Asuransi Kesehatan “Murah” Bukan Murahan
Pemerintah berencana menghapus penggolongan kelas peserta BPJS Kesehatan. Artinya kelas I, II dan III yang saat ini berlaku akan dihilangkan, diganti dengan kelas tunggal yang disebut Kelas Rawat Inap Standar (KRIS). Tak hanya untuk kelas pelayanannya tetapi juga tarif klaim dan iurannya akan menjadi satu macam saja.
Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk memberikan jaminan pelayanan yang sama bagi seluruh peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), dengan maksud agar semua orang, peserta BPJS Kesehatan, berhak untuk mendapatkan layanan medis dan non-medis yang sama.
Dengan dihapusnya kelas perawatan peserta BPJS Kesehatan, maka nantinya hanya terdapat dua jenis kelas bagi peserta program BPJS Kesehatan, yakni kelas untuk peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan kelas untuk peserta non-PBI atau Bukan PBI. Peserta non-PBI adalah peserta Pekerja Penerima Upah (PPU), peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan peserta Bukan Pekerja (BP). KRIS ini direncanakan implementasinya secara penuh di tahun 2024 mendatang.
Selain perubahan kelas rawat inap, Pemerintah juga melakukan perubahan besaran iuran BPJS Kesehatan bagi peserta non-PBI seperti PPU, PBPU dan BP, yang dimulai bertahap. Ada empat tahapan periode, Januari – Maret 2020, April – Juni 2020, Juli – Desember 2020 dan tahun 2021 seterusnya.
Pada tahun 2021 iuran yang berlaku untuk peserta PBPU Kelas III adalah sebesar Rp 42.000,00 per bulan, pemerintah memberikan subsidi sebesar Rp 7.000,00 per anggota. Sehingga peserta PBPU Kelas III BPJS Kesehatan hanya membayar Rp 35.000,00 per bulan. Sementara untuk Kelas I sebesar Rp 150.000,00 per bulan dan Kelas II sebesar Rp 100.000,00 per bulan.
Direktur Utama BPJS Kesehatan, Fachmi Idris dalam Rapat Koordinasi yang dipimpin Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan menyampaikan bahwa BPJS Kesehatan mencatatkan defisit pada tahun 2020. Defisit ini terjadi karena banyak tunggakan klaim RS tahun 2019 yang dibebankan pada tahun 2020 sebesar 15,1 trilyun. Mismatch ini sulit dihindari lantaran struktur iuran yang ditetapkan pemerintah berada di bawah hitung-hitungan aktuaria.
Aktuaria telah menetapkan batas bawah iuran. Namun dengan beberapa pertimbangan, pemerintah menetapkan besaran iuran di bawah hitungan ideal aktuaria. Alhasil, pihaknya tidak dapat mengandalkan iuran peserta sebagai satu-satunya ladang pemasukan BPJS Kesehatan. Selama ini sumber pendapatan dana BPJS Kesehatan adalah dari iuran peserta, dana hasil investasi dan alokasi dana Pemerintah.
Pemerintah memberikan dukungan dana Jaminan Kesehatan melalui kontribusi pajak rokok sebesar 75% dari 50% penerimaan pajak rokok daerah provinsi/kabupaten/kota yang langsung dipotong untuk dipindahbukukan ke dalam rekening BPJS Kesehatan (Pasal 99 dan 100 Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan). BPJS Watch memproyeksikan alokasi pajak rokok untuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) akan bertambah hingga Rp 8 triliun seiring naiknya cukai rokok sebesar 12,5 persen.
BPJS Kesehatan telah menyiapkan sejumlah stragegi dalam meracik dana investasi. Salah satunya melalui penempatan dana kelolaan pada instrumen investasi. Dana kelolaan investasi ini berasal dari kenaikan nilai investasi serta pendapatan operasional yang bersumber dari iuran peserta JKN, seperti yang disampaikan Kepala Humas BPJS Kesehatan, M. Iqbal Anas Ma’ruf.
Sampai dengan Februari 2019, BPJS Kesehatan mencatatkan dana investasi sebesar Rp 7,57 triliun. Jumlah tersebut meningkat Rp 199 miliar dibandingkan akhir Desember 2018 yaitu sebesar Rp 7,37 triliun.
Pandemi Covid-19 membawa berkah (blessing in disguise) bagi BPJS Kesehatan, yakni mengubah defisit menjadi surplus. Pada tahun 2021, BPJS Kesehatan mencatatkan surplus aset neto dana jaminan sosial kesehatan sebesar Rp 38,76 triliun. Hal ini disampaikan langsung oleh Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti dalam sesi public expose di Kantor Pusat BPJS Kesehatan di Jakarta pada 5 Juli 2022.
Kenaikan iuran BPJS Kesehatan, kenaikan cukai rokok, kenaikan dana investasi dan surplus aset neto dana jaminan sosial kesehatan ini belum diimbangi dengan perbaikan (baca: kenaikan) tarif JKN. Tarif yang ada saat ini masih mengacu pada Permenkes 52 tahun 2016.
Standar tarif “murah” yang tidak mengikuti perkembangan jaman (inflasi) ini mengkhawatirkan. Tarif “paket” pelayanan BPJS Kesehatan yang “murah” ini selayaknya dicermati karena pelayanan yang seharusnya mahal apabila dibuat murah akan mengorbankan mutu. Ujung-ujungnya masyarakat pula yang akan merasakan akibatnya. Masyarakatlah yang akan (jadi korban) membayar kekurangan dari harga murah tersebut dengan harga yang mahal.
* Penulis:
dr. P. Marwita, M.Kes, Sp.OT.
– Mahasiswa Pasca Sarjana Hukum Universitas Hang Tuah Surabaya
– Dokter Spesialis Orthopedi, Anggota Komite Hukum Paboi Jatim
– Direktur Rumah Sakit di Jawa Timur
BERITA
Komisi III Minta Komnas HAM Tingkatkan Peran, Selesaikan Pelanggaran HAM Berat
Jakarta – Wakil Ketua Komisi III DPR RI Pangeran Khairul Saleh memimpin rapat kerja dengan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Dalam rapat ini Komisi III meminta Komnas HAM untuk meningkatkan peran dan mengoptimalkan pelaksanaan tugas dan fungsi dalam mendukung penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM, termasuk pelanggaran HAM berat.
“Baik itu penyelesaian yudisial maupun non-yudisial, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,” ujarnya di ruang rapat Komisi III, Nusantara II, Senayan, Jakarta, Rabu (30/5/2024).
Lebih lanjut Komisi III DPR meminta Komnas HAM untuk segera menyelesaikan peraturan terkait Penilaian Tindak Lanjut Kepatuhan Rekomendasi, agar dapat menjadi informasi dan tolak ukur dalam tindak lanjut rekomendasi yang telah diberikan.
Bahkan Komisi III meminta Komnas HAM dan Komnas Perempuan untuk lebih proaktif dan sinergis dalam mengidentifikasi potensi permasalahan, melakukan penanganan, maupun pendampingan terhadap seluruh pihak, dalam penerapan dan penegakan prinsip-prinsip HAM, termasuk perlindungan terhadap perempuan di seluruh sektor dan kegiatan.
Sementara itu di lain pihak, Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro menyampaikan bahwa pihaknya saat ini tengah menyusun rancangan Peraturan Komnas HAM terkait Penilaian Tindak Lanjut Kepatuhan Rekomendasi Komnas HAM. “Sebagai salah satu upaya pemasangan untuk meningkatkan efektivitas dari rekomendasi yang diberikan oleh Komnas HAM,” papar Atnike saat rapat.
Menurutnya rekomendasi yang diberikan oleh Komnas HAM dari hasil pemantauan, mediasi, maupun kajian tidak selalu ditindaklanjuti oleh stakeholders maupun kementerian/lembaga karena dianggap tidak mengikat. “Sejumlah kasus juga menunjukkan fungsi mediasi Komnas HAM masih belum dipahami sebagai sebuah solusi strategis,” ucap Atnike.
BERITA
Anggaran Pendidikan Kemenag Dinilai Masih Kecil
Jakarta – Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ace Hasan Syadzily menilai besaran anggaran pendidikan yang diterima Kemenag (Kementerian Agama) untuk mendanai seluruh lembaga pendidikan Islam dan keagamaan masih timpang dibanding kementerian lain.
“Soal anggaran pendidikan di bawah Kementerian Agama harus betul-betulan keadilan anggaran. Kalau kita dengar pidato Menteri Keuangan (Sri Mulyani) dalam rapat paripurna, ya anggaran pendidikan Rp630 triliun, tapi kalau Kemenag hanya dapat Rp35 triliun, buat saya mengkhawatirkan,” kata Kang Ace, sapaannya, dalam keterangan persnya, Rabu (29/5/2024).
Politisi Partai Golkar itu menyatakan, selain Sekretariat Jenderal (Sekjen) Kemenag, anggaran terbesar juga diberikan kepada Direktorat Jenderal (Ditjen) Pendidikan Islam (Pendis) Kemenag sebesar Rp35 triliun.
Ada satu hal yang sangat penting untuk didiskusikan bersama adalah soal berbagai hal terkait anggaran pendidikan nasional. Dari penjelasan Plt Dirjen Pendis, berapa persen KIP Kuliah untuk Perguruan Tinggi Agama Islam (PTKAI) dan perguruan tinggi agama lain.
“Apakah PIP, KIP, apakah sudah mencerminkan suatu keadilan anggaran? Rehab ruang kelas juga belum mencerminkan keseluruhan,” ujar dia.
Kang Ace melihat dari total anggaran pendidikan Rp630 triliun di APBN, Kemenag hanya mendapatkan Rp35 triliun, artinya belum mencerminkan suatu kesetaraan anggaran.
“Padahal anak-anak madrasah, yang kuliah di UIN, STAIN, STAI atau di manapun, mereka juga anak-anak bangsa yang sama untuk mendapatkan perlakuan sama dalam akses pendidikan,” tutur Kang Ace.
Ace mengatakan, keputusan tepat telah diambil Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas yang menunda status Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH) bagi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. “Itu keputusan yang tepat. Kalau tidak, meresnya sama mahasiswa. Berat,” ucap dia.
Jujur saja, ujar Ace, hampir sebagian besar siswa dan mahasiswa yang sekolah di bawah Kemenag berlatar belakang sosial ekonomi kelas menengah bawah. Namun penyaluran program KIP dan PIP untuk mereka juga sedikit.
“Itu anehnya. Jadi ada yang salah dari proses pendataan penyaluran program negara untuk kelompok-kelompok yang membutuhkan itu,” ujar Kang Ace.
BERITA
Imbas Kebakaran Smelter Nikel PT KFI, Komisi VII akan Audit Investigasi
Kutai Kartanegara – Anggota Komisi VII DPR RI Nasyirul Falah Amru mengatakan, pihaknya akan segera melakukan audit investigasi terhadap pabrik smelter nikel PT Kalimantan Ferro Industri. Hal tersebut imbas dari peristiwa dua kali ledakan di pabrik smelter PT KFI yang menewaskan pekerja asing dan lokal belum lama ini.
“Kami akan panggil PT KFI beserta seluruh jajaran direksinya, untuk datang ke Gedung Senayan dan kami akan melakukan audit investigasi. Secara mekanisme, bisa dengan membuat panja nikel atau kita panggil secara khusus di Rapat Dengar Pendapat (RDP). Kami juga tentunya akan melibatkan Kementerian Perindustrian dan Kementerian KLHK dari sisi amdalnya, supaya benar-benar kita melihat secara komprehensif sebab terjadinya ledakan,” ujarnya saat memimpin Tim Kunspek Komisi VII DPR mengunjungi PT KFI di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Rabu (29/5/2024).
Menurut Politisi F-PDI Perjuangan ini, pihaknya menilai, hasil dari temuan dilapangan seperti sarana untuk keselamatan kerja dan sebagainya juga masih jauh dari kurang. Walaupun mereka sudah mendatangkan tim dari Kementerian Industri untuk mekanisme aturan pedomannya, tetapi pihaknya menemukan fakta di lapangan masih belum sesuai dengan harapan.
“Saya berpesan agar tidak terulang terjadi kebakaran atau ledakan, yang paling penting ini adalah mesin yang ada di setiap semelter itu perlu dicek selalu setiap periodik. Kemudian, kalibrasi mesin itu juga penting karena dengan begitu kita akan tahu ukuran mesin ini sesuai dengan kapasitasnya dia berproduksi atau tidak. Sehingga, Insya Allah dengan adanya perawatan yang berkala dan pengawasan yang kita lakukan ini Insya Allah tidak akan terjadi kembali,” jelas Nasyirul.
Selain itu, kami juga tidak menemukan alat pemadam kebakaran sepanjang jalan menuju lokasi meledaknya smelter. Kemudian, rambu-rambu yang ada juga masih sangat terbatas sekali, sehinhha dianggap tidak layak untu perusahaan smelter. “Jadi ini harus segera diperbaiki,” imbuhnya.
“Kita menemukan sesuatu yang di luar dugaan, ketika PT KFI lagi dibangun ada proses namanya commissioning atau uji coba tetapi sudah menimbulkan kejadian terjadinya ledakan. Padahal masih tahap uji coba, tetapi dua tenaga kerja asing dan dua pekerja lokal turut menjadi korban akibat ledakan di smelter nikel tersebut,” ucapnya lagi.