Connect with us
DPR RI

Rieke Diah Pitaloka Sebut Indikasi Tidak Adanya Transparansi BPP BBM dan Penerima Subsidi BBM

Rieke Diah Pitaloka Sebut Indikasi Tidak Adanya Transparansi BPP BBM dan Penerima Subsidi BBM
Anggota Komisi VI DPR RI Rieke Diah Pitaloka Rapat Kerja Komisi VI DPR RI bersama perusahaan-perusahaan BUMN di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (5/9/2022). Foto: DPR RI

Jakarta – Anggota Komisi VI DPR RI Rieke Diah Pitaloka menyebutkan adanya indikasi kuat tidak transparannya data Biaya Pokok Produksi (BPP) BBM serta alokasi APBN untuk subsidi energi, subsidi perlindungan sosial dan energi bagi keluarga tidak mampu. Rieke mengatakan, pada Rapat Kerja 5 September 2022 lalu, Komisi VI DPR RI sudah meminta kepada Kementerian BUMN menyampaikan secara tertulis terkait lima poin.

Pertama, BPP crude oil dari Indonesia. Kedua, rincian BPP crude oil impor. Ketiga, rincian impor crude oil, LPG, dan LNG dari tahun 2011-2022. Keempat, rincian dan dari mana sumber data penerima subsidi energi BBM, LPG dan Listrik termasuk prosedur dan mekanisme, serta indikator dan variabel pendataan yang digunakan sebagai acuan penerima subsidi energi. Kelima, tunggakan hutang subsidi pemerintah ke pertamina dan PLN.

“Namun hingga hari ini, data-data yang diminta belum disampaikan Kementerian BUMN. Karena itu tidak ada data yang akurat dan aktual tentang BPP crude oil dari Indonesia maupun impor, untuk mengungkap berapa sesungguhnya angka keekonomian yang dimaksud pemerintah,” tutur Rieke dalam Rapat Kerja Komisi VI DPR RI bersama perusahaan-perusahaan BUMN di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (5/9/2022).

Di sisi lain, kata politisi PDI-Perjuangan ini, data penerima subsidi termasuk prosedur dan mekanisme serta indikator dan variabel pendataan yang digunakan sebagai acuan penerima subsidi energi, juga belum disampaikan ke Sekretariat Komisi VI DPR RI. Maka itu, Rieke mendukung pembatalan kenaikan harga BBM subsidi karena ada indikasi kuat tidak adanya transparansi BPP BBM dan penerima subsidi BBM.

Rieke juga mempertanyakan anggaran Bantuan Langsung Tunai (BLT) BBM untuk 20,65 juta keluarga tidak mampu bersumber dari relokasi anggaran subsidi BBM. Dia menuturkan, pemerintah pada 3 September 2022 menyebutkan lebih dari 70 persen subsidi BBM dinikmati kelompok mampu, karenanya sebagian subsidi energi dialihkan untuk BLT BBM senilai Rp12,4 triliun untuk 20,6 juta keluarga tidak mampu yang sudah dialokasikan sebelumnya dan subsidi senilai Rp9,6 triliun untuk 16 juta pekerja dengan upah di bawah Rp3,5 juta.

“Alokasi APBN untuk BLT sebesar Rp28,8 triliun dari pos perlindungan sosial dan ditambah Rp12,4 triliun dari relokasi anggaran APBN untuk subsidi BBM untuk 20,6 keluarga tidak mampu. BLT Perlindungan Sosial Rp28,8 triliun untuk 20,6 juta keluarga tidak mampu, artinya per-keluarga tidak mampu seharusnya mendapatkan Rp1,39 juta dari BLT, ” ujar legislator daerah pemilihan (dapil) Jawa Barat VII tersebut.

Rieke pun mempertanyakan dari mana sumber penerimaan data subsidi energi BBM, termasuk bagaimana prosedur dan mekanisme, serta indikator dan variabel pendataan yang digunakan sebagai acuan penerima subsidi BBM. Dia mengatakan, apakah terjadi duplikasi anggaran untuk BLT BBM dan subsidi bagi pekerja dari APBN perlindungan sosial dan realokasi anggaran subsidi BBM September 2022. “Apakah data 20,6 juta warga penerima BLT perlindungan sosial dan 20,6 juta penerima BLT BBM adalah data yang sama?” katanya.

Menurutnya, jika keluarga tidak mampu penerima BLT perlindungan sosial sama dengan data penerima BLT BBM, maka seharusnya per-keluarga mendapatkan Rp1,39 juta dari BLT Perlindungan Sosial dan Rp600 ribu dari BLT BBM. “Harusnya 1 keluarga mendapatkan Rp1,99 juta. Berdasarkan argumentasi di atas saya secara pribadi mendukung Presiden Jokowi untuk membongkar indikasi kuat tidak transparannya BPP BBM dan alokasi APBN energi, serta untuk subsidi perlindungan sosial dan subsidi BLT BBM,” tegas Rieke.

Selanjutnya, Rieke mendukung Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI melakukan audit investigatif terhadap Pertamina. Ketiga, mendukung KPK dan Kejaksaan Agung membongkar indikasi permainan impor BBM. Keempat, mendukung KPK dan Kejaksaan Agung mengungkap indikasi  penyimpangan uang negara yang indikasinya beroperasi melalui data-data yang tidak aktual dan akurat terkait BPP BBM dan penerima subsidi bantuan sosial dan BLT BBM,” imbuh Rieke.

Baca Selengkapnya
Tulis Komentar

BERITA

Target APK Pendidikan Tinggi Tidak Mungkin Tercapai Jika Biaya Kuliah Mahal

Oleh

Fakta News
Target APK Pendidikan Tinggi Tidak Mungkin Tercapai Jika Biaya Kuliah Mahal
Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah saat kunjungan kerja reses di Kota Medan, Sumatera Utara, Senin (06/05/2024). Foto : DPR RI

Medan – Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap mahalnya biaya pendidikan tinggi di perguruan tinggi negeri. Menurutnya, dengan mahalnya biaya pendidikan tinggi itu dapat menghambat pencapaian target pemerintah dalam meningkatkan Angka Partisipasi Kasar (APK) perguruan tinggi. Menurut data tahun 2023, APK untuk laki-laki hanya 29,12 persen dan untuk perempuan 33,87 persen, angka yang jauh dari target yang diharapkan.

Konsekuensinya, tambah Ledia, dengan biaya pendidikan yang sangat mahal  itu banyak calon mahasiswa yang terhambat untuk melanjutkan pendidikan. “Dengan mahalnya perguruan tinggi negeri ini, bagaimana mungkin kita bisa mencapai target APK yang lebih baik jika banyak anak-anak kita yang tidak mampu melanjutkan pendidikan karena biaya?” ujar Ledia kepada Parlementaria, di Kota Medan, Sumatera Utara, Senin (06/05/2024).

Diketahui, Angka Partisipasi Kasar (APK) Perguruan Tinggi (PT) adalah perbandingan antara jumlah penduduk yang masih bersekolah di jenjang pendidikan Perguruan Tinggi (PT) (tanpa memandang usia penduduk tersebut) dengan jumlah penduduk yang memenuhi syarat resmi penduduk usia sekolah di jenjang pendidikan Perguruan Tinggi (PT) (umur 19- 23 tahun).

Ledia pun mengkritik sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang berlaku di banyak perguruan tinggi, yang menurutnya masih memberatkan bagi sebagian besar calon mahasiswa. “Ada perguruan tinggi dengan sistem UKT yang sangat tinggi, dan ada pula yang menengah namun tetap mahal, belum lagi adanya uang pangkal yang harus dibayar di awal,” ujar politisi Alumni Master Psikologi Terapan dari Universitas Indonesia ini.

Ledia juga menyoroti perlunya sebuah sistem pendidikan tinggi yang lebih pro kepada masyarakat, terutama bagi warga negara Indonesia yang memiliki kemampuan akademis namun ada keterbatasan ekonomi. “Kita perlu membuat sistem yang lebih baik, yang lebih mendukung anak-anak kita untuk bisa kuliah tanpa dibebani biaya yang tidak mampu mereka tanggung,” ujar Politisi Fraksi PKS ini.

Lebih lanjut, Ledia menegaskan bahwa pendidikan tinggi harus diakses oleh semua lapisan masyarakat. “Kita membuat kampus itu mandiri, namun bukan berarti kita bisa mengabaikan warga negara Indonesia, terutama anak-anak muda kita yang sebenarnya punya kemampuan dalam akademisnya tapi tidak dalam ekonominya,” ujarnya.

Kebijakan saat ini, menurut Ledia, harus segera dibahas dan diperbaiki, dengan keterlibatan langsung dari kampus-kampus dan pemerintah untuk mencari solusi yang efektif. “Perlu ada diskusi serius antara pemerintah dengan perguruan tinggi untuk menata ulang sistem pendanaan pendidikan tinggi di negara kita,” tutur Ledia.

Dalam mencari solusi, Ledia juga menyarankan agar perguruan tinggi negeri bisa terhubung lebih baik dengan program beasiswa dan bantuan finansial lainnya yang bisa membantu meringankan beban mahasiswa. “Harus ada lebih banyak opsi beasiswa dan bantuan finansial yang dapat diakses oleh mahasiswa yang membutuhkan,” ucap Ledia.

Ledia berharap bahwa dengan perbaikan sistem yang lebih inklusif dan mendukung, Indonesia bisa mencapai tujuan menjadi negara dengan sumber daya manusia yang unggul pada 2045. “Ini semua tentang membangun fondasi yang kuat untuk pendidikan tinggi di Indonesia, memastikan semua anak berhak dan mampu mendapatkan pendidikan yang layak,” pungkasnya.

Baca Selengkapnya

BERITA

Geramnya Komisi II terhadap Biaya PBB yang Membengkak Akibat Sertifikat Tanah

Oleh

Fakta News
Geramnya Komisi II terhadap Biaya PBB yang Membengkak Akibat Sertifikat Tanah
Anggota Komisi II DPR RI Rosiyati MH Thamrin saat Kunjungan Kerja Reses Tim Komisi II ke Maros, Sulawesi Selatan, Senin (06/05/2024). Foto : DPR RI

Maros – Anggota Komisi II DPR RI Rosiyati MH Thamrin mengecam kebijakan terkait sertifikat tanah yang merugikan masyarakat. Dalam pernyataannya, ia menyampaikan keprihatinannya terhadap biaya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang melonjak drastis setelah penerbitan sertifikat tanah.

“Sangat disayangkan melihat betapa besarnya biaya PBB yang harus ditanggung masyarakat setelah memiliki sertifikat tanah. Hal ini menjadi hambatan besar bagi petani dan pengguna lahan lainnya untuk mendaftarkan tanah mereka,” ujar Rosiyati MH Thamrin saat Kunjungan Kerja Reses Tim Komisi II ke Maros, Sulawesi Selatan, Senin (06/05/2024).

Menurutnya, masyarakat enggan membuat sertifikat tanah karena adanya komponen biaya PBB yang meningkat secara signifikan setelah kepemilikan tanah tersebut bersertifikat. Hal ini berdampak negatif terutama bagi para petani dan pengguna lahan lainnya yang mayoritas hidup dengan penghasilan terbatas.

Rosiayati pun menyerukan pentingnya koordinasi antara pemerintah daerah dan Dinas Pajak untuk meninjau ulang kebijakan terkait tarif PBB. “Saya berharap agar Dinas Pajak dapat mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat yang terdampak dan menyesuaikan tarif PBB dengan lebih adil,” tambahnya.

Kemudian, Politisi Fraksi PDI-Perjuangan itu juga menegaskan bahwa pembenahan terhadap kebijakan tersebut penting dilakukan agar masyarakat merasa lebih terbantu dan terjamin hak-haknya atas tanah yang mereka miliki.

“Pemerintah harus fokus pada upaya mempermudah akses masyarakat terhadap kepemilikan tanah dengan biaya yang terjangkau, sehingga tidak menghambat pembangunan dan kesejahteraan masyarakat,” tutupnya.

Baca Selengkapnya

BERITA

PON XXI Sebentar Lagi, Pembangunan Venue Ternyata Belum Tuntas!

Oleh

Fakta News
PON XXI Sebentar Lagi, Pembangunan Venue Ternyata Belum Tuntas!
Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah saat mengikuti Kunjungan Kerja Reses Tim Komisi X DPR RI, di Kota Medan Sumatera Utara, Senin (06/05/2024). Foto: DPR RI

Medan – Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah mengungkapkan, kekhawatirannya terkait kesiapan pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI yang dijadwalkan pada September 2024 di Aceh dan Sumatera Utara. Ledia menyatakan bahwa meskipun pemerintah daerah telah berkomitmen dengan mengalokasikan dana besar, masih terdapat kekurangan yang perlu ditangani oleh pemerintah pusat.

“Pemerintah Provinsi Sumatera Utara telah mengeluarkan anggaran sekitar Rp2,1 triliun, dan belum lagi dari Pemerintah Kabupaten/Kota dari APBD untuk pembangunan venue dan lain-lain. Namun, ada beberapa hal penting yang masih harus di-cover oleh pemerintah pusat,” ujar Ledia, Medan, Sumatera Utara, Senin (6/5/2024).

Menurutnya, masih ada kebutuhan dana tambahan untuk menyelesaikan infrastruktur yang belum rampung. “Persoalnnya ada hal yang harus dicover oleh pemerintah pusat, apakah itu bisa selesai atau enggak. Kita belum tahu sampai sekarang pemerintah daerah juga enggak bisa apa-apa, itu sangat tergantung dari pusat,” ujarnya.

Ledia juga menyampaikan bahwa Komisi X DPR RI telah mengusulkan agar penundaan PON hingga awal tahun 2025 untuk memastikan semua persiapan bisa tuntas. “Beberapa dari kami sudah mengusulkan untuk ditunda sampai Januari atau Februari 2025 sehingga penyelenggaraannya bisa berjalan dengan baik dan tidak terburu-buru,” tegas Ledia.

Selain itu, Ledia menekankan bahwa ada kesamaan situasi dengan PON sebelumnya di Papua, yang juga harus diundur karena pandemi COVID-19. “Situasinya serupa dengan apa yang terjadi di Papua. Jika memang belum siap, jangan dipaksakan,” tegasnya.

Ledia juga berharap dengan waktu yang masih ada, bisa di optimalkan dengan baik. “Harapan nanti penyelenggarannya bisa berjalan dengan baik, karena ini baru pertama kali diselenggarakan di dua  provinsi, belum lagi setelah itu ada peparnas untuk disabilitas. Nah jadi memang harusnya lebih matang, kalau memang belum siap jangan dipaksakan,” ungkap Ledia.

Pemerintah Provinsi Sumatera Utara telah berkomitmen untuk juga menggunakan venue yang sudah ada dengan memperbaikinya. Namun, Ledia menyatakan, “Sekarang ini yang ditunggu adalah dukungan anggaran dari pemerintah pusat, bisa atau tidak,” ungkapnya.

Ditambah lagi, menurut Ledia, “Telah dianggarkan dari Kementerian Pemuda dan Olahraga sebanyak Rp300 miliar untuk biaya operasional seperti pembayaran wasit dan juri, namun untuk infrastruktur, kecepatan penyelesaian dari pemerintah pusat masih menjadi tanda tanya”.

Kekhawatiran terus mengemuka seiring dengan mendekatnya waktu pelaksanaan PON XXI, dengan banyak pihak berharap agar pemerintah pusat dapat segera mengambil tindakan untuk menyelesaikan persiapan yang masih tertunda.

Baca Selengkapnya