Connect with us

Berpolitik dengan Ideologi Kebencian

Penulis:
Sukmadji Indro Tjahjono
Pengamat Sosial Politik / Aktivis Gerakan Mahasiswa 77/78

Apakah betul ideologi akan  mati seperti ramalan Daniel Bell? Sejauh ini orang percaya itu, dan mulai muncul partai tidak berdasar ideologi tetapi menawarkan program. Selain itu muncul kelompok yang didasarkan kepentingan yang bermetamorfosa menjadi partai politik, misalnya Sarikat Dagang Islam, Al Irsyad, Muhammadyah, Serikat Buruh, Nahdatul Ulama.

Ideologi Kebencian

Perkembangan berikutnya ada partai politik yang didasarkan pada identitas; entah itu suku, ras, agama, dan kedaerahan. Semua partai politik di atas adalah bagian dari struktur negara, memiliki kekuasaan legislatif, dan ditampung di parlemen.  Namun saat ini ada gerakan politik yang mengatasnamakan rakyat dan bertindak seperti super partai yang menyatakan bisa  melakukan perubahan lebih dahsyat daripada partai politik. Gerakan ini tidak lagi ikut konstitusi karena bersifat ekstra konstitusional dan tidak perlu berada di parlemen karena menyatakan ekstra parlementer.

Idiom-idiom mereka persis seperti bagaimana partai politik mengecam kebijakan pemerintah. Kalau partai politik ingin mengubah kebijakan, gerakan  ini ingin mengubah kebijakan tapi dengan cara melengserkan presiden dan menggulingkan pemerintah. Bukan hanya itu ,mereka juga siap dengan konstitusi yang lebih mengakomodasi kepentingannya.

Lalu apa ideologi mereka sehingga banyak rakyat yang rela mendukung dan bersimpati. Kalau partai politik memiliki ideologi dan memberikan sesuatu kepada anggotanya, tetapi  mereka hanya memanipulasi  kekecewaan dan kebencian terhadap orang-orang yang dianggap menjadi sumber penderitaan. Ideologi mereka adalah kebencian (The Ideology of Hate) kata David Brooks dalam tulisannya di New York Times.

Kebencian Lahir dari Trauma

Gunawan Mohammad di majalah Tempo juga menulis esai berjudul “Benci”. Dikatakan dalam adegan duel di film Star Wars VI (Episode Return of The Jedi) kepada Luke Skywalker , Darth Vader berseru, “ Luapkan kemarahanmu. Hanya kebencian yang dapat menghancurkan aku”. Darth Vader memahami, kebencian adalah kekuatan dan kemarahan adalah tenaga.

Seperti inilah tokoh politik dunia berperilaku dari Hitler sampai Donlad Trump, dari Stalin sampai pemimpin ISIS, dari Klu Klux Klan sampai Polpot, dan dari Pengawal Merah sampai FPI. Mereka kobarkan rasa marah , mereka sebarluaskan rasa benci, dan mereka jadikan keduanya ideologi. Entah dari sini berapa kemenangan mereka rayakan dan berapa juta mayat bergelimpangan.

Gerakan  ini akan memilih pemimpin  mereka yakni tokoh yang bisa memproduksi kebencian melalui orasi-orasinya, karena makin terakumulasi kebencian yang berujung pada kekerasan, kejatuhan pemerintah akan semakin dekat. Gabor Mate, dalam tulisan Reza Watimena, mengatakan akar dari kebencian adalah trauma. Penyebar kebencian tentu berpestapora di tengah masyarakat Indonesia yang secara historis memang kaya dengan trauma-trauma  sosial.

Kebencian adalah Narkoba Kehidupan

Trauma adalah jejak masa lalu yang belum lenyap, misalnya penumpasan DI/TII,  PRRI/Permesta, Komando Jihad dll. Selain itu trauma akibat ketidakadilan seperti  dominasi Suku Jawa, dominasi  Cina, kecurangan akibat Pemilu/Pilpres, dan presiden yang suka mengakomodir lawan daripada relawan. Kesenjangan  sosial, politik, dan ekonomi yang besar seperti di Indonesia menciptakan manusia-manusia traumatik yang memendam kebencian.

Kebencian adalah salah satu bentuk “narkoba kehidupan yang menghangatkan”, karenanya terus dipasok oleh penggerak politik yang berideologi kebencian itu. Kemarahan, kebencian, dan kekerasan atau pembunuhan adalah satu paket yang diperlukan bagi para pemberontak untuk menciptakan suasana amuk atau khaotik. Dylan Roof membunuh 9 orang di Gereja South Carolina, alasannya membenci orang kulit hitam, kemudian karena benci pada orang Yahudi ,Robert Browers membunuh 9 orang Yahudi di Pittsburg.

Contoh-contoh di atas membuktikan bahwa ideologi kebencian juga merupakan bentuk ekstrim yang lebih luas yaitu ideologi antipluralisme yang kini merebak di mana-mana. Nasionalis Trumpian, populisme otoriter, dan jihadis Islam yang mendambakan negara khilafah adalah versi ideologi antipluralisme yang lain. Antipluralis menuntut perbatasan dan menciptakan dikotomi-dikotomi Islam versus Non-Islam, Wahabi versus Islam Nusantara,  fanatisme agama versus sekulerisme, pribumi versus nonpribumi, Islam versus nasionalis, Jawa versus non-Jawa, murni versus tidak murni dan seterusnya.

Habib Merasa Lebih Berhak

Paling mudah agama dijadikan alat untuk membangun  kebencian, dengan kedok pemurnian ajaran. Meluasnya Islam yang beradaptasi dengan budaya lokal, kata mereka menciptakan kemungkaran dalam bentuk syirik, bid’ah, atheisme, dan materialisme. Inilah sasaran empuk yang dikembangkan kaum Wahabi dan Salafi untuk membenci dan memusuhi orang-orang mungkar termasuk yang berseberangan, yakni Syiah dan Ahmadyah.

Taliban, Wahabi, dan Salafi merekrut sumberdaya manusia yang dilahirkan oleh madrasah-madrasah dari India bagian Utara sampai Timur Tengah. Di Indonesia kelompok ini membangun “madrasah instan” berupa pengajian-pengajian rutin di masyarakat. Banyak ulama keturunan Arab berkhotbah tentang pemurnian agama di pengajian-pengajian itu dan mulai mengubah mindset para jamaah yang semakin yakin agama akan menjamin kehidupan di dunia dan akherat.

Ketika model gerakan dan  pengajian ini meluas ke seluruh Indonesia , muncul para habib yang mengklaim mereka lebih berhak untuk melakukan pemurnian agama. Gerakan para habib di Indonesia yang sering bersimbiose dengan politik kekuasaan mulai menempatkan pengajian Wahabi dan Salafi di gerbong belakang mereka. Perpecahan dan kompetisi pun terjadi antara faksi-faksi ajaran yang disebar oleh ulama yang tidak jelas juntrungannya.

Perkawinan Politik Identitas dengan Politik Kebencian

Dalam kesempatan ini jaringan HTI yang menyebarkan khilafah dan pelaksanaan syariat Islam pada negara ikut nimbrung. Tokoh seperti Habib Riziek Shihab ,yang sering dimanfaatkan oleh tentara dan polisi,  bersedia jadi martir dalam gerakan  politik oposisi akhirnya menjadi simbol perlawanan. Di sinilah terjadi pertemuan kepentingan antara politisi sekuler yang berpolitik berdasar identitas dan para pengguna ideologi kebencian.

Politisasi agama pun terjadi ,penganut aliran Wahabi dan Salafi yang sudah tersebar di lembaga pemerintah yang menyusup melalui pengajian di mesjid-mesjid  kantor pemerintah mulai membentuk jaringan di dalam. Kelompok-kelompok dalam birokrasi kantor pemerintah mulai bermain dalam promosi dan Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat). Inilah alasan mengapa Pemerintah terpaksa memberlakukan Test Wawasan Kebangsaan (TWK) di lingkungan ASN.

Di negara demokrasi tentu kebebasan berpendapat dan berkumpul harus dihormati, termasuk mereka  yang menjalankan politik dengan ideologi kebencian, selama tidak melanggar hukum. Media sosial tidak diberangus pemerintah, sehingga siapa saja bisa melakukan ujaran kebencian dengan leluasa. Sialnya mereka bukan orang bodoh, punya daya manipulasi yang tinggi sampai-sampai kegagalan pencapaian  target program pemerintah identik dengan penipuan dan kebohongan presiden.

Buah dari Jalan Politik yang Buntu

Tokoh-tokoh oposisi bisa bebas melontarkan sangat banyak ujaran kebencian, tapi ketika mendapat tindakan hukum, pemerintah dituduh otoriter. Dengan serangan kebencian di medsos yang dikombinasikan dengan demo-demo mereka berharap pemerintahan Joko Widodo akan jatuh sebelum 2024. Tetapi kalau kita sadar ,gerakan-gerakan mereka sebenarnya juga buah dari koridor politik yang buntu untuk menempuh jalan konstitusional.

Mendirikan partai politik dan menjadi kepala daerah membutuhkan modalitas yang sangat besar. Masuk menjadi anggota partai politik harus setor uang dan ikut antrian panjang. Mencalonkan presiden terhambat Presidential Threshold (PT). Di lain pihak politik akomodasi pemerintah salah sasaran. Alhasil bagi kaum oposisi hanya jalan ekstra konstitusional dan ekstra parlementerlah yang mereka anggap masih terbuka***

Baca Selengkapnya
Tulis Komentar

BERITA

Mulyanto Sesalkan Impor Migas dari Singapura Semakin Meningkat

Oleh

Fakta News
Mulyanto Sesalkan Impor Migas dari Singapura Semakin Meningkat
Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto. Foto: DPR RI

Jakarta – Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto menyesalkan nilai impor Migas (Minyak dan Gas) nasional dari Singapura yang semakin hari bukan semakin berkurang, melainkan semakin meningkat. Menurutnya, hal ini merupakan kabar buruk bagi pengelolaan Migas nasional.

Hal tersebut diungkapkannya menyusul rencana Menteri ESDM yang akan menaikkan impor BBM menjadi sebesar 850 ribu barel per hari (bph), terutama dari Singapura. “Pemerintah jangan manut saja didikte oleh mafia migas. Harus ada upaya untuk melepas ketergantungan impor migas. Paling tidak impor migas ini harus terus-menerus dikurangi. Jangan sampai pemerintah tersandera oleh mafia impor migas,” ungkap Mulyanto dalam keterangan tertulis yang diterima Parlementaria, di Jakarta, Kamis (25/4/2024).

Untuk itu, lanjut Politisi dari Fraksi PKS ini, perlu adanya terobosan berarti terkait upaya pembangunan dan pengelolaan kilang minyak nasional di tanah air. Pasalnya, Sejak Orde Baru belum ada tambahan pembangunan kilang minyak baru, sementara rencana pembangunan Kilang Minyak Tuban, sampai hari ini tidak ada kemajuan yang berarti.

“Masa kita kalah dan tergantung pada Singapura, karena kita tidak punya fasilitas blending dan storage untuk mencampur BBM. Padahal sumber Migas kita tersedia cukup besar dibandingkan mereka,” tambahnya.

Mulyanto berharap Pemerintah mendatang perlu lebih serius menyelesaikan masalah ini. Hal itu jika memang ingin mengurangi defisit transaksi berjalan sektor migas serta melepas ketergantungan pada Singapura. Diketahui, Singapura dan Malaysia memiliki banyak fasilitas blending dan storage yang memungkinkan untuk mencampur berbagai kualitas BBM yang diproduksi dari berbagai kilang dunia, untuk menghasilkan BBM yang sesuai dengan spesifikasi yang dibutuhkan.

“Karena kita tidak memiliki fasilitas ini maka kita terpaksa mengimpor BBM sesuai dengan spesifikasi kebutuhan kita dari negara jiran tersebut,” pungkasnya.

Untuk diketahui, produksi minyak nasional saat ini hanya mencapai sekitar 600 ribu barel per hari, sementara kebutuhan mencapai 840 ribu barel per hari. Kekurangan tersebut harus ditutupi melalui impor, dengan 240 ribu barel per hari berasal dari minyak mentah dan 600 ribu barel per hari dari BBM.

Baca Selengkapnya

BERITA

Proyek BMTH di Pelabuhan Benoa Diharapkan Mampu Pulihkan Ekonomi Nasional

Oleh

Fakta News
Proyek BMTH di Pelabuhan Benoa Diharapkan Mampu Pulihkan Ekonomi Nasional
Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Martin Manurung saat memimpin pertemuan dalam Kunjungan Kerja Reses Tim Komisi VI DPR RI di Denpasar, Bali, Senin (22/4/2024). Foto : DPR RI

Denpasar – Proyek Bali Maritime Tourism Hub (BMTH) yang sedang dibangun di Pelabuhan Benoa, diharapkan mampu memulihkan ekonomi nasional, selain mempromosikan pariwisata Bali lebih luas lagi.

Demikian disampaikan Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Martin Manurung saat memberi sambutan pembuka pada pertemuan Komisi VI dengan sejumlah direksi BUMN yang terlibat dalam pembangunan BMTH. Komisi VI berkepentingan mengetahui secara detail progres pembangunan proyek strategi nasional tersebut.

“Ini proyek strategis nasional  (PSN) yang diharapkan mampu  memulihkan ekonomi nasional melalui kebangkitan pariwisata Bali. Proyek BMTH diharapkan mampu membangkitkan kembali sektor pariwisata Bali pasca pandemi Covid 19,” katanya saat memimpin pertemuan dalam Kunjungan Kerja Reses Tim Komisi VI DPR RI di Denpasar, Bali, Senin (22/4/2024).

Dijelaskan Martin, PSN ini dikelola PT. Pelindo  III  yang merupakan mitra kerja Komisi VI DPR RI. Proyek ini membutuhkan dukungan berbagai pihak, seperti PT. Pertamina Patra Niaga, PT. Pertamina Gas Negara, dan pihak terkait lainnya, agar bisa bekerja optimal dalam memulihkan ekonomi nasional. Pariwisata Bali yang sudah dikenal dunia juga kian meluas promosinya dengan eksistensi BMTH kelak.

Proyek ini, sambung Politisi Fraksi Partai Nasdem tersebut, memang harus dikelola secara terintegrasi. Namun, ia menilai, progres pembangunan BMTH ini cenderung lamban. Untuk itu, ia mengimbau semua BUMN yang terlibat agar solid berkolaborasi menyelesaikan proyek tersebut.

Baca Selengkapnya

BERITA

Dyah Roro Ingatkan Konflik di Jazirah Arab Berimplikasi Kenaikan Harga Minyak

Oleh

Fakta News
Dyah Roro Ingatkan Konflik di Jazirah Arab Berimplikasi Kenaikan Harga Minyak
Anggota Komisi VII DPR RI Dyah Roro Esti. Foto: DPR RI

Jakarta – Anggota Komisi VII DPR RI Dyah Roro Esti mengungkapkan bahwa konflik antara Iran dan Israel dapat memiliki implikasi ekonomi dan geopolitik yang signifikan, terutama dalam segi harga minyak mentah dunia (crude palm oil/CPO).

“Konflik antara Iran dan Israel dapat memiliki implikasi ekonomi dan geopolitik. Terutama dalam segi harga minyak mentah dunia,” ujar Roro dalam siaran pers yang diterima Parlementaria, di Jakarta, Kamis (25/4/2024).

Meski, saat ini harga minyak mentah dunia masih terpantau cukup stabil, dan per tanggal 22 April 2024 pukul 16.00, harga untuk WTI Crude Oil berada pada kisaran 82,14 dolar AS per barel, dan untuk Brent berada pada kisaran 86,36 dolar AS per barel. Namun, konflik di jazirah arab itu berpotensi menimbulkan kenaikan harga minyak mentah dunia, yang bisa menembus 100 dolar AS per barel.

Terkait dengan dampak dari konflik geopolitik terhadap kondisi harga BBM di dalam negeri tersebut, Politisi dari Fraksi Partai Golkar menjelaskan bahwa dari pihak pemerintah, melalui Menteri Koordinator Bidang Ekonomi Airlangga Hartarto, telah menegaskan dan memastikan bahwa harga Bahan Bakar Minyak (BBM) tidak akan naik akibat konflik ini, paling tidak sampai bulan Juni 2024 ini.

“Untuk selanjutnya, Pemerintah masih perlu melihat dan mengobservasi lebih lanjut terlebih dahulu. Saya berharap agar dampak dari eskalasi konflik di Timur Tengah ini masih bisa ditahan dan diatasi oleh Pemerintah Indonesia, sehingga kenaikan BBM masih bisa dihindari,” pungkasnya.

Baca Selengkapnya