COMMUNITY ORGANIZER (CO) DI RUANG PUBLIK
Sebagai renungan pagi, saya ingin berbagi pandangan yang saya jumpai dalam keseharian saya. Lagi-lagi soal etika di ruang publik.
Saya kira perbincangan ini menjadi penting, dan harus dikemukakan terus menerus sehingga klaim bahwa manusia Indonesia mahluk yang punya adab yang tinggi, agamis, sopan-santun betul-betul bukan sekedar mitos, dan tetapi juga ditunjukkan dalam keseharian di ruang publik.
Kita perlu membangun contoh yang utuh, dan secara sadar dipahami warga sehingga tergerak menjadi bagian dalam mewujudkannya.
Berbagai kerumunan yang dibangun sebagai sarana dalam mengkomunikasikan, ntah dalam peribadatan dan dialog keseharian haruslah menyentuh soal etika ini. Tentunya juga perlu ada upaya yang lebih sistemik dan sistematik untuk lembaga pemerintah yang diberi otoritas untuk itu.
Itulah esensi yang saya tulis beberapa waktu lalu di laman FB saya, salah dua dari banyak tulisan soal perulaku semena-mena di ruang publik. https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10226780910091525&id=1313539313, dan juga https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10225910687496504&id=1313539313.
Berbagai temuan otentik saya di lapangan, mungkin berkaitan dengan aspek mendasar soal nilai, kebijakan publik, aspek teknis lapangan, dan berbagai respon paradoksial berbagai kalangan.
Seperti yang sering saya ungkapkan, pemerintah tidak bisa sendirian dalam mengelola dan menjaga ruang publik. Program/proyek yang terbatas waktunya tidak cukup untuk menjaga perilaku warga dalam mengelola ruang bersama.yang memerlukan stamina yang tinggi sepanjang masa.
Sahabat saya Jumiarti Agus yang saat ini tinggal di Jepang sering menunjukkan perilaku dasyat apa yang dilakukan masyarkatJumiarti Aguss menerus masuk dipraktekan dalam keseharian pendidikan sejak dini. Budaya yang tidak instan dan ‘kun fayakun”.
Walaupun kita mempraktekan “kemerdekaan” privat dalam mengakses pendidikan dan pengetahuan, tidak demikian halnya dengan urusan publik. Ada kepentingan lainnya yang harus dijaga dan dikelola bersama.
Saya sering ungkapkan, kita ini lebih banyak #EO (Event Organizer), dibanding dengan #CO (Community Organizer).
Ada perbedaan yang mendasar diantara keduanya.
#EO seringkali menjadi pilihan instan, karena dorongan dan persepsi bahwa pertunjukkan performatiflah yang menjadi tujuan pragmatisnya. Ukuran yang paling gampang untuk ditunjukan kepada para pendukung kegiatan, ntah yang bersumber dari anggaran pemerintah, donor, maupun banyak partisipasi seperti berbagai program CSR (Corporate Social Responsibilit).
Keberhasilan capaian terhadap perubahan yang mendasar mestinya dimulai dengan adanya #CO yang kuat.
Perubahan progresif yang konsisten dan diperbaiki terus menerus perlu didukung oleh banyaknya pegiat #CO. Pegiat yang mengambil peran sebagai fasilitator, dan mediator manakala inisiasi gagasan diperkenalkan atau manakala perbenturan pandangan dan kepentingan terjadi diantara penggagas maupun yang diajak untuk mendukungnya. Atau peran lebih jauh mendorong sebagai akselerator untuk mempercepat berbagai aksi perubahan yang melembaga.
Sepanjang pengamatan saya, kita ini defisit #CO, surpkus #EO. Dan kalaupun diperkenalkan seringkali hanya sebatas sebagai pelengkap dari suatu program ataupun kegiatan. Urusan publik adalah urusan yang harusnya melembaga, menerus, dan diujungnya melekat dalam perilaku keseharian sehingga menjadi budaya.
Paling ekstrim bertarung dilapangan. Menggunakan cara kekerasan dalam memaksakan keteraturan di ruang publik.
Cara lainnya yang paling aman, mungkin dilakukan pembiaran.
Dua-duanya bukan pilihan yang beradab kalau kita mengklaim diri kita memegang teguh demokrasi yang dilabeli dengan falsafah Pancasila. Apalagi diperkuat dengan berbagai nilai keagamaan/keyakinan yang konon sudah berakar lama di bumi Nusantara ini.
Ruang publik adalah ruang bersama dimana kesepakatan dan kompromi dicapai didasarkan kepada persetujuan dan komitmen kolektif untuk mengukuhkan dan menjaganya. Semua punya peran untuk berkontribusi dalam setiap tahapan ketika gagasan perubahan itu diinisiasi. Tidak hanya
Elinor Ostrom (1933-2012), pemenang Nobel Ekonomi yang fenomenal dengan gagasan “Commons” yang dituangkan dalam bukunya yang fenomenal, Governing the Commons: Institutions and Evolution of Collective Actions” (1990) memberi satu alternatif lain sebagai pilihan di luar negara dan pasar, yang sering dinilai gagal dalam menyelesaikan urusan ruang yang diajukan sebagai pembangunan berbasis komunitas.
Kelemahan dua mekanisme itu dilengkapi oleh dengan peran komunitas sebagai pilar ketiga didalam membangun kesepakatan, dan aksi kolektif.
Ada delapan prinsip desain yang diajukan Ostrom berbekal dari pengalamannya yang luas sepanjang karir hidupnya bagi suatu tatakelola yang kokoh:
(1). Batas yang jelas antara pemanfaat(user) Dan sumberdayanya jelas (Boundaries of users and resource are clear.
(2). Kesesuaian antara biaya dan manfaat (Congruence between benefits and costs)
(3). Para pemanfaan memiliki prosedur untuk membuat aturannya sendiri (Users had procedures for making own rules)
(4). Pemantauan pemanfaat dan kondisi sumberdaya yang reguler (Regular monitoring of users and resource conditions)
(5). Sangsi berjenjang (graduated sanctions)
(6) Mekanisme resolusi konflik (Conflict resolution mechanisms).
(7). Pengakuan minimal hak oleh pemerintah (Minimal recognition of rights by government)
(8). Pengaturan berlapis (Nested enterprises),
https://www.facebook.com/1313539313/posts/10223087811006356/
Karenanya saya mengajak sahabat FB, dan sahabat medsos dimanapun berada untuk terus mendialogkan, dan mewujudkan minimal di sekeliling tempat dan lingkungan kita berada.
Banyak cara untuk mendorong agar banyak yang ingin berperan sebagai #CO. Anak muda, emak-emak, tokoh agama adalah diantara sumber potensi untuk diajak. Kita sendiripun bisa juga sesuai dengan kemampuan bisa memainkan peran ini.
Gesture kolaborasi dan optimisme untuk mewujudkan ruang publik yang inklusif dan sehat harus ditunjukkan. Sama halnya seperti yang sering kita tunjukan dalam menunjukkan identitas kita dalam medsos.
Tidak gampang memang, memerlukan suatu komitmen dan kesadaran tanpa henti untuk memperjuangkannya. Harapannya perubahannya tidak karikatif. Menggelegar dalam slogan, tetapi miskin dalam aksi yang secara serius untuk menuntaskannya.
Sebagai pelengkap saya ingin posting ceramah keren yang beredar di berbagai WA grup yang saya ikuti. Satire yang disampaikan oleh seorang Pendeta yang mungkin terkait dengan apa yang saya posting.
#ecosocrights #DiLANSIndonesia #CO4dilans
BERITA
Komisi III Minta Komnas HAM Tingkatkan Peran, Selesaikan Pelanggaran HAM Berat
Jakarta – Wakil Ketua Komisi III DPR RI Pangeran Khairul Saleh memimpin rapat kerja dengan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Dalam rapat ini Komisi III meminta Komnas HAM untuk meningkatkan peran dan mengoptimalkan pelaksanaan tugas dan fungsi dalam mendukung penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM, termasuk pelanggaran HAM berat.
“Baik itu penyelesaian yudisial maupun non-yudisial, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,” ujarnya di ruang rapat Komisi III, Nusantara II, Senayan, Jakarta, Rabu (30/5/2024).
Lebih lanjut Komisi III DPR meminta Komnas HAM untuk segera menyelesaikan peraturan terkait Penilaian Tindak Lanjut Kepatuhan Rekomendasi, agar dapat menjadi informasi dan tolak ukur dalam tindak lanjut rekomendasi yang telah diberikan.
Bahkan Komisi III meminta Komnas HAM dan Komnas Perempuan untuk lebih proaktif dan sinergis dalam mengidentifikasi potensi permasalahan, melakukan penanganan, maupun pendampingan terhadap seluruh pihak, dalam penerapan dan penegakan prinsip-prinsip HAM, termasuk perlindungan terhadap perempuan di seluruh sektor dan kegiatan.
Sementara itu di lain pihak, Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro menyampaikan bahwa pihaknya saat ini tengah menyusun rancangan Peraturan Komnas HAM terkait Penilaian Tindak Lanjut Kepatuhan Rekomendasi Komnas HAM. “Sebagai salah satu upaya pemasangan untuk meningkatkan efektivitas dari rekomendasi yang diberikan oleh Komnas HAM,” papar Atnike saat rapat.
Menurutnya rekomendasi yang diberikan oleh Komnas HAM dari hasil pemantauan, mediasi, maupun kajian tidak selalu ditindaklanjuti oleh stakeholders maupun kementerian/lembaga karena dianggap tidak mengikat. “Sejumlah kasus juga menunjukkan fungsi mediasi Komnas HAM masih belum dipahami sebagai sebuah solusi strategis,” ucap Atnike.
BERITA
Anggaran Pendidikan Kemenag Dinilai Masih Kecil
Jakarta – Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ace Hasan Syadzily menilai besaran anggaran pendidikan yang diterima Kemenag (Kementerian Agama) untuk mendanai seluruh lembaga pendidikan Islam dan keagamaan masih timpang dibanding kementerian lain.
“Soal anggaran pendidikan di bawah Kementerian Agama harus betul-betulan keadilan anggaran. Kalau kita dengar pidato Menteri Keuangan (Sri Mulyani) dalam rapat paripurna, ya anggaran pendidikan Rp630 triliun, tapi kalau Kemenag hanya dapat Rp35 triliun, buat saya mengkhawatirkan,” kata Kang Ace, sapaannya, dalam keterangan persnya, Rabu (29/5/2024).
Politisi Partai Golkar itu menyatakan, selain Sekretariat Jenderal (Sekjen) Kemenag, anggaran terbesar juga diberikan kepada Direktorat Jenderal (Ditjen) Pendidikan Islam (Pendis) Kemenag sebesar Rp35 triliun.
Ada satu hal yang sangat penting untuk didiskusikan bersama adalah soal berbagai hal terkait anggaran pendidikan nasional. Dari penjelasan Plt Dirjen Pendis, berapa persen KIP Kuliah untuk Perguruan Tinggi Agama Islam (PTKAI) dan perguruan tinggi agama lain.
“Apakah PIP, KIP, apakah sudah mencerminkan suatu keadilan anggaran? Rehab ruang kelas juga belum mencerminkan keseluruhan,” ujar dia.
Kang Ace melihat dari total anggaran pendidikan Rp630 triliun di APBN, Kemenag hanya mendapatkan Rp35 triliun, artinya belum mencerminkan suatu kesetaraan anggaran.
“Padahal anak-anak madrasah, yang kuliah di UIN, STAIN, STAI atau di manapun, mereka juga anak-anak bangsa yang sama untuk mendapatkan perlakuan sama dalam akses pendidikan,” tutur Kang Ace.
Ace mengatakan, keputusan tepat telah diambil Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas yang menunda status Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH) bagi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. “Itu keputusan yang tepat. Kalau tidak, meresnya sama mahasiswa. Berat,” ucap dia.
Jujur saja, ujar Ace, hampir sebagian besar siswa dan mahasiswa yang sekolah di bawah Kemenag berlatar belakang sosial ekonomi kelas menengah bawah. Namun penyaluran program KIP dan PIP untuk mereka juga sedikit.
“Itu anehnya. Jadi ada yang salah dari proses pendataan penyaluran program negara untuk kelompok-kelompok yang membutuhkan itu,” ujar Kang Ace.
BERITA
Imbas Kebakaran Smelter Nikel PT KFI, Komisi VII akan Audit Investigasi
Kutai Kartanegara – Anggota Komisi VII DPR RI Nasyirul Falah Amru mengatakan, pihaknya akan segera melakukan audit investigasi terhadap pabrik smelter nikel PT Kalimantan Ferro Industri. Hal tersebut imbas dari peristiwa dua kali ledakan di pabrik smelter PT KFI yang menewaskan pekerja asing dan lokal belum lama ini.
“Kami akan panggil PT KFI beserta seluruh jajaran direksinya, untuk datang ke Gedung Senayan dan kami akan melakukan audit investigasi. Secara mekanisme, bisa dengan membuat panja nikel atau kita panggil secara khusus di Rapat Dengar Pendapat (RDP). Kami juga tentunya akan melibatkan Kementerian Perindustrian dan Kementerian KLHK dari sisi amdalnya, supaya benar-benar kita melihat secara komprehensif sebab terjadinya ledakan,” ujarnya saat memimpin Tim Kunspek Komisi VII DPR mengunjungi PT KFI di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Rabu (29/5/2024).
Menurut Politisi F-PDI Perjuangan ini, pihaknya menilai, hasil dari temuan dilapangan seperti sarana untuk keselamatan kerja dan sebagainya juga masih jauh dari kurang. Walaupun mereka sudah mendatangkan tim dari Kementerian Industri untuk mekanisme aturan pedomannya, tetapi pihaknya menemukan fakta di lapangan masih belum sesuai dengan harapan.
“Saya berpesan agar tidak terulang terjadi kebakaran atau ledakan, yang paling penting ini adalah mesin yang ada di setiap semelter itu perlu dicek selalu setiap periodik. Kemudian, kalibrasi mesin itu juga penting karena dengan begitu kita akan tahu ukuran mesin ini sesuai dengan kapasitasnya dia berproduksi atau tidak. Sehingga, Insya Allah dengan adanya perawatan yang berkala dan pengawasan yang kita lakukan ini Insya Allah tidak akan terjadi kembali,” jelas Nasyirul.
Selain itu, kami juga tidak menemukan alat pemadam kebakaran sepanjang jalan menuju lokasi meledaknya smelter. Kemudian, rambu-rambu yang ada juga masih sangat terbatas sekali, sehinhha dianggap tidak layak untu perusahaan smelter. “Jadi ini harus segera diperbaiki,” imbuhnya.
“Kita menemukan sesuatu yang di luar dugaan, ketika PT KFI lagi dibangun ada proses namanya commissioning atau uji coba tetapi sudah menimbulkan kejadian terjadinya ledakan. Padahal masih tahap uji coba, tetapi dua tenaga kerja asing dan dua pekerja lokal turut menjadi korban akibat ledakan di smelter nikel tersebut,” ucapnya lagi.