DARI PENEGAKAN KUOTA HINGGA KEPAKARAN ANGGOTA DEWAN KOMISARIS: Optimalisasi Peran Perusahaan Terkait Para Penyandang Disabilitas

Jalal – Aktivis Keberlanjutan Perusahaan
Farhan Helmy – Presiden Pergerakan Disabilitas dan Lanjut Usia (DILANS-Indonesia)
PENGANTAR. Ini tulisan Kang Jalal bersama saya setelah berdialog sekian lama tentang peran strategik di luar negara untuk menjadi bagian dalam perlindungan dan pemenuhan hak-hak warga difabel. Kang Jalal yang saya kenal adalah seorang praktisi keberlanjutan yang secara khusus seorang profesional Good Corporate Governance. Terkait dengan peran perusahaan salah satu gagasan kami bukan sekedar terlibat dalam CSR ataupun yang diperluas, tetapi menginisiasi entitas dalam pengambilan keputusan. Jumlah penyandang disabilitas Indonesia saat ini 23 juta orang, seyogyanya bisa memberikan inspirasi perlu upaya lebih masif dalam perlindungan dan pemenuhan hak mereka terutama keterlibatan perusahaan.
Mungkin sudah saatnya perusahaan-perusahaan di Indonesia memastikan kepakaran terkait penyandang disabilitas ini di berbagai bagian perusahaan, terutama di bagian human capital, penanggung jawab kinerja sosial, komite eksekutif dan komite di dewan komisaris. Kalau selama ini telah banyak desakan agar di antara anggota komite di dewan komisaris ada yang memahami perspektif gender dan masyarakat lokal, keperluan yang sama jelas juga untuk perspektif penyandang disabilitas.
Selamat menikmati tulisan ini🙏
+++++
APA respons utama dari perusahaan-perusahaan di Indonesia ketika diajak berdiskusi tentang kontribusi mereka terhadap para penyandang disabilitas? Sama dengan pemahaman umum tentang tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility atau CSR): donasi. Pemahaman yang terbatas ini bukan saja sangat menggelisahkan, namun juga patut disayangkan lantaran perusahaan menjadi tidak benar-benar bisa mewujudkan tanggung jawabnya pada level yang seharusnya.
CSR sesungguhnya berarti tanggung jawab atas dampak (positif maupun negatif) yang ditimbulkan keputusan dan tindakan perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungan yang bertujuan untuk berkontribusi kepada pembangunan berkelanjutan. Kita tahu bahwa kesepakatan global tentang pembangunan berkelanjutan terformalkan dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals atau SDGs) yang berlaku antara 2016-2030. Jadi, mudahnya, CSR adalah tentang bagaimana perusahaan berkontribusi pada pencapaian SDGs di berbagai tingkat.
Ada tiga ranah kontribusi tersebut, menurut Jane Nelson, Beth Jenkins, dan Richard Gilbert dalam publikasi mereka Business and the Sustainable Development Goals: Building Blocks for Success Scale (2015). Pertama, melalui bisnis inti yang sesuai dengan paradigma pembangunan berkelanjutan. Kedua, melalui investasi sosial. Ketiga, melalui advokasi publik dan dialog kebijakan. Ketiga ranah kontribusi ini sangatlah penting untuk ditelisik lebih jauh ketika kita membicarakan tentang bagaimana seharusnya perusahaan berkontribusi secara optimal kepada para penyandang disabilitas.
Mengapa demikian? Sinyalemen Angkie Yudistia, Staf Khusus Presiden untuk urusan disabilitas yang membeberkan hanya 3.300 jiwa dari 22 juta jiwa total penyandang disabilitas di Indonesia yang bekerja secara memadai sangatlah memprihatinkan. Ini masih sangat jauh dari harapan dibanding dengan berbagai pernyataan komitmen tentang perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas seperti Konvensi mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas yang sudah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui UU 19/ 2011, UU 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas, dan berbagai peraturan lainnya yang lebih implementatif. Hal ini membuat setiap perusahaan—bersama-sama dengan pemangku kepentingan lainnya—perlu bersiap untuk memberikan kontribusi optimalnya.
Dalam ranah bisnis inti, perusahaan perlu melihatnya di dalam tiga lapisan: workplace, market place, dan supply chains. Kalau kita periksa literatur tentang apa yang bisa dilakukan perusahaan terhadap penyandang disabilitas dan workplace, sesungguhnya ada banyak sekali yang bisa dilakukan. Banyak literatur menyatakan bahwa perusahaan perlu menerapkan kuota untuk penyandang disabilitas di dalam pekerjanya. Indonesia sendiri sudah memiliki regulasi yang menetapkan kuota tersebut, yaitu 1% untuk perusahaan swasta dan 2% untuk BUMN. Dan, lantaran CSR bersifat melampaui regulasi, seharusnya kebijakan perusahaan menetapkan kuota yang lebih tinggi. Kalau regulasi ini saja benar-benar ditegakkan, sesungguhnya ada cukup banyak penyandang disabilitas yang mendapatkan pekerjaan, apalagi kalau perusahaan secara sukarela menetapkan kuota yang lebih tinggi. Namun, pada kenyataannya, majoritas perusahaan belum menjalankan kewajiban regulatori itu lantaran tidak mengetahuinya juga karena penegakannya minimal.
Terkadang perusahaan mengetahui kewajiban tersebut tetapi gagal memastikan kepatuhan karena kesulitan mengakomodasinya di dalam strategi dan implementasi human capital mereka. Majoritas perusahaan merasa kesulitan lantaran kondisi disabilitas fisik, sensorik, intelektual dan mental dianggap sebagai kendala untuk inklusi. Padahal di situ titik pentingnya kalau perusahaan benar-benar ingin menegakkan keadilan, kesetaraan, keragaman, dan inklusi (justice, equity, diversity, and inclusion atau JEDI), sebagaimana yang disarankan oleh Kristina Kohl dalam Driving Justice, Equity, Diversity, and Inclusion: The JEDI Journey (2022), maka kondisi yang melekat dengan disabilitas itu merupakan hal yang penting untuk diselesaikan melalui beragam tindakan afirmatif.
Di antara tindakan afirmatif yang sangat penting adalah memastikan bahwa infrastruktur gedung dan kantor memang ramah terhadap berbagai jenis disabilitas, sehingga mereka bisa mengakses dan menavigasi aktivitas di kantor dengan lebih baik. Kalau memang dimungkinkan untuk bekerja dari rumah, atau dari tempat lain yang lebih nyaman, perusahaan bisa mengakomodasinya dengan fasilitas teknologi informasi dan komunikasi yang memadai, misalnya. Para penyandang disabilitas mungkin sekali perlu mendapatkan pelatihan-pelatihan tertentu yang memungkinkan mereka berkontribusi secara optimal. Dan seterusnya. Jadi, memang tak bisa sekadar menegakkan kuota, apalagi mengabaikannya, melainkan perlu melihatnya dalam perspektif JEDI yang komprehensif, terutama dari sudut pandang pendekatan kapabilitas yang dipromosikan Amartya Sen.
Banyak hal yang sangat menarik bisa dipikirkan ketika melihat bagaimana perusahaan bisa melihat penyandang disabilitas dari sudut pandang market place. Jumlah penyandang disabilitas di Indonesia yang diakui oleh Pemerintah RI adalah 4-5% dari penduduk. Itu berarti jumlahnya bisa mencapai 13,5 juta orang di Indonesia. Namun, proporsi tersebut dikritik oleh PBB di penghujung tahun lampau. Di level global, penyandang disabilitas secara rerata menempati proporsi 15% dari penduduk, atau bisa mencapai 40 juta orang bila persentase tersebut digunakan di Indonesia. Angka yang dikutip Angkie, yaitu 22 juta jiwa, berada di antara proporsi yang diakui Indonesia versus PBB. Kalau tujuan perusahaan didefinisikan sebagai memberikan solusi bagi masalah yang dihadapi masyarakat dan lingkungan melalui cara yang mendatangkan keuntungan, seperti yang disarankan Colin Mayer dalam Prosperity: Better Business Makes the Greater Good (2018), maka perusahaan-perusahaan di Indonesia perlu melihat baragam kebutuhan yang muncul dari berbagai jenis disabilitas sebagai peluang pasar dengan memberikan solusi yang tepat.
Kebutuhan kursi roda yang handal, alat bantu dengar dan lihat, beragam gawai dengan desain khusus, atau kebutuhan sehari-hari seperti popok yang praktis dan nyaman untuk beragam kelompok umur, sangatlah besar. Dalam hal ini, memahami berapa peluang pasar yang sebenarnya, lalu mendesain produk-produk yang sesuai, adalah kunci untuk bisa membantu para penyandang disabilitas itu dengan baik. Kalau selama ini kesadaran bahwa peluang pasar dari melayani kelompok miskin, yang diperkenalkan oleh CK Prahalad dan Stuart Hart dalam The Fortune at the Bottom of the Pyramid (2004) telah membuat banyak perusahaan menjadi makmur, kesadaran bahwa para penyandang disabilitas adalah pasar besar yang perlu dilayani secara sungguh-sungguh adalah hal yang juga sangat penting. Pertanyaan pentingnya adalah apakah perusahaan perlu memodifikasi produk-produknya yang sekarang untuk menangkap peluang pasar itu, atau bahkan perlu menciptakan produk-produk baru yang benar-benar menjawab kebutuhan para penyandang disabilitas?
Dari sudut pandang supply chains, perusahaan bisa mengoptimalkan dampaknya bila memiliki pemihakan kepada para penyandang disabilitas ini dengan membuat preferensi kepada mereka, termasuk memberikan preferensi sebagai kontraktor dan pemasok. Sama dengan situasi workplace, preferensi itu tidaklah memadai kalau hanya dijalankan dengan kuota saja. Banyak usaha yang dimiliki oleh penyandang disabilitas, atau memekerjakan penyandang disabilitas, bisa ditingkatkan kapasitasnya dengan bantuan legalisasi, bantuan kondisi kerja, dan pelatihan-pelatihan peningkatan kapasitas. Investasi di awal memang dibutuhkan, namun bila perusahaan bersungguh-sungguh dalam penegakan ini, maka manfaat operasional, reputasional, juga finansial bisa diraih.
Di ranah investasi sosial, perusahaan melihat apa saja manfaat yang bisa diberikan kepada para penyandang disabilitas di masyarakat, yang bukan, atau belum, masuk sebagai pekerja atau terlibat dalam rantai pasoknya. Sama dengan seluruh upaya investasi sosial lainnya, perusahaan perlu memulainya dengan melakukan pemetaan khusus terkait penyandang disabilitas, jenis-jenis disabilitasnya, kebutuhan mereka masing-masing, dan potensi yang mereka miliki, di dalam wilayah dampak operasi perusahaan. Data ini terkadang sudah tersedia lantaran ada penelitian dari pihak-pihak lain, termasuk LSM, namun pada sebagian besar kasus datanya belumlah tersedia. Perusahaan perlu melakukannya sendiri, atau mensponsori pihak lain yang kapabel untuk melakukannya, terlebih dahulu.
Kemudian, perusahaan perlu menggabungkan pengetahuan tentang kepentingan para penyandang disabilitas itu dengan rencana pembangunan pemerintah, apa yang sudah dan masih perlu dilakukan oleh pemangku kepentingan lainnya, selain kepentingan perusahaan sendiri. Hanya bila pemahaman menyeluruh atas kondisi tersebut telah dimiliki saja maka perusahaan bisa mengambil keputusan tentang intervensi apa yang perlu dilakukan kepada para penyandang disabilitas, dengan siapa saja kerjasama bisa dilakukan, target-target apa yang perlu dicapai di masa mendatang, metode pemantauan dan evaluasi yang akan dipergunakan, hingga exit strategy-nya kelak. Kebanyakan perusahaan yang tidak melakukan pemetaan inilah yang terjebak dengan sekadar berdonasi—yang belum tentu tepat sasaran dan tepat metode intervensi.
Kalau perusahaan telah melakukan berbagai upaya yang memadai di bisnis inti dan investasi sosialnya, bisa dipastikan mereka memiliki kekayaan informasi yang luar biasa di dalam tanggung jawab sosial terhadap pemangku kepentingan khusus ini. Maka, mereka kemudian bisa meluaskan jangkauan dampak positifnya dengan melalukan advokasi dan dialog kebijakan di sphere of influence-nya. Lewat ranah ini, perusahaan bisa mengajak perusahaan lain, masyarakat sipil, dan lembaga-lembaga pemerintahan untuk bisa memerlakukan penyandang disabilitas sesuai prinsip JEDI.
Satu hal yang sangat penting diperhatikan adalah bahwa perusahaan bisa menjadi lebih peka terhadap isu-isu penyandang disabilitas dan menjawabnya dengan lebih adil, setara, beragam, dan inklusif bila tata kelola perusahaan memang didesain untuk itu. Kini tata kelola pemangku kepentingan (stakeholder governance) telah diterima oleh perusahaan-perusahaan yang progresif. Penerimaan atas model tata kelola itu berarti perusahaan dalam mengambil setiap keputusannya perlu menimbang manfaat optimal untuk seluruh pemangku kepentingannya, bukan sekadar demi keuntungan pemegang saham sebagaimana yang ditekankan oleh shareholder governance.
Perusahaan yang ingin memastikan manfaat optimal untuk para penyandang disabilitas—sebagai salah satu kelompok rentan—membutuhkan peningkatan sensitivitas dan kepakaran dalam isu-isu ini. Perusahaan perlu memasukkan pandangan mereka yang paham betul soal isu-isu terkait penyandang disabililitas dalam pengambilan keputusan terkait ketenagakerjaan, pasar, rantai pasok, investasi sosial, dan advokasi dan dialog kebijakan. Mungkin sudah saatnya perusahaan-perusahaan di Indonesia memastikan kepakaran terkait penyandang disabilitas ini di berbagai bagian perusahaan, terutama di bagian human capital, penanggung jawab kinerja sosial, komite eksekutif dan komite di dewan komisaris. Kalau selama ini telah banyak desakan agar di antara anggota komite di dewan komisaris ada yang memahami perspektif gender dan masyarakat lokal, keperluan yang sama jelas juga untuk perspektif penyandang disabilitas.
Jakarta, 1 April 2023
Presiden Joko Widodo Sri Mulyani Indrawati Erick Thohir Siti Nurbaya Bakar Atnike N Sigiro Dante Rigmalia Hari Kurniawan Abetnego Tarigan Sunarman Sukamto Tri Widodo Utomo Ridwan Kamil Yana ‘Rase’ Mulyana Didi Yakub Anang Eska Andar Manik Full Ida Ayu Sri Sundari Undang Permana Segah Patianom Alexander Irwan Farah Sofa Nana Edriana Noerdin Jilal Mardhani Djumono Tedy Rusmawan Idamom Smita Notosusanto Ricky Pesik Dati Fatimah Herni Ramdlaningrum @Ach
#dilansindonesia #indonesiainklusif #ecocrights #JEDI #sdgs2030

BERITA
Raih 50,07 Persen, KPUD Jakarta Tetapkan Pramono Anung-Rano Karno Pemenang Pilkada Jakarta 2024 Satu Putaran

Jakarta – Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Provinsi Jakarta resmi menetapkan hasil rekapitulasi tingkat provinsi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 pada Minggu (8/12/2024) di Hotel Sari Pan Pacific, Menteng, Jakarta Pusat. Dalam rapat penetapan ini, KPUD Jakarta menetapkan pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur nomor urut 3 Pramono Anung – Rano Karno sebagai pemenang Pilkada Jakarta 2024.
Hasil penetapan Pilkada Jakarta 2024 ini disampaikan langsung oleh Ketua KPUD Wahyu Dinata. KPUD Jakarta menetapkan pasangan Pramono – Rano secara sah unggul dengan perolehan suara sebesar 2.183.239 suara atau 50,07 persen dan memenangkan Pilkada Jakarta 2024 dalam satu putaran.
Sementara itu pesaingnya, yakni pasangan nomor urut 1 Ridwan Kamil – Suswono memperoleh 1.718.160 suara atau 39,40 persen dan pasangan nomor urut 2 Dharma Pongrekun – Kun Wardana memperoleh 459.230 suara atau 10,53 persen.
Kemenangan pasangan Pramono Anung – Rano Karno tersebut mendominasi di 6 wilayah Provinsi Jakarta, yakni Kepulauan Seribu, Jakarta Barat, Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta Timur, dan Jakarta Utara.
Berikut rincian perolehan suara per wilayah:
Kepulauan Seribu
- Ridwan Kamil-Suswono: 6.578 suara 2. Dharma-Kun: 653 suara 3. Pramono-Rano: 7.456 suara
Jakarta Barat
- Ridwan Kamil-Suswono: 386.880 suara 2. Dharma-Kun: 109.457 suara 3. Pramono-Rano: 500.738 suara
Jakarta Pusat
- Ridwan Kamil-Suswono: 152.235 suara 2. Dharma-Kun: 44.865 suara 3. Pramono-Rano: 220.372 suara
Jakarta Selatan
- Ridwan Kamil-Suswono: 375.391 suara 2. Dharma-Kun: 90.294 suara 3. Pramono-Rano: 491.017 suara
Jakarta Timur
- Ridwan Kamil-Suswono: 535.613 suara 2. Dharma-Kun: 136.935 suara 3. Pramono-Rano: 635.170 suara
Jakarta Utara
- Ridwan Kamil-Suswono: 261.463 suara 2. Dharma-Kun: 77.026 suara 3. Pramono-Rano: 328.486 suara
BERITA
KAPT Ucapkan Selamat untuk Kemenangan Dedie Rachim – Jenal Mutaqin di Pilkada Kota Bogor 2024

Jakarta – Komunitas Alumni Perguruan Tinggi (KAPT) mengucapkan selamat kepada pasangan Dedie A Rachim – Jenal Mutaqin yang telah berhasil memenangkan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kota Bogor 2024 hasil hitung cepat terkini.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) KAPT, Achmad Fachruddin, mengatakan kemenangan Dedie – Jenal merupakan kemenangan bagi warga Kota Bogor untuk mewujudkan pemerintahan yang lebih baik lagi. Khususnya menata dan membangun Kota Bogor dengan memimpin pemerintahan yang tulus ikhlas, serta memimpin para birokrat dengan bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
“Semoga amanah yang diberikan warga Kota Bogor kepada Kang Dedie dan Kang Jenal bisa dijalankan dengan sebaik-baiknya untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dari KKN, taat pada konstitusi dan mampu mengelola keberagaman budaya sebagaimana cermin realitas penduduknya sebagai kekuatan jati diri bangsa yang tidak lagi dilemahkan apalagi dihilangkan,” tutur Achmad Fachruddin atau yang akrab disapa Kasino ini.
Sementara itu, Ketua Dewan Pengarah KAPT, Ammarsjah, juga mengucapkan selamat kepada pasangan Dedie – Jenal. Ia menyampaikan dengan pengalaman dan rekam jejak yang dimiliki oleh Dedie A Rachim sebagai pejabat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diharapkan dapat menghadirkan pemerintahan yang bersih dalam melayani warga Kota Bogor.
“Dengan rekam jejak dan pengalamannya sebagai pejabat KPK, saya harap Kang Dedie dapat memberikan pelayanan yang terbaik kepada warga dalam wilayah bebas korupsi atau WBK,” ucap Ammarsjah.
Selain itu Ammarsjah menitipkan pesan kepada pasangan Dedie – Jenal untuk terus amanah menjaga dan menjalankan konsensus bangsa, yaitu Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945.
“Sekali lagi selamat atas kememangan di Pilkada Kota Bogor. Selamat berjuang dan bekerja, semoga Kang Dedie dan Kang Jenal tetap teguh menjalankan mandat konsensus bangsa, yaitu Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI & UUD 1945,” tutur Ammarsjah menambahkan.
BERITA
Menang Satu Putaran Pilgub DKI Jakarta 2024, KAPT Ucapkan Selamat kepada Pramono Anung – Rano Karno

Jakarta – Komunitas Alumni Perguruan Tinggi (KAPT) mengucapkan selamat kepada pasangan Pramono Anung (Mas Pram) – Rano Karno (Bang Doel) yang telah berhasil memenangkan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Gubernur DKI Jakarta 2024 dalam satu putaran.
Koordinator Nasional KAPT, Bambang J Pramono mengatakan kemenangan Pramono Anung – Rano Karno merupakan amanah warga Jakarta untuk mewujudkan pemerintahan yang lebih baik lagi.
“Semoga amanah yang diberikan warga DKI Jakarta kepada Mas Pram dan Bang Doel bisa dijalankan dengan sebaik-baiknya untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dari korupsi, taat pada konstitusi dan mampu mengelola keberagaman budaya sebagaimana cermin realitas penduduknya sebagai kekuatan jati diri bangsa yang tidak lagi dilemahkan apalagi dihilangkan,” tutur Bambang J Pramono yang akrab disapa Gembos ini.
Selain itu Banbang menilai kemenangan satu putaran ini cermin kelompok Mas Pram – Bang Doel yang tetap kritis ditengah situasi Pilkada Serentak 2024 yang masih diwarnai upaya pembegalan demokrasi dengan adanya intervensi untuk merubah UU Pilkada sebagaimana terjadi dalam Pilpres 2024 dengan perubahan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang inkonstitusional.
“Kita patut bersyukur Pilkada Serentak 2024 telah berlangsung. Walaupun kualitas pelaksanaannya saat ini masih terdapat banyak kekurangan terutama praktek tidak netral dari aparat yang terjadi di banyak daerah,” ucapnya.
“Selamat berjuang dan bekerja, semoga mas Pram – Bang Doel tetap teguh menjalankan mandat konsensus bangsa, yaitu Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI & UUD 1945,” pungkas Bambang menambahkan.