Connect with us

DARI PENEGAKAN KUOTA HINGGA KEPAKARAN ANGGOTA DEWAN KOMISARIS: Optimalisasi Peran Perusahaan Terkait Para Penyandang Disabilitas

Jalal – Aktivis Keberlanjutan Perusahaan
Farhan Helmy – Presiden Pergerakan Disabilitas dan Lanjut Usia (DILANS-Indonesia)

PENGANTAR. Ini tulisan Kang Jalal bersama saya setelah berdialog sekian lama tentang peran strategik di luar negara untuk menjadi bagian dalam perlindungan dan pemenuhan hak-hak warga difabel. Kang Jalal yang saya kenal adalah seorang praktisi keberlanjutan yang secara khusus seorang profesional Good Corporate Governance. Terkait dengan peran perusahaan salah satu gagasan kami bukan sekedar terlibat dalam CSR ataupun yang diperluas, tetapi menginisiasi entitas dalam pengambilan keputusan. Jumlah penyandang disabilitas Indonesia saat ini 23 juta orang, seyogyanya bisa memberikan inspirasi perlu upaya lebih masif dalam perlindungan dan pemenuhan hak mereka terutama keterlibatan perusahaan.

Mungkin sudah saatnya perusahaan-perusahaan di Indonesia memastikan kepakaran terkait penyandang disabilitas ini di berbagai bagian perusahaan, terutama di bagian human capital, penanggung jawab kinerja sosial, komite eksekutif dan komite di dewan komisaris. Kalau selama ini telah banyak desakan agar di antara anggota komite di dewan komisaris ada yang memahami perspektif gender dan masyarakat lokal, keperluan yang sama jelas juga untuk perspektif penyandang disabilitas.

Selamat menikmati tulisan ini🙏

+++++

APA respons utama dari perusahaan-perusahaan di Indonesia ketika diajak berdiskusi tentang kontribusi mereka terhadap para penyandang disabilitas? Sama dengan pemahaman umum tentang tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility atau CSR): donasi. Pemahaman yang terbatas ini bukan saja sangat menggelisahkan, namun juga patut disayangkan lantaran perusahaan menjadi tidak benar-benar bisa mewujudkan tanggung jawabnya pada level yang seharusnya.

CSR sesungguhnya berarti tanggung jawab atas dampak (positif maupun negatif) yang ditimbulkan keputusan dan tindakan perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungan yang bertujuan untuk berkontribusi kepada pembangunan berkelanjutan. Kita tahu bahwa kesepakatan global tentang pembangunan berkelanjutan terformalkan dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals atau SDGs) yang berlaku antara 2016-2030. Jadi, mudahnya, CSR adalah tentang bagaimana perusahaan berkontribusi pada pencapaian SDGs di berbagai tingkat.

Ada tiga ranah kontribusi tersebut, menurut Jane Nelson, Beth Jenkins, dan Richard Gilbert dalam publikasi mereka Business and the Sustainable Development Goals: Building Blocks for Success Scale (2015). Pertama, melalui bisnis inti yang sesuai dengan paradigma pembangunan berkelanjutan. Kedua, melalui investasi sosial. Ketiga, melalui advokasi publik dan dialog kebijakan. Ketiga ranah kontribusi ini sangatlah penting untuk ditelisik lebih jauh ketika kita membicarakan tentang bagaimana seharusnya perusahaan berkontribusi secara optimal kepada para penyandang disabilitas.

Mengapa demikian? Sinyalemen Angkie Yudistia, Staf Khusus Presiden untuk urusan disabilitas yang membeberkan hanya 3.300 jiwa dari 22 juta jiwa total penyandang disabilitas di Indonesia yang bekerja secara memadai sangatlah memprihatinkan. Ini masih sangat jauh dari harapan dibanding dengan berbagai pernyataan komitmen tentang perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas seperti Konvensi mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas yang sudah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui UU 19/ 2011, UU 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas, dan berbagai peraturan lainnya yang lebih implementatif. Hal ini membuat setiap perusahaan—bersama-sama dengan pemangku kepentingan lainnya—perlu bersiap untuk memberikan kontribusi optimalnya.

Dalam ranah bisnis inti, perusahaan perlu melihatnya di dalam tiga lapisan: workplace, market place, dan supply chains. Kalau kita periksa literatur tentang apa yang bisa dilakukan perusahaan terhadap penyandang disabilitas dan workplace, sesungguhnya ada banyak sekali yang bisa dilakukan. Banyak literatur menyatakan bahwa perusahaan perlu menerapkan kuota untuk penyandang disabilitas di dalam pekerjanya. Indonesia sendiri sudah memiliki regulasi yang menetapkan kuota tersebut, yaitu 1% untuk perusahaan swasta dan 2% untuk BUMN. Dan, lantaran CSR bersifat melampaui regulasi, seharusnya kebijakan perusahaan menetapkan kuota yang lebih tinggi. Kalau regulasi ini saja benar-benar ditegakkan, sesungguhnya ada cukup banyak penyandang disabilitas yang mendapatkan pekerjaan, apalagi kalau perusahaan secara sukarela menetapkan kuota yang lebih tinggi. Namun, pada kenyataannya, majoritas perusahaan belum menjalankan kewajiban regulatori itu lantaran tidak mengetahuinya juga karena penegakannya minimal.

Terkadang perusahaan mengetahui kewajiban tersebut tetapi gagal memastikan kepatuhan karena kesulitan mengakomodasinya di dalam strategi dan implementasi human capital mereka. Majoritas perusahaan merasa kesulitan lantaran kondisi disabilitas fisik, sensorik, intelektual dan mental dianggap sebagai kendala untuk inklusi. Padahal di situ titik pentingnya kalau perusahaan benar-benar ingin menegakkan keadilan, kesetaraan, keragaman, dan inklusi (justice, equity, diversity, and inclusion atau JEDI), sebagaimana yang disarankan oleh Kristina Kohl dalam Driving Justice, Equity, Diversity, and Inclusion: The JEDI Journey (2022), maka kondisi yang melekat dengan disabilitas itu merupakan hal yang penting untuk diselesaikan melalui beragam tindakan afirmatif.

Di antara tindakan afirmatif yang sangat penting adalah memastikan bahwa infrastruktur gedung dan kantor memang ramah terhadap berbagai jenis disabilitas, sehingga mereka bisa mengakses dan menavigasi aktivitas di kantor dengan lebih baik. Kalau memang dimungkinkan untuk bekerja dari rumah, atau dari tempat lain yang lebih nyaman, perusahaan bisa mengakomodasinya dengan fasilitas teknologi informasi dan komunikasi yang memadai, misalnya. Para penyandang disabilitas mungkin sekali perlu mendapatkan pelatihan-pelatihan tertentu yang memungkinkan mereka berkontribusi secara optimal. Dan seterusnya. Jadi, memang tak bisa sekadar menegakkan kuota, apalagi mengabaikannya, melainkan perlu melihatnya dalam perspektif JEDI yang komprehensif, terutama dari sudut pandang pendekatan kapabilitas yang dipromosikan Amartya Sen.

Banyak hal yang sangat menarik bisa dipikirkan ketika melihat bagaimana perusahaan bisa melihat penyandang disabilitas dari sudut pandang market place. Jumlah penyandang disabilitas di Indonesia yang diakui oleh Pemerintah RI adalah 4-5% dari penduduk. Itu berarti jumlahnya bisa mencapai 13,5 juta orang di Indonesia. Namun, proporsi tersebut dikritik oleh PBB di penghujung tahun lampau. Di level global, penyandang disabilitas secara rerata menempati proporsi 15% dari penduduk, atau bisa mencapai 40 juta orang bila persentase tersebut digunakan di Indonesia. Angka yang dikutip Angkie, yaitu 22 juta jiwa, berada di antara proporsi yang diakui Indonesia versus PBB. Kalau tujuan perusahaan didefinisikan sebagai memberikan solusi bagi masalah yang dihadapi masyarakat dan lingkungan melalui cara yang mendatangkan keuntungan, seperti yang disarankan Colin Mayer dalam Prosperity: Better Business Makes the Greater Good (2018), maka perusahaan-perusahaan di Indonesia perlu melihat baragam kebutuhan yang muncul dari berbagai jenis disabilitas sebagai peluang pasar dengan memberikan solusi yang tepat.

Kebutuhan kursi roda yang handal, alat bantu dengar dan lihat, beragam gawai dengan desain khusus, atau kebutuhan sehari-hari seperti popok yang praktis dan nyaman untuk beragam kelompok umur, sangatlah besar. Dalam hal ini, memahami berapa peluang pasar yang sebenarnya, lalu mendesain produk-produk yang sesuai, adalah kunci untuk bisa membantu para penyandang disabilitas itu dengan baik. Kalau selama ini kesadaran bahwa peluang pasar dari melayani kelompok miskin, yang diperkenalkan oleh CK Prahalad dan Stuart Hart dalam The Fortune at the Bottom of the Pyramid (2004) telah membuat banyak perusahaan menjadi makmur, kesadaran bahwa para penyandang disabilitas adalah pasar besar yang perlu dilayani secara sungguh-sungguh adalah hal yang juga sangat penting. Pertanyaan pentingnya adalah apakah perusahaan perlu memodifikasi produk-produknya yang sekarang untuk menangkap peluang pasar itu, atau bahkan perlu menciptakan produk-produk baru yang benar-benar menjawab kebutuhan para penyandang disabilitas?

Dari sudut pandang supply chains, perusahaan bisa mengoptimalkan dampaknya bila memiliki pemihakan kepada para penyandang disabilitas ini dengan membuat preferensi kepada mereka, termasuk memberikan preferensi sebagai kontraktor dan pemasok. Sama dengan situasi workplace, preferensi itu tidaklah memadai kalau hanya dijalankan dengan kuota saja. Banyak usaha yang dimiliki oleh penyandang disabilitas, atau memekerjakan penyandang disabilitas, bisa ditingkatkan kapasitasnya dengan bantuan legalisasi, bantuan kondisi kerja, dan pelatihan-pelatihan peningkatan kapasitas. Investasi di awal memang dibutuhkan, namun bila perusahaan bersungguh-sungguh dalam penegakan ini, maka manfaat operasional, reputasional, juga finansial bisa diraih.

Di ranah investasi sosial, perusahaan melihat apa saja manfaat yang bisa diberikan kepada para penyandang disabilitas di masyarakat, yang bukan, atau belum, masuk sebagai pekerja atau terlibat dalam rantai pasoknya. Sama dengan seluruh upaya investasi sosial lainnya, perusahaan perlu memulainya dengan melakukan pemetaan khusus terkait penyandang disabilitas, jenis-jenis disabilitasnya, kebutuhan mereka masing-masing, dan potensi yang mereka miliki, di dalam wilayah dampak operasi perusahaan. Data ini terkadang sudah tersedia lantaran ada penelitian dari pihak-pihak lain, termasuk LSM, namun pada sebagian besar kasus datanya belumlah tersedia. Perusahaan perlu melakukannya sendiri, atau mensponsori pihak lain yang kapabel untuk melakukannya, terlebih dahulu.

Kemudian, perusahaan perlu menggabungkan pengetahuan tentang kepentingan para penyandang disabilitas itu dengan rencana pembangunan pemerintah, apa yang sudah dan masih perlu dilakukan oleh pemangku kepentingan lainnya, selain kepentingan perusahaan sendiri. Hanya bila pemahaman menyeluruh atas kondisi tersebut telah dimiliki saja maka perusahaan bisa mengambil keputusan tentang intervensi apa yang perlu dilakukan kepada para penyandang disabilitas, dengan siapa saja kerjasama bisa dilakukan, target-target apa yang perlu dicapai di masa mendatang, metode pemantauan dan evaluasi yang akan dipergunakan, hingga exit strategy-nya kelak. Kebanyakan perusahaan yang tidak melakukan pemetaan inilah yang terjebak dengan sekadar berdonasi—yang belum tentu tepat sasaran dan tepat metode intervensi.

Kalau perusahaan telah melakukan berbagai upaya yang memadai di bisnis inti dan investasi sosialnya, bisa dipastikan mereka memiliki kekayaan informasi yang luar biasa di dalam tanggung jawab sosial terhadap pemangku kepentingan khusus ini. Maka, mereka kemudian bisa meluaskan jangkauan dampak positifnya dengan melalukan advokasi dan dialog kebijakan di sphere of influence-nya. Lewat ranah ini, perusahaan bisa mengajak perusahaan lain, masyarakat sipil, dan lembaga-lembaga pemerintahan untuk bisa memerlakukan penyandang disabilitas sesuai prinsip JEDI.

Satu hal yang sangat penting diperhatikan adalah bahwa perusahaan bisa menjadi lebih peka terhadap isu-isu penyandang disabilitas dan menjawabnya dengan lebih adil, setara, beragam, dan inklusif bila tata kelola perusahaan memang didesain untuk itu. Kini tata kelola pemangku kepentingan (stakeholder governance) telah diterima oleh perusahaan-perusahaan yang progresif. Penerimaan atas model tata kelola itu berarti perusahaan dalam mengambil setiap keputusannya perlu menimbang manfaat optimal untuk seluruh pemangku kepentingannya, bukan sekadar demi keuntungan pemegang saham sebagaimana yang ditekankan oleh shareholder governance.

Perusahaan yang ingin memastikan manfaat optimal untuk para penyandang disabilitas—sebagai salah satu kelompok rentan—membutuhkan peningkatan sensitivitas dan kepakaran dalam isu-isu ini. Perusahaan perlu memasukkan pandangan mereka yang paham betul soal isu-isu terkait penyandang disabililitas dalam pengambilan keputusan terkait ketenagakerjaan, pasar, rantai pasok, investasi sosial, dan advokasi dan dialog kebijakan. Mungkin sudah saatnya perusahaan-perusahaan di Indonesia memastikan kepakaran terkait penyandang disabilitas ini di berbagai bagian perusahaan, terutama di bagian human capital, penanggung jawab kinerja sosial, komite eksekutif dan komite di dewan komisaris. Kalau selama ini telah banyak desakan agar di antara anggota komite di dewan komisaris ada yang memahami perspektif gender dan masyarakat lokal, keperluan yang sama jelas juga untuk perspektif penyandang disabilitas.

Jakarta, 1 April 2023

Presiden Joko Widodo Sri Mulyani Indrawati Erick Thohir Siti Nurbaya Bakar Atnike N Sigiro Dante Rigmalia Hari Kurniawan Abetnego Tarigan Sunarman Sukamto Tri Widodo Utomo Ridwan Kamil Yana ‘Rase’ Mulyana Didi Yakub Anang Eska Andar Manik Full Ida Ayu Sri Sundari Undang Permana Segah Patianom Alexander Irwan Farah Sofa Nana Edriana Noerdin Jilal Mardhani Djumono Tedy Rusmawan Idamom Smita Notosusanto Ricky Pesik Dati Fatimah Herni Ramdlaningrum @Ach

#dilansindonesia #indonesiainklusif #ecocrights #JEDI #sdgs2030

Baca Selengkapnya
Tulis Komentar

BERITA

Komisi III Dukung Satgas Pemberantasan Judi Online Libatkan Antar-Kementerian dan Lembaga

Oleh

Fakta News
Komisi III Dukung Satgas Pemberantasan Judi Online Libatkan Antar-Kementerian dan Lembaga
Anggota Komisi III DPR RI Taufik Basari saat mengikuti Kunjungan Kerja Reses Tim Komisi III DPR RI ke Bandar Lampung, Lampung, Senin (29/4/2024). Foto: DPR RI

Bandar Lampung – Komisi III DPR RI mengapresiasi rencana Presiden Jokowi yang akan membentuk Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Judi Online yang melibatkan antarkementerian dan lembaga. Anggota Komisi III DPR RI Taufik Basari menilai adanya Satgas tersebut menjadi poin penting bahwa pemerintah serius untuk memberantas aktivitas haram tersebut.

Karena itu, ia mendorong para mitra Komisi III, mulai dari PPATK, Kepolisian, hingga Kejaksaan agar bertindak lebih tegas terhadap hal itu.

“Karena judi online itu dampaknya luar biasa terutama masyarakat-masyarakat kecil. Kalau kita lihat transaksinya yang begitu banyak, triliunan seperti itu,  kami Komisi III mendukung dan mendorong agar dapat dilakukan tindakan tegas terhadap judi-judi online,” ujar Taufik Basari kepada Parlementaria usai Kunjungan Kerja Reses Tim Komisi III DPR RI ke Bandar Lampung, Lampung, Senin (29/4/2024).

Ia pun berharap dengan adanya kerja bersama lintas K/L tersebut dapat mempercepat penanganan khususnya yang berkaitan dengan transaksi internasional lintas batas negara, baik peladen, bandar, maupun jaringan judi online tersebut.

“Hal ini penting nanti lebih mempercepat untuk kinerja memberantas judi online. Termasuk bagi Kemenkominfo juga sangat penting perannya sekarang,” jelas Politisi Fraksi Partai NasDem itu.

Senada, Anggota Komisi III DPR RI Rano Al Fath mengapresiasi adanya Satgas Judi Online itu. “Saya mengapresiasi sekaligus juga berharap agar strategi yang bisa kita lakukan bisa kita optimalkan untuk memberantas Judi Online ini,” ujarnya.

Baca Selengkapnya

BERITA

Hetifah Sampaikan Pesan dan Harapan bagi Peningkatan Kualitas Pendidikan di Kaltim

Oleh

Fakta News
Hetifah Sampaikan Pesan dan Harapan bagi Peningkatan Kualitas Pendidikan di Kaltim
Wakil Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian. Foto : DPR RI

Jakarta – Dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional yang kerap diperingati pada 2 Mei, Wakil Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian menyampaikan pesan dan harapan terkait peningkatan kualitas pendidikan di Kalimantan Timur. Hetifah, yang dikenal sebagai salah satu pendorong utama reformasi pendidikan di wilayah tersebut, menggarisbawahi beberapa inisiatif penting yang diharapkan dapat membawa perubahan signifikan dalam sistem pendidikan di Kalimantan Timur (Kaltim).

Dalam pernyataannya, Hetifah Sjaifudian menekankan pentingnya investasi di sektor pendidikan, baik dalam peningkatan infrastruktur dan kualitas pengajaran hingga peningkatan kualitas SDM seperti guru dan tenaga pengajar di berbagai daerah di Kalimantan Timur.

“Peringatan Hari Pendidikan Nasional ini merupakan momen yang tepat untuk merefleksikan apa yang telah kita capai dan apa lagi yang perlu kita lakukan demi masa depan generasi mendatang,” ujar Hetifah melalui rilis yang diterima Parlementaria, di Jakarta, Kamis (2/5/2024).

Politisi Fraksi Partai Golkar tersebut juga mengungkapkan keinginan untuk mengintegrasikan teknologi dalam pembelajaran, termasuk mengoptimalkan bagaimana transformasi platform digital untuk membantu proses pembelajaran. Hal itu sebagai salah satu solusi atas tantangan geografis yang sering kali membatasi akses pendidikan berkualitas di Kalimantan Timur.

“Penggunaan teknologi pendidikan yang inovatif serta memaksimalkan platform digital harus ditingkatkan untuk memastikan bahwa semua anak, di mana pun mereka berada, memiliki akses yang sama terhadap sumber belajar yang berkualitas tinggi,” tuturnya.

Salah satu fokus utama yang diharapkan oleh politisi senayan yang berasal dari dapil Kalimantan Timur tersebut adalah peningkatan kualitas dan kapasitas guru serta pengembangan kurikulum yang adaptif terhadap kebutuhan lokal tanpa mengesampingkan standar nasional.

“Guru-guru kita adalah ujung tombak dalam mewujudkan pendidikan berkualitas dan membentuk anak-anak didik untuk Indonesia Emas kedepan. Kita perlu memastikan bahwa mereka diberi pelatihan yang memadai dan terus-menerus serta menjamin kesejahteraan mereka agar dapat mendidik siswa dengan metode yang paling efektif dan inovatif,” tambah Hetifah.

Mengakhiri pernyataannya, Hetifah Sjaifudian mengajak semua pihak untuk berkolaborasi demi menciptakan lingkungan belajar yang kondusif dan inovatif.

“Pendidikan adalah tanggung jawab kita bersama. Mari kita dukung para guru dan tenaga pendidik kita, memastikan bahwa setiap anak di Kalimantan Timur mendapatkan kesempatan pendidikan yang mereka layak dapatkan,” ungkapnya.

Dengan pesan pada Hari Pendidikan Nasional ini, Hetifah Sjaifudian berharap untuk menginspirasi perubahan dan perkembangan yang akan melahirkan SDM yang tidak hanya cerdas, tapi juga tangguh dan siap menghadapi tantangan masa depan.

Baca Selengkapnya

BERITA

PR Kemendikbud di Hardiknas: Kurikulum Merdeka, UKT, Hingga Kesejahteraan Guru-Dosen

Oleh

Fakta News
PR Kemendikbud di Hardiknas: Kurikulum Merdeka, UKT, Hingga Kesejahteraan Guru-Dosen
Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih. Foto : DPR RI

Jakarta – Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih menyoroti maraknya kegelisahan masyarakat terhadap perubahan sistem pendidikan terkini. Baginya, isu ini harus jadi fokus utama pemerintah karena sektor ini krusial bagi masa depan bangsa.

“Momentum peringatan Hari Pendidikan Nasional ke-65 saat ini harusnya menjadi bahan evaluasi Kemendikbud RI khususnya dalam menyikapi kontroversi yang muncul,” tutur Fikri melalui rilis yang disampaikan kepada Parlementaria, di Jakarta, Kamis (2/5/2024).

Salah satu isu yang mencuat adalah soal penerapan kurikulum merdeka sebagai kurikulum resmi nasional, yang tertuang dalam Permendikbudristek nomor 12 tahun 2024. Kurikulum Merdeka diklaim lebih unggul daripada pendahulunya, yakni Kurikulum 2013, dan Kurikulum 2013 yang disempurnakan (2015),  kendati Kurikulum Merdeka merupakan modifikasi dari kurikulum darurat yang diluncurkan selama pandemi Covid-19 pada tahun ajaran 2020/2021.

“Beberapa pakar menilai, Kurikulum Merdeka belum layak dijadikan kurikulum nasional, karena belum dilengkapi dengan naskah akademik yang memuat filosofi Pendidikan dan kerangka konseptual yang menjadi dasar pemikiran kurikulum merdeka,” imbuh Politisi Fraksi PKS ini.

Sehingga, dirinya melanjutkan bahwa kurikulum merdeka belum teruji secara akademis menjadi solusi atas hilangnya pembelajaran (learning loss) selama pandemi Covid-19. “Lalu perlu dievaluasi apakah daerah secara merata mampu dan siap melaksanakan kurikulum baru ini?,” tanyanya.

Kendati demikian, Hasil PISA (Programme for International Student Assessment) tahun 2022 diklaim sebagai kesuksesan Kemendikbudristek menerapkan kurikulum darurat selama pandemi covid-19. Peringkat PISA Indonesia tahun 2022 naik 5 hingga 6 peringkat dibanding hasil PISA 2018 lalu.

“Namun, fakta lain menyebutkan skor PISA Indonesia tahun 2022 di bidang literasi membaca, matematika, dan sains juga menurun dibanding tahun 2018, jadi sudut pandang kesuksesan PISA relatif dilihat dari mana,” sela Fikri.​

Nuansa penerapan kurikulum baru ikut diramaikan narasi di media sosial soal kewajiban seragam baru bagi siswa sekolah dasar hingga menengah. “Padahal, ini akibat kurang sosialisasi. Sebenarnya, aturan seragam masih seperti yang lama sesuai Permendikbudristek 50 tahun 2022,” ungkap Politisi Fraksi PKS itu.

Masih terkait Kurikulum Merdeka, munculnya narasi penghapusan Pramuka sebagai ekstrakurikuler wajib di sekolah menimbulkan polemik. Di sisi lain, Kemendikbudristek membantah hal itu, dan menegaskan ekskul Pramuka tetap disediakan sekolah, hanya kepesertaannya menjadi sukarela bagi siswa.

Dirinya tetap menyayangkan hal itu, karena pramuka berkontribusi positif untuk mengembangkan Pendidikan karakter bangsa. “Secara historis, pramuka berperan besar dalam perjalanan bangsa sejak era kemerdekaan,” tegasnya.

Isu kesejahteraan profesi pendidik, seperti guru, dosen, dan tenaga kependidikan tak luput menjadi komplain di masyarakat. “Dua isu, yakni kejelasan status sebagai ASN-PPPK dan juga kesejahteraan pendidik dan tenaga kependidikan senantiasa menemani hari-hari kami sebagai legislator,” ungkapnya.

Ironisnya, ia mengaitkan kesejahteraan guru dan dosen dengan kemampuan menyekolahkan anak-anaknya di jenjang perguruan tinggi. “Sebagai pahlawan Pendidikan, mereka dihadapkan pada inflasi Pendidikan tinggi yang sangat besar, biaya UKT berlipat ganda seiring waktu,” urai Mantan Kepala Sekolah di salah satu SMK ini.

Contoh terbaru adalah soal kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di Universitas Jenderal Soedirman (UnSoed) yang isunya melonjak hingga 100 persen, imbas penerapan Permendikbudristek Nomor 25 Tahun 2020 Tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT) pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kemendikbud. “Pada akhirnya Unsoed meralat keputusannya, setelah didemo masyarakat,” ujar Fikri.

Masih terkait biaya Pendidikan tinggi yang kian tak terjangkau, Fikri menyoroti soal kerjasama penyedia pinjaman online (pinjol) dengan ITB. “Meski terlihat sebagai solusi pintas, namun pembayaran UKT melalui pinjol ini cenderung merugikan karena bunganya terlampau besar,” ujarnya.

Solusi yang paling tepat adalah mengatasi kesenjangan antara kebutuhan operasional perguruan tinggi negeri dengan pendapatan PTN, khususnya di luar APBN. “Sumber-sumber pendanaan PTN ini sebisa mungkin via kerja sama sponsor ketimbang membebani biaya pada mahasiswa, dan itu tanggung jawab pemerintah sebagai pengampu PTN di Indonesia sesuai amanat undang-undang,” jelasnya

Entah berhubungan atau tidak, Fikri menyinggung fenomena pinjol ilegal  yang banyak menjerat para guru. “Menurut data OJK, 43 persen korban pinjol illegal adalah guru, sungguh memprihatinkan.” terangnya.

Oleh karena itu, ia mendesak pemerintah untuk memberi solusi komprehensif untuk meningkatkan kesejahteraan guru, termasuk memberi keleluasaan kepada kalangan guru untuk dapat mengakses pembiayaan jangka pendek yang legal, ringan, dan mudah.

Baca Selengkapnya