Connect with us
DILANS-Indonesia

Inklusivitas Harus Dibangun dengan Contoh (Power by Example)

Penulis:
Farhan Helmy
Inisiator Perhimpunan Pergerakan DILANS-Indonesia

“kuterjemahkan tubuhku ke dalam tubuhmu

ke dalam rambutmu kuterjemahkan rambutku

jika tanganmu tak bisa bilang tanganku

kuterjemahkan tanganku ke dalam tanganmu

jika lidahmu tak bisa mengucap lidahku

kuterjemahkan lidahku ke dalam lidahmu

aku terjemahkan jemariku ke dalam jemarimu

jika jari jemarimu tak bisa memetikku

ke dalam darahmu kuterjemahkan darahku

kalau darahmu tak bisa mengucap darahku

jika ususmu belum bisa mencerna ususku

kuterjemahkan ususku ke dalam ususmu

kalau kelaminmu belum bilang kelaminku

aku terjemahkan kelaminku ke dalam kelaminmu

daging kita satu arwah kita satu

walau masing jauh

yang tertusuk padamu berdarah padaku”

Puisi, Aku, karya Sutardji Calzoum Bachri

PERUBAHAN perilaku memerlukan contoh, sekecil apapun itu. Dalam hemat saya tidak cukup hanya sekedar ajakan dialog online/ofline, flyer ataupun bentuk kampanye yang sering kita lihat selama ini.  Perlu gambaran yang lebih kongkrit tentang pesan dan ajakan yang ingin kita sampaikan, terutama dalam pemanfaatan berbagai fasilitas publik.

Ini pengalaman saya selama tiga tahun terakhir tinggal dan berinteraksi di kawasan Babakan Ciamis. Kawasan penduduk padat, terletak di tepian Sungai Cikapundung, lorong-lorong dimana-mana cukup banyak warga penyandang disabilitas dan lansia. Mungkin fakta otentik ini tak tergambarkan dalam statistik, yang konon jumlahnya sekitar 23 juta orang (Bappenas, 2021).

Di masa lalu kawasan ini dan sekitarnya memiliki jejak sejarah ruang yang tak terpisahkan dalam banyak sejarah pergerakan bangsa kini menuju Kemerdekaan. Dekat dengan Gedung Indonesia Menggugat dan diapit oleh Balai Kota Bandung, Rumah Dinas Gubernur Jawa Barat dan juga Rumah Dinas Panglima Kodam Siliwangi dan berbagai tempat ikonik lainnya.

Barangkali, kalau kawasan ini mau dipakai sebagai ukuran dalam melihat berbagai kinerja ataupun indikator pembangunan inklusif, akan terlihat banyak paradoksnya dan masih jauh dari harapan. Walaupun berbagai label penghargaan sudah banyak diperkenalkan: Kota Adipura, Kota Ramah Anak, Kota Ramah HAM, dan mungkin banyak lagi yang mungkin kita tidak tahu. Seakan-akan ada semacam kontestasi antar berbagai lembaga untuk melabel ruang sebagai “ramah” yang semestinya berlaku untuk suatu yang menyeluruh.

Kota inklusif atau kota untuk semua muaranya. Didalamnya berbagai elemen simbolik bisa ditempelkan baik lingkungan fisik, sosial maupun budaya interaksi sesama warga tanpa melihat latar belakang suku, agama/keyakinan, ras, bahkan kondisi fisik dari semua pengguna.

Trotoar adalah salah satunya. Pedagang Kaki Lima (PKL), pemilik rumah, pemilik Cafe, kantor pemerintah, gojek, para pengendara roda empat saling berebut ruang.

Walaupun kota Bandung pernah mendapatkan penghargaan Adipura, penghargaan yang sering dianggap sebagai kemajuan suatu kota dalam pengelolaan lingkungan yang sejak lama dikontestasikan

Saya tidak mengatakan tidak ada perubahan di kawasan ini, barangkali bisa jauh lebih perubahannya kalau dibenahi satu kawasan secara tuntas, sehingga kita memiliki cerita yang utuh manakala kita mengklaim bahwa suatu kota itu inklusif.

Tidak berhenti pada slogan!

Pengalaman dan Pembelajaran soal Inklusivitas

INI pengalaman yang saya alami kemarin, menelusuri jalur yang sama di Jalan Wastukencana, Bandung. Jalan yang semestinya menjadi satu contoh tatakelola yang baik karena letaknya bersebrangan dengan Gedung Balai Kota Bandung. Kalaupun semua kawasan di Bandung belum bisa dibenahi seluruhnya karena sumberdaya yang terbatas, mungkin kawasan ini yang bisa jadi contoh praktek bagaimana inklusivitas ini diwujudkan.

Pertama, trotoar di kawasan ini sering terganggu karena  banyak pemilik kendaraan roda empat dan roda dua parkir sembarangan menghalangi jalan yang secara rutin dilalui tidak saja pengguna yang “normal” tetapi yang mempunyai kendala fisik dalam mobilitas, seperti warga penyandang disabilitas dan lansia.

Situasi trotoar di Jalan Wastukencana Bandung.(Desember, 2021)

Kekacauan ini terutama karena banyak warga pengguna yang beraktivitas belum tercerahkan untuk memperlakukan ruang publik dengan beradab.

Saya selalu memperingatkannya tidak hanya pagi ini, tetapi beberapa kali saya posting ke FB dan disebarkan ke banyak grup sosial media. https://www.facebook.com/groups/638111136303901/permalink/5061507200630917/.

Selalu berulang. Sepertinya tidak digubris, menganggap trotoar adalah tempat yang semena-mena diperlakukan dengan sembarangan. Dianggap sebagai ruang privat yang tak terpisahkan pada semua fasilitas di depannya. Perbincangan ini sudah saya posting di FB khususnya sebagai literasi pada warga Bandung, https://m.facebook.com/groups/638111136303901/permalink/5061507200630917/

Saya dan kawan-kawan yang tergabung dalam Pergerakan DILANS-Indonesia selalu mengingatkan pada setiap pengguna trotoar.

Upaya ini seperti bak buah simalakama. Dipindahkan dari trotoar akan mengambil juga badan jalan raya. Apalagi saat ini sebagian ruasnya  sudah ditetapkan sebagai jalur sepeda.

Ibarat balon, dipencet disatu tempat, menggelembung di tempat lain.

Harapan saya ada upaya yang lebih komprehensif untuk menatanya. Paling tidak untuk kawasan yang bisa dijadikan contoh  kehidupan inklusif dipraktekan. Salah satunya mungkin disekitar Balai Kota, berbagi gedung, dan kawasan ikonik yang bisa dirangkaikan jadi suatu ceritera utuh komitmen dan praksis inklusivitas.

Dalam keseharian, saya melihat banyak juga kendaran dinas dari instansi pemerintah/perusahan yang diparkir sepanjang hari dan tidak digunakan. Saya rasa inisiatif ASN Pemkot Bandung bersepeda setiap hari Jumat, perlu diperluas. Perlu jadi keseharian, dan bukan sekedar himbauan.

Respon pada pencemaran udara, lingkungan, dan krisis iklim harus ditunjukkan pada setiap warga. Menjadi norma warga dalam keseharian di ruang publik. Bukan sekedar “fad”, gaya musiman. Apalagi menjadi ajang adu merek dan aksesoris yang dipakai.

Kedua, Cafe dan Restoran. Saya berkesempatan mengunjungi restauran dan cafe legendaris yang didirikan tahun 1928, Bandoengsche Melk Centrale (BMC).

BMC bukan tempat yang asing bagi keluarga saya.  Almarhum orang tua kebetulan tinggal tidak jauh dari tempat ini. Kakak dan adik saya sama-sama besar di kawasan ini. Karenanya sangat tahu persis perkembangan kawasan ini. Dari mulai TK, SD, SMP, dan SMA kami besar dan bermain di kawasan ini.

BMC baru sudah dilengkapi dengan ramp yang memudahkan penyandang disabilitas berkursi roda (11/03/2022)

Semua kegiatan dimasa kecil selalu berakhir dengan jamuan keluarga di tempat ini. Konon dimasa penjajahan Belanda, tempat inipun merupakan tempat yang selalu menjadi tempat kongkow birokrat maupun para wirausahawan.

Sebulan lalu, BMC drenovasi. Dengan tata letak, interior dan manajemen baru. Termasuk mulai banyak juga varian makanan sehat dengan chef yang handal: makanan tradisional, barat maupun coffee shop yang luar biasa kualitasnya.

Walaupun tidak sepenuhnya bisa dikatakan ramah untuk penyandang disabilitas dan lansia, ada perubahan yang menarik. Ramp untuk kursi roda sudah ada, katanya juga toilet mudah diakses. Sayang saya belum punya kesempatan untuk mencobanya.

Saya berbincang dengan Food and Beverage (F&B) Managernya yang sangat ramah dan terbuka. Saya menyampaikan usulan untuk melengkapinya agar betul-betul BMC jadi contoh dalam mempraktekan tempat kerumunan inklusif. Selain dilengkapi fasilitas fisiknya dengan halaman parkir yang khusus untuk warga difabel, ada “guiding block” dari jalan, berbagai penanda lainnya, juga yang non -fisiknya dalam pelayanan. Ada pelayan yang bisa berbahasa isyarat, sehingga kawan saya yang difabel wicara/runggu bisa berkomunikasi. Kedepan juga bisa menampung beberapa pekerja penyandang disabilitas.

Saya berjanji melalui organisasi Pergerakan DILANS-Indonesia akan mempromosikannya, sehingga tidak hanya warga penyandang disabilitas domestik tapi  mancanegara. Kota Bandung sudah punya jejak sejarah sebagai ibukota Asia-Afrika sejak dideklarasikan Dasa Sila Bandung pada tahun 1955. Sejarah lebih dari 65 tahun lalu harus dirajut kembali dengan berbagai nilai universal, yang semakin hari semakin luntur.

Soal Penghargaan Kota Inklusif

ADA yang menganggap apa yang sering saya jumpai di di trotoar ini soal kecil. Kalau dilihat dengan teropong mikro perilaku di tingkat tapak ini soal besar. Sumber persoalannya bisa datang dari kebijakan penataan ruang, perilaku para pembangun/pemborong, dan juga kekosongan dalam  penegakan hukum. Berbagai kejelasan ini penting untuk warga, kalau seandainya kita ingin membangun nilai dan etika publik yang dipraktekan dalam keseharian.

Karenanya saya rutin berkeliling dan bersilaturahim kepada berbagai organisasi, tokoh, dan individu dengan latar belakang apapun untuk membangun etika publik yang sehat. Kita harus sama-sama membangun literasi publik, memelihara, dan menjaganya.

Secara khusus, saya sampaikan juga ke Kang Rachmat Witoelar, mantan Menteri Lingkungan Hidup di era Pemerintahan SBY, yang saat ini menjadi anggota kehormatan penghargaan kota Adipura. Beliau mantan boss dan mentor yang luar biasa juga semasa saya di Dewan Nasional Perubahan Iklim(DNPI).

Bersama Kang Rachmat Witoelar, mantan Menteri KLH (20/01/2022)

Adipura perlu diredefinisi dan diperluas maknanya, tidak hanya sekedar untuk penghargaan pada kebersihan serta pengelolaan lingkungan perkotaan.

Program Adipura telah dilaksanakan setiap tahun sejak 1986 perlu mencakup dimensi inklusi sosial dimana didalamnya mencakup perlakuan yang layak untuk warga penyandang disabilitas dan lansia.

“Kota Bersih dan Teduh” harus juga diperluas mencakup praktek dengan menggunakan prinsip-prinsip “universal design” dalam setiap kebijakan, perancangan, dan aksinya.

Pesan serupa saya sampaikan ke petinggi di jajaran Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan(KLHK) yang secara langsung menangani programnya.

Pembelajaran dari Brazil

Mungkin perlu dicontoh apa yang dilakukan oleh Jaime Lerner, arsitek dan perencana terkenal yang menjabat tiga periode sebagai walikota Curitiba, Brasil dan dua periode sebagai gubernur negara bagian Paraná. Pengalaman luar biasanya dia tuliskan dalam bukunya yang diterjemahkan kedalam Bahasa Inggris, Urban Acupuncture (2014).

Mungkin beliau terinspirasi secara mendalam baik filosofis dan teknis cara metoda akupuntur bekerja. Menujamkan jarum dititik-titik inti jaringan darah dari suatu metabolisme tubuh.

Buku yang mencerahkan dan layak dibaca oleh para penentu kebijakan kota

Kalaulah kota kita analogikan sebagai suatu jejaring titik akupuntur dalam suatu metabolisme gerak dinamik suatu kota, barangkali pendekatan ini perlu dicoba di tanah air oleh para perancang kota dan penyusun kebijakan.

Ambisi besar-besaran untuk menuntaskan persoalan kota seringkali dihadapkan dengan keterbatasan waktu para walikotanya untuk menggulirkan gagasan-gagasan progresif. Gairah untuk serba cepat, “quick win” seringkali terputus dan tidak berkelanjutan.

Lerner melakukan pendekatan lain. Suatu kawasan dijadikan titik akupuntur untuk mentransformasikan kotanya. Pun begitu, ia perlu waktu tiga periode untuk membangunnya.

Terobosannya telah banyak menginspirasi banyak kota di dunia. Berbagai penghargaan internasional telah diraihnya termasuk dianggap sebagai salah satu pemikir yang berpengaruh di tahun 2010an yang dinominasikan majalah Times.

Kota Bandung bisa meniru praktek baik dari Brazil. Tidak perlu membangun total, menata ulang yang sudah ada di kawasan sekitar Balai Kota bisa menjadi inspirasi untuk kawasan padat lainnya. Sebagai permulaan perlu dijajal. Upaya transformasional lainnya mungkin masih perlu waktu. Yang penting, kita punya contoh. Bagaimana kota inklusif itu diwujudkan dan menyambungkan warga yang ada disekitarnya dan bukan mengisolasinya.

Saya berharap para sahabat yang membaca tulisan ini menyebarkannya sebagai bagian dari literasi publik pada kerabat terdekat.  Jangan sungkan mengambil juga video/fotonya kalau menemui berbagai situasi ketidaknyamanan di ruang publik dan membagikannya. Barangkali dengan begitu kita bisa saling mengingatkan dan memperbaikinya bersama.

Demikian berbagi di akhir pekan ini. Berharap bisa menginspirasi kawan-kawan dimanapun berada untuk mendorong perubahan di sekeliling kita, contoh adalah kekuatan yang dasyat. Mungkin kutipan puisi Sutardji diatas mengingatkan saya dan sekaligus bisa diinterpretasikan sebagai pemihakan pada kehidupan inklusif:”

“yang tertusuk padamu berdarah padaku”

Selamat berakhir pekan. Salam sehat dan bahagia selalu 🙏

 

Tentang Penulis

Farhan Helmy adalah Anggota Climate Reality Leaders Corps, yang dalam kesehariannya menjadi Kepala Sekolah Thamrin School of Climate Change and Sustainability, suatu komunitas multi pihak yang mendalami isu tatakelola perubahan iklim dan keberlanjutan. Farhan baru saja terpilih sebagai Presiden Pergerakan Disabilitas dan Lansia(DILANS)-Indonesia, 2022-2024. Profil lengkapnya bisa diakses di farhanhelmy.carrd.co.

#DiLANSIndonesia

Baca Selengkapnya
Tulis Komentar

BERITA

Wacana Kenaikan Tarif KRL Ancam Kesejahteraan Ekonomi Masyarakat Berpenghasilan Rendah

Oleh

Fakta News
Wacana Kenaikan Tarif KRL Ancam Kesejahteraan Ekonomi Masyarakat Berpenghasilan Rendah
Anggota Komisi V DPR RI Toriq Hidayat. Foto: DPR RI

Jakarta – Wacana kenaikan tarif Commuter Line oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI) akan menempatkan masyarakat Jabodetabek pada tantangan baru yang mengancam kesejahteraan ekonomi mereka. Hal tersebut pun lantas menuai sorotan dari Anggota Komisi V DPR RI Toriq Hidayat.

“Kenaikan tarif KRL Jabodetabek akan memberikan dampak yang signifikan. Terutama bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah (MBR). Kenaikan tarif bisa memperberat beban ekonomi mereka. Dan Ini juga dapat mengakibatkan kesenjangan sosial dan ekonomi yang lebih besar,” ujar Toriq dalam siaran pers yang diterima Parlementaria, Senin (29/4/2024).

Politisi Fraksi PKS tersebut menegaskan bahwa kenaikan tarif tidak sejalan dengan kondisi ekonomi masyarakat, terutama masa pasca pandemi dan ketidakpastian ekonomi yang menyertainya. Dalam beberapa bulan terakhir, harga-harga bahan pokok terus melonjak secara dramatis.

“Kami tahu betul paska pandemi masyarakat terpaksa mengalokasikan sebagian besar pendapatan mereka hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar. Kenaikan tarif hanya akan menambah beban ekonomi mereka. Terutama mereka yang bergantung pada angkutan publik ini setiap hari,” tandasnya.

Terkait hal itu, Toriq menegaskan akan berupaya keras menyerukan kepada Kementerian Perhubungan selaku regulator agar mendengarkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Serta, kemudian meninjau kembali rencana kenaikan tarif ini dan mencari solusi yang lebih adil dan berkelanjutan.

“Kami akan terus memantau perkembangan situasi ini. Dan memastikan bahwa keputusan terkait tarif transportasi publik nantinya harus ada partisipasi aktif dari publik dan memperhitungkan kepentingan dan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh” tutup Toriq.

Sebagaimana diketahui, PT KAI Commuter (KCI) telah mengusulkan kenaikan tarif KRL Jabodetabek yang belum berubah sejak 2016. Saat ini usulan tersebut masih dibahas Pemerintah. Direktur Operasi dan Pemasaran KCI Broer Rizal mengatakan, pihaknya masih menunggu keputusan Pemerintah untuk menaikkan tarif KRL Jabodetabek.

Pasalnya, ketentuan tarif KRL Jabodetabek merupakan kewenangan Kemenhub selaku regulator. “Itu kebijakan dari Pemerintah ya. Kalau kami hanya eksekutor untuk melaksanakan apa yang menjadi keputusan Pemerintah. Usulan dan pembahasannya sudah dilakukan di Kemenhub,” ujarnya saat konferensi pers Angkutan Lebaran 2024 di Jakarta, Selasa lalu (24/4).

Baca Selengkapnya

BERITA

Sukamta: Kota Yogya Perlu Siapkan Peta Jalan Penanganan Sampah Jangka Panjang

Oleh

Fakta News
Sukamta: Kota Yogya Perlu Siapkan Peta Jalan Penanganan Sampah Jangka Panjang
Anggota DPR RI Sukamta. Foto: DPR RI

Jakarta – Anggota DPR RI dari Dapil Provinsi DIY Sukamta menilai Kota Yogyakarta perlu menyiapkan peta jalan (roadmap) untuk penanganan sampah jangka panjang yang menyangkut peningkatkan kasadaran masyarakat. Edukasi secara terus menerus harus dilakukan baik di sekolah, rumah tangga, dan masyarakat.

Tak hanya itu peraturan yang kuat untuk pengurangan sampah juga sangat dibutuhkan. Sukamta mencontohkan perlunya kebijakan kantong plastik berbayar atau larangan penggunaaan kantong belanja plastik sekali pakai. Adapun jangka pendeknya saat ini bisa dengan optimalisasi penampungan di TPST Piyungan.

“Kalau saya dengar, TPST ini kalau ada alat dan SDM yang memamadai masih bisa dimanfaatkan secara optimal untuk sementara waktu hingga 200-300 ton per hari. Pemkot bisa komunikasikan hal ini dengan Pemda DIY. Rencana optimalisasi 3 TPS 3R di Nitikan, Karangmiri dan Kranon bisa segera direalisasi, meski daya tampung 3 TPS ini masih terbatas,” kata Sukamta sebagaimana keterangan kepada media, di Jakarta, Kamis (25/4/2024).

Di sisi lain, Politisi Fraksi PKS ini, menilai di level provinsi, di area perkotaan saat ini masih sering ditemukan sampah di jalan maupun tempat penampungan yang penuh. Menurutnya, Pemerintah perlu memberikan honor kepada para petugas pengambil sampah sebagai salah satu upaya mencegah buang sampah sembarangan.

“Menurut kami perlu ada stimulan atau honor untuk para petugas pengambil sampah rumah tangga, di level RT, RW dan kampung. Ini supaya masyarakat tidak buang sembarangan,” kata Anggota Komisi I DPR RI tersebut.

Sukamta meyakini dengan adanya dana stimulan atau honor tersebut maka para petugas pengambil sampah akan menjalankan tugasnya dengan baik khususnya pengambilan sampah dengan sistem terpilah. “Selama ini warga sudah diminta memilah, akan tetapi (saat) di  (tempat) pembuangan dicampur lagi. Ini perlu jadi perhatian, sehingga perlu ada petugas khusus memilah,” ujarnya.

Sukamta menegaskan dirinya banyak mendapatkan aspirasi dari masyarakat terkait penanganan sampah di Jogja. Hal ini kembali mencuat setelah rencana penutupan TPST secara permanen, sehingga banyak ditemukan sampah di pinggir jalan, salah satunya di perbatasan antara Kota Jogja dengan Bantul atau sebelah utara Gembira Loka.

Baca Selengkapnya

BERITA

Pemerintah Perlu Lakukan Dialog Multilateral Redam Konflik di Timur Tengah

Oleh

Fakta News
Pemerintah Perlu Lakukan Dialog Multilateral Redam Konflik di Timur Tengah
Anggota Komisi I DPR RI Helmy Faishal Zaini. Foto: DPR RI

Jakarta – Anggota Komisi I DPR RI Helmy Faishal Zaini meminta pemerintah melakukan upaya untuk meredam konflik yang ada di Timur Tengah, salah satu caranya melalui jalur diplomasi.

“Pemerintah perlu mengambil pendekatan diplomasi yang kuat dengan mempromosikan perdamaian dan menekankan pentingnya dialog multilateral,” kata Anggota Komisi I DPR RI Helmy Faishal Zaini dalam keterangan kepada media, di Jakarta, Sabtu (27/4/2024).

Menurut Helmy, konflik tersebut harus diredam lantaran dampaknya sangat berpengaruh ke Indonesia, salah satunya dari segi perekonomian. “Stabilitas perekonomian Indonesia bisa terganggu lantaran terjadi fluktuasi harga minyak dan gangguan dari segi perdagangan,” ujar Politisi Fraksi PKB ini.

Jika kondisi ini dibiarkan, dia meyakini masyarakat akan merasakan dampak langsung lantaran tercekik harga kebutuhan pokok yang melambung. “Dengan memperkuat kerja sama internasional, meningkatkan keamanan domestik, dan memperkuat resiliensi ekonomi, Indonesia dapat mengurangi dampak negatif dari konflik di Timur Tengah,” kata Helmy.

Senada, Anggota Komisi I DPR RI Muhamad Farhan menjelaskan dampak dari konflik di Timur Tengah yang harus diwaspadai Indonesia.

Beberapa di antaranya terhambatnya impor minyak mentah dan bahan pangan dasar seperti beras, kedelai, dan gandum, jika perairan Teluk Persia, Hormuz dan Suez terganggu akibat dampak konflik itu. “Sebab akan mempengaruhi arus masuk kebutuhan pokok, akibatnya harga akan naik dan inflasi tinggi,” kata Farhan.

Maka dari itu, kata dia, Indonesia juga perlu melakukan antisipasi dengan mengeluarkan kebijakan ekonomi guna menghindari harga pangan yang tinggi.

Di tengah agresi Israel ke Jalur Gaza yang terus berlangsung sejak 7 Oktober 2023, kata Farhan, kawasan Timur Tengah semakin memanas akibat eskalasi perseteruan antara Iran dan Israel.

Permusuhan terbaru antara kedua musuh bebuyutan tersebut dipicu serangan Israel terhadap Konsulat Iran di Damaskus, Suriah pada 1 April lalu.

Iran menuding Israel bertanggung jawab atas serangan fatal terhadap fasilitas diplomatiknya yang menewaskan sedikitnya tujuh anggota Korps Garda Revolusi Islam Iran, termasuk dua jenderal penting.

Iran kemudian melancarkan serangan balasan dengan menembakkan puluhan rudal balistik dan ratusan pesawat nirawak ke Israel pada 13 April. Israel mengklaim serangan itu berhasil digagalkan dan hanya menyebabkan kerusakan ringan pada sebuah pangkalan militernya.

Baca Selengkapnya