Inkonsistensi Otonomi Khusus Papua
Dalam pelaksanaan Otonomi Khusus (Otsus) di Papua pemerintah kurang memperhatikan dan tidak mengintegrasikan budaya Orang Asli Papua (OAP) dalam pembangunan yang ada. Hal itu baru terjadi dalam tahun terakhir Presiden SBY pada tahun 2014.
Michael Brown (1966) mengatakan bahwa diskriminasi politik dan kesenjangan ekonomi memainkan peranan penting manakala suatu kelompok etnis atau minoritas ingin memisahkan diri untuk memiliki suatu pemerintahan sendiri.
Pergantian pemerintahan dari rezim otoriter ke rezim yang demokratis di era reformasi, belum merupakan suatu jaminan transformasi Indonesia ke arah yang lebih adil dan manusiawi, karena sistem politik yang diwarisi adalah budaya politik otoriter.
Evaluasi kritis masyarakat baik di Pusat maupun di daerah tentang pelaksanaan Otsus Papua bukan hanya diskriminasi politik dan kesenjangan ekonomi saja tetapi juga dalam hal penegakan hukum (kasus korupsi dll), sosial-budaya (pembangunan yang salah arah), maupun pendekatan keamanan (harusnya pendekatan kesejahteraan) ikut menjadi faktor pemicu rasa ketidakpuasan rakyat Papua terhadap pemerintah (pusat dan daerah). Ketidakpuasan masyarakat Papua karena Otsus juga tidak dilaksanakan sesuai pasal-pasal yang ada (inkonsisten).
Kelima masalah tersebut dapat diuraikan lanjut sebagai berikut:
Pertama, hak-hak politik OAP dalam mengekspresikan jati diri mereka dalam alam Indonesia yang merdeka, demokratis serta di era reformasi ini seringdiredam, malah dicurigai sebagai separatis.
Kedua, kesenjangan ekonomi antara saudara-saudara kita (pendatang) dari luar dengan OAP sangat mencolok, karena dalam pelaksanaan Otsus tidak ada aksi afirmasi yang berpihak kepada OAP. Padahal UU Otsus 21/tahun 2001 mengamanatkan hal itu. Contohnya pasal 43 UU Otsus (Perlindungan hak-hak masyarakat adat). Intinya belum ada keberpihakan kepada OAP.
Ketiga, penegakan hukum yang tidak berjalan dengan baik, dimana banyak kasus korupsi yang menurut OAP tidak jelas penyelesaiannya, bahkan bagi OAP terkesan adanya oligarki, kolusi dan nepotisme. Dana Otsus yang dikucurkan lebih dari cukup, sayangnya OAP pada tingkat akar rumput tidak menikmatinya.
Disamping itu, banyak pasal-pasal dalam UU OTSUS 21/2001 yang “diamputasi” oleh Mahkamah Konstitusi, misalnya pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur oleh DPRP (pasal 7), Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (pasal 45) juga dibatalkan Makamah Konstitusi. Partai Politik lokal (pasal 28) juga belum dibentuk.
Ini adalah kekhususan-kekhususan yang ada dan telah disetujui Pemerintah Pusat, sehingga UU OTSUS itu bisa ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Kalau ini hilang, kekhususannya dimana???
Keempat, dalam bidang Sosial-Budaya masyarakat asli Papua juga tergerus dari akar budaya mereka, karena pembangunan yang ada selama ini apalagi dalam era Otsus tidak nampak pengintegrasian karakteristik budaya sesuai 7 (tujuh) wilayah budaya orang Papua. Di samping tidak bersifat Tematik, Holistik, Integratif, Spasial dan Sustainable (tidak merusak lingkungan) dalam program maupun kebijakan yang dibuat dalam rencana pembangunan di Tanah Papua (Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat).
Denis Leith (The Politics of Power, University of Hawaii Press, 2003: hal.7) dalam penelitiannya di Papua menyebutnya sebagai “Cultural Genocide” (pemusnahan kultur manusia OAP) dan “Ecocide” (pemusnahan Lingkungan Hidup di Tanah Papua).
Kelima, dalam bidang keamanan dan ketertiban masyarakat, pendekatan yang dilakukan adalah sekuriti dan selama ini menimbulkan benturan dan konflik yang akhirnya menimbulkan etidakpuasan rakyat terhadap pemerintah. Tidak konsistennya pelaksanaan Otsus ini sebagai akibat dari tidak terlaksananya komitmen pemerintah sesuai amanat UU Otsus tersebut.
Di samping itu masih ada rasa curiga dan distrust antara Papua dan Jakarta, karena dipicu lima faktor diatas. Kita tidak berhasil merebut hati dan pikiran Orang Asli Papua sebagai bagian integral dari Bangsa Indonesia. Presiden Jokowi sudah menunjukan hasilnya dalam periode–I kepemimpinan beliau. Dalam periode-II ini harus di dukung oleh semua pihak termasuk Kementrian/Lembaga dan pemerintah Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat serta semua Stakeholders yang mencintai Tanah Papua.
Dalam periode-II Presiden Jokowi telah mengubah pendekatan keamanan/sekuriti, menjadi:
1. Pendekatan Antropologis, dengan terus melibatkan dan mendengarkan masyarakat;
2. Pendekatan Kesejahteraan, dengan terus menggenjot pembangunan di berbagai bidang untuk meningkatkan konektivitas yang berujung pada peningkatan kesejahteraan;
3. Pendekatan Evaluatif, dengan secara ketat mengawasi pembangunan di Papua lewat kunjungan kerja rutin setiap tahunnya.
Selanjutnya sasaran dalam paradigma baru tersebut adalah:
(1) Masyarakat Adat;
(2) Agama;
(3) Perempuan.
Didukung 5 agenda Prioritas:
(1) Kualitas Lingkungan Hidup dan Ketahanan Bencana;
(2) Tata kelola Pemerintahan dan Keamanan dengan tetap menghormati HAM;
(3) Transformasi Ekonomi Berbasis Wilayah Adat dari Hulu ke Hilir dan bersifat Tematik, Holistik, Integratif, Spasial dan Sustainable;
(4) SDM Papua yang unggul, Inovatif, berkarakter dan kontekstual;
(5) Infrastruktur Dasar dan Ekonomi.
Hasil akhir kedepan (output) adalah Orang Asli Papua yang sejahtera, aman, damai, adil, demokratis dan adanya penghormatan terhadap HAM. Sedangkan outcome yang diharapkan adalah Ketahanan Nasional Bangsa Indonesia dan Keutuhan NKRI lebih terjamin.
Ambassador/Laksamana Madya TNI (purn) Freddy Numberi
BERITA
Komisi III Minta Komnas HAM Tingkatkan Peran, Selesaikan Pelanggaran HAM Berat
Jakarta – Wakil Ketua Komisi III DPR RI Pangeran Khairul Saleh memimpin rapat kerja dengan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Dalam rapat ini Komisi III meminta Komnas HAM untuk meningkatkan peran dan mengoptimalkan pelaksanaan tugas dan fungsi dalam mendukung penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM, termasuk pelanggaran HAM berat.
“Baik itu penyelesaian yudisial maupun non-yudisial, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,” ujarnya di ruang rapat Komisi III, Nusantara II, Senayan, Jakarta, Rabu (30/5/2024).
Lebih lanjut Komisi III DPR meminta Komnas HAM untuk segera menyelesaikan peraturan terkait Penilaian Tindak Lanjut Kepatuhan Rekomendasi, agar dapat menjadi informasi dan tolak ukur dalam tindak lanjut rekomendasi yang telah diberikan.
Bahkan Komisi III meminta Komnas HAM dan Komnas Perempuan untuk lebih proaktif dan sinergis dalam mengidentifikasi potensi permasalahan, melakukan penanganan, maupun pendampingan terhadap seluruh pihak, dalam penerapan dan penegakan prinsip-prinsip HAM, termasuk perlindungan terhadap perempuan di seluruh sektor dan kegiatan.
Sementara itu di lain pihak, Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro menyampaikan bahwa pihaknya saat ini tengah menyusun rancangan Peraturan Komnas HAM terkait Penilaian Tindak Lanjut Kepatuhan Rekomendasi Komnas HAM. “Sebagai salah satu upaya pemasangan untuk meningkatkan efektivitas dari rekomendasi yang diberikan oleh Komnas HAM,” papar Atnike saat rapat.
Menurutnya rekomendasi yang diberikan oleh Komnas HAM dari hasil pemantauan, mediasi, maupun kajian tidak selalu ditindaklanjuti oleh stakeholders maupun kementerian/lembaga karena dianggap tidak mengikat. “Sejumlah kasus juga menunjukkan fungsi mediasi Komnas HAM masih belum dipahami sebagai sebuah solusi strategis,” ucap Atnike.
BERITA
Anggaran Pendidikan Kemenag Dinilai Masih Kecil
Jakarta – Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ace Hasan Syadzily menilai besaran anggaran pendidikan yang diterima Kemenag (Kementerian Agama) untuk mendanai seluruh lembaga pendidikan Islam dan keagamaan masih timpang dibanding kementerian lain.
“Soal anggaran pendidikan di bawah Kementerian Agama harus betul-betulan keadilan anggaran. Kalau kita dengar pidato Menteri Keuangan (Sri Mulyani) dalam rapat paripurna, ya anggaran pendidikan Rp630 triliun, tapi kalau Kemenag hanya dapat Rp35 triliun, buat saya mengkhawatirkan,” kata Kang Ace, sapaannya, dalam keterangan persnya, Rabu (29/5/2024).
Politisi Partai Golkar itu menyatakan, selain Sekretariat Jenderal (Sekjen) Kemenag, anggaran terbesar juga diberikan kepada Direktorat Jenderal (Ditjen) Pendidikan Islam (Pendis) Kemenag sebesar Rp35 triliun.
Ada satu hal yang sangat penting untuk didiskusikan bersama adalah soal berbagai hal terkait anggaran pendidikan nasional. Dari penjelasan Plt Dirjen Pendis, berapa persen KIP Kuliah untuk Perguruan Tinggi Agama Islam (PTKAI) dan perguruan tinggi agama lain.
“Apakah PIP, KIP, apakah sudah mencerminkan suatu keadilan anggaran? Rehab ruang kelas juga belum mencerminkan keseluruhan,” ujar dia.
Kang Ace melihat dari total anggaran pendidikan Rp630 triliun di APBN, Kemenag hanya mendapatkan Rp35 triliun, artinya belum mencerminkan suatu kesetaraan anggaran.
“Padahal anak-anak madrasah, yang kuliah di UIN, STAIN, STAI atau di manapun, mereka juga anak-anak bangsa yang sama untuk mendapatkan perlakuan sama dalam akses pendidikan,” tutur Kang Ace.
Ace mengatakan, keputusan tepat telah diambil Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas yang menunda status Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH) bagi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. “Itu keputusan yang tepat. Kalau tidak, meresnya sama mahasiswa. Berat,” ucap dia.
Jujur saja, ujar Ace, hampir sebagian besar siswa dan mahasiswa yang sekolah di bawah Kemenag berlatar belakang sosial ekonomi kelas menengah bawah. Namun penyaluran program KIP dan PIP untuk mereka juga sedikit.
“Itu anehnya. Jadi ada yang salah dari proses pendataan penyaluran program negara untuk kelompok-kelompok yang membutuhkan itu,” ujar Kang Ace.
BERITA
Imbas Kebakaran Smelter Nikel PT KFI, Komisi VII akan Audit Investigasi
Kutai Kartanegara – Anggota Komisi VII DPR RI Nasyirul Falah Amru mengatakan, pihaknya akan segera melakukan audit investigasi terhadap pabrik smelter nikel PT Kalimantan Ferro Industri. Hal tersebut imbas dari peristiwa dua kali ledakan di pabrik smelter PT KFI yang menewaskan pekerja asing dan lokal belum lama ini.
“Kami akan panggil PT KFI beserta seluruh jajaran direksinya, untuk datang ke Gedung Senayan dan kami akan melakukan audit investigasi. Secara mekanisme, bisa dengan membuat panja nikel atau kita panggil secara khusus di Rapat Dengar Pendapat (RDP). Kami juga tentunya akan melibatkan Kementerian Perindustrian dan Kementerian KLHK dari sisi amdalnya, supaya benar-benar kita melihat secara komprehensif sebab terjadinya ledakan,” ujarnya saat memimpin Tim Kunspek Komisi VII DPR mengunjungi PT KFI di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Rabu (29/5/2024).
Menurut Politisi F-PDI Perjuangan ini, pihaknya menilai, hasil dari temuan dilapangan seperti sarana untuk keselamatan kerja dan sebagainya juga masih jauh dari kurang. Walaupun mereka sudah mendatangkan tim dari Kementerian Industri untuk mekanisme aturan pedomannya, tetapi pihaknya menemukan fakta di lapangan masih belum sesuai dengan harapan.
“Saya berpesan agar tidak terulang terjadi kebakaran atau ledakan, yang paling penting ini adalah mesin yang ada di setiap semelter itu perlu dicek selalu setiap periodik. Kemudian, kalibrasi mesin itu juga penting karena dengan begitu kita akan tahu ukuran mesin ini sesuai dengan kapasitasnya dia berproduksi atau tidak. Sehingga, Insya Allah dengan adanya perawatan yang berkala dan pengawasan yang kita lakukan ini Insya Allah tidak akan terjadi kembali,” jelas Nasyirul.
Selain itu, kami juga tidak menemukan alat pemadam kebakaran sepanjang jalan menuju lokasi meledaknya smelter. Kemudian, rambu-rambu yang ada juga masih sangat terbatas sekali, sehinhha dianggap tidak layak untu perusahaan smelter. “Jadi ini harus segera diperbaiki,” imbuhnya.
“Kita menemukan sesuatu yang di luar dugaan, ketika PT KFI lagi dibangun ada proses namanya commissioning atau uji coba tetapi sudah menimbulkan kejadian terjadinya ledakan. Padahal masih tahap uji coba, tetapi dua tenaga kerja asing dan dua pekerja lokal turut menjadi korban akibat ledakan di smelter nikel tersebut,” ucapnya lagi.