Connect with us

YOGA FOR DILANS: MEMPERSATUKAN YANG TERABAIKAN

Penulis:
Farhan Helmy
Inisiator Perhimpunan Pergerakan DILANS-Indonesia

“Seseorang mencari sesamanya karena dia mencari dirinya, dan orang lain mencari sesamanya karena dia takut kehilangan dirinya. Cintamu yang buruk terhadap dirimu membuat kesendirian menjadi penjara bagimu.” -Nietzsche

SAYA ingin berbagai perenungan dan pengalaman setelah keenam kalinya menggelindingkan kegiatan Yoga untuk Penyandang Disabilitas dan Lansia (#Yoga4DILANS). Kemarin dengan peserta dan termasuk instruktur dan para pendukungnya diperkirakan sekitar 75 orang, https://www.instagram.com/reel/CjxtDrkPl5G/?igshid=NjZiMGI4OTY=

Saya bukan seorang Yogist, walau beberapa anggota keluarga besar ibu saya menjadi instruktur Yoga sudah lebih dari 10 tahun. Umumnya tidak sebagai profesional tetapi panggilan sebagai karma. Barangkali DNA yang mengalir untuk memberikan pengabdian sosial menjadikan masyarakat dan sekeliling menjadi sehat.

Tidak gampang untuk meyakinkan dunia yang menganggap setiap apa yang dilakukan sebagai kontestasi ideologi/keyakinan dibanding dengan perannya dalam kemanusiaan. Padahal peradaban dunia ini tercipta dari suatu interaksi yang dinamik dari keragaman. Tidak hanya manusianya, bahkan alam yang ditempatinyapun semakin meyakinkan kita bahwa tidak mungkin peradaban dibangun dalam pikiran tunggal.

Adik saya yang instruktur Yoga, sering mengeluh ketika banyak sahabat atau tetangganya yang muslim mempersoalkan kenapa sebagai seorang muslimah justru mempromosikan Yoga yang justru berasal dari tanah India yang notabene berasal dari praktek agama Hindu. Pertanyaannya tidak gampang, Bukan hanya di tanah air stigma itu dilekatkan, bahkan ditempat lahirnyapun demikian. Tidak ada salahnya soal ini, karena memang awalnya menjadi bagian dari ritual keagamaan.

Tetapi evolusinya sudah sedemikian rupa. Yoga moderen dipraktekkan dan diadaptasi di berbagai negara yang ditujukan dengan kesehatan tubuh maupun jiwa.

Orang tua kami lahir dari dua kultur yang berbeda. Ayah dengan pendidikan dan keluarga yang sangat kuat dalam memegang agama Islam bersatu dengan ibu yang memilki latar tradisi kuat “Sunda Wiwitan”. Keduanya telah mewariskan satu fondasi etika dalam memperlakukan diri dan Liyan, termasuk dalam beryoga.

LALU apa yang dipersatukan dalam kegiatan #Yoga4DILANS?

Saya tidak akan bosan mengatakan dalam setiap perbincangan bahwa saat ini warga penyandang disabilitas didunia sekitar 1 Milyar orang, dan meningkat setiap tahunnya (WHO), 23 juta orang diantaranya tinggal di bumi Indonesia yang kita cintai ini.

Lansia, penduduk berusia 60 tahun atau lebih, sedunia saat ini sekitar 1 Milyar, dan akan meningkat terus setiap tahunnya. Pada tahun 2030 diproyeksikan, 1 dari 6 orang adalah lansia (WHO, https://bit.ly/3ggrP7S). Di Indonesia sendiri diperkirakan sekitar 30 juta orang (BPS, 2021).

Bisa kita bayangkan bebannya bagi negara manapun kalau digabung keduanyĂ , sedunia sekitar 2 Milyar, di Indonesia sekitar 50 juta lebih.

Beban ini karenanya perlu diintervensi dalam suatu aksi yang masif oleh negara dimanapun, termasuk warganya. Kerumunan ini mungkin diantara jalan yang perlu dilakukan pada tataran mikro. Ini renungan dan catatan saya:

Pertama, inklusivitas dan restorasi perilaku Inilah kerumunan miniatur Indonesia yang inklusif yang mempersatukan penyandang disabilitas dan non-disabilitas yang tidak mempersoalkan latar belakang suku, agama, ras atau konstruksi sosial lainnya dalam suatu identitas. Tubuh, pikiran, dan jiwa (body, mind, soul) yang merupakan gerak yang selaras telah menjelma dalam interaksi para peserta untuk saling berbagi, menyemangati, dan mengenal sesama.

Tidak hanya itu. Kegiatan yang dilakukan dari taman ke taman memberikan pengalaman spiritual yang dalam. Relasi antara diri kita dengan sesama yang lain (Liyan) maupun alam, dan segala mahluk yang ada di atasnya bisa dirasakan kenapa eksistensi dan interaksinya harus dijaga dan dirawat.

Masing-masing saling bergantung. Bernafas untuk menghirup Oksigen (O2) memerlukan lingkungan yang sehat, demikian juga hirupan yang sama dari tumbuhan di sekeliling kita untuk menyerap Karbon Dioksida (CO2). Interaksi ini harus dalam suatu harmoni, yang satu saling menyempurnakan yang lainnya.

Tetapi seringkali yang kita lihat sebaliknya. Interaksi ini terganggu oleh perilaku berlebihan telah menyebabkan disharmoni, ketidakseimbangan yang berujung pada krisis.

Kita juga tidak merasa berterimakasih terhadap apa yang diberikan pada kita. Yang alami dirusak dengan apa yang disebut moderen. Tubuh menjadi ringkih dari pikiran dan apa yang selama ini dikonsumsi. Demikian juga empati terhadap sesama makin hari makin tergerus.

Beragama dan berkeyakinan sering nampak tidak terkoneksi dengan keseharian. Liyan bukan bagian dari kehidupan yang harus dijalankan.

Karenanya restorasi relasi ini penting untuk mengembalikan agar terjadi koreksi terhadap perilaku ini. Dalam pandangan saya yoga adalah refleksi untuk koreksi untuk itu. Saya pernah menuliskan soal ini, “Krisis dan Restorasi Relasi Nature, Culture dan Belief https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10226138950842945&id=1313539313

Kedua, mengatasi kekosongan dan kehampaan akan kesendirian. Tidak gampang menjalani keseharian bagi penyandang disabilitas dan lansia. Hidup semakin mahal, kemampuan fisik dan ekonomi makin menurun bagi sebagian besar diantara banyak kawan saya ini. Bahkan untuk menghadiri kegiatan inipun suatu perjuangan tersendiri.

Adanya kerumunan seperti ini membuka ruang untuk berinteraksi, bahwa kita tidak sendirian. Ini semacam “communal healing” sekaligus berujar pengalaman dan pengetahuan dalam mengatasinya.

Biasa dilakukan dalam tiga sesi: beryoga, berbagi pengetahuan dari para pakar dan praktisi,dan diakhiri dengan ramah tamah. Dan tentunya selain kami, juga peserta dapat mendokumentasikannya lewat foto dan video yang dishare di grup WA.

Ketiga, ruang publik sebagai ruang interaksi bukanlah ruang kosong. Beragam pertarungan kepentingan ada diatasnya. Ruang pertukaran untuk meyakinkan tentang tentang pentingnya suatu kebersamaan bahwa kita tidak hidup sendirian.

Karenanya kesetaraan menjadi salah satu fondasi penting kalau kita mau mengklaim sebagai kota yang inklusif. Semua peserta akan mengalami kesulitan untuk ikut serta dalam kegiatan ini manakala aksesibilitas terbatas.

Keempat, praktek keseharian yang sehat. Mendengar melihat langsung, termasuk merasakan apa yang saya alami sebagai difabel karena kecelakaan, sains kedokteran dan treatment pemulihannya masih belum semaju dibanding dengan apa yang dirasakan penderita.

Karenanya kehadiran para dokter dan terapis rehab medik memberikan juga inspirasi bagaimana mengatasi atau paling tidak umpan balik untuk menanganinya.

Paparan interaktif oleh Dr. dr. Sunaryati, Ketua Komite Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Santosa Bandung International Hospital tentang kebersihan dalam keseharian menarik untuk dipraktekan. Warga DILANS harus membiasakan mencuci tangan dengan sabun atau “hand sanitizer. Juga kebersihan bagi yang sudah bergantung pada popok.

Kebiasaan kecil ini, walaupun gampang sering diabaikan. Tetapi sangat penting dilakukan oleh siapapun, apalagi bagi kelompok yang rentan.

Kelima, pemberdayaan warga penyandang disabilitas dan lansia. Sebagian besar logistik untuk kegiatan ini diproduksi oleh warga DILANS yang dapat digolongkan sebagai UMKM bahkan industri kelas rumahan. Kaos diproduksi dari penyandang disabilitas. Konsumsi makanan dari suatu pojok UMKM di salah satu sudut kota Bandung, demikian pula berbagai perangkat yang digunakan.

Tentunya pemberdayaan dan relasi seperti ini harus dibangun. Banyak pelatihan yang dilakukan melalui berbagai program tidak secara langsung menciptakan lapangan pekerjaan yang dibutuhkan untuk menopang keseharian warga ini. Seringkali pelatihan pun dirancang sekedar memenuhi pemenuhan program, yang lebih mengedepankan kepentingan si pembuat program.

DEMIKIAN sekilas renungan dan catatan saya pada kegiatan #Yoga4DILANS dua hari lalu. Atas nama Pergerakan Disabilitas dan Lanjut Usia (DILANS) Indonesia mengucapkan banyak terimakasih atas partisipasi dan dukungan sehingga kegiatan rutin bulanan ini bisa terlaksana hingga kini.

Salam sehat selalu 🙏

#dilansindonesia #BandungInklusif #jabarjuara #ecosocrights #wargaaktifbirokratresponsif #Bandung212 #bbc76community

Baca Selengkapnya
Tulis Komentar

BERITA

Sudah Saatnya Sistem Zonasi dalam PPDB Dihapuskan

Oleh

Fakta News

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 14 tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) pada TK, SD,SMP, SMA, SMK atau bentuk lain yang sederajat, menelorkan kriteria seleksi masuk sekolah dengan mempertimbangkan urutan prioritas berupa usia dan jarak tempat tinggal ke sekolah sesuai dengan zonasi yang ditetapkan oleh pemerintah daerah sesuai kewenangannya (Sistem Zonasi).

PPDB bertujuan untuk menjamin penerimaan peserta didik baru berjalan secara objektif, transparan, akuntabel, nondiskriminatif, dan berkeadilan dalam rangka mendorong peningkatan akses layanan pendidikan. Namun dalam perjalananya apakah tujuan ideal dari PPDB menggunakan system zonasi tersebut sudah tercapai atau jsutru jauh panggang dari api?

Pertanyaan mendasar tentang penerapan sistem zonasi yang medasarkan pada upaya pemerataan pendidikan adalah apakah lokasi sekolah yang dibangun pemerintah sudah merata pada semua wilayah (anggaplah skala kecamatan) di Indonesia.

Bahwa faktanya pendirian sekolah (di setiap jenjang pendidikan) tidaklah didasarkan pada sebaran dan populasi penduduk, sehingga banyak dijumpai tidak meratanya sebaran sekolah di hampir setiap daerah. Satu sisi beberapa sekolah terdapat dalam satu wilayah (kecamatan), tapi banyak juga dalam satu desa/kelurahan dan kecamatan yang belum tersedia sekolah. Hal ini justru menyebabkan puluhan hingga ratusan calon peserta didik tidak mendaptkan sekolah dikarenakan “kalah” dalam konteks jarak rumah dengan sekolah yang jauh, di luar jarak zonasi yang diperkenankan.

Banyaknya calon siswa yang secara domisili jauh dari sekolah menyebabkan pupusnya kesempatan untuk bisa mengakses pendidikan secara layak, sesuai yang diamanatkan undang-undang. Fakta itu tidak saja di daerah terpencil ataupun luar jawa, bahkan di kota besar sekelas Surabaya juga masih dijumpai. Belum lagi munculnya fenomena pindah KK untuk bisa menjadi dasar untuk memenuhi kriteria zonasi. Ada yang pindah KK ke saudaranya, mencari tempat domisili (apartemen, beli/sewa rumah, dsb.) hingga tawaran pindah KK yang dilakukan oknum, calo, perantara dengan mematok tarif tertentu untuk bisa mengegolkan masuk ke sekolah yang diinginkan.

Atas polemik itu, dimuculkan kebijakan baru berupa jalur baru PPDB selain jalur zonasi, yakni jalur afirmasi (keluarga miskin), jalur prestasi (akademik) dan jalur prestasi non-akademik (olah raga, seni, budaya dsb.) yang persentasenya terus diutak-atik dengan pertimbangan yang kurang jelas. Apakah kebijakan tersebut tepat dan sesuai sasaran? .
Alih-alih memberikan solusi, tapi justru menambah permasalahan baru dalam dunia pendidikan. Awalnya sempat membuat lega dan menjadi oase bagi sebagian masyarakat yang berharap putra-putrinya tetap bisa masuk ke sekolah yang diinginkan, namun nyata justru menimbulkan permasalahan baru karena tidak semudah yang dibayangkan dalam mengakses “jalur alternatif” tersebut.

Beberapa kendala dan permasalahan ternyata sering muncul dan jadi rasan-rasan di kalangan Masyarakat terutama para ibu-ibu. Ada banyak sinyalemen dan desas-desus yang berkenbang mengenai sulitnya ditembus serta penyelewengan dari “jalur alternatif” tersebut. Jalur afirmasi khususnya bagi keluarga miskin (gakin, gamis, SKTM, KIS, KIP, dll) ternyata sulit diakses. Beberapa sekolah juga “enggan” untuk menerima dan memaksimalkan kuota untuk jalur gakin karena nantinya merka akan gratis dan tidak boleh dikenakan pungutan apapun. Ada juga kemunculan gakin baru/dadakan jelang PPDB.

Demikian halnya dengan jalur presetasi baik akademik maupun non akademik. Banyak yang merasa memenuhi kriteria, tapi dalam pengurusannya “dipersulit’ hingga batas pengajuan persyaratan yang diminta tidak bisa terpenuhi. Setali tiga uang, beberapa kabar yang beredar justru muncul anak-anak yang tiba-tiba “berprestasi” dan bisa masuk ke sekolah yang diinginkan. Maka muncullah banyak isu tak sedap tentang “permainan” hingga sejumlah nominal yang harus disiapkan untuk menebus jalur tersebut.

Ada pula fenomena munculnya jalur khusus, yakni “jalur rekom” yang bisa muncul mulai dari yang logis hingga yang tidak masuk akal. Yang logis semisal orang tua yang bekerja di wilayah dekat sekolah bisa meminta rekom agar anaknya bisa diterima di sekolah tersebut. Ada pula jalur rekomendasi mulai dari para pejabat di lingkup pemerintahan, maupun stakeholder pendidikan berbagai lini, yang berlangsung massif baik prodeo maupun “bertarif”. Tentunya hal tersebut berlangsung ekslusif, karen hanya orang-orang tertentu yang mempunyai akses dan koneksi erat saja yang bisa memanfaatkannya.

Semua sinyalemen dan desas-desus tersebut memang sulit dibuktikan hingga ke ranah hukum namun seperti sudah menjadi rahasia umum di masyarakat. Sistem Zonasi dalam PPDB yang ditujukan untuk pemerataan pendidikan justru dalam prakteknya memunculkan berbagai permasalahan yang menambah carut marut permasalahan di dunia pendidikan. Amanat untuk menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen Pendidikan telah gagal diwujudkan. Sudah saatnya sistem zonasi dalam PPDB dengan pertimbangan utama jarak rumah siswa dengan sekolah, dihapuskan, dikembalikan pada sekolah dengan mempertimbangkan aspek sosial kemasyakartan, kompetensi, ketersediaan kuota, prestasi, dan keadilan.

Pemerintah hendaknya melaksanakan tugas utamanya mencerdaskan kehidupan bangsa dengan lebih fokus pada penggodokan kurikulum pendidikan yang lebih canggih dan modern untuk dapat mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat sehingga potensi peserta didik dapat berkembang agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

 

Radian Jadid
*Kepala Sekolah Rakyat Kejawan
*Wakil Sekretaris LKKNU PW Jatim
*Ketua Harian Paguyuban Angkatan 93 ITS

Baca Selengkapnya

BERITA

Wacana Kenaikan Tarif KRL Ancam Kesejahteraan Ekonomi Masyarakat Berpenghasilan Rendah

Oleh

Fakta News
Wacana Kenaikan Tarif KRL Ancam Kesejahteraan Ekonomi Masyarakat Berpenghasilan Rendah
Anggota Komisi V DPR RI Toriq Hidayat. Foto: DPR RI

Jakarta – Wacana kenaikan tarif Commuter Line oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI) akan menempatkan masyarakat Jabodetabek pada tantangan baru yang mengancam kesejahteraan ekonomi mereka. Hal tersebut pun lantas menuai sorotan dari Anggota Komisi V DPR RI Toriq Hidayat.

“Kenaikan tarif KRL Jabodetabek akan memberikan dampak yang signifikan. Terutama bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah (MBR). Kenaikan tarif bisa memperberat beban ekonomi mereka. Dan Ini juga dapat mengakibatkan kesenjangan sosial dan ekonomi yang lebih besar,” ujar Toriq dalam siaran pers yang diterima Parlementaria, Senin (29/4/2024).

Politisi Fraksi PKS tersebut menegaskan bahwa kenaikan tarif tidak sejalan dengan kondisi ekonomi masyarakat, terutama masa pasca pandemi dan ketidakpastian ekonomi yang menyertainya. Dalam beberapa bulan terakhir, harga-harga bahan pokok terus melonjak secara dramatis.

“Kami tahu betul paska pandemi masyarakat terpaksa mengalokasikan sebagian besar pendapatan mereka hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar. Kenaikan tarif hanya akan menambah beban ekonomi mereka. Terutama mereka yang bergantung pada angkutan publik ini setiap hari,” tandasnya.

Terkait hal itu, Toriq menegaskan akan berupaya keras menyerukan kepada Kementerian Perhubungan selaku regulator agar mendengarkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Serta, kemudian meninjau kembali rencana kenaikan tarif ini dan mencari solusi yang lebih adil dan berkelanjutan.

“Kami akan terus memantau perkembangan situasi ini. Dan memastikan bahwa keputusan terkait tarif transportasi publik nantinya harus ada partisipasi aktif dari publik dan memperhitungkan kepentingan dan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh” tutup Toriq.

Sebagaimana diketahui, PT KAI Commuter (KCI) telah mengusulkan kenaikan tarif KRL Jabodetabek yang belum berubah sejak 2016. Saat ini usulan tersebut masih dibahas Pemerintah. Direktur Operasi dan Pemasaran KCI Broer Rizal mengatakan, pihaknya masih menunggu keputusan Pemerintah untuk menaikkan tarif KRL Jabodetabek.

Pasalnya, ketentuan tarif KRL Jabodetabek merupakan kewenangan Kemenhub selaku regulator. “Itu kebijakan dari Pemerintah ya. Kalau kami hanya eksekutor untuk melaksanakan apa yang menjadi keputusan Pemerintah. Usulan dan pembahasannya sudah dilakukan di Kemenhub,” ujarnya saat konferensi pers Angkutan Lebaran 2024 di Jakarta, Selasa lalu (24/4).

Baca Selengkapnya

BERITA

Sukamta: Kota Yogya Perlu Siapkan Peta Jalan Penanganan Sampah Jangka Panjang

Oleh

Fakta News
Sukamta: Kota Yogya Perlu Siapkan Peta Jalan Penanganan Sampah Jangka Panjang
Anggota DPR RI Sukamta. Foto: DPR RI

Jakarta – Anggota DPR RI dari Dapil Provinsi DIY Sukamta menilai Kota Yogyakarta perlu menyiapkan peta jalan (roadmap) untuk penanganan sampah jangka panjang yang menyangkut peningkatkan kasadaran masyarakat. Edukasi secara terus menerus harus dilakukan baik di sekolah, rumah tangga, dan masyarakat.

Tak hanya itu peraturan yang kuat untuk pengurangan sampah juga sangat dibutuhkan. Sukamta mencontohkan perlunya kebijakan kantong plastik berbayar atau larangan penggunaaan kantong belanja plastik sekali pakai. Adapun jangka pendeknya saat ini bisa dengan optimalisasi penampungan di TPST Piyungan.

“Kalau saya dengar, TPST ini kalau ada alat dan SDM yang memamadai masih bisa dimanfaatkan secara optimal untuk sementara waktu hingga 200-300 ton per hari. Pemkot bisa komunikasikan hal ini dengan Pemda DIY. Rencana optimalisasi 3 TPS 3R di Nitikan, Karangmiri dan Kranon bisa segera direalisasi, meski daya tampung 3 TPS ini masih terbatas,” kata Sukamta sebagaimana keterangan kepada media, di Jakarta, Kamis (25/4/2024).

Di sisi lain, Politisi Fraksi PKS ini, menilai di level provinsi, di area perkotaan saat ini masih sering ditemukan sampah di jalan maupun tempat penampungan yang penuh. Menurutnya, Pemerintah perlu memberikan honor kepada para petugas pengambil sampah sebagai salah satu upaya mencegah buang sampah sembarangan.

“Menurut kami perlu ada stimulan atau honor untuk para petugas pengambil sampah rumah tangga, di level RT, RW dan kampung. Ini supaya masyarakat tidak buang sembarangan,” kata Anggota Komisi I DPR RI tersebut.

Sukamta meyakini dengan adanya dana stimulan atau honor tersebut maka para petugas pengambil sampah akan menjalankan tugasnya dengan baik khususnya pengambilan sampah dengan sistem terpilah. “Selama ini warga sudah diminta memilah, akan tetapi (saat) di  (tempat) pembuangan dicampur lagi. Ini perlu jadi perhatian, sehingga perlu ada petugas khusus memilah,” ujarnya.

Sukamta menegaskan dirinya banyak mendapatkan aspirasi dari masyarakat terkait penanganan sampah di Jogja. Hal ini kembali mencuat setelah rencana penutupan TPST secara permanen, sehingga banyak ditemukan sampah di pinggir jalan, salah satunya di perbatasan antara Kota Jogja dengan Bantul atau sebelah utara Gembira Loka.

Baca Selengkapnya