Mantan Napi Maju Calon Anggota DPD Harus Tunggu 5 Tahun
Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang diajukan oleh: Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Sidang pengucapan Putusan Nomor 12/PUU-XXI/2023 ini dilaksanakan pada Selasa (28/2/2023) Ruang Sidang Pleno MK.
“Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Anwar Usman dalam pengucapan putusan dengan didampingi delapan Hakim Konstitusi.
Mahkamah dalam amar putusan juga menyatakan norma Pasal 182 huruf g UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai sebagai berikut: Perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 181 dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan: … g. (i) tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa; (ii) bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; dan (iii) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
Dalam pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Hakim Konstitusi Saldi Isra, Mahkamah menyatakan salah satu syarat untuk menjadi calon anggota DPD, yaitu sebagaimana termaktub dalam norma Pasal 182 huruf g UU Pemilu. Ketentuan ini membuka kemungkinan bagi calon anggota DPD dengan status mantan terpidana dapat langsung mencalonkan diri tanpa terlebih dahulu memenuhi pemaknaan sebagaimana dimaksudkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUUXVII/2019 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XX/2022. Oleh karenanya, substansi norma Pasal 182 huruf g UU Pemilu belum sejalan dengan semangat yang ada dalam kedua putusan tersebut. Padahal kepala daerah, anggota DPR dan DPRD serta anggota DPD, merupakan jabatan publik yang dipilih dalam pemilihan (elected officials). Dengan adanya pembedaan yang demikian berakibat terjadinya inkonsistensi dan disharmoni dalam pemberlakuan norma-norma tersebut terhadap subjek hukum yang sesungguhnya mempunyai tujuan yang sama yaitu sama-sama dipilih dalam pemilihan. Oleh karena itu, pembedaan atas syarat untuk menjadi calon anggota DPD bagi mantan terpidana, dapat berakibat terlanggarnya hak konstitusional warga negara sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat Pasal 182 huruf g UU Pemilu perlu dilakukan penegasan dan penyelarasan dengan memberlakukan pula untuk menunggu jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan adanya kejujuran atau keterbukaan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana sebagai syarat calon anggota DPD, di samping syarat lain yang juga ditambahkan sebagai syarat kumulatif sebagaimana pemaknaan konstitusional secara bersyarat yang terdapat dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016 dan Pasal 240 ayat (1) huruf g UU 7/2017.
“Mahkamah menilai telah ternyata ketentuan norma Pasal 182 huruf g UU 7/2017 yang mengatur persyaratan mantan terpidana yang akan mencalonkan diri menjadi anggota DPD telah terbukti terdapat persoalan konstitusionalitas norma dan tidak selaras dengan semangat yang ada dalam ketentuan norma Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016 sebagaimana yang telah dimaknai dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019 dan norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU 7/2017 sebagaimana yang telah dimaknai dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XX/2022,” kata Hakim Konstitusi Saldi Isra.
Sebagai tambahan informasi, permohonan Nomor 12/PUU-XXI/2023 dalam perkara pengujian UU Pemilu diajukan oleh Perludem. Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Senin (6/2/2023), Perludem mempersoalkan norma Pasal 182 huruf g UU Pemilu yang menyatakan, “Perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 181 dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan: g. tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.”
Fadli Ramadhanil mengatakan, Pemohon menganggap ketentuan Pasal 182 huruf g UU Pemilu ini bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), (3), Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Selanjutnya Fadli menguraikan alasan permohonan seputar perkembangan proses penyelenggaraan pemilu masih belum sepenuhnya bebas dari praktik korupsi. Fadli menyebutkan data dari KPK tahun 2018 yang menyebutkan pejabat politik atau pejabat yang dipilih melalui proses pemilu menempati urutan tertinggi dalam kasus korupsi. “Salah satu yang menjadi penyebab banyaknya pejabat politik yang dipilih melalui proses pemilu yang terjebak (korupsi) karena tingginya biaya politik yang harus dijalani oleh peserta pemilu,” terang Fadli.
Fadli mengungkapkan, MK telah mengeluarkan putusan untuk memperketat syarat calon yang akan berlaga dalam proses pilkada atau pemilu. Dalam hal ini yakni melalui Putusan Nomor 56/PUU-XVII/2019, yang mengatur soal syarat mantan terpidana di dalam pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, dan Putusan Nomor 87/PUU-XX/2022 yang mengatur persyaratan bagi calon anggota DPR dan DPRD yang berstatus sebagai mantan terpidana.
Sementara untuk syarat mantan terpidana bagi calon anggota DPD itu menimbulkan inkonsistensi karena masih belum sama dengan syarat calon mantan terpidana bagi pemilihan kepada daerah apalagi pemilihan DPR dan DPRD. Padahal secara prinsip pemilihan anggota DPD sama-sama dipilih langsung oleh rakyat sehingga untuk persyaratan apalagi status mantan terpidana sangat penting disamakan dengan syarat mantan terpidana bagi mantan terpidana calon anggota DPR dan DPRD.
Selain itu, ia mengatakan syarat calon anggota DPD masih terbatas pada hanya mantan terpidana disyaratkan untuk secara terbuka dan jujur mengumumkan statusnya kepada publik. Belum ada masa jeda lima tahun yang harus dijalani oleh mantan terpidana yang ingin mencalonkan diri sebagai anggota DPD. Padahal jangka waktu lima tahun ini merupakan sesuatu yang sangat penting untuk kemudian memberikan ruang bagi mantan terpidana untuk beradaptasi kembali kepada masyarakat untuk kepentingan yang lebih luas.
Oleh karena itu, Pemohon dalam petitum provisinya meminta MK untuk menjadikan permohonan ini sebagai prioritas dalam pemeriksaan. Hal ini untuk memberikan kepastian agar penerapan syarat pencalonan anggota DPD existing tidak lagi diberlakukan, mengingat tahapan ini sudah mulai berjalan mulai dari 6 Desember 2022.
Kemudian dalam petitum terhadap pokok permohonan, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 182 huruf g UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa; tidak dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak pilih oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; jujur atau terbuka mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; dan bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.”
BERITA
Komisi III Minta Komnas HAM Tingkatkan Peran, Selesaikan Pelanggaran HAM Berat
Jakarta – Wakil Ketua Komisi III DPR RI Pangeran Khairul Saleh memimpin rapat kerja dengan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Dalam rapat ini Komisi III meminta Komnas HAM untuk meningkatkan peran dan mengoptimalkan pelaksanaan tugas dan fungsi dalam mendukung penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM, termasuk pelanggaran HAM berat.
“Baik itu penyelesaian yudisial maupun non-yudisial, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,” ujarnya di ruang rapat Komisi III, Nusantara II, Senayan, Jakarta, Rabu (30/5/2024).
Lebih lanjut Komisi III DPR meminta Komnas HAM untuk segera menyelesaikan peraturan terkait Penilaian Tindak Lanjut Kepatuhan Rekomendasi, agar dapat menjadi informasi dan tolak ukur dalam tindak lanjut rekomendasi yang telah diberikan.
Bahkan Komisi III meminta Komnas HAM dan Komnas Perempuan untuk lebih proaktif dan sinergis dalam mengidentifikasi potensi permasalahan, melakukan penanganan, maupun pendampingan terhadap seluruh pihak, dalam penerapan dan penegakan prinsip-prinsip HAM, termasuk perlindungan terhadap perempuan di seluruh sektor dan kegiatan.
Sementara itu di lain pihak, Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro menyampaikan bahwa pihaknya saat ini tengah menyusun rancangan Peraturan Komnas HAM terkait Penilaian Tindak Lanjut Kepatuhan Rekomendasi Komnas HAM. “Sebagai salah satu upaya pemasangan untuk meningkatkan efektivitas dari rekomendasi yang diberikan oleh Komnas HAM,” papar Atnike saat rapat.
Menurutnya rekomendasi yang diberikan oleh Komnas HAM dari hasil pemantauan, mediasi, maupun kajian tidak selalu ditindaklanjuti oleh stakeholders maupun kementerian/lembaga karena dianggap tidak mengikat. “Sejumlah kasus juga menunjukkan fungsi mediasi Komnas HAM masih belum dipahami sebagai sebuah solusi strategis,” ucap Atnike.
BERITA
Anggaran Pendidikan Kemenag Dinilai Masih Kecil
Jakarta – Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ace Hasan Syadzily menilai besaran anggaran pendidikan yang diterima Kemenag (Kementerian Agama) untuk mendanai seluruh lembaga pendidikan Islam dan keagamaan masih timpang dibanding kementerian lain.
“Soal anggaran pendidikan di bawah Kementerian Agama harus betul-betulan keadilan anggaran. Kalau kita dengar pidato Menteri Keuangan (Sri Mulyani) dalam rapat paripurna, ya anggaran pendidikan Rp630 triliun, tapi kalau Kemenag hanya dapat Rp35 triliun, buat saya mengkhawatirkan,” kata Kang Ace, sapaannya, dalam keterangan persnya, Rabu (29/5/2024).
Politisi Partai Golkar itu menyatakan, selain Sekretariat Jenderal (Sekjen) Kemenag, anggaran terbesar juga diberikan kepada Direktorat Jenderal (Ditjen) Pendidikan Islam (Pendis) Kemenag sebesar Rp35 triliun.
Ada satu hal yang sangat penting untuk didiskusikan bersama adalah soal berbagai hal terkait anggaran pendidikan nasional. Dari penjelasan Plt Dirjen Pendis, berapa persen KIP Kuliah untuk Perguruan Tinggi Agama Islam (PTKAI) dan perguruan tinggi agama lain.
“Apakah PIP, KIP, apakah sudah mencerminkan suatu keadilan anggaran? Rehab ruang kelas juga belum mencerminkan keseluruhan,” ujar dia.
Kang Ace melihat dari total anggaran pendidikan Rp630 triliun di APBN, Kemenag hanya mendapatkan Rp35 triliun, artinya belum mencerminkan suatu kesetaraan anggaran.
“Padahal anak-anak madrasah, yang kuliah di UIN, STAIN, STAI atau di manapun, mereka juga anak-anak bangsa yang sama untuk mendapatkan perlakuan sama dalam akses pendidikan,” tutur Kang Ace.
Ace mengatakan, keputusan tepat telah diambil Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas yang menunda status Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH) bagi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. “Itu keputusan yang tepat. Kalau tidak, meresnya sama mahasiswa. Berat,” ucap dia.
Jujur saja, ujar Ace, hampir sebagian besar siswa dan mahasiswa yang sekolah di bawah Kemenag berlatar belakang sosial ekonomi kelas menengah bawah. Namun penyaluran program KIP dan PIP untuk mereka juga sedikit.
“Itu anehnya. Jadi ada yang salah dari proses pendataan penyaluran program negara untuk kelompok-kelompok yang membutuhkan itu,” ujar Kang Ace.
BERITA
Imbas Kebakaran Smelter Nikel PT KFI, Komisi VII akan Audit Investigasi
Kutai Kartanegara – Anggota Komisi VII DPR RI Nasyirul Falah Amru mengatakan, pihaknya akan segera melakukan audit investigasi terhadap pabrik smelter nikel PT Kalimantan Ferro Industri. Hal tersebut imbas dari peristiwa dua kali ledakan di pabrik smelter PT KFI yang menewaskan pekerja asing dan lokal belum lama ini.
“Kami akan panggil PT KFI beserta seluruh jajaran direksinya, untuk datang ke Gedung Senayan dan kami akan melakukan audit investigasi. Secara mekanisme, bisa dengan membuat panja nikel atau kita panggil secara khusus di Rapat Dengar Pendapat (RDP). Kami juga tentunya akan melibatkan Kementerian Perindustrian dan Kementerian KLHK dari sisi amdalnya, supaya benar-benar kita melihat secara komprehensif sebab terjadinya ledakan,” ujarnya saat memimpin Tim Kunspek Komisi VII DPR mengunjungi PT KFI di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Rabu (29/5/2024).
Menurut Politisi F-PDI Perjuangan ini, pihaknya menilai, hasil dari temuan dilapangan seperti sarana untuk keselamatan kerja dan sebagainya juga masih jauh dari kurang. Walaupun mereka sudah mendatangkan tim dari Kementerian Industri untuk mekanisme aturan pedomannya, tetapi pihaknya menemukan fakta di lapangan masih belum sesuai dengan harapan.
“Saya berpesan agar tidak terulang terjadi kebakaran atau ledakan, yang paling penting ini adalah mesin yang ada di setiap semelter itu perlu dicek selalu setiap periodik. Kemudian, kalibrasi mesin itu juga penting karena dengan begitu kita akan tahu ukuran mesin ini sesuai dengan kapasitasnya dia berproduksi atau tidak. Sehingga, Insya Allah dengan adanya perawatan yang berkala dan pengawasan yang kita lakukan ini Insya Allah tidak akan terjadi kembali,” jelas Nasyirul.
Selain itu, kami juga tidak menemukan alat pemadam kebakaran sepanjang jalan menuju lokasi meledaknya smelter. Kemudian, rambu-rambu yang ada juga masih sangat terbatas sekali, sehinhha dianggap tidak layak untu perusahaan smelter. “Jadi ini harus segera diperbaiki,” imbuhnya.
“Kita menemukan sesuatu yang di luar dugaan, ketika PT KFI lagi dibangun ada proses namanya commissioning atau uji coba tetapi sudah menimbulkan kejadian terjadinya ledakan. Padahal masih tahap uji coba, tetapi dua tenaga kerja asing dan dua pekerja lokal turut menjadi korban akibat ledakan di smelter nikel tersebut,” ucapnya lagi.