Connect with us
DILANS-Indonesia

DILANS-Indonesia: Nihil de Nobis, Sine Nobis

Penulis:
Farhan Helmy
Inisiator Perhimpunan Pergerakan DILANS-Indonesia

Slogan “Nihil de Nobis, Sine Nobis” sangat populer di masa lalu. Diterjemahkan kedalam bahasa Inggris dengan frasa ‘Nothing about Us without Us”, dan secara luas dipopulerkan ke Bahasa Latin dengan ungkapan “Nihil de nobis, sine nobis”. Konon ini berasal dari tradisi politik di sebagian besar kawasan Eropa Tengah setelah peralihan bentuk kerajaan dimana raja sebagai pemegang otoriitas tertinggi ke bentuk negara yang lebih demokratis, dimana suara warga  diwakilkan di parlemen.

Slogan ini kemudian menjadi norma dalam kehidupan demokrasi dan meluas ke berbagai pengambilan keputusan dan penyusunan kebijakan terhadap berbagai aspirasi kelompok kepentingan yang diwakilinya atau terpengaruh, khususnya kelompok yang terpinggirkan secara politik, ekonomi, sosial dan budaya.

Tradisi partisipasi, dan keterlibatan langsung serta penuh sudah berakar lama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di masa lalu. Sesuatu yang sudah berakar lama ini dijadikan pengingat  tatakelola pemerintahan dalam  membangun kesetaraan dan inklusivitas warganya.

Slogan ini terus berevolusi dipakai juga oleh para aktivis penyandang disabilitas di tahun 1990an. PBB pertama kali menggunakannya sebagai tema pada peringatan Hari Penyandang Disabilitas International pada tahun 2004 dan menjadi slogan yang terus digunakan termasuk dalam Konvensi PBB tentang Penyandang Disabilitas yang ditetapkan tahun 2007.

Itulah yang menjadi alasan saya mengartikulasikannya pada International Seminar on Sharpening Urban 20 Issues Notes, “Strengthening the Role of Cities in Handling Climate and Pandemic Crisis”, 2 Maret lalu di Bandung. Pertemuan yang difasilitasi oleh Ikatan Ahli Perencaaan Wilayah dan Kota (IAP) bekerjasam dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat terkait dengan pembahasan isu yang akan dielaborasi pada pertemuan negara-negara G20 di Bali bulan November tahun ini.

Saya memberikan paparan dengan judul, “Seeing Urban Mobility from Sidewalks: Barriers and Potentials in Applying Universal Design”. Paparan yang merupakan refleksi kritis terhadap isu disabilitas dan lansia dimana saya menjalaninya sendiri sejak lima tahun lalu sebagai penyandang disabilitas.

Tiga Catatan Kritis soal Representasi

Representasi kepentingan yang diartikulasikan oleh lembaga negara maupun non-negara seringkali meleset dari realitas lapangan.

Ada tiga hal yang saya sampaikan pada sesi mobilitas perkotaan: pertama,  partisipasi penuh dan langsung dari warga penyandang disabilitas. Dengan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi bukanlah menjadi penghalang saat ini. Berkembangnya berbagai platform sosial media bisa menjadi tanda dan sekaligus penda bahwa suara-suara yang diperbincangkan tidak hanya terbatas pada aktor negara dan non-negara yang mengganggap memahami isu.yang dirasakan langsung oleh kelompok yang terpengaruh.

Saya memberikan fakta-fakta otentik lapangan terhadap banyaknya kendala bagi penyandang disabilitas dan lansia dalam mengakses fasilitas publik. Aksesibilitas terhadap berbagai gedung pemerintah, kawasan parawisata, restoran/cafe, tempat peribadatan, berbagai produk dan jasa layanan. Begitupun dalam konsumsi barang dan jasa keseharian seringkali menjadi beban yang berat, selain harga yang tak terjankau oleh kebanyakan warga ini juga seringkali materialnya tidak ramah.

Trotoar sebagai representasi ruang publik salah gambaran yang gamblang dalam keseharian dimana aksesibilitas penyandang disabiltas dan lansia di hampir sebagain besar kawasan kota sangat minim dan cenderung karikatif.

Kalaupun ada, seringkali terbatas pada sebagian besar jalan utama dan terputus koneksinya dengan domisili sebagian besar unummnya para warga ini tinggal, di permukiman padat.

Jumlah penyandang disabilitas dan lansia di Indonesia berdasarkan statistik terkini diperkirakan jumlahnya lebih lebih dari 60 juta orang dengan komposisi 23 juta lebih penyandang disabilitas, dan 30 jutaan lebih lansia (BPS, 2020). Khusus untuk penyandang disabilitas diperkirakan lebih dari 1 milyar.

Penyandang disabilitas adalah orang yang “memiliki masalah pada fungsi atau struktur tubuh, keterbatasan aktivitas, mengalami kesulitan dalam melaksanakan tugas atau tindakan”. Dari jumlah itu, statistik global lebih lanjut menguraikan 20% di antaranya hidup dengan kesulitan fungsional yang besar dalam kehidupan sehari-hari mereka, 253 juta orang terkena kebutaan dan gangguan penglihatan (3,2% dari populasi dunia), 466 juta orang mengalami ketulian dan gangguan pendengaran (6% dari populasi dunia). Sekitar 200 juta orang digolongkan disabilitas intelektual (IQ di bawah 75, 2,6% dari populasi dunia), dan 75 juta orang membutuhkan kursi roda setiap hari atau sekitar 1% dari populasi dunia (WHO, 2019).

Dalam konteks yang lebih luas seperti isu krisis iklim yang sudah kita rasakan dampaknya hingga kini yang ditunjukkan dengan berbagai bencana hidrometereologis warga DlLANS menjadi bagian bagian yang sangat rentan. Tidak ada krisis iklimpun berbagai kendala sudah menyertai. Mobilitas terganggu karena minimnya berbagai fasilitas publik. Resiliensinya lebih rendah dibanding dengan kelompok lain yang lebih bisa menyesuaikan diri.

Kedua, tata kelola penanganan isu penyandang disabilitas dan lansia. Berbagai konvensi PBB secara lugas telah menyatakan keberpihakannya pada berbagai isu yang terkait: HAM, penyandang disabilitas, perubahan iklim, sasaranpembangunan berkelanjutan (SDGs), dan pengurangan resiko bencana (Disaster Risk Reduction).  Dan puncaknya dengan disepakatinya Persetujuan Paris oleh seluruh negara yang tergabung dalam Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 2015.

Di tingkat nasional, Indonesia sudah  memiliki landasan normatif yang luar biasa selain dari UUD’45. UU 13/1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, UU 29/1999 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi, UU 39/1999 tentang HAM, UU 11/2005 tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, UU 12/2005 tentang Hak Sipil dan Politik, UU 11/2009 tentang Kesejahteraan Sosial, serta UU 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas. Sebagian UU ini bahkan sudah diturunkan dalam peraturan yang lebih teknis di Kementrian dan Lembaga Terkait.

Secara normatif berbagai fondasi ini secara ekplisiit sebenarnya kita sudah melandaskan pada “pembangunan berbasis hak”. Itu artinya kita sudah berada pada jalur yang benar bersama dengan negara-negara yang menjalankan kebijakan ekonomi dalam suatu kesatuan tak terpisahkan. Tidak berilusi menjalankannya sebagai proses sekuensial: pembangunan ekonomi dulu, lalu kehidupan sosial belakangan.

Ketiga, penerapan prinsip Universal Design. Dalam kontek praksis aksesibilitas ruang bersama secara internasional telah mempromosikan berbagai prinsip ini menjadi panduan praktis.

Paling tida ada tujuh prinsip yang bisa dipakai: penggunaaan yang merata (equitable use), fleksibilitas dalam penggunaan (flexibility in use), sederhana dan intuitif (simple intuitive use), informasi yang terlihat (perceptible information), toleransi kesalahan (tolerance for error), upaya fisik yang rendah (low physical effort), dan ukuran yang sesuai (appropriate size). Secara ringkas masing-masing dapat diuraikan sebagai berikut:

  • Penggunaan yang merata (equitable use) dimaksudkan agar berguna dan dapat dipasarkan untuk semua kelompok pengguna.
  • Fleksibilitas dalam penggunaan (flexibility in use) memungkinkan desain mengakomodasi berbagai preferensi dan kemampuan individu sehingga memberikan pilihan metode penggunaan yang akurat dan presisi dan pengguna dapat mengadaptasi dengan cepat.
  • Penggunaan sederhana dan Intuitif (simple intuitive use) memungkinkan desain mudah dipahami pengguna terlepas dari pengalaman, pengetahuan, keterampilan bahasa, atau tingkat konsentrasi pengguna saat ini.
  • Informasi yang terlihat (perceptible information) memungkinkan desain mengkomunikasikan informasi yang diperlukan secara efektif kepada pengguna, terlepas dari kondisi sekitar atau kemampuan sensorik pengguna. menggunakan mode yang beragam secara bergambar, verbal, atau bentuk penyajian lainnya yang efektif dan tidak berlebihan.
  • Toleransi kesalahan (tolerance for error), desain harus  meminimalkan bahaya dan konsekuensi yang merugikan dari tindakan yang tidak disengaja.
  • Upaya fisik rendah (lower physical effort), desain dapat digunakan secara efisien dan nyaman serta dengan, dan tidak menguras energi fisik tubuh secara berlebihan.
  • Ukuran dan ruang (appropiate space and size) yang sesuai dirancang sedemikian rupa sehingga tak terganggu penggunaannya terlepas dari ukuran tubuh, postur, atau mobilitas pengguna.

Krisis Iklim, Mobilitas Urban dan DILANS

Penundaan berbagai komitmen negara-negara dalam memenuhi sasaran Persetujuan Paris bagi banyak pihak sangat mengecewakan. Tidak sejalan dengan apa yang diperingatkan oleh para ilmuwan yang sudah banyak mengeluarkan laporan kredibel dalam suatu proses yang panjang dari proses Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC). Saya berasosiasi dengan pandangan ini.

Aksi yang ambisius dan progresif untuk mempertahankan kenaikan suhu rerata 1.5 derajat Celcius dibandingkan dengan suhu bumi sebelum pra industri abad 18 di akhir abad ini hanya mungkin dicapai apabila ada jalan yang konsisten untuk memenuhinya. Tahun 2030 dan  2050 adalah tonggaknya.

Tahun 2030 mensyaratkan total emisi globalberkurang setengahnya, sedangkan tahun 2050 bumi harus berada pada kondisi “net-zerro”. Pada tahun 2050 bumi mencqpai keseimbangan dimana emisi yang dikeluarkan akan mampu dikompensasi dengan berbagai upaya mitigasi dan perubahan perilaku yang rendah emisi.

Perbaikan berbagai komitmen beberapa negara terkini sejak pertama kalinya Nationally Determined Contributions (NDC) disampaikan setelah Persetujuan Paris disampaikan, agregrat global masih pada kisaran rerata 2.7 derajat Celsius diakhir abad ini (UNEP, 2022). Walaupun ada kemajuan komitmen dibandingkan pada submisi pertama pada kisaran rerata diatas 3 derajat, masih jauh dari harapan yang dituntut PA.

Periode emas menuju 2030, mungkin akan terkesampingkan. Rentang delapan tahun yang tersisa tidak akan termanfaatkan apabila tidak ada komitmen yang serius dan konsisten menjalankanya.

Apakah masih ada optimisme dengan situasi ini dalam rentang waktu yang sempit ini?

Selalu banyak jalan menuju Roma kalau kata orang bijak seberapa besarpun tantangannya.

Mengintegrasikan prinsip “Universal Design” mutlak dilakukan dalam dua aras berikut: pertama, koherensi agenda dan kebijakan melalui interpolasi dari komitmen internasional yang sudah disepakati dan diturunnkan dalam kebijakan nasional maupun maupun ekstrapolasi artikikulasi kepentingan nasional ke tingkat global. Khususnya yang terkait dengan upaya untuk menangani kelompok rentan.

Kedua, keterlibatan aktor non-negara menjadi sangat penting dan signifikan. Lebih dari 80 persen mobilisasi sumberdaya berada diluar aktor negara atau non-state party.  Berbagai skema pendanaan dapat dikembangkan pada skala yang pengaruh dari konflik kepentingnya tidak begitu keras seperti pada skala nasional. Kota adalah kawasan yang sangat ideal untuk memobilisasi sumberdaya yang secara langsung dapat merespon apa yang dirasakan warganya.

Dua upaya ini  memberikan harapan baru ditengah banyak kebuntuan karena kepentingan ekonomi politik yang masih memberi ruang toleransi yang besar pada pembangunan yang tidak ramah iklim.

Realitas paradoksial terhadap tiga keniscayaan relasi utuh antara: alam (nature), budaya (culture), agama/keyakinan/kepercayaan (belief) perlu direstorasi agar hubungannya seimbang dan harmonis.

Kehendak berkuasa antroposentrik yang menempatkan manusia adalah segala-galanya di alam semesta ini, tanpa menghiraukan keberadaan sekelilingnya haruslah segera ditinggalkan.

Inilah narasi yang saya sampaikan dua hari lalu. Mudah-mudahan dapat membuka jalan lain dari kebuntuan negosiasi internasional yang belum tahu akhirnya.  Aksi di perkotaan yang lebih terukur dan melibatkan representasi aktor yang terpengaruh seperti warga DILANS bisa jadi jalan alternatif komplementer lainnya.

Berbagai tantangan lainnya yang mungkin juga harus diselesaikan pada tataran pembangunan tata kelola yang lebih baik dan mendasar diantaranya: (1). Keberpihakan dan literasi penentu kebijakan (2). Konstruksi sosial yang mungkin berakar pada kepentingan sosial, ekonomi, politik dan budaya (3). Pembangunan inklusif yang berorientasi pada perluasan akses dibandingkan dengan penimbunan untuk kelompok kepentingan yang kecil (4). Tatakelola dan percepatan implementasi pada berbagai aras administrasi pemerintahan (5). Artikulasi kepentingan dalam pengorganisasian yang solid untuk merepresentasi kelompok yang terpengaruh, dan (6). Sains teknologi dan investasi pada pemenuhan hak warga dalam pembangunan, khususnya kehidupan inklusif di perkotaan.

Sintesis pada pertemuan ini bisa menjadi masukan signifikan pada pertemuan G20 di Bali l. Rekomendasi yang tidak hanya terfokus pada jangka pendek, akan tetapi jangka panjang pasca krisis pandemi.

Bali mempunyai arti penting dalam konteks proses negosiasi perubahan iklim yang panjang. Pada tahun 2007, di Bali fondasi Bali Action Plan dimana Indonesia menjadi Presiden COP-13 UNFCCC dikukuhkan dan menjadi tahapan penting menuju Persetujuan Paris tahun 2015.

Bandung, 4 Maret 2022

 

Tentang Penulis

Farhan Helmy adalah Anggota Climate Reality Leaders Corps, yang dalam kesehariannya menjadi Kepala Sekolah Thamrin School of Climate Change and Sustainability, suatu komunitas multi pihak yang mendalami isu tatakelola perubahan iklim dan keberlanjutan. Farhan baru saja terpilih sebagai Presiden Pergerakan Disabilitas dan Lansia(DILANS)-Indonesia, 2022-2024. Profil lengkapnya bisa diakses di farhanhelmy.carrd.co.

Baca Selengkapnya
Tulis Komentar

BERITA

Komisi III Dukung Satgas Pemberantasan Judi Online Libatkan Antar-Kementerian dan Lembaga

Oleh

Fakta News
Komisi III Dukung Satgas Pemberantasan Judi Online Libatkan Antar-Kementerian dan Lembaga
Anggota Komisi III DPR RI Taufik Basari saat mengikuti Kunjungan Kerja Reses Tim Komisi III DPR RI ke Bandar Lampung, Lampung, Senin (29/4/2024). Foto: DPR RI

Bandar Lampung – Komisi III DPR RI mengapresiasi rencana Presiden Jokowi yang akan membentuk Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Judi Online yang melibatkan antarkementerian dan lembaga. Anggota Komisi III DPR RI Taufik Basari menilai adanya Satgas tersebut menjadi poin penting bahwa pemerintah serius untuk memberantas aktivitas haram tersebut.

Karena itu, ia mendorong para mitra Komisi III, mulai dari PPATK, Kepolisian, hingga Kejaksaan agar bertindak lebih tegas terhadap hal itu.

“Karena judi online itu dampaknya luar biasa terutama masyarakat-masyarakat kecil. Kalau kita lihat transaksinya yang begitu banyak, triliunan seperti itu,  kami Komisi III mendukung dan mendorong agar dapat dilakukan tindakan tegas terhadap judi-judi online,” ujar Taufik Basari kepada Parlementaria usai Kunjungan Kerja Reses Tim Komisi III DPR RI ke Bandar Lampung, Lampung, Senin (29/4/2024).

Ia pun berharap dengan adanya kerja bersama lintas K/L tersebut dapat mempercepat penanganan khususnya yang berkaitan dengan transaksi internasional lintas batas negara, baik peladen, bandar, maupun jaringan judi online tersebut.

“Hal ini penting nanti lebih mempercepat untuk kinerja memberantas judi online. Termasuk bagi Kemenkominfo juga sangat penting perannya sekarang,” jelas Politisi Fraksi Partai NasDem itu.

Senada, Anggota Komisi III DPR RI Rano Al Fath mengapresiasi adanya Satgas Judi Online itu. “Saya mengapresiasi sekaligus juga berharap agar strategi yang bisa kita lakukan bisa kita optimalkan untuk memberantas Judi Online ini,” ujarnya.

Baca Selengkapnya

BERITA

Hetifah Sampaikan Pesan dan Harapan bagi Peningkatan Kualitas Pendidikan di Kaltim

Oleh

Fakta News
Hetifah Sampaikan Pesan dan Harapan bagi Peningkatan Kualitas Pendidikan di Kaltim
Wakil Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian. Foto : DPR RI

Jakarta – Dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional yang kerap diperingati pada 2 Mei, Wakil Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian menyampaikan pesan dan harapan terkait peningkatan kualitas pendidikan di Kalimantan Timur. Hetifah, yang dikenal sebagai salah satu pendorong utama reformasi pendidikan di wilayah tersebut, menggarisbawahi beberapa inisiatif penting yang diharapkan dapat membawa perubahan signifikan dalam sistem pendidikan di Kalimantan Timur (Kaltim).

Dalam pernyataannya, Hetifah Sjaifudian menekankan pentingnya investasi di sektor pendidikan, baik dalam peningkatan infrastruktur dan kualitas pengajaran hingga peningkatan kualitas SDM seperti guru dan tenaga pengajar di berbagai daerah di Kalimantan Timur.

“Peringatan Hari Pendidikan Nasional ini merupakan momen yang tepat untuk merefleksikan apa yang telah kita capai dan apa lagi yang perlu kita lakukan demi masa depan generasi mendatang,” ujar Hetifah melalui rilis yang diterima Parlementaria, di Jakarta, Kamis (2/5/2024).

Politisi Fraksi Partai Golkar tersebut juga mengungkapkan keinginan untuk mengintegrasikan teknologi dalam pembelajaran, termasuk mengoptimalkan bagaimana transformasi platform digital untuk membantu proses pembelajaran. Hal itu sebagai salah satu solusi atas tantangan geografis yang sering kali membatasi akses pendidikan berkualitas di Kalimantan Timur.

“Penggunaan teknologi pendidikan yang inovatif serta memaksimalkan platform digital harus ditingkatkan untuk memastikan bahwa semua anak, di mana pun mereka berada, memiliki akses yang sama terhadap sumber belajar yang berkualitas tinggi,” tuturnya.

Salah satu fokus utama yang diharapkan oleh politisi senayan yang berasal dari dapil Kalimantan Timur tersebut adalah peningkatan kualitas dan kapasitas guru serta pengembangan kurikulum yang adaptif terhadap kebutuhan lokal tanpa mengesampingkan standar nasional.

“Guru-guru kita adalah ujung tombak dalam mewujudkan pendidikan berkualitas dan membentuk anak-anak didik untuk Indonesia Emas kedepan. Kita perlu memastikan bahwa mereka diberi pelatihan yang memadai dan terus-menerus serta menjamin kesejahteraan mereka agar dapat mendidik siswa dengan metode yang paling efektif dan inovatif,” tambah Hetifah.

Mengakhiri pernyataannya, Hetifah Sjaifudian mengajak semua pihak untuk berkolaborasi demi menciptakan lingkungan belajar yang kondusif dan inovatif.

“Pendidikan adalah tanggung jawab kita bersama. Mari kita dukung para guru dan tenaga pendidik kita, memastikan bahwa setiap anak di Kalimantan Timur mendapatkan kesempatan pendidikan yang mereka layak dapatkan,” ungkapnya.

Dengan pesan pada Hari Pendidikan Nasional ini, Hetifah Sjaifudian berharap untuk menginspirasi perubahan dan perkembangan yang akan melahirkan SDM yang tidak hanya cerdas, tapi juga tangguh dan siap menghadapi tantangan masa depan.

Baca Selengkapnya

BERITA

PR Kemendikbud di Hardiknas: Kurikulum Merdeka, UKT, Hingga Kesejahteraan Guru-Dosen

Oleh

Fakta News
PR Kemendikbud di Hardiknas: Kurikulum Merdeka, UKT, Hingga Kesejahteraan Guru-Dosen
Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih. Foto : DPR RI

Jakarta – Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih menyoroti maraknya kegelisahan masyarakat terhadap perubahan sistem pendidikan terkini. Baginya, isu ini harus jadi fokus utama pemerintah karena sektor ini krusial bagi masa depan bangsa.

“Momentum peringatan Hari Pendidikan Nasional ke-65 saat ini harusnya menjadi bahan evaluasi Kemendikbud RI khususnya dalam menyikapi kontroversi yang muncul,” tutur Fikri melalui rilis yang disampaikan kepada Parlementaria, di Jakarta, Kamis (2/5/2024).

Salah satu isu yang mencuat adalah soal penerapan kurikulum merdeka sebagai kurikulum resmi nasional, yang tertuang dalam Permendikbudristek nomor 12 tahun 2024. Kurikulum Merdeka diklaim lebih unggul daripada pendahulunya, yakni Kurikulum 2013, dan Kurikulum 2013 yang disempurnakan (2015),  kendati Kurikulum Merdeka merupakan modifikasi dari kurikulum darurat yang diluncurkan selama pandemi Covid-19 pada tahun ajaran 2020/2021.

“Beberapa pakar menilai, Kurikulum Merdeka belum layak dijadikan kurikulum nasional, karena belum dilengkapi dengan naskah akademik yang memuat filosofi Pendidikan dan kerangka konseptual yang menjadi dasar pemikiran kurikulum merdeka,” imbuh Politisi Fraksi PKS ini.

Sehingga, dirinya melanjutkan bahwa kurikulum merdeka belum teruji secara akademis menjadi solusi atas hilangnya pembelajaran (learning loss) selama pandemi Covid-19. “Lalu perlu dievaluasi apakah daerah secara merata mampu dan siap melaksanakan kurikulum baru ini?,” tanyanya.

Kendati demikian, Hasil PISA (Programme for International Student Assessment) tahun 2022 diklaim sebagai kesuksesan Kemendikbudristek menerapkan kurikulum darurat selama pandemi covid-19. Peringkat PISA Indonesia tahun 2022 naik 5 hingga 6 peringkat dibanding hasil PISA 2018 lalu.

“Namun, fakta lain menyebutkan skor PISA Indonesia tahun 2022 di bidang literasi membaca, matematika, dan sains juga menurun dibanding tahun 2018, jadi sudut pandang kesuksesan PISA relatif dilihat dari mana,” sela Fikri.​

Nuansa penerapan kurikulum baru ikut diramaikan narasi di media sosial soal kewajiban seragam baru bagi siswa sekolah dasar hingga menengah. “Padahal, ini akibat kurang sosialisasi. Sebenarnya, aturan seragam masih seperti yang lama sesuai Permendikbudristek 50 tahun 2022,” ungkap Politisi Fraksi PKS itu.

Masih terkait Kurikulum Merdeka, munculnya narasi penghapusan Pramuka sebagai ekstrakurikuler wajib di sekolah menimbulkan polemik. Di sisi lain, Kemendikbudristek membantah hal itu, dan menegaskan ekskul Pramuka tetap disediakan sekolah, hanya kepesertaannya menjadi sukarela bagi siswa.

Dirinya tetap menyayangkan hal itu, karena pramuka berkontribusi positif untuk mengembangkan Pendidikan karakter bangsa. “Secara historis, pramuka berperan besar dalam perjalanan bangsa sejak era kemerdekaan,” tegasnya.

Isu kesejahteraan profesi pendidik, seperti guru, dosen, dan tenaga kependidikan tak luput menjadi komplain di masyarakat. “Dua isu, yakni kejelasan status sebagai ASN-PPPK dan juga kesejahteraan pendidik dan tenaga kependidikan senantiasa menemani hari-hari kami sebagai legislator,” ungkapnya.

Ironisnya, ia mengaitkan kesejahteraan guru dan dosen dengan kemampuan menyekolahkan anak-anaknya di jenjang perguruan tinggi. “Sebagai pahlawan Pendidikan, mereka dihadapkan pada inflasi Pendidikan tinggi yang sangat besar, biaya UKT berlipat ganda seiring waktu,” urai Mantan Kepala Sekolah di salah satu SMK ini.

Contoh terbaru adalah soal kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di Universitas Jenderal Soedirman (UnSoed) yang isunya melonjak hingga 100 persen, imbas penerapan Permendikbudristek Nomor 25 Tahun 2020 Tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT) pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kemendikbud. “Pada akhirnya Unsoed meralat keputusannya, setelah didemo masyarakat,” ujar Fikri.

Masih terkait biaya Pendidikan tinggi yang kian tak terjangkau, Fikri menyoroti soal kerjasama penyedia pinjaman online (pinjol) dengan ITB. “Meski terlihat sebagai solusi pintas, namun pembayaran UKT melalui pinjol ini cenderung merugikan karena bunganya terlampau besar,” ujarnya.

Solusi yang paling tepat adalah mengatasi kesenjangan antara kebutuhan operasional perguruan tinggi negeri dengan pendapatan PTN, khususnya di luar APBN. “Sumber-sumber pendanaan PTN ini sebisa mungkin via kerja sama sponsor ketimbang membebani biaya pada mahasiswa, dan itu tanggung jawab pemerintah sebagai pengampu PTN di Indonesia sesuai amanat undang-undang,” jelasnya

Entah berhubungan atau tidak, Fikri menyinggung fenomena pinjol ilegal  yang banyak menjerat para guru. “Menurut data OJK, 43 persen korban pinjol illegal adalah guru, sungguh memprihatinkan.” terangnya.

Oleh karena itu, ia mendesak pemerintah untuk memberi solusi komprehensif untuk meningkatkan kesejahteraan guru, termasuk memberi keleluasaan kepada kalangan guru untuk dapat mengakses pembiayaan jangka pendek yang legal, ringan, dan mudah.

Baca Selengkapnya