Papua Ab Initio Milik Indonesia
Sudah setengah abad lebih Papua kembali ke Indonesia (1 Mei 1963-1 Mei 2020) kendati masih banyak masyarakat khususnya di Papua mempertanyakan proses ini, dan mempersoalkan pengabaian hak mereka untuk menentukan nasib sendiri (the right for self determination).
Dalam Piagam Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949, Kerajaan Belanda mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia, namun keresidenan Nieuw Guinea (Papua) sesuai Pasal 2 KMB masih tetap di bawah kekuasaan Belanda dengan alasan keresidenan Papua memiliki karakteristik sosio-kultural dan geografis yang berbeda dari Indonesia, sehingga diberi status quo dan akan dibahas satu tahun kemudian.
Sepanjang tahun 1950-an, Presiden Soekarno mendesak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) agar Belanda ditekan untuk menyerahkan Papua kepada Indonesia, namun tidak berhasil. Pada 5 Desember 1957, Bung Karno mengambil tindakan represif dengan mengusir semua warga negara Belanda dari Indonesia serta menasionalisasi perusahaan Belanda. (Justus M. Van Der Kroef, 1958: hal.1).
Dengan tekanan yang juga dilakukan pemerintah AS, Belanda akhirnya menyerahkan Papua kepada PBB melalui New York Agreement, 15 Agustus 1962. Pada 1 Mei 1963, PBB melalui UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority) menyerahkan Papua Ab initio (sesuai semula/from the beginning) ke pemiliknya yang sah yaitu Hindia Belanda (Nederlands-Indië) yang dimerdekakan sebagai Republik Indonesia 17 Agustus 1945.
Melalui Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) tahun 1969 yang diwakili 1.026 orang, Papua dikukuhkan sebagai bagian dari NKRI dan kemudian disahkan pada 19 November 1969 dalam Sidang Umun PBB melalui resolusi No. 2504 (XXIV). Saat itu 80 negara mendukung (termasuk Belanda) dan 30 negara tidak memberi suara (abstain), dan 12 negara tidak hadir.
Fernando Ortiz Sanz, yang mewakili Sekjen PBB U Thant untuk UNRWI (United Nation Representative in West Irian), dengan tugas khusus memonitor dan mengawasi pelaksanaan Pepera, saat di Manokwari, 29 Juli 1969, mengatakan: “Irian Barat seperti kanker yang sedang tumbuh dalam tubuh negara-negara anggota PBB dan tugas saya adalah mengoperasi untuk menghilangkannya” (John Saltford, The United Nations and The Indonesian Take Over of West Papua, 1962-1969, London, 2003: hal.163).
Dengan ditandatanganinya New York Agreement pada 15 Agustus 1962, atas perintah Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia Presiden Sukarno seluruh Operasi Mandala dihentikan.
Sepanjang periode 1950-1959 secara sistematis Belanda semakin mengukuhkan kekuasaannya atas Papua. Belanda terus menebar janji tentang “zelf beschikking recht” (right to self-determination) bagi rakyat Papua. Diperkuat juga dengan pidato Ratu Belanda Juliana pada 20 September 1960 sebagai berikut: ” Di tahun mendatang Nederlands Nieuw Guinea akan memasuki fase baru yang penting dalam pembangunannya menuju penentuan nasib dirinya…” (sumber: Information Department of the Netherlands Ministry for the Interior-March 1961).
Selanjutnya dilaksanakan pemantapan pengembangan sistem politik, partai politik dan pemerintah beserta aparaturnya. (Papuans building their future, March 1961: hal.17). Belanda juga membangun infrastruktur fisik di Papua dalam rangka menumbuh kembangkan pola pikir, sikap dan tindak perilaku rakyat serta para elit politik Papua yang pro-Belanda agar semakin anti-Indonesia (politik devide et impera).
Sejarah membuktikan bahwa persepsi tentang “Negara Papua” yang dibuat Belanda, berhasil mempengaruhi AS dan PBB serta membuat Pemerintah Indonesia ikut terperangkap di dalamnya dan menganggap “Negara Papua” dan atribut-atributnya adalah musuh yang harus dibasmi. Padahal, sumber konflik yang sebenarnya adalah pengembalian keresidenan Nieuw Guinea sebagai koloni (bukan suatu negara) dari kesatuan wilayah jajahan Hindia Belanda yang dimerdekakan sebagai Negara Republik Indonesia, 17 Agustus 1945, sesuai piagam KMB 27 Desember 1949.
Presiden Soekarno merasa dikhianati, karena Belanda tidak menepati perjanjian KMB 27 Desember 1949. Hal inilah yang kemudian membuat Bung Karno “berang” dan merespons taktik-taktik Belanda tersebut dengan mengobarkan Tri Komando Rakyat (TRIKORA).
Amerika Serikat (AS) meragukan kelayakan dan kebijaksanaan posisi Belanda, mengingat prioritas AS dalam menghadapi perang dingin yang ada (termasuk di kawasan Asia), disamping hasil pantauan intelejen AS bahwa sejak 1957, Soekarno menerima bantuan senjata secara masif dan dukungan diplomatik dari Uni Soviet dalam rangka pengembalian Irian Barat ke Indonesia (Peter King, West Papua & Indonesia since Suharto, Independence, Autonomy or Chaos?, Sydney, 2004:hal.21).
Disamping itu Uni Soviet memperbantukan 10 (sepuluh) kapal selamnya dengan Komandan dan seluruh awak (crew) kapal berkebangsaan Rusia (Dirk Vlasblom, Papoea-Een geschiedenis, Amsterdam, 2004: hal.328).
Setelah Bung Karno kobarkan semangat TRIKORA 19 Desember 1961, didukung fakta pertempuran Laut Arafura 15 Januari 1962 antara Belanda dan Indonesia, dimana Komodor Yos Soedarso gugur bersama awak KRI Macan Tutul meyakinkan Presiden Kennedy bahwa Indonesia sangat serius untuk mengembalikan Papua ke Indonesia “at any cost”.
Buat Presiden Sukarno, kembalinya Papua ke pemiliknya yang sah merupakan “point of no return” (tidak ada titik balik). Atas dasar pertimbangan inilah Kennedy membuat nota rahasia kepada Perdana Menteri Belanda Dr. J.E. de Quay tanggal 2 April 1962 yang intinya bila terjadi perang, Belanda maupun pihak Barat secara akal sehat tidak dapat memenangkannya, hanya pihak komunis yang mendapat manfaat sebesar besarnya dari konflik Belanda-Indonesia tersebut.
PBB di dalam beberapa Sidang Umum yang dilakukan berkaitan dengan konflik Belanda dan Indonesia melihat fakta bahwa banyak negara-negara anggota PBB mendukung Indonesia dalam rangka pengembalian koloni Papua kepada pemiliknya yang sah secara Ab initio, yaitu Indonesia (William Henderson, West New Guinea, The Dispute and Its Settlement, Seton Hall University Press,1972: hal 2). Hampir 2/3 negara-negara di dunia mendukung Indonesia. (Prof. B.V.A. Roling, Nieuw Guinea-wereldprobleem! ,Assen, 1957 : hal.10).
John Saltford dalam bukunya The United Nations and the Indonesian Takeover of West Papua, 1962-1969- The Anatomy of Betrayal (2003, hal.8) mengatakan: “Oleh karena itu dibawah prinsip uti possidetis juris WNG (West New Guinea) milik Indonesia. Jika Belanda memberikan WNG kemerdekaannya, akan menjadi tindakan separatisme terhadap Indonesia.”
Belanda berhasil dalam politik adu dombanya dimana persepsi awal tentang keresidenan Nieuw Guinea dinaikan statusnya menjadi Provinsi Nederlands Nieuw Guinea kemudian menjadi “Negara Papua” ternyata dalam perjalanan waktu 50-an tahun lebih menjadi malapetaka dan bencana bagi masyarakat Papua.
Papua telah menjadi korban sejarah yang dimanipulasi oleh Belanda, dimana AS dan PBB ikut terpengaruh secara politik. Ironisnya, pihak Indonesia menerima dan terperangkap didalamnya sebagai suatu politik Belanda yang harus dihadapi dengan kekerasan. Peribahasa: “Gajah bertarung lawan gajah, semut pasti mati terinjak”, bila terjadi peperangan antara Indonesia dan Belanda, orang Papua yang tidak bersalah pasti ikut menjadi korban (mati).
Jakarta perlu membangun suatu kepercayaan kembali (trust building), agar Orang Asli Papua (OAP) lebih percaya kepada pemerintah Indonesia dibandingkan para oknum “provokator” yang menjanjikan Papua merdeka. Karena mereka tidak memahami substansi sejarah awal keresidenan Papua secara benar dan bijak.
Integrasi politik / nasional, pada hakekatnya bersifat dinamis dan selalu mengikuti arus perubahan sosial apalagi di era globalisasi dewasa ini. Dengan demikian masalah Papua tidak bisa dipandang sebagai sesuatu yang “taken for granted” (terima apa adanya) tetapi butuh perubahan mindset (cara berfikir) dan way of acting (cara bertindak) baik di Jakarta maupun masyarakat Papua sendiri dalam menilai perkembangan yang ada sebagai suatu keniscayaan untuk meraih Indonesia yang lebih aman, damai, adil, sejahtera, demokratis dan menghormati HAM sesuai harapan Presiden Jokowi.
Selama ini Papua juga sudah meraih banyak kemajuan termasuk “privilege” sebagai daerah Otonomi Khusus sesuai Undang-Undang Nomor.21 tahun 2001, namun pelaksanaannya oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, belum sesuai harapan masyarakat Papua. Di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi – Ma’ruf Amin, diharapkan dapat membuat Road Map untuk menyelesaikan masalah-masalah di Papua secara permanen dan tuntas sebagai suatu legacy bagi tanah Papua.
Laksamana Madya (Purn) Freddy Numberi
Sesepuh Masyarakat Papua
Gubernur Irian Jaya (April 1998 – 15 April 2000)
Menteri Perhubungan (22 Oktober 2009 – 19 Oktober 2011)
Menteri Kelautan dan Perikanan (21 Oktober 2004 – 20 Oktober 2009)
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (28 Oktober 1999 – 29 Agustus 2000)
BERITA
Komisi III Minta Komnas HAM Tingkatkan Peran, Selesaikan Pelanggaran HAM Berat
Jakarta – Wakil Ketua Komisi III DPR RI Pangeran Khairul Saleh memimpin rapat kerja dengan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Dalam rapat ini Komisi III meminta Komnas HAM untuk meningkatkan peran dan mengoptimalkan pelaksanaan tugas dan fungsi dalam mendukung penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM, termasuk pelanggaran HAM berat.
“Baik itu penyelesaian yudisial maupun non-yudisial, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,” ujarnya di ruang rapat Komisi III, Nusantara II, Senayan, Jakarta, Rabu (30/5/2024).
Lebih lanjut Komisi III DPR meminta Komnas HAM untuk segera menyelesaikan peraturan terkait Penilaian Tindak Lanjut Kepatuhan Rekomendasi, agar dapat menjadi informasi dan tolak ukur dalam tindak lanjut rekomendasi yang telah diberikan.
Bahkan Komisi III meminta Komnas HAM dan Komnas Perempuan untuk lebih proaktif dan sinergis dalam mengidentifikasi potensi permasalahan, melakukan penanganan, maupun pendampingan terhadap seluruh pihak, dalam penerapan dan penegakan prinsip-prinsip HAM, termasuk perlindungan terhadap perempuan di seluruh sektor dan kegiatan.
Sementara itu di lain pihak, Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro menyampaikan bahwa pihaknya saat ini tengah menyusun rancangan Peraturan Komnas HAM terkait Penilaian Tindak Lanjut Kepatuhan Rekomendasi Komnas HAM. “Sebagai salah satu upaya pemasangan untuk meningkatkan efektivitas dari rekomendasi yang diberikan oleh Komnas HAM,” papar Atnike saat rapat.
Menurutnya rekomendasi yang diberikan oleh Komnas HAM dari hasil pemantauan, mediasi, maupun kajian tidak selalu ditindaklanjuti oleh stakeholders maupun kementerian/lembaga karena dianggap tidak mengikat. “Sejumlah kasus juga menunjukkan fungsi mediasi Komnas HAM masih belum dipahami sebagai sebuah solusi strategis,” ucap Atnike.
BERITA
Anggaran Pendidikan Kemenag Dinilai Masih Kecil
Jakarta – Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ace Hasan Syadzily menilai besaran anggaran pendidikan yang diterima Kemenag (Kementerian Agama) untuk mendanai seluruh lembaga pendidikan Islam dan keagamaan masih timpang dibanding kementerian lain.
“Soal anggaran pendidikan di bawah Kementerian Agama harus betul-betulan keadilan anggaran. Kalau kita dengar pidato Menteri Keuangan (Sri Mulyani) dalam rapat paripurna, ya anggaran pendidikan Rp630 triliun, tapi kalau Kemenag hanya dapat Rp35 triliun, buat saya mengkhawatirkan,” kata Kang Ace, sapaannya, dalam keterangan persnya, Rabu (29/5/2024).
Politisi Partai Golkar itu menyatakan, selain Sekretariat Jenderal (Sekjen) Kemenag, anggaran terbesar juga diberikan kepada Direktorat Jenderal (Ditjen) Pendidikan Islam (Pendis) Kemenag sebesar Rp35 triliun.
Ada satu hal yang sangat penting untuk didiskusikan bersama adalah soal berbagai hal terkait anggaran pendidikan nasional. Dari penjelasan Plt Dirjen Pendis, berapa persen KIP Kuliah untuk Perguruan Tinggi Agama Islam (PTKAI) dan perguruan tinggi agama lain.
“Apakah PIP, KIP, apakah sudah mencerminkan suatu keadilan anggaran? Rehab ruang kelas juga belum mencerminkan keseluruhan,” ujar dia.
Kang Ace melihat dari total anggaran pendidikan Rp630 triliun di APBN, Kemenag hanya mendapatkan Rp35 triliun, artinya belum mencerminkan suatu kesetaraan anggaran.
“Padahal anak-anak madrasah, yang kuliah di UIN, STAIN, STAI atau di manapun, mereka juga anak-anak bangsa yang sama untuk mendapatkan perlakuan sama dalam akses pendidikan,” tutur Kang Ace.
Ace mengatakan, keputusan tepat telah diambil Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas yang menunda status Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH) bagi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. “Itu keputusan yang tepat. Kalau tidak, meresnya sama mahasiswa. Berat,” ucap dia.
Jujur saja, ujar Ace, hampir sebagian besar siswa dan mahasiswa yang sekolah di bawah Kemenag berlatar belakang sosial ekonomi kelas menengah bawah. Namun penyaluran program KIP dan PIP untuk mereka juga sedikit.
“Itu anehnya. Jadi ada yang salah dari proses pendataan penyaluran program negara untuk kelompok-kelompok yang membutuhkan itu,” ujar Kang Ace.
BERITA
Imbas Kebakaran Smelter Nikel PT KFI, Komisi VII akan Audit Investigasi
Kutai Kartanegara – Anggota Komisi VII DPR RI Nasyirul Falah Amru mengatakan, pihaknya akan segera melakukan audit investigasi terhadap pabrik smelter nikel PT Kalimantan Ferro Industri. Hal tersebut imbas dari peristiwa dua kali ledakan di pabrik smelter PT KFI yang menewaskan pekerja asing dan lokal belum lama ini.
“Kami akan panggil PT KFI beserta seluruh jajaran direksinya, untuk datang ke Gedung Senayan dan kami akan melakukan audit investigasi. Secara mekanisme, bisa dengan membuat panja nikel atau kita panggil secara khusus di Rapat Dengar Pendapat (RDP). Kami juga tentunya akan melibatkan Kementerian Perindustrian dan Kementerian KLHK dari sisi amdalnya, supaya benar-benar kita melihat secara komprehensif sebab terjadinya ledakan,” ujarnya saat memimpin Tim Kunspek Komisi VII DPR mengunjungi PT KFI di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Rabu (29/5/2024).
Menurut Politisi F-PDI Perjuangan ini, pihaknya menilai, hasil dari temuan dilapangan seperti sarana untuk keselamatan kerja dan sebagainya juga masih jauh dari kurang. Walaupun mereka sudah mendatangkan tim dari Kementerian Industri untuk mekanisme aturan pedomannya, tetapi pihaknya menemukan fakta di lapangan masih belum sesuai dengan harapan.
“Saya berpesan agar tidak terulang terjadi kebakaran atau ledakan, yang paling penting ini adalah mesin yang ada di setiap semelter itu perlu dicek selalu setiap periodik. Kemudian, kalibrasi mesin itu juga penting karena dengan begitu kita akan tahu ukuran mesin ini sesuai dengan kapasitasnya dia berproduksi atau tidak. Sehingga, Insya Allah dengan adanya perawatan yang berkala dan pengawasan yang kita lakukan ini Insya Allah tidak akan terjadi kembali,” jelas Nasyirul.
Selain itu, kami juga tidak menemukan alat pemadam kebakaran sepanjang jalan menuju lokasi meledaknya smelter. Kemudian, rambu-rambu yang ada juga masih sangat terbatas sekali, sehinhha dianggap tidak layak untu perusahaan smelter. “Jadi ini harus segera diperbaiki,” imbuhnya.
“Kita menemukan sesuatu yang di luar dugaan, ketika PT KFI lagi dibangun ada proses namanya commissioning atau uji coba tetapi sudah menimbulkan kejadian terjadinya ledakan. Padahal masih tahap uji coba, tetapi dua tenaga kerja asing dan dua pekerja lokal turut menjadi korban akibat ledakan di smelter nikel tersebut,” ucapnya lagi.