaranya hidup dengan kesulitan fungsional yang besar dalam kehidupan sehari-hari mereka, 253 juta orang terkena kebutaan dan gangguan penglihatan (3,2% dari populasi dunia), 466 juta orang mengalami ketulian dan gangguan pendengaran (6% dari populasi dunia). Sekitar 200 juta orang digolongkan disabilitas intelektual (IQ di bawah 75, 2,6% dari populasi dunia), dan 75 juta orang membutuhkan kursi roda setiap hari atau sekitar 1% dari populasi dunia (WHO, 2019).

Dalam konteks yang lebih luas seperti isu krisis iklim yang sudah kita rasakan dampaknya hingga kini yang ditunjukkan dengan berbagai bencana hidrometereologis warga DlLANS menjadi bagian bagian yang sangat rentan. Tidak ada krisis iklimpun berbagai kendala sudah menyertai. Mobilitas terganggu karena minimnya berbagai fasilitas publik. Resiliensinya lebih rendah dibanding dengan kelompok lain yang lebih bisa menyesuaikan diri.

Kedua, tata kelola penanganan isu penyandang disabilitas dan lansia. Berbagai konvensi PBB secara lugas telah menyatakan keberpihakannya pada berbagai isu yang terkait: HAM, penyandang disabilitas, perubahan iklim, sasaranpembangunan berkelanjutan (SDGs), dan pengurangan resiko bencana (Disaster Risk Reduction).  Dan puncaknya dengan disepakatinya Persetujuan Paris oleh seluruh negara yang tergabung dalam Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 2015.

Di tingkat nasional, Indonesia sudah  memiliki landasan normatif yang luar biasa selain dari UUD’45. UU 13/1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, UU 29/1999 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi, UU 39/1999 tentang HAM, UU 11/2005 tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, UU 12/2005 tentang Hak Sipil dan Politik, UU 11/2009 tentang Kesejahteraan Sosial, serta UU 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas. Sebagian UU ini bahkan sudah diturunkan dalam peraturan yang lebih teknis di Kementrian dan Lembaga Terkait.

Secara normatif berbagai fondasi ini secara ekplisiit sebenarnya kita sudah melandaskan pada “pembangunan berbasis hak”. Itu artinya kita sudah berada pada jalur yang benar bersama dengan negara-negara yang menjalankan kebijakan ekonomi dalam suatu kesatuan tak terpisahkan. Tidak berilusi menjalankannya sebagai proses sekuensial: pembangunan ekonomi dulu, lalu kehidupan sosial belakangan.

Ketiga, penerapan prinsip Universal Design. Dalam kontek praksis aksesibilitas ruang bersama secara internasional telah mempromosikan berbagai prinsip ini menjadi panduan praktis.

Paling tida ada tujuh prinsip yang bisa dipakai: penggunaaan yang merata (equitable use), fleksibilitas dalam penggunaan (flexibility in use), sederhana dan intuitif (simple intuitive use), informasi yang terlihat (perceptible information), toleransi kesalahan (tolerance for error), upaya fisik yang rendah (low physical effort), dan ukuran yang sesuai (appropriate size). Secara ringkas masing-masing dapat diuraikan sebagai berikut:

  • Penggunaan yang merata (equitable use) dimaksudkan agar berguna dan dapat dipasarkan untuk semua kelompok pengguna.
  • Fleksibilitas dalam penggunaan (flexibility in use) memungkinkan desain mengakomodasi berbagai preferensi dan kemampuan individu sehingga memberikan pilihan metode penggunaan yang akurat dan presisi dan pengguna dapat mengadaptasi dengan cepat.
  • Penggunaan sederhana dan Intuitif (simple intuitive use) memungkinkan desain mudah dipahami pengguna terlepas dari pengalaman, pengetahuan, keterampilan bahasa, atau tingkat konsentrasi pengguna saat ini.
  • Informasi yang terlihat (perceptible information) memungkinkan desain mengkomunikasikan informasi yang diperlukan secara efektif kepada pengguna, terlepas dari kondisi sekitar atau kemampuan sensorik pengguna. menggunakan mode yang beragam secara bergambar, verbal, atau bentuk penyajian lainnya yang efektif dan tidak berlebihan.
  • Toleransi kesalahan (tolerance for error), desain harus  meminimalkan bahaya dan konsekuensi yang merugikan dari tindakan yang tidak disengaja.
  • Upaya fisik rendah (lower physical effort), desain dapat digunakan secara efisien dan nyaman serta dengan, dan tidak menguras energi fisik tubuh secara berlebihan.
  • Ukuran dan ruang (appropiate space and size) yang sesuai dirancang sedemikian rupa sehingga tak terganggu penggunaannya terlepas dari ukuran tubuh, postur, atau mobilitas pengguna.

Krisis Iklim, Mobilitas Urban dan DILANS

Penundaan berbagai komitmen negara-negara dalam memenuhi sasaran Persetujuan Paris bagi banyak pihak sangat mengecewakan. Tidak sejalan dengan apa yang diperingatkan oleh para ilmuwan yang sudah banyak mengeluarkan laporan kredibel dalam suatu proses yang panjang dari proses Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC). Saya berasosiasi dengan pandangan ini.

Aksi yang ambisius dan progresif untuk mempertahankan kenaikan suhu rerata 1.5 derajat Celcius dibandingkan dengan suhu bumi sebelum pra industri abad 18 di akhir abad ini hanya mungkin dicapai apabila ada jalan yang konsisten untuk memenuhinya. Tahun 2030 dan  2050 adalah tonggaknya.

Tahun 2030 mensyaratkan total emisi globalberkurang setengahnya, sedangkan tahun 2050 bumi harus berada pada kondisi “net-zerro”. Pada tahun 2050 bumi mencqpai keseimbangan dimana emisi yang dikeluarkan akan mampu dikompensasi dengan berbagai upaya mitigasi dan perubahan perilaku yang rendah emisi.

Perbaikan berbagai komitmen beberapa negara terkini sejak pertama kalinya Nationally Determined Contributions (NDC) disampaikan setelah Persetujuan Paris disampaikan, agregrat global masih pada kisaran rerata 2.7 derajat Celsius diakhir abad ini (UNEP, 2022). Walaupun ada kemajuan komitmen dibandingkan pada submisi pertama pada kisaran rerata diatas 3 derajat, masih jauh dari harapan yang dituntut PA.

Periode emas menuju 2030, mungkin akan terkesampingkan. Rentang delapan tahun yang tersisa tidak akan termanfaatkan apabila tidak ada komitmen yang serius dan konsisten menjalankanya.

Apakah masih ada optimisme dengan situasi ini dalam rentang waktu yang sempit ini?

Selalu banyak jalan menuju Roma kalau kata orang bijak seberapa besarpun tantangannya.

Mengintegrasikan prinsip “Universal Design” mutlak dilakukan dalam dua aras berikut: pertama, koherensi agenda dan kebijakan melalui interpolasi dari komitmen internasional yang sudah disepakati dan diturunnkan dalam kebijakan nasional maupun maupun ekstrapolasi artikikulasi kepentingan nasional ke tingkat global. Khususnya yang terkait dengan upaya untuk menangani kelompok rentan.

Kedua, keterlibatan aktor non-negara menjadi sangat penting dan signifikan. Lebih dari 80 persen mobilisasi sumberdaya berada diluar aktor negara atau non-state party.  Berbagai skema pendanaan dapat dikembangkan pada skala yang pengaruh dari konflik kepentingnya tidak begitu keras seperti pada skala nasional. Kota adalah kawasan yang sangat ideal untuk memobilisasi sumberdaya yang secara langsung dapat merespon apa yang dirasakan warganya.

Dua upaya ini  memberikan harapan baru ditengah banyak kebuntuan karena kepentingan ekonomi politik yang masih memberi ruang toleransi yang besar pada pembangunan yang tidak ramah iklim.

Realitas paradoksial terhadap tiga keniscayaan relasi utuh antara: alam (nature), budaya (culture), agama/keyakinan/kepercayaan (belief) perlu direstorasi agar hubungannya seimbang dan harmonis.

Kehendak berkuasa antroposentrik yang menempatkan manusia adalah segala-galanya di alam semesta ini, tanpa menghiraukan keberadaan sekelilingnya haruslah segera ditinggalkan.

Inilah narasi yang saya sampaikan dua hari lalu. Mudah-mudahan dapat membuka jalan lain dari kebuntuan negosiasi internasional yang belum tahu akhirnya.  Aksi di perkotaan yang lebih terukur dan melibatkan representasi aktor yang terpengaruh seperti warga DILANS bisa jadi jalan alternatif komplementer lainnya.

Berbagai tantangan lainnya yang mungkin juga harus diselesaikan pada tataran pembangunan tata kelola yang lebih baik dan mendasar diantaranya: (1). Keberpihakan dan literasi penentu kebijakan (2). Konstruksi sosial yang mungkin berakar pada kepentingan sosial, ekonomi, politik dan budaya (3). Pembangunan inklusif yang berorientasi pada perluasan akses dibandingkan dengan penimbunan untuk kelompok kepentingan yang kecil (4). Tatakelola dan percepatan implementasi pada berbagai aras administrasi pemerintahan (5). Artikulasi kepentingan dalam pengorganisasian yang solid untuk merepresentasi kelompok yang terpengaruh, dan (6). Sains teknologi dan investasi pada pemenuhan hak warga dalam pembangunan, khususnya kehidupan inklusif di perkotaan.

Sintesis pada pertemuan ini bisa menjadi masukan signifikan pada pertemuan G20 di Bali l. Rekomendasi yang tidak hanya terfokus pada jangka pendek, akan tetapi jangka panjang pasca krisis pandemi.

Bali mempunyai arti penting dalam konteks proses negosiasi perubahan iklim yang panjang. Pada tahun 2007, di Bali fondasi Bali Action Plan dimana Indonesia menjadi Presiden COP-13 UNFCCC dikukuhkan dan menjadi tahapan penting menuju Persetujuan Paris tahun 2015.

Bandung, 4 Maret 2022

 

Tentang Penulis

Farhan Helmy adalah Anggota Climate Reality Leaders Corps, yang dalam kesehariannya menjadi Kepala Sekolah Thamrin School of Climate Change and Sustainability, suatu komunitas multi pihak yang mendalami isu tatakelola perubahan iklim dan keberlanjutan. Farhan baru saja terpilih sebagai Presiden Pergerakan Disabilitas dan Lansia(DILANS)-Indonesia, 2022-2024. Profil lengkapnya bisa diakses di farhanhelmy.carrd.co.

Baca Selengkapnya
Tulis Komentar

BERITA

Novita Wijayanti: Perlu Perbaikan dan Pelayanan dalam Evaluasi Mudik 2024

Oleh

Fakta News
Novita Wijayanti: Perlu Perbaikan dan Pelayanan dalam Evaluasi Mudik 2024
Anggota Komisi V DPR RI Novita Wijayanti. Foto : DPR RI

Jakarta – Pelaksanaan arus mudik dan balik angkutan Lebaran terus menjadi pusat perhatian masyarakat Indonesia. Terlebih, setiap tahun pelaksanaannya terus mengalami tantangan yang cukup signifikan.

Terkait hal itu, Anggota Komisi V DPR RI Novita Wijayanti mengapresiasi seluruh pelaksanaan arus mudik dan balik angkutan lebaran 2024 yang telah berlangsung dengan baik. Meski, terdapat sejumlah catatan atau evaluasi dalam pelaksanaannya.

“Pemerintah telah mengambil langkah dalam meningkatkan infrastruktur dan mengatur sistem transportasi. Namun, peningkatan jumlah pemudik dan kepadatan lalu lintas masih menjadi permasalahan utama,” ujar Novita dalam wawancara tertulis kepada Parlementaria, di Jakarta, Kamis (18/4/2024).

Lebih lanjut dikatakan oleh Legislator dari Dapil Banyumas-Cilacap (Jawa Tengah VIII) ini, peran koordinasi antara Pemerintah Daerah dengan operator transportasi serta pihak terkait lainnya masih perlu ditingkatkan.

“Komunikasi yang lebih efektif dan perencanaan yang matang diperlukan untuk menghindari kemacetan yang berlebihan dan memastikan keselamatan pemudik,” tandas Politisi Fraksi Partai Gerindra tersebut.

Tak hanya itu, Novita juga mencatat perlunya peningkatan pengawasan yang lebih ketat terhadap protokol kesehatan di tempat-tempat peristirahatan dan terminal, guna mencegah penyebaran penyakit. Terlebih, lanjutnya, di tengah cuaca ekstrem yang dapat mempengaruhi kondisi tubuh para pemudik.

Kendati demikian, Novita mengapresiasi secara keseluruhan pelaksanaan arus mudik dan balik angkutan lebaran 2024 yang baru saja selesai terselenggara. Dirinya berharap, perbaikan dan peningkatan pelayanan dapat terus dilakukan di setiap tahunnya.

“Secara keseluruhan, meskipun ada beberapa perbaikan yang telah dilakukan, tentunya masih diperlukan upaya lebih lanjut untuk meningkatkan efisiensi, keselamatan, dan kenyamanan pelaksanaan arus mudik dan balik angkutan lebaran di masa mendatang,” pungkasnya.

Baca Selengkapnya

BERITA

Penguatan Konten Kearifan Lokal Bali Diharapkan Semakin Meningkatkan Industri Pariwisata

Oleh

Fakta News
Penguatan Konten Kearifan Lokal Bali Diharapkan Semakin Meningkatkan Industri Pariwisata
Wakil Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis Almasyhari saat memimpin pertemuan Kunjungan Kerja Reses Komisi I DPR RI ke LPP RRI Denpasar, Bali, Kamis (18/4/2024). Foto: DPR RI

Denpasar – Wakil Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis Almasyhari memimpin Kunjungan Kerja Reses Komisi I DPR RI ke LPP RRI Denpasar, Bali. Dalam kunjungan ini Komisi I DPR RI memberikan perhatian serius pada konten kearifan lokal di Bali. Dengan kuatnya konten kearifan lokal yang ada di Bali maka diharapkan kedepan akan semakin meningkatkan industri pariwisata yang ada di Bali.

“Tim Kunjungan Kerja Reses Komisi I DPR RI mendorong LPP RRI Denpasar Bali untuk selalu mengupdate program siaran bermuatan kearifan lokal secara multiplatform guna mendorong peningkatan pariwisata di Bali,” papar Politisi Fraksi PKS itu di kantor LPP RRI Denpasar, Bali, Kamis (18/4/2024).

Kearifan lokal merupakan suatu identitas budaya sebuah bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap, bahkan mengolah kebudayaan yang berasal dari luar bangsa lain menjadi watak dan kemampuan sendiri. Kearifan lokal juga merupakan ciri khas etika dan nilai budaya dalam masyarakat lokal yang diturunkan dari generasi ke generasi. Konten kearifan lokal merupakan suatu muatan yang ditampilkan kepada masyarakat melalui media yang menampilkan kebudayaan suatu bangsa.

Komisi I mendorong LPP RRI turut andil dalam mempertahankan kearifan lokal di tiap satuan kerja (Satker) yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Tiap Satker dari Sabang sampai Merauke, berperan penting untuk mengikat kearifan lokal yang menjadi ciri khas LPP RRI selama ini. Sebagai gambaran,  siaran RRI sendiri terdiri dari PRO 1 hingga PRO 4. Khusus PRO 4, merupakan program yang menyajikan konten kearifan lokal yang tersebar di kota-kota yang memiliki potensi budaya besar, termasuk Denpasar Bali.

Promosi kearifan lokal budaya di Bali dapat dilakukan dengan memanfatkan media massa seperti media elektronik, media cetak, dan media online maupun media sosial lainnya. LPP RRI turut menyajikan  konten yang sesuai dengan sasaran wisatawan.  LPP RRI Denpasar telah menyediakan saluran khusus untuk Budaya Bali melalui PRO 4, dengan menggunakan bahasa Bali untuk berkomunikasi dengan pendengar dan narasumber.

Baca Selengkapnya

BERITA

Evaluasi Antrean Panjang Mudik, ASDP Harus Perbaiki Manajemen Tiket via Aplikasi Ferizy

Oleh

Fakta News
Evaluasi Antrean Panjang Mudik, ASDP Harus Perbaiki Manajemen Tiket via Aplikasi Ferizy
Anggota Komisi V DPR RI Suryadi Jaya Purnama. Foto: DPR RI

Jakarta – Peristiwa terjadinya puluhan pemudik yang sempat memblokade jalan menuju kapal Eksekutif Bakauheni, Lampung, Minggu (14/04/2024) belum lama ini menuai respon dari Anggota Komisi V DPR RI Suryadi Jaya Purnama. Para pemudik mobil ini, imbuh pria yang akrab disapa SJP, memprotes karena petugas mendahulukan kendaraan yang terakhir tiba.

“PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) atau ASDP meminta maaf dan menyebut bahwa ada kesalahan jalur antrean karena kekeliruan pengarahan pengguna jasa atau pemudik yang giliran masuk kapal,” ujar SJP sebagaimana keterangan resmi yang diterima Parlementaria, di Jakarta, Kamis (18/4/2024).

Masalah tersebut, tandas Politisi Fraksi PKS ini, semakin menambah panjang daftar kesalahan ASDP dalam memberikan pelayanan bagi pemudik di lintasan penyeberangan kapal feri Merak-Bakauheni.

“Sebelumnya, jalan menuju Pelabuhan Merak, Banten sempat mengalami kemacetan hingga belasan kilometer selama 5-12 jam karena banyaknya kendaraan atau masyarakat yang belum memiliki tiket kapal feri, tapi tetap datang ke pelabuhan,” terangnya.

Sebagaimana data ASDP, ungkap Suryadi, total masyarakat yang belum memiliki tiket mudik pada 6-7 April lalu sebanyak 19.700 orang atau 32 persen. Sementara calon penumpang yang sudah mempunyai tiket hanya 68 persen.

“Padahal ASDP sudah mewajibkan pengguna jasa membeli tiket secara daring via aplikasi Ferizy dengan radius maksimal 4,7 km dari Pelabuhan Merak dan sudah bertiket maksimal H-1 keberangkatan demi menghindari terjadinya antrean kendaraan dan penjualan tiket oleh calo,” tuturnya.

Namun di lapangan, masih banyak ditemukan para calon penumpang masih membeli tiket di Pelabuhan Merak dari agen-agen penjualan. Tanpa berbekal tiket, lanjut SJP, para pemudik ini tetap nekat berangkat menuju Pelabuhan Merak. Akibatnya, mereka berdesakan dengan para pemudik yang sudah membeli tiket. Karena mereka masih yakin bisa memperoleh tiket di Pelabuhan dan faktanya masih bisa mendapatkannya melalui agen-agen penjualan tidak resmi.

“Kita meminta agar alasan para pemudik datang langsung ke pelabuhan untuk membeli tiket tanpa menggunakan aplikasi Ferizy ini dievaluasi oleh pihak ASDP dan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) karena banyaknya keluhan pembeli tiket terkait aplikasi ini,” pungkas SJP.

Rating 2,5 dan ulasan-ulasan buruk terhadap Ferizy di Google Play Store, kata Suryadi, dapat menjadi bahan evaluasi tersebut. Misalkan kuota pemesanan tiket begitu cepat habis yang kemungkinan besar sudah diborong oleh calo yang kemudian menawarkannya di sekitar pelabuhan, bahkan ada yang hilang uangnya setelah melakukan pembayaran dan masih banyak lagi.

Baca Selengkapnya