Connect with us

Kata Enggar Soal Misi Melawan Sentimen Negatif Terhadap CPO

Menteri Perdagangan Enggartiasto LukitaTwitter Pribadi

Jakarta – Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengakui memang menjadikan minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) sebagai produk ekspor pertama yang ditawarkan ke negara-negara tujuan ekspor baru. Ia membeberkan penawaran dilakukan saat berkunjung ke negara-negara di kawasan Timur Tengah dan Afrika untuk mempromosikan pameran perdagangan (Promotion Trade Exhibition/PTE) Indonesia bersama para atase perdagangan.

“Waktu kami PTE, yang kami taruh pertama adalah minyak sawit. Termasuk kalau saya bawa sabun, itu juga kan ada unsur minyak sawitnya,” ujar Enggar, sapaan akrabnya di sela acara 13th Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) and 2018 Price Outlook di Nusa Dua, Bali, Jumat (3/11/2017).

Setidaknya hal ini menegaskan bahwa CPO Indonesia masih dianggap sebagai komoditas bermutu yang juga berdaya saing tinggi. Persis seperti yang selama ini diutarakan Presiden Joko Widodo untuk selalu mempromosikan produk yang bernilai tambah, bukan menjual barang-barang mentah. Tujuan lainnya, tentu saja demi industri CPO bisa terus tumbuh dan mengembangkan dari hilir sehingga memberikan manfaat besar bagi perekonomian negara.

“Kami mulai dengan jualan minyak sawit karena kami mau fokus ke hilir. Kami ingin ada nilai tambah. Saya bilang ke industri agar tidak hanya jual produk mentah, tapi yang sudah diolah,” terang Enggar kembali.

Di sisi lain, melimpahnya persediaan dari hasil olahan sektor perkebunan kelapa sawit jadi pendorong juga-yang rupanya menempatkan Indonesia sebagai penghasil CPO terbesar di dunia bersama Malaysia.

Tengok saja data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI). Disebutkan bahwa produksi CPO telah mencapai 25,85 juta ton sepanjang Januari-Agustus 2017. Ini berarti rata-rata produksinya sebesar 3,23 juta ton per bulan. Angka ini menunjukkan peningkatan dibanding tahun lalu dengan jumlah produksi sepanjang tahun sebesar 35,57 juta ton atau sekitar 2,96 juta ton per bulan.

Alasan lain? Tentu saja misi meredakan kampanye negatif yang didapat Indonesia dari beberapa negara, seperti dari kawasan Uni Eropa dan Amerika Serikat (AS). Ini dia. Pengenalan CPO dinilai harus gencar dilakukan lagi. Pasalnya, kedua tujuan ekspor CPO itu justru kerap memberikan kampanye negatif ke Indonesia lantaran meragukan standar kualitas CPO Tanah Air dan menggencarkan persaingan yang tak sehat.

Pandangannya Enggar, kualitas CPO dalam negeri pada kenyataannya tak perlu diragukan karena memiliki sejumlah keunggulan. Sebut saja mulai dari efisiensi dalam penggunaan lahan dibandingkan minyak nabati lain-sehingga aman dari sisi lingkungan; lalu memiliki sertifikat pengembangan industri kelapa sawit secara keberlanjutan (Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO).

“Faktanya bahwa CPO adalah minyak nabati paling efisien dan seharusnya diakui dan bisa dijadikan alasan kuat,” imbuhnya.

Saat ini, ekspor CPO besar ke India, Cina, Pakistan, AS, dan Uni Eropa. Masih mengambil data sementara GAPKI, total ekspor CPO dan turunannya telah mencapai 21 juta ton sepanjang Januari-September 2017. Sedangkan tahun lalu, ekspor mencapai 25,1 juta ton dengan nilai mencapai US$18,1 miliar. Ekspor tahun lalu ke India pun tercatat sebanyak 5,78 juta ton, Cina 3,23 juta ton, Pakistan 2,07 juta ton, AS 1,08 juta ton, dan negara-negara di Uni Eropa 4,4 juta ton.

Ketua Umum GAPKI Joko Supriyono pun meminta pemerintah tak mengendurkan semangat meningkatkan daya saing industri kelapa sawit di Tanah Air guna menghadapi pasar dunia yang semakin ketat. Adanya sejumlah sentimen, mulai dari resolusi Uni Eropa hingga penerapan tarif tinggi terhadap bea masuk anti dumping (BMAD) biodiesel Indonesia yang diberlakukan Amerika Serikat (AS) dan India, diakui bisa jadi dinding yang tinggi yang mau tak mau dipanjat untuk dilewati.

“Kami melihat negara-negara pengimpor lebih proyektif dan lebih ketat terhadap sawit Indonesia. Ini membuat persaingan di pasar global menjadi tidak pasti,” ujar Ketua Umum GAPKI Joko Supriyono, sehari sebelumnya (2/11).

Joko melihat, setidaknya ada tiga hal yang harus dilakukan pemerintah untuk meningkatkan daya saing industri sawit Indonesia. Pertama, memperluas jangkauan dan penetrasi pasar ekspor sawit ke beberapa negara tradisional maupun nontradisional. Kedua, membuat iklim investasi lebih bergairah lagi, sehingga aliran modal ke dalam negeri untuk sektor ini terus menjanjikan. Dan ketiga, memperkuat pengembangan industri kelapa sawit secara keberlanjutan (Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO), khususnya dari sisi penataan institusi dan kualitas sertifikat ISPO.

Novianto

Baca Selengkapnya
Tulis Komentar

BERITA

Fikri Faqih Minta Pemerintah Perketat Pengawasan Tur Belajar

Oleh

Fakta News
Fikri Faqih Minta Pemerintah Perketat Pengawasan Tur Belajar
Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Abdul Fikri Faqih. Foto: DPR RI

Jakarta – Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Abdul Fikri Faqih meminta pemerintah memperketat pengawasan terhadap kegiatan study tour (tur belajar) yang sudah menjadi kegiatan ‘wajib’ di sekolah-sekolah. Hal tersebut Fikri sampaikan menyusul tragedi kecelakaan bus yang membawa siswa SMK Lingga Kencana Kota Depok saat melakukan study tour ke Ciater, Subang, Jawa Barat, baru-baru ini.

“Perlu dievaluasi menyeluruh mengenai tujuan, manfaat, dan kelayakan program yang sudah menjadi agenda tahunan di sekolah tersebut,” kata Fikri dalam rilis yang diterima Parlementaria, di Jakarta, Rabu (15/5/2024).

Lebih lanjut, ia menyampaikan belasungkawa kepada para keluarga korban tragedi kecelakaan tersebut. Maka dari itu, dirinya mendesak pihak yang bertanggung jawab dihukum sesuai dengan perundangan yang berlaku. Ia pun meminta pemerintah pusat dan daerah untuk mengevaluasi kegiatan study tour agar lebih terarah dan sesuai dengan asas, tujuan, dan kemanfaatan dalam Pendidikan para siswa.

“Misalnya perjalanan tur ke museum, pusat konservasi alam, atau instansi yang memberi edukasi dalam bidang-bidang tertentu,” imbuh Politisi Fraksi PKS ini.

Selain itu, kegiatan study tour yang bertujuan ke lokasi yang jauh, bahkan lintas provinsi dan lintas pulau sebaiknya ditinjau ulang. “Kegiatan ini tentu berbiaya besar dan bisa memberatkan bagi orangtua/wali siswa, kemudian ada faktor kelayakan dan keamanan yang harus dipenuhi dalam perjalanan tur jarak jauh tersebut,” urai Mantan Kepala Sekolah di suatu SMK di daerah Tegal tersebut.

Kegiatan study tour yang dilakukan di dalam kota juga dapat menjadi opsi yang terbaik, selain lebih murah dan lebih singkat waktu tempuhnya. “Tentu disesuaikan dengan tujuan dan manfaat yang mau diambil, karena kemungkinan besar masih banyak potensi di sekitar kota atau kabupaten sesuai domisili sekolah yang dapat menambah wawasan bagi siswa,” tambah dia.

Dengan begitu, sebenarnya kegiatan study tour dalam kota  juga dapat membantu meningkatkan perekonomian UMKM di wilayah asal/ domisili sekolah tersebut. “Wawasan siswa juga tetap diperkaya melalui pengenalan potensi alam, ekonomi, sosial dan budaya di daerahnya sendiri,” tutupnya.

Baca Selengkapnya

BERITA

Tak Hanya Kriteria Fisik, Penerapan KRIS Harus Pastikan Ketersediaan Tenaga Kesehatan dan Obat

Oleh

Fakta News
Tak Hanya Kriteria Fisik, Penerapan KRIS Harus Pastikan Ketersediaan Tenaga Kesehatan dan Obat
Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani. Foto: DPR RI

Jakarta – Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani menyatakan perlu ada kajian lebih lanjut pasca dihapuskannya kelas BPJS Kesehatan menjadi Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) yang diwajibkan terhadap rumah sakit. Sebab, menurutnya, perubahan sistem tersebut, pasti akan memunculkan beberapa konsekuensi dari masyarakat yang menjadi peserta BPJS Kesehatan. Konsekuensi tersebut tidak hanya terkait keharusan memenuhi kriteria fisik, melainkan juga harus memastikan adanya ketersediaan tenaga kesehatan dan juga obat-obatan yang terstandardisasi.

“Banyak rumah sakit yang tidak siap untuk mengimplementasikan Kelas Rawat Inap Standar. Kenapa? Karena memang kalau kita bicara tentang kemampuan rumah sakit, (maka juga terkait) cash flow rumah sakit untuk membuat penyesuaian. Jadi kita minta untuk dilakukan kajian, kenapa? karena ketika kelas rawat inap standar ini diterapkan, diimplementasikan sudah pasti akan terjadi beberapa fenomena ya,” ujar Netty kepada Parlementaria di Gedung Nusantara II, DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (15/5/2024).

Diketahui, penghapusan Kelas BPJS Kesehatan menjadi KRIS tersebut merupakan amanat UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). UU tersebut lalu diturunkan dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.  Salah satunya yakni mengatur penerapan fasilitas ruang perawatan rumah sakit dengan 12 kriteria. Namun implementasinya selalu diundur oleh Pemerintah karena banyak rumah sakit yang tidak siap.

Konsekuensi yang akan terjadi di antaranya yakni adanya gejolak di antara peserta BPJS Kesehatan. Adanya KRIS ini bisa diartikan akan tidak adanya perbedaan antara kelas satu, dua dan tiga karena setiap kelas akan mendapatkan layanan yang sama dengan kamar yang sama. Untuk itu perlu pengkajian, baik mengenai Premi BPJS, Imigrasi Peserta, dan Insentif untuk rumah sakit swasta.

“Jika semua peserta akan mendapatkan layanan yang sama, berarti kan kita harus mulai menghitung atau melibatkan aktuaria untuk menghitung paket INA-CBG. Apakah betul jarum suntiknya, obatnya, alat infusnya itu sama? kalau kemudian semuanya mendapatkan layanan yang sama. Nah ini saya minta kemarin supaya dilakukan kajian apakah Premi BPJS nya masih seperti itu?,” ujarnya.

Imigrasi peserta juga dikhawatirkan akan terjadi, karena pasti banyak peserta yang menganggap tidak adanya perbedaan pelayanan yang didapatkan antara kelas satu, dua dan tiga sehingga semua akan memilih kelas yang rendah saja. “Karena (masyarakat) pasti berpikirnya sama-sama? (Ibaratnya) kok Tuan dengan Pekerja, (bayar preminya) sama. Atasan dengan bawahan (bayar preminya) sekarang  sama gitu, bisa di ruangan yang sama, itu analoginya yang paling mudah,” jelas Politisi Fraksi PKS itu.

Kemudian insentif untuk rumah sakit swasta juga perlu dipikirkan, karena dengan adanya KRIS ini membuat rumah sakit swasta juga perlu melakukan penyesuaian. “Karena kan enggak ada anggaran dari pemerintah untuk rumah sakit swasta, berbeda dengan rumah sakit pemerintah. Ya pastinya mereka mendapatkan anggaran untuk bisa melakukan penyesuaian ruangan, tirai, kamar mandi dan seterusnya,” tambahnya

Namun, menurut Legislator dapil Jawa Barat VIII itu, catatan penting dalam penerapan KRIS ini bukan hanya soal kriteria fisik mengenai fasilitas pelayanan ruang inap saja, yang terpenting juga ketersediaan tenaga kesehatan dan obat bagi para pasien.

“Jadi jangan cuma kemudian kita merasa sudah memberikan layanan terbaik ketika kita bicara fisik, padahal kemudian ada dokter yang tidak datang pada jam prakteknya atau ketika pasien masih banyak dokter sudah pulang atau obat-obatan sebagiannya masih cost sharing, harus ambil dari kocek pasien. Nah hal seperti ini menurut saya perlu dibenahi. Kenapa? karena bagaimanapun ketika kita bicara kesehatan, yang sakit tidak bisa menunggu, yang miskin tidak dapat diabaikan,” tegasnya.

Baca Selengkapnya

BERITA

Forum WWF 2024 Diharapkan Turunkan Konflik Air di Seluruh Dunia

Oleh

Fakta News
Forum WWF 2024 Diharapkan Turunkan Konflik Air di Seluruh Dunia
Wakil Ketua BKSAP Putu Supadma Rudana, saat mengikuti rapat bersama Ms. Yoon Jin selaku Director of 10th World Water Forum di Ruang Delegasi Nusantara III, DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (7/5/2024). Foto: DPR RI

Jakarta – Wakil Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI Putu Supadma Rudana mengatakan, melalui WWF 2024 diharapkan akan melahirkan komitmen bersama terkait air yang disepakati oleh seluruh Parlemen yang ada. Hal ini disampaikan dalam rangka World Water Forum (WWF) 2024 yang akan diselenggarakan di Bali pada 18-25 Mei 2024 mendatang.

“Yang pertama kan jelas untuk meng-evaluasi SDGs Nomor 6 tentang Air dan Sanitasi. Yang kedua bagaimana perspektif ini masa lalu ini harus dihadirkan. Contoh di Bali, karena saya orang Bali, ada Tri Hita Karana hubungan harmoni antara alam manusia dan Sang Pencipta. Yang kedua bagaimana di Bali, air yang disebut tirta selalu dimuliakan ada tempat sucinya, ada bagaimana kita melakukan penyucian dengan air juga, ada bagaimana air ini juga sangat dihormati, dihargai,” kata Putu usai rapat di ruang delgasi, Gedung Parlemen, Jakarta, Rabu (15/5/2024).

Putu menilai pengelolaan air yang benar dapat menurunkan potensi terjadi konflik. Menurutnya, sudah banyak negara yang mengalami konflik karena air contohnya di Sungai Nil. Sementara itu telah terjadi perselisihan selama 10 tahun antara Mesir dan Ethiopia mengenai pasokan air di Sungai Nil. Kedua pihak mencari solusi internasional, namun perundingan yang dipimpin oleh Departemen Luar Negeri AS – dan diikuti oleh Uni Eropa dan PBB – hanya menghasilkan sedikit kesepakatan setelah empat tahun.

“Nah tentu kita harus merawat menata air bagaimana kita juga jangan sampai air ini menimbulkan konflik. Karena banyak negara sudah mulai ada konflik terhadap air di Sungai Nil, jadi Afrika ini sudah menjadi konflik. Nah tentu karena belum menuju potensi itu tentu kita harus mengelola bersama. Kita cari komitmen bersama agar akses terhadap air ini khususnya air bersih bisa diterima oleh masyarakat. Jadi artinya bisa diterima langsung dan masyarakat mendapat kesejahteraan jangan ada beban biaya yang tinggi untuk akses terhadap air,” ungkapnya.

“Nah tentu forum ini sangat monumental sehingga kita berpikir awal sudah baik kita tentu harus sukseskan ke depan. Dan forum ini juga kita memiliki komitmen bagaimana menggerakkan aksi parlemen untuk peduli terhadap air dan pada akhirnya memberikan kesejahteraan kepada masyarakat,” tambahnya. Dengan tema WWF kali ini, “Mobilizing Parliamentary Action on Water For Shared Prosperity”, Putu menjelaskan Parlemen di WWF ingin mengeluarkan sebuah dokumen antara komitmen bersama maupun deklarasi.

Baca Selengkapnya