Connect with us
Pelayan Rakyat

Spirit Keterbukaan Pemerintah

Esensi kesejahteraan suatu daerah haruslah diawali dari suatu keadilan dan keterbukaan. Bojonegoro sebagai salah satu Pemerintahan Daerah di Provinsi Jawa Timur, Indonesia, sejak lama dikenal sebagai kabupaten miskin (Bojonegoro, 1900-1942, A story of endemic poverty in North-east Java, by C.L.M. Penders), Ketidakpuasan masyarakat terhadap layanan pemerintah dan hasil-hasil pembangunan, merupakan akumulasi ketidakpercayaan rakyat. Perubahan pemerintahan di Kabupaten Bojonegoro tahun 2008, merupakan titik awal transformasi pemerintah, meraih kepercayaan rakyat dengan melaksanakan pemerintahan yang terbuka

Melakukan komunikasi terbuka yang kami istilahkan sebagai “Dialog Publik” sebagai langkah sederhana untuk mewujudkan connect dengan rakyat Bojonegoro. Dilaksanakan setiap hari Jumat di Pendapa Kabupaten Bojonegoro yang disiarkan secara langsung melalui stasiun Radio Pemerintah dan Swasta. Rakyat Bojonegoro secara langsung (direct)menyampaikan aspirasi dan kritikannya serta mendapatkan tanggapan saat itu dari pemerintah. Rakyat Bojonegoro dapat berdialog (dialog), sekaligus sebagai wahana saling belajar untuk berpartisipasi memberikan solusi, sebagai cara kerja baru dalam penyelenggaraan pemerintahan(culture). Mendorong munculnya berbagai terobosan ide dan berbagi ide(distribute) dalam penyelesaian masalah. Sebagai dasar hukum kami tetapkan di Peraturan Bupati Bojonegoro Nomor 30 Tahun 2013 tentang Manajemen Inovasi Pembangunan Berbasis Partisipasi Publik.

Hal ini tidak hanya merubah perilaku publik dalam berkontribusi penyusunan kebijakan, namun juga pada perilaku aparat pemerintah dalam menyusun kebijakan. Kolaborasi para stakeholder, menjadi kunci perumusan kebijakan dalam pemerintahan terbuka, yaitu kolaborasi 4 (empat) sekawan, unsur lembaga pendidikan (academics), unsur lembaga swasta (business), unsur antar lembaga pemerintah (government) dan unsur masyarakat (community/ citizen). Ketepatan dalam perumusan kebijakan, dilakukan dengan mengimplememntasikan tatakelola pemerintahan berbasis digital. Kami istilahkan sebagai 4D, dialog, direct, distribute dan digital.

Kabupaten Bojonegoro, yang terpilih sebagai salah satu pioner pemerintah daerah dalam penyelenggaran pemerintahan terbuka oleh lembaga Open Government Partnership (OGP), menguatkan keyakinan bahwa pemerintahan yang terbuka dapat mendorong terwujudnya partisipasi masyarakat dan berbagai pihak. Pada proses perumusan rencana aksi, kolaborasi 4 (empat) sekawan semakin terimplementasikan.

Rencana aksi pemerintahan terbuka yang diterapkan oleh Pemerintah Kabupaten Bojonegoro, adalah (1) Revolusi Data, (2) Penguatan Akuntabilitas Pemerintahan Desa, (3) Peningkatan Transparansi Sistem Anggaran Daerah, (4) Penguatan Keterbukaan Dokumen Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa, (5) Peningkatan Kualitas Layanan Publik.

Bojonegoro, dengan aksi revolusi data memberikan kesempatan kepada masyarakat sebagai sumber data, sekaligus dapat melakukan update data, penguatan akses informasi kepada para pihak, mendorong terwujudnya transparansi, sehingga dapat menguatkan pemerintahan terbuka.

Desa sebagai kesatuan masyarakat terbawah, merupakan obyek dan subyek pembangunan, sebagai implementasi kehidupan demokrasi. Dalam Peraturan Bupati Bojonegoro Nomor 55 Tahun 2014 tentang Wali Amanah Desa, masyarakat diberikan keleluasaan untuk berpartisipasi aktif dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, monitoring dan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan desa. Publikasi penggunaan dan pertanggungjawaban anggaran desa telah terimplementasikan secara sederhana dengan memasang baliho anggaran desa di area publik dan terinputkan di webdesa.

Keterbukaan pengelolaan anggaran pemerintah, merupakan daya dorong yang kuat dalam membangun kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Aksi peningkatan transparansi sistem anggaran daerah, merupakan salah satu cara Pemerintah Kabupaten Bojonegoro, membangun dan menguatkan kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggaran pemerintahan. Publikasi perencanaan pembangunan daerah berbasis keterbukaan informasi publik telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Bojonegoropada web Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (http://bappeda.bojonegorokab.go.id/index.php/menu/detail/25/RKPD) dan terpublikasikannya rincian APBD SKPD pada web Badan Pengelola Keuangan dan Aset (http://bpkkd.bojonegorokab.go.id/transparansi).

Pengadaan barang dan jasa, merupakan peluang timbulnya korupsi, sehingga dilakukan penguatan keterbukaan dokumen kontrak pengadaan barang dan jasa. Masyarakat dilibatkan dalam memonitor apakah

pengadaan barang dan jasa tersebut sesuai dengan dokumen perencanaan pembangunan jangka menengah serta telah masuk dalam mekanisme musyawarah perencanaan pembangunan daerah. Semua terkait kontrak di publikasikan kepada masyarakat. Masyarakat dapat berpartisipasi dalam pengawasan dan memberikan masukan/ laporan apabila terjadi ketidak sesuaian dalam pelaksanaannya.

Layanan kesehatan, perizinan, pendidikan sebagai layanan dasar dengan proses dan prosedur pelayanan harus mampu memberikan jawaban terhadap berbagai keluhan masyarakat. Sehingga melibatkan masyarakat yang tertuangkan dalam maklumat pelayanan.

Pemerintahan terbuka dilandasi keyakinan, bahwa demokrasi akan semakin meningkat, akan semakin kuat, serta dapat memperbaiki peradaban masyarakat dalam berbangsa. Persoalan mendasar yang dikeluhkan masyarakat menjadi bagian utama bagi pemerintah dalam perumusan kebijakan. Bojonegoro way in budgeting, money follow problem, money for solution, solution for sustainable development. Keterbukaan pemerintahan adalah impelementasi yang senyatanya mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Kerja tepat, cepat, wujudkan wong jonegoro, sehat, cerdas, produktif dan bahagia.

Hasil nyata dari interaksi kepercayaan antara pemerintah dengan rakyatnya, Kabupaten Bojonegoro mengalami peningkatan pertumbuhan ekonomi, Bahkan di tahun 2017, dapat mendobrak dari kutukan kemiskinan, tidak lagi menjadi 10 (sepuluh) daerah termiskin di Jawa Timur. Inilah sumbangan kami untuk dunia yang berkeadilan menuju kesejahteraan rakyat diseluruh dunia. (*/imm)

Penulis: Drs H Suyoto MSi (Bupati Bojonegoro)

Backup_of_KANG YOTO - Copy - Copy - Copy - Copy22

Drs H Suyoto MSi: Bupati Bojonegoro

 

 

Baca Selengkapnya
Tulis Komentar

BERITA

Target APK Pendidikan Tinggi Tidak Mungkin Tercapai Jika Biaya Kuliah Mahal

Oleh

Fakta News
Target APK Pendidikan Tinggi Tidak Mungkin Tercapai Jika Biaya Kuliah Mahal
Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah saat kunjungan kerja reses di Kota Medan, Sumatera Utara, Senin (06/05/2024). Foto : DPR RI

Medan – Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap mahalnya biaya pendidikan tinggi di perguruan tinggi negeri. Menurutnya, dengan mahalnya biaya pendidikan tinggi itu dapat menghambat pencapaian target pemerintah dalam meningkatkan Angka Partisipasi Kasar (APK) perguruan tinggi. Menurut data tahun 2023, APK untuk laki-laki hanya 29,12 persen dan untuk perempuan 33,87 persen, angka yang jauh dari target yang diharapkan.

Konsekuensinya, tambah Ledia, dengan biaya pendidikan yang sangat mahal  itu banyak calon mahasiswa yang terhambat untuk melanjutkan pendidikan. “Dengan mahalnya perguruan tinggi negeri ini, bagaimana mungkin kita bisa mencapai target APK yang lebih baik jika banyak anak-anak kita yang tidak mampu melanjutkan pendidikan karena biaya?” ujar Ledia kepada Parlementaria, di Kota Medan, Sumatera Utara, Senin (06/05/2024).

Diketahui, Angka Partisipasi Kasar (APK) Perguruan Tinggi (PT) adalah perbandingan antara jumlah penduduk yang masih bersekolah di jenjang pendidikan Perguruan Tinggi (PT) (tanpa memandang usia penduduk tersebut) dengan jumlah penduduk yang memenuhi syarat resmi penduduk usia sekolah di jenjang pendidikan Perguruan Tinggi (PT) (umur 19- 23 tahun).

Ledia pun mengkritik sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang berlaku di banyak perguruan tinggi, yang menurutnya masih memberatkan bagi sebagian besar calon mahasiswa. “Ada perguruan tinggi dengan sistem UKT yang sangat tinggi, dan ada pula yang menengah namun tetap mahal, belum lagi adanya uang pangkal yang harus dibayar di awal,” ujar politisi Alumni Master Psikologi Terapan dari Universitas Indonesia ini.

Ledia juga menyoroti perlunya sebuah sistem pendidikan tinggi yang lebih pro kepada masyarakat, terutama bagi warga negara Indonesia yang memiliki kemampuan akademis namun ada keterbatasan ekonomi. “Kita perlu membuat sistem yang lebih baik, yang lebih mendukung anak-anak kita untuk bisa kuliah tanpa dibebani biaya yang tidak mampu mereka tanggung,” ujar Politisi Fraksi PKS ini.

Lebih lanjut, Ledia menegaskan bahwa pendidikan tinggi harus diakses oleh semua lapisan masyarakat. “Kita membuat kampus itu mandiri, namun bukan berarti kita bisa mengabaikan warga negara Indonesia, terutama anak-anak muda kita yang sebenarnya punya kemampuan dalam akademisnya tapi tidak dalam ekonominya,” ujarnya.

Kebijakan saat ini, menurut Ledia, harus segera dibahas dan diperbaiki, dengan keterlibatan langsung dari kampus-kampus dan pemerintah untuk mencari solusi yang efektif. “Perlu ada diskusi serius antara pemerintah dengan perguruan tinggi untuk menata ulang sistem pendanaan pendidikan tinggi di negara kita,” tutur Ledia.

Dalam mencari solusi, Ledia juga menyarankan agar perguruan tinggi negeri bisa terhubung lebih baik dengan program beasiswa dan bantuan finansial lainnya yang bisa membantu meringankan beban mahasiswa. “Harus ada lebih banyak opsi beasiswa dan bantuan finansial yang dapat diakses oleh mahasiswa yang membutuhkan,” ucap Ledia.

Ledia berharap bahwa dengan perbaikan sistem yang lebih inklusif dan mendukung, Indonesia bisa mencapai tujuan menjadi negara dengan sumber daya manusia yang unggul pada 2045. “Ini semua tentang membangun fondasi yang kuat untuk pendidikan tinggi di Indonesia, memastikan semua anak berhak dan mampu mendapatkan pendidikan yang layak,” pungkasnya.

Baca Selengkapnya

BERITA

Geramnya Komisi II terhadap Biaya PBB yang Membengkak Akibat Sertifikat Tanah

Oleh

Fakta News
Geramnya Komisi II terhadap Biaya PBB yang Membengkak Akibat Sertifikat Tanah
Anggota Komisi II DPR RI Rosiyati MH Thamrin saat Kunjungan Kerja Reses Tim Komisi II ke Maros, Sulawesi Selatan, Senin (06/05/2024). Foto : DPR RI

Maros – Anggota Komisi II DPR RI Rosiyati MH Thamrin mengecam kebijakan terkait sertifikat tanah yang merugikan masyarakat. Dalam pernyataannya, ia menyampaikan keprihatinannya terhadap biaya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang melonjak drastis setelah penerbitan sertifikat tanah.

“Sangat disayangkan melihat betapa besarnya biaya PBB yang harus ditanggung masyarakat setelah memiliki sertifikat tanah. Hal ini menjadi hambatan besar bagi petani dan pengguna lahan lainnya untuk mendaftarkan tanah mereka,” ujar Rosiyati MH Thamrin saat Kunjungan Kerja Reses Tim Komisi II ke Maros, Sulawesi Selatan, Senin (06/05/2024).

Menurutnya, masyarakat enggan membuat sertifikat tanah karena adanya komponen biaya PBB yang meningkat secara signifikan setelah kepemilikan tanah tersebut bersertifikat. Hal ini berdampak negatif terutama bagi para petani dan pengguna lahan lainnya yang mayoritas hidup dengan penghasilan terbatas.

Rosiayati pun menyerukan pentingnya koordinasi antara pemerintah daerah dan Dinas Pajak untuk meninjau ulang kebijakan terkait tarif PBB. “Saya berharap agar Dinas Pajak dapat mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat yang terdampak dan menyesuaikan tarif PBB dengan lebih adil,” tambahnya.

Kemudian, Politisi Fraksi PDI-Perjuangan itu juga menegaskan bahwa pembenahan terhadap kebijakan tersebut penting dilakukan agar masyarakat merasa lebih terbantu dan terjamin hak-haknya atas tanah yang mereka miliki.

“Pemerintah harus fokus pada upaya mempermudah akses masyarakat terhadap kepemilikan tanah dengan biaya yang terjangkau, sehingga tidak menghambat pembangunan dan kesejahteraan masyarakat,” tutupnya.

Baca Selengkapnya

BERITA

PON XXI Sebentar Lagi, Pembangunan Venue Ternyata Belum Tuntas!

Oleh

Fakta News
PON XXI Sebentar Lagi, Pembangunan Venue Ternyata Belum Tuntas!
Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah saat mengikuti Kunjungan Kerja Reses Tim Komisi X DPR RI, di Kota Medan Sumatera Utara, Senin (06/05/2024). Foto: DPR RI

Medan – Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah mengungkapkan, kekhawatirannya terkait kesiapan pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI yang dijadwalkan pada September 2024 di Aceh dan Sumatera Utara. Ledia menyatakan bahwa meskipun pemerintah daerah telah berkomitmen dengan mengalokasikan dana besar, masih terdapat kekurangan yang perlu ditangani oleh pemerintah pusat.

“Pemerintah Provinsi Sumatera Utara telah mengeluarkan anggaran sekitar Rp2,1 triliun, dan belum lagi dari Pemerintah Kabupaten/Kota dari APBD untuk pembangunan venue dan lain-lain. Namun, ada beberapa hal penting yang masih harus di-cover oleh pemerintah pusat,” ujar Ledia, Medan, Sumatera Utara, Senin (6/5/2024).

Menurutnya, masih ada kebutuhan dana tambahan untuk menyelesaikan infrastruktur yang belum rampung. “Persoalnnya ada hal yang harus dicover oleh pemerintah pusat, apakah itu bisa selesai atau enggak. Kita belum tahu sampai sekarang pemerintah daerah juga enggak bisa apa-apa, itu sangat tergantung dari pusat,” ujarnya.

Ledia juga menyampaikan bahwa Komisi X DPR RI telah mengusulkan agar penundaan PON hingga awal tahun 2025 untuk memastikan semua persiapan bisa tuntas. “Beberapa dari kami sudah mengusulkan untuk ditunda sampai Januari atau Februari 2025 sehingga penyelenggaraannya bisa berjalan dengan baik dan tidak terburu-buru,” tegas Ledia.

Selain itu, Ledia menekankan bahwa ada kesamaan situasi dengan PON sebelumnya di Papua, yang juga harus diundur karena pandemi COVID-19. “Situasinya serupa dengan apa yang terjadi di Papua. Jika memang belum siap, jangan dipaksakan,” tegasnya.

Ledia juga berharap dengan waktu yang masih ada, bisa di optimalkan dengan baik. “Harapan nanti penyelenggarannya bisa berjalan dengan baik, karena ini baru pertama kali diselenggarakan di dua  provinsi, belum lagi setelah itu ada peparnas untuk disabilitas. Nah jadi memang harusnya lebih matang, kalau memang belum siap jangan dipaksakan,” ungkap Ledia.

Pemerintah Provinsi Sumatera Utara telah berkomitmen untuk juga menggunakan venue yang sudah ada dengan memperbaikinya. Namun, Ledia menyatakan, “Sekarang ini yang ditunggu adalah dukungan anggaran dari pemerintah pusat, bisa atau tidak,” ungkapnya.

Ditambah lagi, menurut Ledia, “Telah dianggarkan dari Kementerian Pemuda dan Olahraga sebanyak Rp300 miliar untuk biaya operasional seperti pembayaran wasit dan juri, namun untuk infrastruktur, kecepatan penyelesaian dari pemerintah pusat masih menjadi tanda tanya”.

Kekhawatiran terus mengemuka seiring dengan mendekatnya waktu pelaksanaan PON XXI, dengan banyak pihak berharap agar pemerintah pusat dapat segera mengambil tindakan untuk menyelesaikan persiapan yang masih tertunda.

Baca Selengkapnya