Connect with us

Mendes PDTT: BUM Desa Mampu Wujudkan Pertumbuhan Ekonomi Desa yang Berkeadilan

Mendes PDTT Abdul Halim Iskandar

Jakarta – Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT), Abdul Halim Iskandar menyatakan SDGs Desa memposisikan BUM Desa bermakna penting di desa. Sebagai satu-satunya entitas badan hukum publik di desa, BUM Desa mampu menjaga sekaligus mewujudkan pertumbuhan ekonomi desa yang berkeadilan.

“BUMDesa mampu menjalankan SDGs Desa Tujuan ke delapan, Pertumbuhan Ekonomi Desa Merata, sekaligus SDGs Desa Tujuan ke 18: Kelembagaan Desa Dinamis dan Budaya Desa Adaptif,” kata Mendes PDTT yang akrab disapa Gus Halim dalam Inaugurasi Deepening Desa Brilian 2022 di Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (14/7/2022).

Hingga kini, Kemendes PDTT telah meningkatkan jumlah maupun kualitas BUM Desa. Pada 2014, baru berdiri 8.189 BUM Desa. Namun kini di 2022, sebanyak 60.417 BUM Desa telah beroperasi di desa.

“Tercatat pula berdirinya 6.583 BUMDesa Bersama sebagai wujud kerja sama usaha antardesa,” ujar Gus Halim.

Gairah mendirikan BUM Desa pun meningkat bersamaan dengan terbitnya kebijakan peningkatan kualitas BUMDesa. Terutama, setelah UU 11/2020 tentang Cipta Kerja menguatkan posisi legal BUMDesa sebagai entitas badan hukum publik terbaru.

Dari 51.134 pada 2020, tumbuh 9.283 BUM Desa pada tahun 2021 hingga mencapai 60.417 BUM Desa pada 2022.

“Kegairahan desa juga terbaca dari alokasi untuk BUM Desa dalam APBDes. Dihimpun dari 74.961 desa, APBDes 2022 mencapai Rp117.043.527.429.902,” kata peraih Doktor Honoris Causa dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) ini.

Lebih lanjut, sebanyak Rp 867.665.917.380 dari volume APBDes 2022 dialokasikan untuk pendirian dan permodalan BUM Desa. Hal ini menunjukkan peran BUM Desa semakin menguat di desa-desa seiring dengan terbitnya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang menetapkan BUMDesa sebagai badan hukum yang dapat didirikan melalui peraturan desa.

Musyawarah desa pun berkedudukan istimewa karena menjadi lembaga demokratis tertinggi di desa yang pelaksanaannya dihadiri warga desa lintas golongan dan lintas kelas, lalu diakhiri dengan menyusun konsensus sedesa. Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2021, keistimewaan musyawarah desa tetap dipertahankan sebagai basis awal pembentukan BUM Desa, maupun dalam pengambilan keputusan strategis BUM Desa, seperti kerja sama dengan swasta besar.

“PP 11/2021 menetapkan hanya ada satu BUM Desa di satu desa; one village one BUM Desa. Yang bisa ditambah ialah unit usaha BUM Desa,” kata Gus Halim.

Akuntabilitas sosial BUM Desa juga terjaga, melalui pelaporan tahunan Direksi BUM Desa ke hadapan warga desa melalui musyawarah desa kembali. Guna menghindari formalitas belaka dalam pendirian BUM Desa, saya menetapkan tidak ada keharusan dalam mendirikan BUM Desa.

“Hanya setelah muncul kebutuhan, setelah dipelajari melalui studi kelayakan pendirian BUM Desa, yang disesuaikan dengan potensi desa dan Kawasan sendiri, termasuk pertimbangkan kemampuan pengelolanya, barulah BUM Desa layak didirikan desa, dan BUM Desa Bersama barulah layak didirikan melalui kerja sama usaha antardesa,” tegas Gus Halim

Jika suatu BUM Desa mengalami kebangkrutan, maka PP 11/2021 telah menyediakan mekanisme untuk memulihkan kembali BUM Desa tersebut, baik dengan mengganti pengurus, menambah modal awal, maupun mengganti unit usaha. Semuanya akan sah, jika diputuskan dalam musyawarah desa kembali. Untuk memastikan berlangsungnya one village one BUM Desa, sistem pendaftaran resmi BUM Desa di bumdes.kemendesa.go.id hanya menerima satu BUM Desa dari satu desa.

“Satu desa tidak bisa mendaftar lebih dari satu BUM Desa. Dan, nama BUM Desa yang telah disetujui, yang telah ditandatangani Menteri Desa, PDT, dan Transmigrasi sendiri, tidak bisa diubah kembali. PP 11/2021, Permendesa 3/2021, dan Permenkumham 40/2021 merumuskan langkah-langkah pemrosesan badan hukum BUM Desa,” kata Gus Halim.

Guna membina BUM Desa, Kementerian Desa PDTT mengambil peran penting sebagaimana layaknya notaris: menerima dokumendokumen BUM Desa, menelaah dan mendiskusikan perbaikannya, hingga menentukan kelengkapan dokumen. Selanjutnya, secara elektronik hasil telaah Kemendes PDTT disampaikan kepada Kemenkumham. Dalam hitungan detik, setelah lulus dari pemeriksaan KemendesPDTT, maka Kemenkumham mengeluarkan nomor badan hukum BUM Desa tersebut.

“Sampai 14 Juli 2022, telah dikeluarkan nomor badan hukum bagi 7.616 BUM Desa dan 280 BUM Desa Bersama,” kata Gus Halim.

Lebih lanjut, turunan Undang-undang Cipta Kerja menguatkan posisi BUM Desa, sekaligus meluaskan peluang usahanya. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2021 tentang BUM Desa sudah meluaskan ruang usaha BUMDesa. Kerja sama BUMDesa tidak lagi dibatasi wilayah sekecamatan dan sekabupaten. Kini kerja sama BUMDesa bisa melampaui kabupaten/kota dan melintasi provinsi. BUMDesa Bersama tidak hanya didirikan antar desa sekecamatan, namun kini boleh sampai lintas provinsi.

“Ukuran keberhasilan BUMDesa adalah manfaatnya dalam meningkatkan kesejahteraan warga desa. Sumbangan BUMDesa untuk PADes menempati prioritas berikutnya,” pungkas Gus Halim.

Baca Selengkapnya
Tulis Komentar

BERITA

Target APK Pendidikan Tinggi Tidak Mungkin Tercapai Jika Biaya Kuliah Mahal

Oleh

Fakta News
Target APK Pendidikan Tinggi Tidak Mungkin Tercapai Jika Biaya Kuliah Mahal
Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah saat kunjungan kerja reses di Kota Medan, Sumatera Utara, Senin (06/05/2024). Foto : DPR RI

Medan – Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap mahalnya biaya pendidikan tinggi di perguruan tinggi negeri. Menurutnya, dengan mahalnya biaya pendidikan tinggi itu dapat menghambat pencapaian target pemerintah dalam meningkatkan Angka Partisipasi Kasar (APK) perguruan tinggi. Menurut data tahun 2023, APK untuk laki-laki hanya 29,12 persen dan untuk perempuan 33,87 persen, angka yang jauh dari target yang diharapkan.

Konsekuensinya, tambah Ledia, dengan biaya pendidikan yang sangat mahal  itu banyak calon mahasiswa yang terhambat untuk melanjutkan pendidikan. “Dengan mahalnya perguruan tinggi negeri ini, bagaimana mungkin kita bisa mencapai target APK yang lebih baik jika banyak anak-anak kita yang tidak mampu melanjutkan pendidikan karena biaya?” ujar Ledia kepada Parlementaria, di Kota Medan, Sumatera Utara, Senin (06/05/2024).

Diketahui, Angka Partisipasi Kasar (APK) Perguruan Tinggi (PT) adalah perbandingan antara jumlah penduduk yang masih bersekolah di jenjang pendidikan Perguruan Tinggi (PT) (tanpa memandang usia penduduk tersebut) dengan jumlah penduduk yang memenuhi syarat resmi penduduk usia sekolah di jenjang pendidikan Perguruan Tinggi (PT) (umur 19- 23 tahun).

Ledia pun mengkritik sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang berlaku di banyak perguruan tinggi, yang menurutnya masih memberatkan bagi sebagian besar calon mahasiswa. “Ada perguruan tinggi dengan sistem UKT yang sangat tinggi, dan ada pula yang menengah namun tetap mahal, belum lagi adanya uang pangkal yang harus dibayar di awal,” ujar politisi Alumni Master Psikologi Terapan dari Universitas Indonesia ini.

Ledia juga menyoroti perlunya sebuah sistem pendidikan tinggi yang lebih pro kepada masyarakat, terutama bagi warga negara Indonesia yang memiliki kemampuan akademis namun ada keterbatasan ekonomi. “Kita perlu membuat sistem yang lebih baik, yang lebih mendukung anak-anak kita untuk bisa kuliah tanpa dibebani biaya yang tidak mampu mereka tanggung,” ujar Politisi Fraksi PKS ini.

Lebih lanjut, Ledia menegaskan bahwa pendidikan tinggi harus diakses oleh semua lapisan masyarakat. “Kita membuat kampus itu mandiri, namun bukan berarti kita bisa mengabaikan warga negara Indonesia, terutama anak-anak muda kita yang sebenarnya punya kemampuan dalam akademisnya tapi tidak dalam ekonominya,” ujarnya.

Kebijakan saat ini, menurut Ledia, harus segera dibahas dan diperbaiki, dengan keterlibatan langsung dari kampus-kampus dan pemerintah untuk mencari solusi yang efektif. “Perlu ada diskusi serius antara pemerintah dengan perguruan tinggi untuk menata ulang sistem pendanaan pendidikan tinggi di negara kita,” tutur Ledia.

Dalam mencari solusi, Ledia juga menyarankan agar perguruan tinggi negeri bisa terhubung lebih baik dengan program beasiswa dan bantuan finansial lainnya yang bisa membantu meringankan beban mahasiswa. “Harus ada lebih banyak opsi beasiswa dan bantuan finansial yang dapat diakses oleh mahasiswa yang membutuhkan,” ucap Ledia.

Ledia berharap bahwa dengan perbaikan sistem yang lebih inklusif dan mendukung, Indonesia bisa mencapai tujuan menjadi negara dengan sumber daya manusia yang unggul pada 2045. “Ini semua tentang membangun fondasi yang kuat untuk pendidikan tinggi di Indonesia, memastikan semua anak berhak dan mampu mendapatkan pendidikan yang layak,” pungkasnya.

Baca Selengkapnya

BERITA

Geramnya Komisi II terhadap Biaya PBB yang Membengkak Akibat Sertifikat Tanah

Oleh

Fakta News
Geramnya Komisi II terhadap Biaya PBB yang Membengkak Akibat Sertifikat Tanah
Anggota Komisi II DPR RI Rosiyati MH Thamrin saat Kunjungan Kerja Reses Tim Komisi II ke Maros, Sulawesi Selatan, Senin (06/05/2024). Foto : DPR RI

Maros – Anggota Komisi II DPR RI Rosiyati MH Thamrin mengecam kebijakan terkait sertifikat tanah yang merugikan masyarakat. Dalam pernyataannya, ia menyampaikan keprihatinannya terhadap biaya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang melonjak drastis setelah penerbitan sertifikat tanah.

“Sangat disayangkan melihat betapa besarnya biaya PBB yang harus ditanggung masyarakat setelah memiliki sertifikat tanah. Hal ini menjadi hambatan besar bagi petani dan pengguna lahan lainnya untuk mendaftarkan tanah mereka,” ujar Rosiyati MH Thamrin saat Kunjungan Kerja Reses Tim Komisi II ke Maros, Sulawesi Selatan, Senin (06/05/2024).

Menurutnya, masyarakat enggan membuat sertifikat tanah karena adanya komponen biaya PBB yang meningkat secara signifikan setelah kepemilikan tanah tersebut bersertifikat. Hal ini berdampak negatif terutama bagi para petani dan pengguna lahan lainnya yang mayoritas hidup dengan penghasilan terbatas.

Rosiayati pun menyerukan pentingnya koordinasi antara pemerintah daerah dan Dinas Pajak untuk meninjau ulang kebijakan terkait tarif PBB. “Saya berharap agar Dinas Pajak dapat mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat yang terdampak dan menyesuaikan tarif PBB dengan lebih adil,” tambahnya.

Kemudian, Politisi Fraksi PDI-Perjuangan itu juga menegaskan bahwa pembenahan terhadap kebijakan tersebut penting dilakukan agar masyarakat merasa lebih terbantu dan terjamin hak-haknya atas tanah yang mereka miliki.

“Pemerintah harus fokus pada upaya mempermudah akses masyarakat terhadap kepemilikan tanah dengan biaya yang terjangkau, sehingga tidak menghambat pembangunan dan kesejahteraan masyarakat,” tutupnya.

Baca Selengkapnya

BERITA

PON XXI Sebentar Lagi, Pembangunan Venue Ternyata Belum Tuntas!

Oleh

Fakta News
PON XXI Sebentar Lagi, Pembangunan Venue Ternyata Belum Tuntas!
Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah saat mengikuti Kunjungan Kerja Reses Tim Komisi X DPR RI, di Kota Medan Sumatera Utara, Senin (06/05/2024). Foto: DPR RI

Medan – Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah mengungkapkan, kekhawatirannya terkait kesiapan pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI yang dijadwalkan pada September 2024 di Aceh dan Sumatera Utara. Ledia menyatakan bahwa meskipun pemerintah daerah telah berkomitmen dengan mengalokasikan dana besar, masih terdapat kekurangan yang perlu ditangani oleh pemerintah pusat.

“Pemerintah Provinsi Sumatera Utara telah mengeluarkan anggaran sekitar Rp2,1 triliun, dan belum lagi dari Pemerintah Kabupaten/Kota dari APBD untuk pembangunan venue dan lain-lain. Namun, ada beberapa hal penting yang masih harus di-cover oleh pemerintah pusat,” ujar Ledia, Medan, Sumatera Utara, Senin (6/5/2024).

Menurutnya, masih ada kebutuhan dana tambahan untuk menyelesaikan infrastruktur yang belum rampung. “Persoalnnya ada hal yang harus dicover oleh pemerintah pusat, apakah itu bisa selesai atau enggak. Kita belum tahu sampai sekarang pemerintah daerah juga enggak bisa apa-apa, itu sangat tergantung dari pusat,” ujarnya.

Ledia juga menyampaikan bahwa Komisi X DPR RI telah mengusulkan agar penundaan PON hingga awal tahun 2025 untuk memastikan semua persiapan bisa tuntas. “Beberapa dari kami sudah mengusulkan untuk ditunda sampai Januari atau Februari 2025 sehingga penyelenggaraannya bisa berjalan dengan baik dan tidak terburu-buru,” tegas Ledia.

Selain itu, Ledia menekankan bahwa ada kesamaan situasi dengan PON sebelumnya di Papua, yang juga harus diundur karena pandemi COVID-19. “Situasinya serupa dengan apa yang terjadi di Papua. Jika memang belum siap, jangan dipaksakan,” tegasnya.

Ledia juga berharap dengan waktu yang masih ada, bisa di optimalkan dengan baik. “Harapan nanti penyelenggarannya bisa berjalan dengan baik, karena ini baru pertama kali diselenggarakan di dua  provinsi, belum lagi setelah itu ada peparnas untuk disabilitas. Nah jadi memang harusnya lebih matang, kalau memang belum siap jangan dipaksakan,” ungkap Ledia.

Pemerintah Provinsi Sumatera Utara telah berkomitmen untuk juga menggunakan venue yang sudah ada dengan memperbaikinya. Namun, Ledia menyatakan, “Sekarang ini yang ditunggu adalah dukungan anggaran dari pemerintah pusat, bisa atau tidak,” ungkapnya.

Ditambah lagi, menurut Ledia, “Telah dianggarkan dari Kementerian Pemuda dan Olahraga sebanyak Rp300 miliar untuk biaya operasional seperti pembayaran wasit dan juri, namun untuk infrastruktur, kecepatan penyelesaian dari pemerintah pusat masih menjadi tanda tanya”.

Kekhawatiran terus mengemuka seiring dengan mendekatnya waktu pelaksanaan PON XXI, dengan banyak pihak berharap agar pemerintah pusat dapat segera mengambil tindakan untuk menyelesaikan persiapan yang masih tertunda.

Baca Selengkapnya