Alumni ITB Minta Majelis Wali Amanat Copot Din Syamsuddin dari Keanggotaan
Jakarta – Alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) yang yang menamakan diri Gerakan Anti Radikalisme – Alumni Institut Teknologi Bandung, meminta Majelis Wali Amanat ITB mencopot Din Syamsuddin dari keanggotaan MWA ITB. Permintaan ini tertuang dalam surat yang ditujukan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan serta Ketua Wali Amanat ITB.
Ada 1.355 nama alumni yang berasal dari berbagai jurusan di ITB dari angkatan 1957 hingga 2014. Para alumni tersebut menganggap Din Syamsuddin telah melanggar statuta ITB melalui pernyataan-pernyataan, sikap, serta sepak terjangnya selama satu tahun terakhir.
“Setelah mencermati secara seksama pernyataan-pernyataan, sikap, serta sepak terjang yang bersangkutan selama satu tahun terakhir ini, Prof.Dr. M. Din Syamsuddin kami nilai telah melanggar amanat Statuta ITB seperti yang telah dirumuskan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 65 Tahun 2013 tentang Statuta ITB, serta tidak selaras dengan kebijakan umum Tri Dharma dan otonomi pengelolaan ITB seperti yang dirumuskan dalam Peraturan MWA ITB Nomor 001/PER/I1.MWA/HK/2019,” tulis surat tersebut.
Berdasarkan Statuta ITB menjelaskan bahwa Majelis Wali Amanat (MWA) adalah merupakan organ tertinggi di ITB yang menyusun dan menetapkan kebijakan umum ITB serta mengawasi pelaksanaannya.
Selain itu berdasarkan Pasal 10 Ayat (6) dari Peraturan MWA tentang Penetapan Tri Dharma dan Otonomi Pengelolaan ITB PTNBH ini menegaskan bahwa hubungan (jejaring) eksternal dengan pihak pemerintah, industri, alumni, tokoh masyarakat, dan komunitas harus dikelola dengan baik dan berkesinambungan, sehingga menumbuhkan rasa memiliki yang tinggi dan mampu memotivasi pihak eksternal untuk terus memberikan dukungan pada program-program ITB.
Dengan wewenang, tugas dan kewajiban MWA yang sedemikian tinggi serta strategis bagi ITB, maka secara prinsip MWA harus memastikan bahwa setiap anggota MWA benar-benar konsisten selalu memenuhi kualifikasi-kualifikasi yang sudah ditetapkan.
Anggota-anggota MWA ITB sudah seharusnya hanya terdiri dari orang-orang yang berintegritas, berkepribadian unggul, serta berwawasan jauh ke depan, agar mampu berperan dalam menjaga kelangsungan, keberlanjutan, serta kemajuan dari institusi ITB. Para pribadi yang sudah teruji sikap nasionalismenya, berwawasan kebangsaan & keindonesiaan, yang tidak memiliki rekam jejak bertentangan dengan lembaga-lembaga negara dan pemerintah Indonesia yang sah, serta yang selalu menjunjung tinggi kepentingan Bangsa Indonesia dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Oleh karena itu apabila ada anggota MWA terpilih yang kemudian mengeluarkan pernyataan-pernyataan dan/atau menunjukkan sepak terjang yang tidak sesuai dengan rumusan-rumusan di atas, maka sudah seharusnya keanggotaan yang bersangkutan pada MWA ITB perlu ditinjau kembali. Setiap penyimpangan yang dilakukan oleh anggota MWA ITB terhadap ketentuan-ketentuan legal formal di dalam Statuta ITB, harus dinilai sebagai sebuah pelanggaran berat,” tulis surat tersebut.
“Kami para alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) lintas jurusan dan angkatan yang terhimpun dalam Gerakan Anti Radikalisme – Alumni Institut Teknologi Bandung, dengan ini meminta agar Majelis Wali Amanat Institut Teknologi Bandung (MWA ITB) dengan segala mekanisme yang tersedia dalam kelembagaan ITB untuk segera memberhentikan Prof.Dr. M. Din Syamsuddin sebagai Anggota MWA ITB,” berikut isi surat tersebut.
Para alumni mencatat ada sejumlah pernyataan kritikan Din, baik kepada pemerintah maupun lembaga negara lain.
Yang pertama ialah pernyataan Din pada 29 Juni 2019. Din menyebut adanya rona ketidakjujuran dan ketidakadilan dalam proses pengadilan sengketa hasil pemilihan presiden 2019 di Mahkamah Konstitusi.
“Pernyataan konfrontatif ini dilontarkannya pada saat yang bersangkutan sendiri belum sampai dua bulan menyandang statusnya sebagai anggota MWA ITB,” demikian tertulis dalam surat.
Persoalan kedua adalah pernyataan Din dalam webinar Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah (MAHUTAMA) dan Kolegium Jurist Institute di Youtube pada 1 Juni 2020 bertajuk Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitusionalitas Pemakzulan Presiden di Era Pandemi Covid-19.
Alumni menilai, dalam paparannya, Din telah melontarkan prasangka buruk terhadap pemerintah, menuduh pemerintah Indonesia otoriter dan represif, menuduh Presiden Joko Widodo membangun sistem kediktatoran konstitusional.
“Din pernah menghadiri dan berpidato dalam konferensi khilafah internasional pada 2007. Alumni juga menyorot keputusan Din mundur dari jabatan Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerjasama Antar Agama dan Peradaban, serta perbedaan sikapnya dengan Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Pilpres 2019,” tulis isi surat tersebut.
Gerakan Anti Radikalisme – Alumni Institut Teknologi Bandung pun mencatat enam simpulan dari paparan mereka. Mereka menilai Din secara konsisten selalu mengambil sikap konfrontatif terhadap pemerintah; justru berharap terjadi konflik dengan pemerintah; tak segan selalu menyerang pemerintahan Jokowi dengan tuduhan-tuduhan negatif yang dianggap tak cukup memiliki validitas.
Din juga dianggap memiliki tendensi untuk mudah melontarkan pernyataan agitatif kepada masyarakat yang berpotensi menimbulkan konflik; cenderung berkarakter radikal; dan ditengarai memiliki antipati tertentu terhadap figur Presiden Jokowi.
(mjf)
BERITA
Komisi III Minta Komnas HAM Tingkatkan Peran, Selesaikan Pelanggaran HAM Berat
Jakarta – Wakil Ketua Komisi III DPR RI Pangeran Khairul Saleh memimpin rapat kerja dengan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Dalam rapat ini Komisi III meminta Komnas HAM untuk meningkatkan peran dan mengoptimalkan pelaksanaan tugas dan fungsi dalam mendukung penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM, termasuk pelanggaran HAM berat.
“Baik itu penyelesaian yudisial maupun non-yudisial, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,” ujarnya di ruang rapat Komisi III, Nusantara II, Senayan, Jakarta, Rabu (30/5/2024).
Lebih lanjut Komisi III DPR meminta Komnas HAM untuk segera menyelesaikan peraturan terkait Penilaian Tindak Lanjut Kepatuhan Rekomendasi, agar dapat menjadi informasi dan tolak ukur dalam tindak lanjut rekomendasi yang telah diberikan.
Bahkan Komisi III meminta Komnas HAM dan Komnas Perempuan untuk lebih proaktif dan sinergis dalam mengidentifikasi potensi permasalahan, melakukan penanganan, maupun pendampingan terhadap seluruh pihak, dalam penerapan dan penegakan prinsip-prinsip HAM, termasuk perlindungan terhadap perempuan di seluruh sektor dan kegiatan.
Sementara itu di lain pihak, Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro menyampaikan bahwa pihaknya saat ini tengah menyusun rancangan Peraturan Komnas HAM terkait Penilaian Tindak Lanjut Kepatuhan Rekomendasi Komnas HAM. “Sebagai salah satu upaya pemasangan untuk meningkatkan efektivitas dari rekomendasi yang diberikan oleh Komnas HAM,” papar Atnike saat rapat.
Menurutnya rekomendasi yang diberikan oleh Komnas HAM dari hasil pemantauan, mediasi, maupun kajian tidak selalu ditindaklanjuti oleh stakeholders maupun kementerian/lembaga karena dianggap tidak mengikat. “Sejumlah kasus juga menunjukkan fungsi mediasi Komnas HAM masih belum dipahami sebagai sebuah solusi strategis,” ucap Atnike.
BERITA
Anggaran Pendidikan Kemenag Dinilai Masih Kecil
Jakarta – Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ace Hasan Syadzily menilai besaran anggaran pendidikan yang diterima Kemenag (Kementerian Agama) untuk mendanai seluruh lembaga pendidikan Islam dan keagamaan masih timpang dibanding kementerian lain.
“Soal anggaran pendidikan di bawah Kementerian Agama harus betul-betulan keadilan anggaran. Kalau kita dengar pidato Menteri Keuangan (Sri Mulyani) dalam rapat paripurna, ya anggaran pendidikan Rp630 triliun, tapi kalau Kemenag hanya dapat Rp35 triliun, buat saya mengkhawatirkan,” kata Kang Ace, sapaannya, dalam keterangan persnya, Rabu (29/5/2024).
Politisi Partai Golkar itu menyatakan, selain Sekretariat Jenderal (Sekjen) Kemenag, anggaran terbesar juga diberikan kepada Direktorat Jenderal (Ditjen) Pendidikan Islam (Pendis) Kemenag sebesar Rp35 triliun.
Ada satu hal yang sangat penting untuk didiskusikan bersama adalah soal berbagai hal terkait anggaran pendidikan nasional. Dari penjelasan Plt Dirjen Pendis, berapa persen KIP Kuliah untuk Perguruan Tinggi Agama Islam (PTKAI) dan perguruan tinggi agama lain.
“Apakah PIP, KIP, apakah sudah mencerminkan suatu keadilan anggaran? Rehab ruang kelas juga belum mencerminkan keseluruhan,” ujar dia.
Kang Ace melihat dari total anggaran pendidikan Rp630 triliun di APBN, Kemenag hanya mendapatkan Rp35 triliun, artinya belum mencerminkan suatu kesetaraan anggaran.
“Padahal anak-anak madrasah, yang kuliah di UIN, STAIN, STAI atau di manapun, mereka juga anak-anak bangsa yang sama untuk mendapatkan perlakuan sama dalam akses pendidikan,” tutur Kang Ace.
Ace mengatakan, keputusan tepat telah diambil Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas yang menunda status Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH) bagi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. “Itu keputusan yang tepat. Kalau tidak, meresnya sama mahasiswa. Berat,” ucap dia.
Jujur saja, ujar Ace, hampir sebagian besar siswa dan mahasiswa yang sekolah di bawah Kemenag berlatar belakang sosial ekonomi kelas menengah bawah. Namun penyaluran program KIP dan PIP untuk mereka juga sedikit.
“Itu anehnya. Jadi ada yang salah dari proses pendataan penyaluran program negara untuk kelompok-kelompok yang membutuhkan itu,” ujar Kang Ace.
BERITA
Imbas Kebakaran Smelter Nikel PT KFI, Komisi VII akan Audit Investigasi
Kutai Kartanegara – Anggota Komisi VII DPR RI Nasyirul Falah Amru mengatakan, pihaknya akan segera melakukan audit investigasi terhadap pabrik smelter nikel PT Kalimantan Ferro Industri. Hal tersebut imbas dari peristiwa dua kali ledakan di pabrik smelter PT KFI yang menewaskan pekerja asing dan lokal belum lama ini.
“Kami akan panggil PT KFI beserta seluruh jajaran direksinya, untuk datang ke Gedung Senayan dan kami akan melakukan audit investigasi. Secara mekanisme, bisa dengan membuat panja nikel atau kita panggil secara khusus di Rapat Dengar Pendapat (RDP). Kami juga tentunya akan melibatkan Kementerian Perindustrian dan Kementerian KLHK dari sisi amdalnya, supaya benar-benar kita melihat secara komprehensif sebab terjadinya ledakan,” ujarnya saat memimpin Tim Kunspek Komisi VII DPR mengunjungi PT KFI di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Rabu (29/5/2024).
Menurut Politisi F-PDI Perjuangan ini, pihaknya menilai, hasil dari temuan dilapangan seperti sarana untuk keselamatan kerja dan sebagainya juga masih jauh dari kurang. Walaupun mereka sudah mendatangkan tim dari Kementerian Industri untuk mekanisme aturan pedomannya, tetapi pihaknya menemukan fakta di lapangan masih belum sesuai dengan harapan.
“Saya berpesan agar tidak terulang terjadi kebakaran atau ledakan, yang paling penting ini adalah mesin yang ada di setiap semelter itu perlu dicek selalu setiap periodik. Kemudian, kalibrasi mesin itu juga penting karena dengan begitu kita akan tahu ukuran mesin ini sesuai dengan kapasitasnya dia berproduksi atau tidak. Sehingga, Insya Allah dengan adanya perawatan yang berkala dan pengawasan yang kita lakukan ini Insya Allah tidak akan terjadi kembali,” jelas Nasyirul.
Selain itu, kami juga tidak menemukan alat pemadam kebakaran sepanjang jalan menuju lokasi meledaknya smelter. Kemudian, rambu-rambu yang ada juga masih sangat terbatas sekali, sehinhha dianggap tidak layak untu perusahaan smelter. “Jadi ini harus segera diperbaiki,” imbuhnya.
“Kita menemukan sesuatu yang di luar dugaan, ketika PT KFI lagi dibangun ada proses namanya commissioning atau uji coba tetapi sudah menimbulkan kejadian terjadinya ledakan. Padahal masih tahap uji coba, tetapi dua tenaga kerja asing dan dua pekerja lokal turut menjadi korban akibat ledakan di smelter nikel tersebut,” ucapnya lagi.