Jalan Buntu Komunisme di Indonesia
Indonesia Melarang Komunisme
Munculnya usulan DPR RI untuk menerbitkan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila (HIP) memunculkan reaksi beragam. Aksi pro dan kontra mewarnai perang opini di masyarakat utamanya di media sosial. Dari berbagai reaksi yang muncul atas usulan RUU ini yang paling mengedepan dalam diskusi publik adalah masalah kebangkitan paham komunis di Indonesia.
Paham komunis di Indonesia secara resmi dilarang melalui Ketetapan MPRS XXV/MPRS/1966. Dalam Pasal 2 dan Pasal 3 TAP MPRS tersebut secara utuh berbunyi:
Pasal 2
Setiap kegiatan di Indonesia untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, dan penggunaan segala macam aparatur serta Media bagi penyebaran atau pengembangan faham atau ajaran tersebut, dilarang.
Pasal 3
Khususnya mengenai kegiatan mempelajari secara ilmiah, seperti pada Universitas-universitas, faham Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam rangka mengamankan Pancasila, dapat dilakukan secara terpimpin, dengan ketentuan, bahwa Pemerintah dan DPR-GR, diharuskan mengadakan perundang-undangan untuk pengamanan.
Dari kutipan diatas dapat disimpulkan bahwa segala bentuk penyebaran faham komunis di Indonesia dilarang tanpa kecuali. Disisi lain kajian-kajian secara ilmiah di universitas masih diperbolehkan. Poin yang penting lagi adalah adanya amanat kepada pemerintah dan DPR untuk mengadakan Undang-undang untuk pengamanan.
Hingga lebih dari 50 tahun usia TAP MPRS ini, amanat penyusunan UU seperti yang tertuang dalam Pasal 3 tersebut belum terlaksana. Diawal munculnya usulan penerbitan UU HIP penulis menduga ini adalah pelaksanaan amanat TAP MPS tersebut. Namu kenyataannya justru RUU ini tidak mencantumkan TAP MPRS tersebut sebagai landasan penyusunan.
Tidak tercantumnya TAP MPRS XXV/MPRS/1966 dalam konsideran RUU HIP memunculkan opini sebagian masyarakat bahwa RUU HIP adalah pintu masuk bangkitnya komunisme di Indonesia. Dipihak lain beberapa pengusul memberi penjelasan bahwa RUU ini lebih menitikberatkan pada status Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
Lalu benarkah TAP MPRS XXV/MPRS/1966 akan dihilangkan? benarkah munculnya RUU HIP akan dapat menghidupkan kembali komunisme di Indonesia?
Posisi TAP MPRS XXV Tahun 1966 dalam hukum ketatanegaraan kita
Amandemen UUD 1945 yang dilakukan pada awal reformasi merubah struktur ketatanegaraan di Indonesia. MPR yang sebelumnya menjadi lembaga tertinggi negara berubah menjadi lembaga tinggi negara setingkat dengan lembaga tinggi lainnya. Disamping itu MPR tidak lagi berhak menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Dampak dicabutnya kewenangan MPR menetapkan GBHN salah satunya adalah tidak adanya lagi penerbitan TAP MPR yang bersifat mengatur (regeling). Sebelumnya, MPR bisa menerbitkan TAP MPR sebab TAP MPR adalah produk turunan dari GBHN. Ketika kewenangan menetapkan GBHN hilang dengan sendirinya TAP MPR tidak ada lagi.
Mendasar pada perubahan tersebut, pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2003 ditetapkanlah TAP MPR Nomor I/MPR2003 yang mengatur tentang materi dan status hukum TAP MPR/S yang sudah ada. TAP MPR ini sekaligus menjadi TAP MPR terakhir yang ada di Indonesia.
Dalam TAP MPR Nomor I/MPR/2003 ini, seluruh TAP MPR/S yang terbit dari tahun 1960 hingga tahun 2002 dibagi status hukumnya menjadi 6 kategori yaitu:
1. Dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (8 ketetapan);
2. Tetap berlaku dengan ketentuan masing-masing (3 ketetapan);
3. Berlaku sampai dengan terbentuknya pemerintahan hasil Pemilu 2004 (8 ketetapan);
4. Berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang (11 ketetapan);
5. Berlaku sampai dengan ditetapkannya Peraturan Tata Tertib MPR yang baru tahun 2004 (5 ketetapan);dan
6. Tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat einmalig (final), telah dicabut. maupun telah selesai dilaksanakan (104 ketetapan).
TAP MPRS XXV/MPRS/1966 adalah salah satu ketetapan yang masuk dalam kategori ke 2 yaitu tetap berlaku dengan ketentuan masing-masing. Untuk TAP MPRS XXV/MPRS/1966 ini ketentuan yang ada dalam keteapan tersebut selengkapnya berbunyi:
Seluruh ketentuan dalarn Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sernentara Republik Indonesia Nomor XXV/MPRS/1966 ini. ke depan diberlakukan dengan berkeadilan dan menghormati hukum, prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.
Jalan Buntu Menghidupkan Kembali Komunisme
Ditetapkannya TAP MPRS XXV/MPRS/1966 dalam kategori ketetapan yang tetap berlaku mengandung konsekwensi yang panjang. Berbeda dengan undang-undang yang bisa dirubah sewaktu-waktu, merubah TAP MPR bukan masalah yang sederhana.
Kewenangan MPR sesuai amandemen UUD 1945 yang tidak berwenang lagi menetapkan GBHN berakibat pada tidak adanya lagi kewenangan penerbitan TAP MPR sebab TAP MPR adalah turunan dari GBHN. Ini artinya TAP MPRS XXV/MPRS/1966 tidak bisa diubah atau dicabut bahkan oleh MPR sendiri.
Disisi lain produk hukum yang ada di Indonesia, posisi TAP MPR dalam tata urutan perundang-undangan hanya bisa dikalahkan oleh UUD sehingga produk hokum stingkat undang-undang apalagi yang berada dibawahnya tidak bisa merubah atau mencabut TAP MPR.
Ruang untuk mencabut TAP MPR melalui uji materi di Mahkamah Konstitusi sejauh ini juga tidak ada dasar hukumnya. Sebab dalam UUD 1945 hasil amandemen diatur bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji undang-undang sedangkan TAP MPR posisinya berada diatas undang-undang.
Kondisi diatas menggambarkan bahwa TAP MPRS XXV/MPRS/1966 tidak bisa dirubah, dicabut maupun digugat. Dengan kata lain komunisme tidak lagi memiliki ruang hukum untuk kembali di Indonesia. Keributan yang terjadi tentang bangkitnya komunisme selama ini seperti kekhawatiran akan adanya pengendara mobil yang akan kabur lewat jalan buntu.
Pemerintah melalui Menkopolhumkam Mahfud MD sudah menegaskan akan mengusulkan pencantuman TAP MPRS XXV/MPRS/1966 dalam konsideran RUU HIP. Pemerintah juga secara tegas akan menolak pencabutan larangan komunisme jika usulan tersebut ada.
Sikap ini sangat tepat jika kita melihat uraian tentang posisi TAP MPR diatas. Demikian pula sudah tepat jika baru sekarang pemerintah mengeluarkan sikap itu, sebab sebagai sesama lembaga tinggi negara tidak seyogyanya pemerintah mengeluarkan sikap tersebut disaat persoalan masih menjadi pembahasan internal DPR.
Nanang Priyo Utomo
LPBI NU Kab. Madiun
BERITA
Komisi III Minta Komnas HAM Tingkatkan Peran, Selesaikan Pelanggaran HAM Berat
Jakarta – Wakil Ketua Komisi III DPR RI Pangeran Khairul Saleh memimpin rapat kerja dengan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Dalam rapat ini Komisi III meminta Komnas HAM untuk meningkatkan peran dan mengoptimalkan pelaksanaan tugas dan fungsi dalam mendukung penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM, termasuk pelanggaran HAM berat.
“Baik itu penyelesaian yudisial maupun non-yudisial, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,” ujarnya di ruang rapat Komisi III, Nusantara II, Senayan, Jakarta, Rabu (30/5/2024).
Lebih lanjut Komisi III DPR meminta Komnas HAM untuk segera menyelesaikan peraturan terkait Penilaian Tindak Lanjut Kepatuhan Rekomendasi, agar dapat menjadi informasi dan tolak ukur dalam tindak lanjut rekomendasi yang telah diberikan.
Bahkan Komisi III meminta Komnas HAM dan Komnas Perempuan untuk lebih proaktif dan sinergis dalam mengidentifikasi potensi permasalahan, melakukan penanganan, maupun pendampingan terhadap seluruh pihak, dalam penerapan dan penegakan prinsip-prinsip HAM, termasuk perlindungan terhadap perempuan di seluruh sektor dan kegiatan.
Sementara itu di lain pihak, Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro menyampaikan bahwa pihaknya saat ini tengah menyusun rancangan Peraturan Komnas HAM terkait Penilaian Tindak Lanjut Kepatuhan Rekomendasi Komnas HAM. “Sebagai salah satu upaya pemasangan untuk meningkatkan efektivitas dari rekomendasi yang diberikan oleh Komnas HAM,” papar Atnike saat rapat.
Menurutnya rekomendasi yang diberikan oleh Komnas HAM dari hasil pemantauan, mediasi, maupun kajian tidak selalu ditindaklanjuti oleh stakeholders maupun kementerian/lembaga karena dianggap tidak mengikat. “Sejumlah kasus juga menunjukkan fungsi mediasi Komnas HAM masih belum dipahami sebagai sebuah solusi strategis,” ucap Atnike.
BERITA
Anggaran Pendidikan Kemenag Dinilai Masih Kecil
Jakarta – Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ace Hasan Syadzily menilai besaran anggaran pendidikan yang diterima Kemenag (Kementerian Agama) untuk mendanai seluruh lembaga pendidikan Islam dan keagamaan masih timpang dibanding kementerian lain.
“Soal anggaran pendidikan di bawah Kementerian Agama harus betul-betulan keadilan anggaran. Kalau kita dengar pidato Menteri Keuangan (Sri Mulyani) dalam rapat paripurna, ya anggaran pendidikan Rp630 triliun, tapi kalau Kemenag hanya dapat Rp35 triliun, buat saya mengkhawatirkan,” kata Kang Ace, sapaannya, dalam keterangan persnya, Rabu (29/5/2024).
Politisi Partai Golkar itu menyatakan, selain Sekretariat Jenderal (Sekjen) Kemenag, anggaran terbesar juga diberikan kepada Direktorat Jenderal (Ditjen) Pendidikan Islam (Pendis) Kemenag sebesar Rp35 triliun.
Ada satu hal yang sangat penting untuk didiskusikan bersama adalah soal berbagai hal terkait anggaran pendidikan nasional. Dari penjelasan Plt Dirjen Pendis, berapa persen KIP Kuliah untuk Perguruan Tinggi Agama Islam (PTKAI) dan perguruan tinggi agama lain.
“Apakah PIP, KIP, apakah sudah mencerminkan suatu keadilan anggaran? Rehab ruang kelas juga belum mencerminkan keseluruhan,” ujar dia.
Kang Ace melihat dari total anggaran pendidikan Rp630 triliun di APBN, Kemenag hanya mendapatkan Rp35 triliun, artinya belum mencerminkan suatu kesetaraan anggaran.
“Padahal anak-anak madrasah, yang kuliah di UIN, STAIN, STAI atau di manapun, mereka juga anak-anak bangsa yang sama untuk mendapatkan perlakuan sama dalam akses pendidikan,” tutur Kang Ace.
Ace mengatakan, keputusan tepat telah diambil Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas yang menunda status Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH) bagi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. “Itu keputusan yang tepat. Kalau tidak, meresnya sama mahasiswa. Berat,” ucap dia.
Jujur saja, ujar Ace, hampir sebagian besar siswa dan mahasiswa yang sekolah di bawah Kemenag berlatar belakang sosial ekonomi kelas menengah bawah. Namun penyaluran program KIP dan PIP untuk mereka juga sedikit.
“Itu anehnya. Jadi ada yang salah dari proses pendataan penyaluran program negara untuk kelompok-kelompok yang membutuhkan itu,” ujar Kang Ace.
BERITA
Imbas Kebakaran Smelter Nikel PT KFI, Komisi VII akan Audit Investigasi
Kutai Kartanegara – Anggota Komisi VII DPR RI Nasyirul Falah Amru mengatakan, pihaknya akan segera melakukan audit investigasi terhadap pabrik smelter nikel PT Kalimantan Ferro Industri. Hal tersebut imbas dari peristiwa dua kali ledakan di pabrik smelter PT KFI yang menewaskan pekerja asing dan lokal belum lama ini.
“Kami akan panggil PT KFI beserta seluruh jajaran direksinya, untuk datang ke Gedung Senayan dan kami akan melakukan audit investigasi. Secara mekanisme, bisa dengan membuat panja nikel atau kita panggil secara khusus di Rapat Dengar Pendapat (RDP). Kami juga tentunya akan melibatkan Kementerian Perindustrian dan Kementerian KLHK dari sisi amdalnya, supaya benar-benar kita melihat secara komprehensif sebab terjadinya ledakan,” ujarnya saat memimpin Tim Kunspek Komisi VII DPR mengunjungi PT KFI di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Rabu (29/5/2024).
Menurut Politisi F-PDI Perjuangan ini, pihaknya menilai, hasil dari temuan dilapangan seperti sarana untuk keselamatan kerja dan sebagainya juga masih jauh dari kurang. Walaupun mereka sudah mendatangkan tim dari Kementerian Industri untuk mekanisme aturan pedomannya, tetapi pihaknya menemukan fakta di lapangan masih belum sesuai dengan harapan.
“Saya berpesan agar tidak terulang terjadi kebakaran atau ledakan, yang paling penting ini adalah mesin yang ada di setiap semelter itu perlu dicek selalu setiap periodik. Kemudian, kalibrasi mesin itu juga penting karena dengan begitu kita akan tahu ukuran mesin ini sesuai dengan kapasitasnya dia berproduksi atau tidak. Sehingga, Insya Allah dengan adanya perawatan yang berkala dan pengawasan yang kita lakukan ini Insya Allah tidak akan terjadi kembali,” jelas Nasyirul.
Selain itu, kami juga tidak menemukan alat pemadam kebakaran sepanjang jalan menuju lokasi meledaknya smelter. Kemudian, rambu-rambu yang ada juga masih sangat terbatas sekali, sehinhha dianggap tidak layak untu perusahaan smelter. “Jadi ini harus segera diperbaiki,” imbuhnya.
“Kita menemukan sesuatu yang di luar dugaan, ketika PT KFI lagi dibangun ada proses namanya commissioning atau uji coba tetapi sudah menimbulkan kejadian terjadinya ledakan. Padahal masih tahap uji coba, tetapi dua tenaga kerja asing dan dua pekerja lokal turut menjadi korban akibat ledakan di smelter nikel tersebut,” ucapnya lagi.