Connect with us

ELIT LAMA VS ELIT BARU DALAM ISU TIGA PERIODE

Analisis ini berdasar pemberitaan di media terkait tiga isu Amandamen UUD 1945 yakni agenda menghidupkan GBHN, kemudian memperpanjang masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden tiga periode serta penundaan pemilu 2024. Isu ini sejatinya merupakan rentetan isu yang bergulir di tahun 2018 dan meningkat di dua tahun berakhirnya rezim pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), tahun 2022.

Periode Maret 2018, bergulir isu  mewacanakan kembali GBHN yang sedikit banyak akan memberikan dampak bagi kelembagaan dan kewenangan MPR. Kemudian, berubah dengan bergulirnya isu Tiga Periode dan penundaan pemilu 2024.

Kami merekam terdapat dua figur elit politik yang mewacanakan amandemen terbatas GBHN pada Maret 2018. Pertama, Ketua MPR RI 2014-2019, Zulkifli Hasan, menyetujui adanya amandemen terbatas UUD 1945 soal haluan negara. Kedua, Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDI-Perjuangan, yang mewacanakan GBHN sebagai pedoman penyelenggaraan pemerintahan sebagai landasan rencana pembangunan nasional. Terakhir, di tahun yang sama, telah terjadi konsolidasi dan konsensus antara aktor politik seperti pimpinan MPR, Fraksi Parpol, Kelompok DPD, dan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).

Berdasarkan media monitoring, maka isu amandemen terbatas muncul kembali ke ruang publik setelah tahun politik berakhir 2019. Terdapat dua peristiwa penting yang perlu dicatat. Pertama, Kongres PDI-Perjuangan di Bali tanggal 8-11 Agustus 2019, di mana salah satu rekomendasi kongres ialah amandemen terbatas konstitusi. Kedua, pasca pelantikan Ketua MPR 2019-2024 Bambang Soesatyo yang telah mengatakan akan mengkaji wacana amandemen terbatas tersebut terkait rekomendasi MPR 2014-2019.

Selain itu, amandemen terbatas mengenai periode masa jabatan Presiden muncul pertama kali pada bulan November 2019, beriringan dengan wacana amandemen terbatas terkait GBHN pada bulan Agustus 2019. Wacana tiga periode ini muncul kembali ke ruang publik pada Maret 2021 dalam Harian Kompas oleh Rini Kustiasih,  seiring dengan mengemuka kembali isu amandemen terbatas UUD 1945 terkait isu GBHN dan penguatan MPR.

Setidaknya terdapat Empat pernyataan Presiden Jokowi yang merespons secara langsung isu ini. Pertama, pada bulan Desember 2019 hingga yang terakhir 5 April 2022 dalam rapat Sidang Kabinet Paripurna, Presiden Jokowi menolak amandemen terbatas tersebut. Ada tiga keywords penting dalam pernyataannya, yaitu (1) Ingin menampar muka saya, (2) Ingin cari muka, dan yang (3) Menjerumuskan.  Kedua, pernyataan pers Presiden Jokowi tanggal 15 Maret 2021 yang konsisten menolak amandemen terbatas masa jabatan Presiden tiga periode. Ketiga, tanggal 5 April 2022. Jangan menimbulkan polemik di masyarakat, fokus pada bekerja dalam penanganan kesulitan yang kita hadapi. Jangan sampai ada lagi yang menyuarakan lagi mengenai urusan penundaan, urusan perpanjangan. Ndak. Keempat, dalam Ratas di Istana Bogor, 10 April 2022. Menyampaikan tiga poin penting salah satunya konsisten melaksanakan tahapan Pemilu 2024 dan memerintahkan kabinet dan jajaran di bawahnya untuk tidak mengeluarkan statement politik yang membuat gaduh di masyarakat.

Pro dan Kontra Partai Politik Isu Amandemen GBHN, Tiga Periode dan Menunda Pemilu 2024

Skenario apa pun yang dipilih partai politik untuk mencapai tujuan politiknya, tetap melalui satu pintu yakni amandemen UUD 1945. Untuk mencapai hal tersebut mengacu Pasal 37 UUD 1945, usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Pasal yang sama mengatur, untuk mengubah pasal-pasal UUD 1945, Sidang MPR dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota. Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya 50 persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Apabila meminjam istilah politik Andrew Heywood, politik sebagai kompromi dan konsensus. Maka, dalam politik, tidak ada pihak yang kepentingannya terselenggarakan 100%. Masing-masing memoderasi tuntutan agar tercapai persetujuan satu pihak dengan pihak lain. Sangat penting kita memperhatikan komposisi kursi partai politik dan DPD  yang terdapat di MPR.

Jika memmperhatikan komposisi kekuasaan di MPR, kompromi politik Partai Politik pengusung pemerintahan Jokowidodo memiliki 471 kursi, sementara oposisi (Demokrat dan PKS) sebesar 104 kursi. Oleh karena itu, parpol koalisi pemerintah sudah cukup untuk memenuhi persyaratan pengusulan dan persetujuan sebagaimana diatur di dalam Pasal 37 UUD 1945. Terkait konstelasi kekuatan tersebut, dinamika DPD yang berjumlah 136 anggota dapat menentukan kuorum atau tidaknya pada tahap pembahasan usulan. Dari 575 anggota DPR saat ini, lebih dari 400 orang di antaranya berasal dari koalisi pemerintah. Angka ini sudah jauh melebihi dari 50 persen plus satu.

Dalam matrix peta kekuatan isu amandemen UUD 1945, sumbu x-positif adalah menyetujui penundaan pemilu 2024 atau menambah masa jabatan presiden tiga periode. Sedangkan sumbu x-negatif sebaliknya. Sedangkan sumbu y-positif adalah menyetujui kembalinya GBHN. Sedangkan sumbu y-negatif adalah sebaliknya, menolak.

Terlihat skenario kompromi yang mungkin saja terjadi dan berhasil untuk mencapai tujuan politiknya berada di isu menghidupkan kembali GBHN. Mayoritas partai koalisi seperti; PDIP, Gerindra, Nasdem, PPP, PAN, PKB menerima usulan ini terkecuali dengan Golkar, Demokrat, dan PKS yang menolak meski dengan catatan. Jika wacana ini terus digularkan hingga Amandemen UUD 1945 sudah dapat dipastikan terdapat potensi kemenangan yang besar.

Sedangkan di isu  Tiga Periode atau Menunda Pemilu 2024 terdapat perlawanan yang cukup kuat, hanya PAN dan PKB yang menyetujui. Sedangkan sebaliknya partai koalisi pendukung kabinet Jokowidodo, yakni; PDIP, Golkar, Gerindra, Nasdem, dan PPP menolak. Sementara, Demokrat dan PKS berada di titik ekstrem menolak usulan keduanya.

Sudah dapat dipastikan apabila kepentingan politik Tiga Periode dan Menunda Pemilu 2024 terus digulirkan maka layu sebelum berkembang. Terkecuali bandul kepentingan politik bergerak ke arah lain, mengingat budaya politik Indonesia pasca reformasi cenderung belum berubah, orientasi pengejaran kekuasaan yang sangat kuat dalam partai politik telah membuat partai-partai politik era reformasi lebih bersifat pragmatis.

Pragmatisme ini dapat dilihat misalnya saja, perebutan posisi-posisi ketua/wakil ketua DPR/dan alat-alat kelengkapannya. Dalam hal ini, ideologi yang dikembangkan oleh partai politik adalah cara memperebutkan kekuasaan dan posisi politik yang menguntungkan dirinya.

Pertarungan di Balik Amandemen GBHN dan Tiga Periode dan Penundaan Pemilu 2024

Paska tidak berlakunya GBHN, sebenarnya dalam perencanaan pembangunan di Indonesia telah mendapatkan jalan keluarnya dengan mendasari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), dan yang saat ini berlaku adalah RPJPN 2005-2025 berdasarkan kepada UU No. 17 Tahun 2007. RPJPN kemudian didukung oleh serangkaian Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang saat ini sedang dalam proses pembentukan RPJMN fase kelima.

Apabila para elite politik memang serius untuk memperbaiki arah pembangunan nasional, maka tidak perlu menempuh jalur amandemen konstitusi dengan melahirkan kembali GBHN. Cukup dengan serius mengikuti proses penyusunan RPJMN 2020-2025. Upaya lain yang dapat dilakukan untuk memaksimalkan tenaga dan waktu yang ada adalah dengan melakukan evaluasi terhadap RPJPN 2005-2025, dan menjadikan hasil evaluasi itu untuk menyusun RPJPN tahap berikutnya, yaitu RPJPN 2025-2050.

Atas pemikiran tersebut, pakar hukum, Bivitri Susanti justru melihat adanya upaya elit partai politik menggulirkan menghidupkan GBHN terkait dengan Pilpres 2024. Jangan lupa ada kader-kader partai politik yang merupakan anak-anak ketua partai politik ingin bertarung tapi mungkin dia tidak populer, dan diduga dia akan kalah. Karena sistemnya sekarang popular vote maka yang terbanyak lah yang akan menang. Orang-orang yang tidak populer itu bertanding saya kira akan kalah. Satu-satunya cara untuk memajukan mereka adalah mengambil lagi wewenang yang tadi dikasih ke rakyat jadi ke MPR lagi.

Meski memiliki potensi keberhasilan yang besar untuk menggolkan wacana GBHN. Pandemi Covid-19 mengerem sementara kepentingan tersebut. Pasalnya, bangasa ini sedang berkosentrasi penuh mengatasi pandemi yang berlangsung. Namun, dua tahun berselang di Tahun 2021-2022, ketika Covid-19 melandai. Justru para menteri di jajaran kabinet Joko Widodo (Jokowi); Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, Menkoperekonomian Airlangga Hartarto dan Menko Marves Luhut B Panjaitan. Turut serta elit partai politik; Muhaimin Iskandar (PKB) dan Zulkifli Hasan (PAN)  intens menggulirkan wacana menunda Pemilu 2024 dan memperpanjang masa pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) menjadi tiga periode.

Munculnya isu ini menjadi penting mengingat Presiden Joko Widodo (Jokowi) cenderung melakukan pembiaran (tidak langsung menghentikan tensi isu yang berkembang). Maka, persepsi publik menilai ini adalah keinginan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengingat di awal periode ke dua Presiden Joko Widodo (Jokowi) memperkenalkan jajaran kabinet, mengatakan tidak ada visi menteri yang ada visi presiden.

Alasan tujuan politik tersebut serupa dengan wacana menghidupkan GBHN, atas nama perekonomian. Indonesia akan mengalami momentum perbaikan ekonomi usai dua tahun pandemi Covid-19. Pemilu kerap menyebabkan stagnasi ekonomi karena para pengusaha akan memilih menunggu atau wait and see.

Pertarungan Elit Lama Vs Baru (Populis)

Dalam memahami isu yang sedang berkembang, kami menganalisa berdasar hasil riset Power Welfare and Democracy (PWD) UGM tentang „Demokrasi di Indonesia : Antara Patronase dan Populisme‟.

Riset PWD yang dilakukan di 30 Kabupaten Kota dan tersebar di 24 Provinsi di Indonesia ditemukan, bahwa ada kerumitan dalam proses demokrasi prosedural yang saat ini diterapkan, dan kerumitan tersebut memiliki peluang untuk mengembalikan Indonesia ke dalam jurang otoritarianisme.

Terdapat lima temuan besar dalam riset tersebut, yakni: Pertama, demokrasi Indonesia telah stabil khususnya dalam kelompok insitusi demokrasi menyangkut masyarakat sipil. Kedua, ada kecenderungan penguatan politik berbasis ketokohan (figure-based politics). Ketiga, kecenderungan bahwa aktor utama menyeleksi aturan main demokrasi yang akan mendukung karir politiknya. Keempat, munculnya kecenderungan pada gagasan negara kesejahteraan, yakni negara yang fungsi utamanya adalah memenuhi pelayanan dasar warga negara; dan Kelima, kcenderungan munculnya populisme yang sekaligus menantang gagasan model politik Indonesia klasik yang berbasis patronase dengan model klasik “bureuacratic polity”. Populisme yang ditemukan tidak bersifat ideologis.

Selain hal tersebut, PWD mengidentifikasi pemilihan umum melalui kontestasi partai politik sebagai salah satu demokrasi prosedural menjadi satu-satunya pintu aktor populer untuk masuk dalam pusaran budaya politik yang tidak berubah paska reformasi. Justru kini elit politik sudah beradaptasi menemukan dan menentukan aturan main.

Situasi hari ini kehidupan perpolitikan di Indonesia cenderung oligarki, Dengan kata lain, periode transisi menuju situasi yang lebih demokratis tidak tercapai yang terjadi adalah konsolidasi berbasis pada pencapaian—normalisasi. Aktor-aktor berpengaruh (elit politik) di Indonesia telah ikut mengimplementasikan beberapa aturan main demokrasi seperti supremasi hukum, kebebasan sipil, sistem multipartai, pemilu yang jujur dan adil secara prosedural, desentralisasi, berkurangnya dominasi militer di legislatif, dan sebagainya.

Sayangnya praktik implementasi ”institusi demokrasi” tersebut tidak berkorelasi mendorong Indonesia yang lebih demokratis. Hal ini disebabkan karena elit telah mampu beradaptasi mengikuti aturan main demokrasi yang ada untuk memuluskan kepentingan mereka. Dengan demikian yang terjadi adalah stagnasi demokrasi di tengah situasi negara yang relatif stabil.

Lahirnya Joko Widodo (Jokowi), sang Petugas Partai (PDIP) menjadi Presiden Republik Indonesia dalam satu dekade dan tampaknya dengan memperhatikan berbagai survei pasangan Capres-Cawapres, elit politik partai yang memimpin adalah Prabowo Subianto, sedangkan elit lain berasal dari tokoh populis  di luar darah biru pemimpin partai politik, seperti; Ganjar Pranowo, Anis Baswedan, Erick Tohir, Sandiaga Uno, dan Ridwan Kamil.

Ibarat kelahiran anak, Jokowidodo merupakan role model populis. Semua tokoh populis yang ada cenderung memiliki kesamaan dalam tindakan politiknya dengan mempertebal citra tampilan politik populis. Di sisi lain mau tidak mau Joko Widodo (Jokowi) bukanlah anak yang diharapkan, dari sirkulasi pergantian elit di Indonesia yang memberikan stampel bagi darah biru pemimpin politik. Anak ini dalam perkembangannya memiliki kharisma yang lebih besar dibandingkan partai yang melahirkan dan memiliki kemungkinan merubah garis kemapanan sirkulasi elit yang sudah tertata dengan nyaman.

Meminjam istilah Laclau, yang menyimpulkan populisme sebagai sebuah political logic yakni, sebuah konsekuensi dari kondisi politik yang terjadi pada masyarakat dalam kondisi tatanan sosial yang sudah rusak, dimana publik kehilangan kepercayaannya terhadap sistem politik, karena kegagalan partai politik menjadi saluran representasi yang efektif sehingga memunculkan apatisme politik masyarakat.

Situasi ini dapat terlihat dalam perjalanan era reformasi rakyat merekam bagaimana ketegangan di dalam partai politik, perpecahan membentuk partai baru, kegagalan representasi dan hilangnya kepercayaan publik akibat satu persatu pemimpin partai politik dan elitnya baik di pusat maupun daerah cenderung korup, dan mementingkan agenda partainya dibandingkan kepentingan rakyat.

Pergantian pimpinan pusat dan daerah sebagai hasil dari kontestasi dianggap sebagai hasil sirkulasi elit. Temuan Mustofa, bahkan menyimpulkan adanya kesadaran pemimpin populis (baca: agensi) untuk berkompetisi melalui mekanisme pemilu diikuti dengan kesadaran membaca peta politik masyarakat yang jenuh dengan aktor-aktor utama dan elit-elit lama yang tidak membawa perubahan. Terutama dalam pemilihan pemimpin politik di tingkat eksekutif baik itu presiden, gubernur, bupati atau walikota, mudah untuk membedakan mana pemimpin populis yang merupakan aktor alternatif mana yang elit lama.

Wacana tiga periode dan menunda pemilu 2024 dalam kerangka tersebut dapat digambarkan merupakan antitesa kesadaran aktor populer mambaca kejenuhan, stagnasi demokrasi serta kondisi tatanan sosial yang sudah rusak dimana publik kehilangan kepercayaannya terhadap sistem politik.

Pada akhirnya keberadaan elit bukanlah sesuatu yang solid dan pasti akan bertahan selamany yang akan ada sepanjang masa adalah keberadaan entitas yang dinamakan elit yang merupakan minoritas yang unggul. Sementara aktor dari elit itu sendiri akan berubah sesuai dengan perubahan sosial atau disebut mengalami sirkulasi. Bisa saja elit lama digantikan non elit yang bertransformasi menjadi elit baru.

Jika kepentingan dilihat dari sudut pertarungan elit maka Joko Widodo (Jokowi) adalah elit baru yang sadar bahwa kendaraan partai politik adalah prasayarat utama aturan main dalam sistem politik Indonesia. Masuknya gerbong Joko Widodo (Jokowi) dalam kontestasi politik di Medan dan Surakarta serta irisan elit baru lainnya akan layu sebelum berkembang.

Meski demikian perlu riset yang lebih mendalam untuk melihat lebih detil lagi apakah kepentingan politik yang terjadi hanya sebatas wacana perpanjangan masa jabatan 2024 dan tiga periode. Atau bisa saja ini adalah bagian dari budaya politik kita yang tidak cenderung nyaman, tidak beranjak dari kubangan pragmatisme semata. Misalnya saja pertarungan, mempertahankan legasi pencapaian kinerja pemerintahan atau justru bagian dari mengamankan sirkulasi elit yang baru.

Akhir kata menarik menunggu sirkulasi elit ini, apakah akan mengarah menuju pembaharuan. Atau sebenarnya tidak terjadi perubahan berarti dalam budaya politik kita. Ujungnya kita dihadapkan kondisi pragmatis saat ini yakni, bagaimana pemerintah mampu memberikan sesuatu yang lebih pasti atas keamanan konsumsi rumah tangga rakyat di bawah garis kemiskinan, dalam mengarungi bulan Ramadhan serta tiga bulan ke depan. Pasalnya, kondisi perekonomian Indonesia akan lebih pelik akibat naiknya kebutuhan barang pokok, serta keluh kesah kekhawatiran pemerintah yang tak lagi sanggup menahan kenaikan; BBM pertalite, listrik dan tabung gas 3 kg.

Wassalam.

 

Rahayu Setiawan

(Ketua Departemen Budidaya Pertanian dan Agrobisnis – KAPT)

Baca Selengkapnya
Tulis Komentar

BERITA

Dyah Roro Ingatkan Konflik di Jazirah Arab Berimplikasi Kenaikan Harga Minyak

Oleh

Fakta News
Dyah Roro Ingatkan Konflik di Jazirah Arab Berimplikasi Kenaikan Harga Minyak
Anggota Komisi VII DPR RI Dyah Roro Esti. Foto: DPR RI

Jakarta – Anggota Komisi VII DPR RI Dyah Roro Esti mengungkapkan bahwa konflik antara Iran dan Israel dapat memiliki implikasi ekonomi dan geopolitik yang signifikan, terutama dalam segi harga minyak mentah dunia (crude palm oil/CPO).

“Konflik antara Iran dan Israel dapat memiliki implikasi ekonomi dan geopolitik. Terutama dalam segi harga minyak mentah dunia,” ujar Roro dalam siaran pers yang diterima Parlementaria, di Jakarta, Kamis (25/4/2024).

Meski, saat ini harga minyak mentah dunia masih terpantau cukup stabil, dan per tanggal 22 April 2024 pukul 16.00, harga untuk WTI Crude Oil berada pada kisaran 82,14 dolar AS per barel, dan untuk Brent berada pada kisaran 86,36 dolar AS per barel. Namun, konflik di jazirah arab itu berpotensi menimbulkan kenaikan harga minyak mentah dunia, yang bisa menembus 100 dolar AS per barel.

Terkait dengan dampak dari konflik geopolitik terhadap kondisi harga BBM di dalam negeri tersebut, Politisi dari Fraksi Partai Golkar menjelaskan bahwa dari pihak pemerintah, melalui Menteri Koordinator Bidang Ekonomi Airlangga Hartarto, telah menegaskan dan memastikan bahwa harga Bahan Bakar Minyak (BBM) tidak akan naik akibat konflik ini, paling tidak sampai bulan Juni 2024 ini.

“Untuk selanjutnya, Pemerintah masih perlu melihat dan mengobservasi lebih lanjut terlebih dahulu. Saya berharap agar dampak dari eskalasi konflik di Timur Tengah ini masih bisa ditahan dan diatasi oleh Pemerintah Indonesia, sehingga kenaikan BBM masih bisa dihindari,” pungkasnya.

Baca Selengkapnya

BERITA

Suntikan PMN Diharapkan Tambah Keuntungan Negara, Demi Kesejahteraan Rakyat

Oleh

Fakta News
Suntikan PMN Diharapkan Tambah Keuntungan Negara, Demi Kesejahteraan Rakyat
Anggota Komisi VI DPR RI Mahfudz Abdurrahman saat mengikuti kunjungan kerja reses Komisi VI DPR RI ke Kabupaten Badung, Provinsi Bali, Senin (22/4/2024). Foto: DPR RI

Badung – Anggota Komisi VI DPR RI Mahfudz Abdurrahman berharap BUMN Pariwisata dan Aviasi mampu hasilkan keuntungan bagi negara. Sebab, BUMN tersebut telah memperoleh suntikan Penyertaan Modal Negara (PMN) yang nilainya cukup besar.

“Komisi VI sudah mendukung upaya peningkatan kinerja BUMN Pariwisata dan Aviasi antara lain melalui persetujuan PMN. Sudah seharusnya ada perbaikan fasilitas dan layanan yang mereka hadirkan setelah memperoleh suntikan dana pemerintah melalui PMN agar bisa menghasilkan keuntungan untuk negara,” jelas Mahfudz di sela-sela kunjungan kerja reses Komisi VI DPR RI ke Kabupaten Badung, Provinsi Bali, Senin (22/4/2024).

Politisi PKS ini mengimbuhkan BUMN Pariwisata sudah semestinya berorientasi profit (mengejar keuntungan) agar mampu berkontribusi pada pemasukan negara. Negara seperti Jepang, Malaysia saat ini sangat serius mengelola industri pariwisatanya. Bagaimana Jepang berusaha memanjakan para wisatawan yang berkunjung ke negaranya agar tiap tahun semakin bertambah.

“Malaysia juga melakukan semacam rekayasa engineering, misalnya sekolah di sana lebih murah, biaya berobat general check up di sana juga lebih murah sehingga orang tertarik ke sana. Kalau orang sudah ke sana walau tujuannya berobat, sekolah itu kan nantinya butuh menginap, belanja dan akan meningkatkan penerimaan devisa negara tersebut,” tukasnya.

Legislator asal Dapil Jawa Barat VI meliputi Kota Bekasi dan Kota Depok ini menilai bahwa BUMN Pariwisata dan Aviasi perlu melakukan upaya dan terobosan yang luar biasa dan menarik, apalagi Bali sudah menjadi tujuan wisata utama masyarakat dunia. Tinggal variabel masalahnya yang perlu diperhatikan misalnya infrastruktur, daya dukung ekosistem pariwisata harus dikelola dengan baik.

“Seperti di Bali ini kurang fasilitas kendaraan umum, apakah ini bagian dari produk kebijakan daerah. Betapapun itu kendaraan umum menurut saya diperlukan untuk masyarakat Bali termasuk wisatawan juga,” katanya.

Masalah lainnya, menumpuknya wisatawan di Bali seharusnya bisa diarahkan ke Nusa Tenggara Barat, ada Lombok, Senggigi, dimana daya dukung kultural dan kebijakan pemerintah daerahnya perlu ada paradigma baru di sana. Perlu juga edukasi kepada masyarakat agar dapat ramah dengan wisatawan yang datang dari berbagai mancanegara.

“Paket wisata yang menawarkan destinasi alternatif selain Bali menurut saya sangat baik dan perlu dilakukan agar wisatawan mancanegara mengenal lebih banyak daerah di Indonesia. Sama halnya saat kita keluar negeri juga ditawarkan paket kunjungan ke berbagai destinasi,” tutupnya.

Baca Selengkapnya

BERITA

BMTH Harus Beri Manfaat Besar Bagi Masyarakat Bali

Oleh

Fakta News
BMTH Harus Beri Manfaat Besar Bagi Masyarakat Bali
Anggota Komisi VI DPR RI Siti Mukaromah saat diwawancarai Parlementaria usai mengikuti Kunjungan Kerja Reses Komisi VI DPR RI di Denpasar. Foto: DPR RI

Denpasar – Proyek Bali Maritime Tourism Hub (BMTH) yang sedang dibangun di Pelabuhan Benoa, Bali, harus memberi manfaat yang besar bagi masyarakat Bali. Akses pekerjaan dan ekonomi harus dibuka secara luas.

Anggota Komisi VI DPR RI Siti Mukaromah menyampaikan hal ini usai mengikuti pertemuan dengan para direksi BUMN yang terlibat dalam pembangunan BMTH tersebut, Senin (22/4). “Pelibatan masyarakat harus optimal. Masyarakat jangan sebagai bagian dari korban atau tikus mati di lumbung padi. Jangan sampai Bali go international tapi masyarakatnya secara ekonomi semakin menurun,” ucapnya.

Seperti diketahui, PT. Pelindo sedang membangun BMTH di Benoa, di atas areal ratusan hektar. Selain tempat bersandar kapal-kapal besar, kelak BMTH juga menjadi destinasi wisata, pusat perbelanjaan, konser musik, gerai UMKM, dan lain-lain. Semua fasilitas untuk para wisatawan yang datang dibangun, seperti kesehatan, keamanan, dan kebutuhan ekonomi lainnya.

Erma, sapaan akrab Siti Mukaromah berharap, pembangunan BMTH yang masif tidak meninggalkan masyarakat lokal. Akses pekerjaan jangan hanya diberikan kepada para pendatang atau orang asing. Masyarakat Bali harus dipastikan bisa ikut menikmati proyek strategis nasional itu.

“Jangan sampai orang Bali menjadi pengangguran ketika orang luar atau asing mendapatkan pekerjaan. Kita berharap, ketika membangun sebuah koneksi wisata dan pelabuhan harus betul-betul dipastikan masyarakat bisa menikmati,” seru Politisi PKB ini.

Baca Selengkapnya