Urgensi Ekosistem Ibu Kota Negara
Pemindahan ibu kota negara dari Provinsi DKI Jakarta pada sisi lain sebaiknya juga dilihat sebagai gagasan membentuk Ibu Kota Negara Indonesia yang lestari. Ibu kota negara yang harus terlepas dari berbagai masalah ketidaklestarian Kota Jakarta saat ini.
Dan, “Kelestarian (kota) hanya dapat dicapai ketika kota dianggap sebagai sistem dan komponen sistem yang menyatu dalam keseimbangan ekologis satu dengan lainnya”, tulis Newman dan Jenings (2014) dalam bukunya “Kota Sebagai Ekosistem Lestari” mengutip laporan United Nations University/Institute of Advanced Studies yang ditulis Marcotullio dan Boyle (2003).
Gagasan menjadikan ibu kota negara sebagai ekosistem yang lestari juga memiliki makna lebih jauh yaitu memberikan prespektif baru dalam membangun kota yang lestari. Dengan catatan apabila ibu kota negara yang baru ini direncanakan, didesain, dan dikonstruksi sebagai sebuah ekosistem.
Saat ini banyak kota-kota di dunia yang mulai didesain ulang dengan pendekatan ekosistem. Melbourne di Negara Bagian Victoria Australia dan Bogota di Columbia adalah kota yang sangat serius ingin dijadikan kota yang ekologis dan manusia oleh pemerintahnya.
Di Indonesia, barangkali baru dua pemerintah kota yang melakukan pendekatan ekosistem dalam pembangunan kotanya yang dapat dilihat dari visi yang mereka rumuskan yaitu Kota Surabaya dan Kota Kendari.
Kota Surabaya mengusung visi kota sentosa yang berkarakter dan berdaya saing global berbasis ekologi. Sementara Kota Kendari mengusung visi kota layak huni berbasis ekologi, informasi, dan teknologi.
Terlepas apakah kedua kota ini telah melakukan pembangunan kotanya secara baik melalui pendekatan suatu sistem ekologi, namun pemerintah kedua kota tersebut ingin memberikan inspirasi dan pedoman pembangunan kotanya menuju kelestarian.
Lantas, bagaimana dengan ibu kota negara kita yang akan pindah ke Provinsi Kalimantan Timur?
Asas Lestari
Dengan tidak bermaksud meniru, barangkali tidak ada salahnya apabila Pemerintah Indonesia memperhatikan “Sepuluh Asas-asas Melbourne” untuk Kota Lestari yang disahkan oleh pemerintah-pemerintah lokal pada Konfrensi Dunia di Johannesburg pada Tahun 2002.
Kesepuluh Asas Melbourne seperti yang ditulis Newman dan Jennings (2014) adalah: pertama, membuat visi jangka panjang untuk kota berdasarkan kelestarian, dengan kesetaraan antar generasi, sosial, ekonomi, dan politik serta individualitas mereka; kedua, mencapai jaminan ekonomi dan sosial jangka panjang; ketiga, menyadari nilai-nilai dasar dari keanekaragaman hayati dan ekosistem alam untuk melndungi dan memulihkannya; keempat, memungkinkan masyarakat utuk meminimalisasi jejak ekologis mereka; kelima, membangun karakteristik ekosistem dalam pembangunan dan pemeliharan kota yang sehat dan lstari; keenam, mengenal dan mengembangkan karakteristik yang khas dari kota yaitu nilai-nilai manusia dan budaya, sejarah, dan sistem alamnya; ketujuh, memberdayakan masyarakat dan mendukung partisipsi; kedelapan, menembangkan dan menciptakan jaringan kerja sama demi masa depan bersama yang lestari; kesembilan, mempromosikan produksi dan konsumsi lestari melalui penggunaan teknologi ramah lingkungan yang sesuai dan pengelolaan permintaan yang efektif; kesepuluh, memungkinkan perbaikan terus menerus berdasarkan akuntabilitas, transparansi, dan pengelolaan yang baik.
Terlepas dari besarnya pembiayaan dan skema pembiayaan yang akan digunakan dalam membangun ibu kota negara yang baru–Direncanakan akan menggunakan luas lahan hingga 180.000 hektar– dalam konteks perencanaan dan perancangan kota yang “biasa” membangun ibu kota negara yang baru tentu sangatlah mudah karena berupa hamparan lahan yang “kosong”. Namun, dalam konteks perencanaan dan perancangan kota yang berbasis ekosistem, perencanaan dan perancangan ibu kota negara yag baru ini relatif sulit.
Namun, “Sepuluh asas-asas Melbroune” tersebut di atas nampaknya akan jauh lebih mudah diterapkan karena kawasan yang dipakai sebagai lokasi ibu kota yang baru merupakan kawasan dengan ekosistem alami yang relatif luas.
Persoalan yang kemudian akan muncul adalah bagaimana para perencana, perancang, dan pengambil keputusan mendapatkan prespektif ekosistem yang dapat dilihat secara menyeluruh. Bukan menyederhanakan perencanaan dan perancangan yang hanya memembangun ibu kota negara secara fisik.
Faktor lain yang juga harus diperhatikan adalah bagaimana memembangun interaksi dengan dua kabupaten utama (Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara) dimana ibu kota negara yang baru akan diletakkan. Sebagai sebuah sistem, kedua kabupaten tersebut telah lebih dahulu berada di sana dan ibu kota negara yang baru ini bisa dikatakan sebagai komponen abiotik yang akan ditambahkan ke dalam sistem atau ekosistem yang telah lebih dahulu ada.
Dalam konteks perencanaan dan perancangan kota yang berbasis ekosistem, lokasi ibu kota negara yang berada di Provinsi Kalimantan Timur ini berada dalam “kawasan” ekosistem yang relatif luas. Dengan demikian, seluruh kabupaten kota yang akan berinteraksi dengan ibu kota negara yang baru ini harus bergerak secara bersama-sama mengubah kebijakan pembangunan kota atau daerahnya dengan memperhatikan “Kesepuluh Asas-asas Melbroune” seperti yang telah diuraikan di atas.
Hal itu mutlak dilakukan agar Provinsi Kalimantan Timur sebagai ekosistem kelak tidak mengalami masalah ketidaklestarian seperti yang dialami Kota Jakarta. Yang bukan tidak mungkin nantinya akan membuat ibu kota negara akan terjebak dalam persoalan lingkungan lebih serius sehingga terpaksa dipindahkan lagi.
Lian Lubis
Urban Designer
BERITA
Komisi III Minta Komnas HAM Tingkatkan Peran, Selesaikan Pelanggaran HAM Berat
Jakarta – Wakil Ketua Komisi III DPR RI Pangeran Khairul Saleh memimpin rapat kerja dengan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Dalam rapat ini Komisi III meminta Komnas HAM untuk meningkatkan peran dan mengoptimalkan pelaksanaan tugas dan fungsi dalam mendukung penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM, termasuk pelanggaran HAM berat.
“Baik itu penyelesaian yudisial maupun non-yudisial, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,” ujarnya di ruang rapat Komisi III, Nusantara II, Senayan, Jakarta, Rabu (30/5/2024).
Lebih lanjut Komisi III DPR meminta Komnas HAM untuk segera menyelesaikan peraturan terkait Penilaian Tindak Lanjut Kepatuhan Rekomendasi, agar dapat menjadi informasi dan tolak ukur dalam tindak lanjut rekomendasi yang telah diberikan.
Bahkan Komisi III meminta Komnas HAM dan Komnas Perempuan untuk lebih proaktif dan sinergis dalam mengidentifikasi potensi permasalahan, melakukan penanganan, maupun pendampingan terhadap seluruh pihak, dalam penerapan dan penegakan prinsip-prinsip HAM, termasuk perlindungan terhadap perempuan di seluruh sektor dan kegiatan.
Sementara itu di lain pihak, Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro menyampaikan bahwa pihaknya saat ini tengah menyusun rancangan Peraturan Komnas HAM terkait Penilaian Tindak Lanjut Kepatuhan Rekomendasi Komnas HAM. “Sebagai salah satu upaya pemasangan untuk meningkatkan efektivitas dari rekomendasi yang diberikan oleh Komnas HAM,” papar Atnike saat rapat.
Menurutnya rekomendasi yang diberikan oleh Komnas HAM dari hasil pemantauan, mediasi, maupun kajian tidak selalu ditindaklanjuti oleh stakeholders maupun kementerian/lembaga karena dianggap tidak mengikat. “Sejumlah kasus juga menunjukkan fungsi mediasi Komnas HAM masih belum dipahami sebagai sebuah solusi strategis,” ucap Atnike.
BERITA
Anggaran Pendidikan Kemenag Dinilai Masih Kecil
Jakarta – Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ace Hasan Syadzily menilai besaran anggaran pendidikan yang diterima Kemenag (Kementerian Agama) untuk mendanai seluruh lembaga pendidikan Islam dan keagamaan masih timpang dibanding kementerian lain.
“Soal anggaran pendidikan di bawah Kementerian Agama harus betul-betulan keadilan anggaran. Kalau kita dengar pidato Menteri Keuangan (Sri Mulyani) dalam rapat paripurna, ya anggaran pendidikan Rp630 triliun, tapi kalau Kemenag hanya dapat Rp35 triliun, buat saya mengkhawatirkan,” kata Kang Ace, sapaannya, dalam keterangan persnya, Rabu (29/5/2024).
Politisi Partai Golkar itu menyatakan, selain Sekretariat Jenderal (Sekjen) Kemenag, anggaran terbesar juga diberikan kepada Direktorat Jenderal (Ditjen) Pendidikan Islam (Pendis) Kemenag sebesar Rp35 triliun.
Ada satu hal yang sangat penting untuk didiskusikan bersama adalah soal berbagai hal terkait anggaran pendidikan nasional. Dari penjelasan Plt Dirjen Pendis, berapa persen KIP Kuliah untuk Perguruan Tinggi Agama Islam (PTKAI) dan perguruan tinggi agama lain.
“Apakah PIP, KIP, apakah sudah mencerminkan suatu keadilan anggaran? Rehab ruang kelas juga belum mencerminkan keseluruhan,” ujar dia.
Kang Ace melihat dari total anggaran pendidikan Rp630 triliun di APBN, Kemenag hanya mendapatkan Rp35 triliun, artinya belum mencerminkan suatu kesetaraan anggaran.
“Padahal anak-anak madrasah, yang kuliah di UIN, STAIN, STAI atau di manapun, mereka juga anak-anak bangsa yang sama untuk mendapatkan perlakuan sama dalam akses pendidikan,” tutur Kang Ace.
Ace mengatakan, keputusan tepat telah diambil Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas yang menunda status Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH) bagi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. “Itu keputusan yang tepat. Kalau tidak, meresnya sama mahasiswa. Berat,” ucap dia.
Jujur saja, ujar Ace, hampir sebagian besar siswa dan mahasiswa yang sekolah di bawah Kemenag berlatar belakang sosial ekonomi kelas menengah bawah. Namun penyaluran program KIP dan PIP untuk mereka juga sedikit.
“Itu anehnya. Jadi ada yang salah dari proses pendataan penyaluran program negara untuk kelompok-kelompok yang membutuhkan itu,” ujar Kang Ace.
BERITA
Imbas Kebakaran Smelter Nikel PT KFI, Komisi VII akan Audit Investigasi
Kutai Kartanegara – Anggota Komisi VII DPR RI Nasyirul Falah Amru mengatakan, pihaknya akan segera melakukan audit investigasi terhadap pabrik smelter nikel PT Kalimantan Ferro Industri. Hal tersebut imbas dari peristiwa dua kali ledakan di pabrik smelter PT KFI yang menewaskan pekerja asing dan lokal belum lama ini.
“Kami akan panggil PT KFI beserta seluruh jajaran direksinya, untuk datang ke Gedung Senayan dan kami akan melakukan audit investigasi. Secara mekanisme, bisa dengan membuat panja nikel atau kita panggil secara khusus di Rapat Dengar Pendapat (RDP). Kami juga tentunya akan melibatkan Kementerian Perindustrian dan Kementerian KLHK dari sisi amdalnya, supaya benar-benar kita melihat secara komprehensif sebab terjadinya ledakan,” ujarnya saat memimpin Tim Kunspek Komisi VII DPR mengunjungi PT KFI di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Rabu (29/5/2024).
Menurut Politisi F-PDI Perjuangan ini, pihaknya menilai, hasil dari temuan dilapangan seperti sarana untuk keselamatan kerja dan sebagainya juga masih jauh dari kurang. Walaupun mereka sudah mendatangkan tim dari Kementerian Industri untuk mekanisme aturan pedomannya, tetapi pihaknya menemukan fakta di lapangan masih belum sesuai dengan harapan.
“Saya berpesan agar tidak terulang terjadi kebakaran atau ledakan, yang paling penting ini adalah mesin yang ada di setiap semelter itu perlu dicek selalu setiap periodik. Kemudian, kalibrasi mesin itu juga penting karena dengan begitu kita akan tahu ukuran mesin ini sesuai dengan kapasitasnya dia berproduksi atau tidak. Sehingga, Insya Allah dengan adanya perawatan yang berkala dan pengawasan yang kita lakukan ini Insya Allah tidak akan terjadi kembali,” jelas Nasyirul.
Selain itu, kami juga tidak menemukan alat pemadam kebakaran sepanjang jalan menuju lokasi meledaknya smelter. Kemudian, rambu-rambu yang ada juga masih sangat terbatas sekali, sehinhha dianggap tidak layak untu perusahaan smelter. “Jadi ini harus segera diperbaiki,” imbuhnya.
“Kita menemukan sesuatu yang di luar dugaan, ketika PT KFI lagi dibangun ada proses namanya commissioning atau uji coba tetapi sudah menimbulkan kejadian terjadinya ledakan. Padahal masih tahap uji coba, tetapi dua tenaga kerja asing dan dua pekerja lokal turut menjadi korban akibat ledakan di smelter nikel tersebut,” ucapnya lagi.