Connect with us
FGD Energi EBT

Transisi Energi: Tantangan Terbesar Masa Depan Energi Nasional (1)

Energi merupakan kebutuhan yang vital bagi setiap negara yang sedang giat membangun. Ketersediaan energi sudah menjadi syarat utama untuk menggerakkan roda ekonomi sejak era revolusi industri dunia di pertengahan abad ke-18. Kemajuan teknologi yang menopang roda-roda industri di era internet seperti saat ini selalu haus akan ketersediaan energi.

Kesejahteraan bangsa Indonesia sangat membutuhkan energi mulai dari daerah perkotaan sampai ke daerah terpencil. Energi dibutuhkan untuk melajutkan kehidupan keseharian anak bangsa. Terutama kebutuhan listrik untuk menyediakan makanan/minuman yang sehat, pendidikan dan transportasi. Wilayah Indonesia yang sangat luas dan terdiri dari wilayah kepulauan memberikan keuntungan dan tantangan tersendiri bagi pemerintah untuk mendesain ketersediaan energi yang sifatnya merata ke semua strata kehidupan sosial rakyat Indonesia.

Lebih dari 90% kebutuhan energi domestik Indonesia masih berasal dari energi fosil (seperti minyak bumi, gas bumi dan batubara). Setelah resmi menjadi negara pengimpor minyak bumi pada tahun 2003, kemewahan yang diberikan oleh industri migas berangsur-angsur pudar. Terpukulnya harga komoditi minyak bumi dunia sejak awal tahun 2015 mengurangi pendapatan pemerintah Indonesia dari sektor non-migas secara signifikan.

Indonesia akan memperoleh keuntungan jangka panjang, terutama untuk ketahanan energi nasional, apabila berhasil dengan cepat menerapkan kebijakan energy-mixed dengan memperbesar porsi penggunaan energi yang bersumber dari energi baru dan terbarukan. Ketergantungan terhadap sumber energi yang bersumber dari fosil dapat dapat secara gradual dikurangi dengan menggunakan sumber energi yang lebih bersih (rendah kadar emisi CO2).

Implementasi kebijakan sumber energy-mixed tidaklah mudah apabila kita sendiri tidak melihat keuntungan jangka panjang yang disebabkannya. Di beberapa negara maju, seperti di negara Eropa dan Amerika Serikat, perkembangan penerapan energi terbarukan telah berhasil menciptakan lapangan pekerjaan yang lebih luas dibandingkan oleh industri migas. Terutama setelah jatuhnya harga minyak bumi sejak awal tahun 2015. Kemajuan industri hilir yang progresif menciptakan kebutuhan terhadap manusia yang memiliki keahlian baru dan lapangan pekerjaan yang lebih luas.

Perjalanan Panjang Kebijakan Diversifikasi Sumber Energi Nasional

Inisiatif untuk mendorong transisi energi oleh Pemerintah Indonesia sudah dimulai sejak sebelas tahun yang lalu. Melalui Peraturan Presiden (PP No.5 Tahun 2006), Pemerintah Indonesia menegaskan kebijakan energi nasional untuk menjamin pasokan energi dalam negeri dan untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Peraturan Presiden tersebut merefleksikan rencana jangka panjang Pemerintah Indonesia untuk memujudkan diversifikasi energi yang optimal di tahun 2025.

Target agresif terkait diversifikasi energi oleh Pemerintah Indonesia yang direfleksikan pada PP No.5 Tahun 2006 adalah berasal dari minyak bumi (<20%), gas bumi (<30%) dan batu bara (<33%) pada tahun 2025. Dan diharapkan juga pada tahun 2025, ditargetkan kenaikan penggunaan energi yang bersumber dari nabati/biofuel (5%), panas bumi/geothermal (5%), batubara yang dicairkan/liquified coal (>2%) dan energi baru-terbarukan (>5%). Sumber energi baru-terbarukan yang dimaksud disini termasuk biomassa, nuklir, tenaga air, tenaga surya dan tenaga angin.

Pada tahun 2013, Peraturan Mentri ESDM No.25 disahkan oleh Pemerintah Indonesia untuk mendorong pemakaian bahan bakar nabati di sektor transportasi. KEmudian target diversifikasi sumber energi 2025 di atas direvisi oleh Komite Energi Nasional (KEN) pada tahun 2014 menjadi:

  1. Minyak bumi (25%)
  2. Gas (22%)
  3. Batubara (30%)
  4. Energi Baru dan Terbarukan (23%)

Untuk mendukung pencapaian penggunaan sumber energi baru dan terbarukan, Kementrian ESDM mensahkan Peraturan Mentri ESDM No. 12 Tahun 2017 mengenai Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Peraturan Mentri ini kemudian diikuti oleh rilis Peraturan Mentri ESDM No. 39 Tahun 2017 pada akhir bulan Mei 2017.

Hambatan Pengembangan Energi Baru dan Terbarukan

Sejak tahun 2006, Pemerintah Indonesia telah berinisiatif untuk menyiapkan perangkat peraturan (Tabel 1) yang bertanggungjawab untuk menjalankan keberlangsungan energi nasional. Dalam perjalanan upaya mewujudkan ketahanan energi melalui penerapan strategi diversifikasi sumber energi masih menemui berbagai rintangan.

Sinergi yang bagus antar lembaga pemerintahan pusat dengan pemerintahan daerah akan mendorong minat investor untuk mulai membangun infrastruktur energi terbarukan sampai ke seluruh pelosok nusantara. Berangkat dari ide pemerintah untuk membuat One Map Indonesia, yaitu penggunaan teknologi informasi  akan membantu pemerintah melihat hambatan secara kesuluruhan. Dan teknologi informasi itu sendiri, seperti GIS bisa menjadi alat bantu analisis mencari solusi terhadap masalah-masalah di lapangan.

ebt

Tabel 1. Pemetaan Institusi Sektor Energi di Indonesia (Sumber: Asian Development Bank, 2016)

Pada acara dialog energi nasional yang diselenggarakan Dewan Energi Nasional pada awal bulan Maret 2017 yang lalu, Mentri ESDM memaparkan kesulitan yang dihadapi dalam pemanfaatan energi terbarukan. Indonesia masih sangat bergantung kepada pemanfaatan energi yang bersumber dari Minyak Bumi (40%), Gas Bumi (24%) dan Batubara (31%) dan hanya 5% pemanfaatan energi yang bersumber dari energi baru dan terbarukan.

Penyebabnya karena investor masih ‘wait and see’ untuk mengembangkan energi baru dan terbarukan di Indonesia. Penetapan harga kompetitif dibandingkan harga energi yang bersumber dari fosil menjadi salah satu faktor yang menjadi kendala utama mandeknya pengembangan energi baru dan terbarukan ini.

Sejauh ini Pemerintah Indonesia telah melakukan beberapa usaha untuk merangsang perkembangan penerapan energi baru dan terbarukan di lapangan, misalnya dengan mengurangi subsidi BBM dan pemberian insentif fiskal dan non fiskal.

Konsumsi energi di Indonesia masih didominasi oleh penggunaan pada sektor industry (35%), bangunan (34%) dan trasnportasi (28%) (sumber: IRENA, Renewable Energy Prospects, 2017). Menurut studi oleh IRENA, potensi instalasi/tahun sumber energi terbarukan untuk pembangkit energi listrik antara tahun 2016 sampai dengan 2030 masih akan didominasi oleh Solar PV (3.1 GW/tahun), Hydropower (1.6 GW/tahun), Geothermal (0.6 GW/tahun), Bionergy (0.6 GW/tahun), Energi Laut (0.3 GW/tahun) dan Energi Angin (0.3).

Multiplier-Effect Penggunaan Industri Energi Terbarukan

Instalasi pembangkit energi yang bersumber dari energi terbarukan diperkirakan masih akan lebih terpusat di wilayah Jawa dan Bali disebabkan oleh ketersediaan infrastruktur pendukung yang sudah cukup bagus di wilayah ini. Serapan penggunaan energi terbarukan masih akan didominasi penggunaan pada bangunan yang berfungsi untuk bisnis dan perumahan. Untuk daerah-daerah di luar Pulau Jawa dan Pulau Bali masih akan membutuhkan pembangunan infrastruktur pendukung.

Pemanfaatan energi terbarukan yang efisien harus selalu didukung oleh penerapan teknologi yang tepat guna di lapangan. Indonesia membutuhkan transfer teknologi yang sudah mapan dari negara-negara industri yang sudah maju. Keberhasilan Pemerintah Indonesia untuk membawa industri teknologi mutakhir ke Indonesia berpotensi membuka lapangan pekerjaan di industri. Nilai lebih dari siklus rantai pengadaan teknologi/barang/jasa di dalam negeri dapat membuka lapangan pekerjaan secara masif di industri manufaktur teknologi itu sendiri. Hal ini akan lebih merangsang pertumbuhan industri hilir Indonesia dan mempercepat penyerapan teknologi yang lebih efisien.

Pengurangan penggunaan energi fosil akan mengurangi emisi CO2 terutama di kota-kota besar. Dengan berkurangnya emisi CO2, kualitas kesehatan masyarakat otomatis akan semakin meningkat dan secara perlahan dapat mengurangi kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh polusi. Selaras dengan itu, harus didukung oleh kebijakan pemerintah untuk lebih tegas dalam hal pengurangan penggunaan sumber energi yang dapat merusak lingkungan.

Semua pihak yang berkepentingan untuk mendukung ketahanan energi nasional, harus mulai melihat permasalahan energi nasional ini dari sudut pandang yang berbeda. Ketergantungan negara kita terhadap impor minyak bumi dari dan penggunaan bahan bakar minyak pada sektor transportasi yang telah meningkatkan polusi secara signifikan hanya akan mewariskan masalah terhadap generasi berikutnya.

Paradigm Shift

Pemahaman yang lebih mendalam dari pemerintah untuk lebih mendorong keberhasilan transisi energi yang selama ini lebih bergantung kepada energi fosil ke energi baru dan terbarukan diharapkan dapat memperkuat ketahanan energi nasional. Kebijakan fiskal dan non-fiskal yang dimaksudkan untuk menstimulasi percepatan investasi industri energi baru dan terbarukan harus juga didukung oleh inisiatif lembaga pembiayaan (bank) lokal dan internasional di sektor energi baru dan terbarukan. Di sisi lain, masalah-masalah di lapangan harus cepat diantisipasi supaya lembaga-lembaga pembiayaan tidak ragu-ragu untuk menyuntikkan dana pengembangan.

Paradigma lama yang hanya fokus terhadap penggunaan energi fosil (batubara, minyak dan gas bumi) tidak akan menstimulasi pemikiran kita untuk mencari solusi terhadap krisis energi yang sudah kelihatan di horizon. Pemerintah harus lebih agresif untuk memberikan exposure yang tepat terhadap industri energi nasional sehingga jalannya proses transisi energi akan lebih mudah. Karena kebijakan dan tindakan di bidang energi yang kita terapkan saat ini akan menentukan keberlangsungan roda pembangunan nasional di masa mendatang.

Pengantar ini ditulis oleh DG Siahaan

Catatan:

Program Fokus Grup Diskusi (FGD) adalah forum dialog dan diskusi yang difasilitasi oleh fakta.news. Ada 4 bidang utama yang menjadi sorotan fakta.news yaitu: energi, pangan, infrastruktur dan pelayanan publik.

FGD ini untuk bertujuan menyamakan persepsi, menjabarkan persoalan dan merumuskan solusi-solusi di bidang-bidang tersebut di atas. Adapun hasil FGD ini akan dipublikasikan melalui fakta.news dan diserahkan kepada pihak-pihak terkait.

FGD Energi ini dipandu oleh Tito Kurniadi dan Koster Rinaldi (fakta.news) dengan para peserta eksekutif, profesional, pejabat pemerintah, akademisi/pakar di bidang energi. 

 

Baca Selengkapnya
Tulis Komentar

BERITA

Sudah Saatnya Sistem Zonasi dalam PPDB Dihapuskan

Oleh

Fakta News

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 14 tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) pada TK, SD,SMP, SMA, SMK atau bentuk lain yang sederajat, menelorkan kriteria seleksi masuk sekolah dengan mempertimbangkan urutan prioritas berupa usia dan jarak tempat tinggal ke sekolah sesuai dengan zonasi yang ditetapkan oleh pemerintah daerah sesuai kewenangannya (Sistem Zonasi).

PPDB bertujuan untuk menjamin penerimaan peserta didik baru berjalan secara objektif, transparan, akuntabel, nondiskriminatif, dan berkeadilan dalam rangka mendorong peningkatan akses layanan pendidikan. Namun dalam perjalananya apakah tujuan ideal dari PPDB menggunakan system zonasi tersebut sudah tercapai atau jsutru jauh panggang dari api?

Pertanyaan mendasar tentang penerapan sistem zonasi yang medasarkan pada upaya pemerataan pendidikan adalah apakah lokasi sekolah yang dibangun pemerintah sudah merata pada semua wilayah (anggaplah skala kecamatan) di Indonesia.

Bahwa faktanya pendirian sekolah (di setiap jenjang pendidikan) tidaklah didasarkan pada sebaran dan populasi penduduk, sehingga banyak dijumpai tidak meratanya sebaran sekolah di hampir setiap daerah. Satu sisi beberapa sekolah terdapat dalam satu wilayah (kecamatan), tapi banyak juga dalam satu desa/kelurahan dan kecamatan yang belum tersedia sekolah. Hal ini justru menyebabkan puluhan hingga ratusan calon peserta didik tidak mendaptkan sekolah dikarenakan “kalah” dalam konteks jarak rumah dengan sekolah yang jauh, di luar jarak zonasi yang diperkenankan.

Banyaknya calon siswa yang secara domisili jauh dari sekolah menyebabkan pupusnya kesempatan untuk bisa mengakses pendidikan secara layak, sesuai yang diamanatkan undang-undang. Fakta itu tidak saja di daerah terpencil ataupun luar jawa, bahkan di kota besar sekelas Surabaya juga masih dijumpai. Belum lagi munculnya fenomena pindah KK untuk bisa menjadi dasar untuk memenuhi kriteria zonasi. Ada yang pindah KK ke saudaranya, mencari tempat domisili (apartemen, beli/sewa rumah, dsb.) hingga tawaran pindah KK yang dilakukan oknum, calo, perantara dengan mematok tarif tertentu untuk bisa mengegolkan masuk ke sekolah yang diinginkan.

Atas polemik itu, dimuculkan kebijakan baru berupa jalur baru PPDB selain jalur zonasi, yakni jalur afirmasi (keluarga miskin), jalur prestasi (akademik) dan jalur prestasi non-akademik (olah raga, seni, budaya dsb.) yang persentasenya terus diutak-atik dengan pertimbangan yang kurang jelas. Apakah kebijakan tersebut tepat dan sesuai sasaran? .
Alih-alih memberikan solusi, tapi justru menambah permasalahan baru dalam dunia pendidikan. Awalnya sempat membuat lega dan menjadi oase bagi sebagian masyarakat yang berharap putra-putrinya tetap bisa masuk ke sekolah yang diinginkan, namun nyata justru menimbulkan permasalahan baru karena tidak semudah yang dibayangkan dalam mengakses “jalur alternatif” tersebut.

Beberapa kendala dan permasalahan ternyata sering muncul dan jadi rasan-rasan di kalangan Masyarakat terutama para ibu-ibu. Ada banyak sinyalemen dan desas-desus yang berkenbang mengenai sulitnya ditembus serta penyelewengan dari “jalur alternatif” tersebut. Jalur afirmasi khususnya bagi keluarga miskin (gakin, gamis, SKTM, KIS, KIP, dll) ternyata sulit diakses. Beberapa sekolah juga “enggan” untuk menerima dan memaksimalkan kuota untuk jalur gakin karena nantinya merka akan gratis dan tidak boleh dikenakan pungutan apapun. Ada juga kemunculan gakin baru/dadakan jelang PPDB.

Demikian halnya dengan jalur presetasi baik akademik maupun non akademik. Banyak yang merasa memenuhi kriteria, tapi dalam pengurusannya “dipersulit’ hingga batas pengajuan persyaratan yang diminta tidak bisa terpenuhi. Setali tiga uang, beberapa kabar yang beredar justru muncul anak-anak yang tiba-tiba “berprestasi” dan bisa masuk ke sekolah yang diinginkan. Maka muncullah banyak isu tak sedap tentang “permainan” hingga sejumlah nominal yang harus disiapkan untuk menebus jalur tersebut.

Ada pula fenomena munculnya jalur khusus, yakni “jalur rekom” yang bisa muncul mulai dari yang logis hingga yang tidak masuk akal. Yang logis semisal orang tua yang bekerja di wilayah dekat sekolah bisa meminta rekom agar anaknya bisa diterima di sekolah tersebut. Ada pula jalur rekomendasi mulai dari para pejabat di lingkup pemerintahan, maupun stakeholder pendidikan berbagai lini, yang berlangsung massif baik prodeo maupun “bertarif”. Tentunya hal tersebut berlangsung ekslusif, karen hanya orang-orang tertentu yang mempunyai akses dan koneksi erat saja yang bisa memanfaatkannya.

Semua sinyalemen dan desas-desus tersebut memang sulit dibuktikan hingga ke ranah hukum namun seperti sudah menjadi rahasia umum di masyarakat. Sistem Zonasi dalam PPDB yang ditujukan untuk pemerataan pendidikan justru dalam prakteknya memunculkan berbagai permasalahan yang menambah carut marut permasalahan di dunia pendidikan. Amanat untuk menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen Pendidikan telah gagal diwujudkan. Sudah saatnya sistem zonasi dalam PPDB dengan pertimbangan utama jarak rumah siswa dengan sekolah, dihapuskan, dikembalikan pada sekolah dengan mempertimbangkan aspek sosial kemasyakartan, kompetensi, ketersediaan kuota, prestasi, dan keadilan.

Pemerintah hendaknya melaksanakan tugas utamanya mencerdaskan kehidupan bangsa dengan lebih fokus pada penggodokan kurikulum pendidikan yang lebih canggih dan modern untuk dapat mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat sehingga potensi peserta didik dapat berkembang agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

 

Radian Jadid
*Kepala Sekolah Rakyat Kejawan
*Wakil Sekretaris LKKNU PW Jatim
*Ketua Harian Paguyuban Angkatan 93 ITS

Baca Selengkapnya

BERITA

Wacana Kenaikan Tarif KRL Ancam Kesejahteraan Ekonomi Masyarakat Berpenghasilan Rendah

Oleh

Fakta News
Wacana Kenaikan Tarif KRL Ancam Kesejahteraan Ekonomi Masyarakat Berpenghasilan Rendah
Anggota Komisi V DPR RI Toriq Hidayat. Foto: DPR RI

Jakarta – Wacana kenaikan tarif Commuter Line oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI) akan menempatkan masyarakat Jabodetabek pada tantangan baru yang mengancam kesejahteraan ekonomi mereka. Hal tersebut pun lantas menuai sorotan dari Anggota Komisi V DPR RI Toriq Hidayat.

“Kenaikan tarif KRL Jabodetabek akan memberikan dampak yang signifikan. Terutama bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah (MBR). Kenaikan tarif bisa memperberat beban ekonomi mereka. Dan Ini juga dapat mengakibatkan kesenjangan sosial dan ekonomi yang lebih besar,” ujar Toriq dalam siaran pers yang diterima Parlementaria, Senin (29/4/2024).

Politisi Fraksi PKS tersebut menegaskan bahwa kenaikan tarif tidak sejalan dengan kondisi ekonomi masyarakat, terutama masa pasca pandemi dan ketidakpastian ekonomi yang menyertainya. Dalam beberapa bulan terakhir, harga-harga bahan pokok terus melonjak secara dramatis.

“Kami tahu betul paska pandemi masyarakat terpaksa mengalokasikan sebagian besar pendapatan mereka hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar. Kenaikan tarif hanya akan menambah beban ekonomi mereka. Terutama mereka yang bergantung pada angkutan publik ini setiap hari,” tandasnya.

Terkait hal itu, Toriq menegaskan akan berupaya keras menyerukan kepada Kementerian Perhubungan selaku regulator agar mendengarkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Serta, kemudian meninjau kembali rencana kenaikan tarif ini dan mencari solusi yang lebih adil dan berkelanjutan.

“Kami akan terus memantau perkembangan situasi ini. Dan memastikan bahwa keputusan terkait tarif transportasi publik nantinya harus ada partisipasi aktif dari publik dan memperhitungkan kepentingan dan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh” tutup Toriq.

Sebagaimana diketahui, PT KAI Commuter (KCI) telah mengusulkan kenaikan tarif KRL Jabodetabek yang belum berubah sejak 2016. Saat ini usulan tersebut masih dibahas Pemerintah. Direktur Operasi dan Pemasaran KCI Broer Rizal mengatakan, pihaknya masih menunggu keputusan Pemerintah untuk menaikkan tarif KRL Jabodetabek.

Pasalnya, ketentuan tarif KRL Jabodetabek merupakan kewenangan Kemenhub selaku regulator. “Itu kebijakan dari Pemerintah ya. Kalau kami hanya eksekutor untuk melaksanakan apa yang menjadi keputusan Pemerintah. Usulan dan pembahasannya sudah dilakukan di Kemenhub,” ujarnya saat konferensi pers Angkutan Lebaran 2024 di Jakarta, Selasa lalu (24/4).

Baca Selengkapnya

BERITA

Sukamta: Kota Yogya Perlu Siapkan Peta Jalan Penanganan Sampah Jangka Panjang

Oleh

Fakta News
Sukamta: Kota Yogya Perlu Siapkan Peta Jalan Penanganan Sampah Jangka Panjang
Anggota DPR RI Sukamta. Foto: DPR RI

Jakarta – Anggota DPR RI dari Dapil Provinsi DIY Sukamta menilai Kota Yogyakarta perlu menyiapkan peta jalan (roadmap) untuk penanganan sampah jangka panjang yang menyangkut peningkatkan kasadaran masyarakat. Edukasi secara terus menerus harus dilakukan baik di sekolah, rumah tangga, dan masyarakat.

Tak hanya itu peraturan yang kuat untuk pengurangan sampah juga sangat dibutuhkan. Sukamta mencontohkan perlunya kebijakan kantong plastik berbayar atau larangan penggunaaan kantong belanja plastik sekali pakai. Adapun jangka pendeknya saat ini bisa dengan optimalisasi penampungan di TPST Piyungan.

“Kalau saya dengar, TPST ini kalau ada alat dan SDM yang memamadai masih bisa dimanfaatkan secara optimal untuk sementara waktu hingga 200-300 ton per hari. Pemkot bisa komunikasikan hal ini dengan Pemda DIY. Rencana optimalisasi 3 TPS 3R di Nitikan, Karangmiri dan Kranon bisa segera direalisasi, meski daya tampung 3 TPS ini masih terbatas,” kata Sukamta sebagaimana keterangan kepada media, di Jakarta, Kamis (25/4/2024).

Di sisi lain, Politisi Fraksi PKS ini, menilai di level provinsi, di area perkotaan saat ini masih sering ditemukan sampah di jalan maupun tempat penampungan yang penuh. Menurutnya, Pemerintah perlu memberikan honor kepada para petugas pengambil sampah sebagai salah satu upaya mencegah buang sampah sembarangan.

“Menurut kami perlu ada stimulan atau honor untuk para petugas pengambil sampah rumah tangga, di level RT, RW dan kampung. Ini supaya masyarakat tidak buang sembarangan,” kata Anggota Komisi I DPR RI tersebut.

Sukamta meyakini dengan adanya dana stimulan atau honor tersebut maka para petugas pengambil sampah akan menjalankan tugasnya dengan baik khususnya pengambilan sampah dengan sistem terpilah. “Selama ini warga sudah diminta memilah, akan tetapi (saat) di  (tempat) pembuangan dicampur lagi. Ini perlu jadi perhatian, sehingga perlu ada petugas khusus memilah,” ujarnya.

Sukamta menegaskan dirinya banyak mendapatkan aspirasi dari masyarakat terkait penanganan sampah di Jogja. Hal ini kembali mencuat setelah rencana penutupan TPST secara permanen, sehingga banyak ditemukan sampah di pinggir jalan, salah satunya di perbatasan antara Kota Jogja dengan Bantul atau sebelah utara Gembira Loka.

Baca Selengkapnya