Connect with us
Pilkada Serentak 2018

Perludem: Syarat Terlalu Berat, Jumlah Calon Independen Pilkada Serentak Menurun

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini(Foto : tribunnews.com)

Jakarta – Pilkada Serentak tahun 2018 nampaknya akan sepi dari pasangan calon yang berasal dari jalur non partai atau independen. Hingga saat ini saja, baru ada tiga paslon perseorangan dari tiga provinsi yang dinyatakan telah memenuhi syarat dukungan pencalonan.

Dalam diskusi bertajuk ‘Meneropong Calon Independen Pilkada 2018’ di Media Center KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (29/11/2017), Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan kemauan bakal calon kepala daerah yang maju secara perseorangan atau independen cenderung menurun selama tiga periode Pilkada terakhir.

Pada Pilkada serentak 2015 lalu menurut Titi ada 135 paslon perseorangan. Dari jumlah tersebut, ada 13 paslon yang terpilih menjadi kepala daerah, yakni di Kota Tomohon, Kota Tanjungbalai, Kota Bukittinggi, Kota Bontang, Kota Banjarbaru, Supiori, Sabu Raijua, Rembang, Rejanglebong, Kutai Kertanegara, Ketapang, Gowa dan Kabupaten Bandung.

Sementara pada Pilkada serentak 2017 lalu tercatat ada 68 paslon perseorangan. “Ada tiga paslon perseorangan yang berhasil memenangkan Pilkada 2017 lalu, yakni di Kabupaten Pidie, Kabupaten Boalemo dan Kabupaten Sarmi,” papar Titi.

Lebih lanjut Titi memaparkan, pada Pilkada serentak 2018 nanti akan diikuti oleh 171 daerah, meliputi 17 provinsi, 39 kota dan 115 kabupaten. KPU sendiri sudah mengakhiri batas penyerahan syarat dukungan bagi calon perseorangan di tingkat provinsi pada 26 November lalu.

Sementara untuk tingkat kabupaten dan kota, penyerahan syarat dukungan berakhir pada Rabu. Dari batas waktu yang telah ditetapkan oleh KPU ini, dari 17 provinsi yang melaksanakan Pilkada 2018, hanya ada delapan paslon perseorangan yang mendaftar.

Titi lebih lanjut mengatakan adapun kedelapan paslon ini berasal dari delapan provinsi, yaitu Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), Maluku Utara, Maluku, Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. “Berdasarkan hasil penerimaan syarat minimum dukungan, baru tiga provinsi saja yang berkas pencalonan paslonnya dinyatatakan memenuhi syarat oleh KPU. ketiga provinsi tersebut yakni Kalimantan Barat, NTB dan Sulawesi Selatan,” ujar Titi.

Minimnya jumlah calon independen di Pilkada menurut Titi dikarenakan calon kepala daerah yang maju secara perseorangan (independen) masih cenderung kalah bersaing dengan calon yang didukung oleh parpol. Minimnya jumlah calon independen di Pilkada pun disebabkan syarat dukungan minimal kepada calon yang dianggap memberatkan. “Di sisi lain, ketidaksetaraan antara calon perseorangan dengan calon yang didukung parpol juga terlihat saat proses pilkada itu berlangsung, mulai dari kampanye sampai dengan pemungutan dan penghitungan,” kata Titi.

Sebagai organisasi yang sudah terlembagakan dengan infrastruktur jaringan, mulai dari pusat, provinsi, kabupaten/kota, bahkan sampai dengan desa, kata Titi, maka dalam proses kampanye partai politik hanya tinggal memanfaatkan kepanjngan tangannya disetiap level untuk mengajak pemilih mendukung calon kepala daerah, yang diusung oleh parpol atau koalisi parpol. “Sementara itu, calon perseorangan, nyaris tidak memiliki struktur jaringan yang terlembagakan bahkan ia harus mulai membangun satu persatu ketika proses pemilu berlangsung,” jelas Titi.

Karena itu, Titi menyarankan penyelenggara Pilkada memikiran dan mengatur syarat pencalonan perseorangan untuk pilkada serentak berikutnya. Hal tersebut dinilai penting dalam rangka menghadirkan ruang persaingan yang setara dan membuka lebih banyak calon alternatif bagi publik. “Pengaturan tata cara dan prosedur pencalonan perseorangan mestinya dibuat lebih awal dan tidak mepet dengan tahapan pemilu,” ungkapnya. Dengan begitu, lanjut dia, ada waktu yang cukup bagi calon perseorangan untuk mengkonsolidasikan dan memenuhi syarat dukungan minimal yang disyaratkan dalam undang-undang.

Ping

Baca Selengkapnya
Tulis Komentar

BERITA

“Alokasi Anggaran Pendidikan di APBN Cukup Besar, Kenapa Biaya Kuliah Malah Meroket?”

Oleh

Fakta News
“Alokasi Anggaran Pendidikan di APBN Cukup Besar, Kenapa Biaya Kuliah Malah Meroket?”
Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda. Foto: DPR RI

Jakarta – Tingginya biaya pendidikan di tanah air (Indonesia) kian dikeluhkan banyak kalangan. Komisi X DPR RI yang membidangi pendidikan pun, berinisiatif membentuk Panitia Kerja (Panja) Biaya Pendidikan untuk memastikan biaya pendidikan di Indonesia terjangkau masyarakat.

“Akhir-akhir ini mahasiswa maupun orang tua mahasiswa mengeluhkan tingginya Uang Kuliah Tunggal (UKT) di berbagai kampus negeri. Selain itu, wali murid juga banyak merasa keberatan akan adanya berbagai biaya sekolah negeri dengan bungkus uang komite, uang kegiatan, hingga sumbangan tanpa ikatan. Kami ingin mengetahui pengelolaan biaya pendidikan oleh pemerintah sehingga memutuskan membentuk panitia kerja (Panja),” ujar Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda melalui keterangan yang diterima Parlementaria, di Jakarta, Jumat (17/5/2024).

Lebih lanjut, Huda menjelaskan bahwa Indonesia telah menerapkan mandatory spending sebesar 20 persen dari APBN untuk anggaran pendidikan. Menurutnya, tahun ini saja sebesar Rp665 triliun dari APBN dialokasikan untuk membiayai pendidikan. “Maka agak aneh ketika komponen biaya pendidikan dari peserta didik kian hari meroket, padahal alokasi anggaran pendidikan dari APBN juga relatif cukup besar,” ujar Politisi Fraksi PKB ini.

Legislator Dapil Jawa Barat ini menilai bahwa pandangan yang menegaskan bahwa Pemerintah lepas tangan dalam urusan pendidikan tinggi kian menguat. Meskipun, pendidikan tinggi bersifat tersier, namun saat ini urgen dibutuhkan, mengingat Indonesia mempunyai target mewujudkan Indonesia Emas di 2045.

“Mayoritas mahasiswa saat berdialog dengan kami punya pandangan jika pemerintah lepas tangan untuk layanan pendidikan tinggi. Kami tidak ingin pandangan tersebut menjadi persepsi umum publik, karena memang anggaran pendidikan kita dari APBN sebenarnya relatif besar,” kata Huda.

Dalam Panja Biaya Pendidikan, Huda mengatakan Komisi X akan memanggil stakeholder pengelola anggaran pendidikan seperti Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Kemendikbud Ristek, Bappenas, hingga pemerintah daerah. Dengan harapan, dari pertemuan tersebut diketahui faktor-faktor yang membuat biaya pendidikan di Indonesia kian hari kian mahal.

“Anggaran pendidikan kita tahun ini saja sekitar Rp665 triliun. Anggaran ini kemudian didistribusikan ke kementerian/lembaga termasuk ke pemerintah daerah. Maka di sini penting untuk diketahui apakah semua lembaga yang mengelola anggaran pendidikan ini telah sesuai kebutuhan di lapangan atau memang ada perlu perbaikan. Baik terkait pola distribusi, pola pengelolaan, hingga penentuan sasaran,” bebernya.

Karena itu, Politisi PKB ini menegaskan Panja Biaya Pendidikan merupakan salah satu bentuk fungsi pengawasan DPR terhadap pengelolaan anggaran pendidikan oleh pemerintah. Menurutnya, Panja Biaya Pendidikan akan menghasilkan rekomendasi pengelolaan anggaran pendidikan yang lebih efektif dan efisien.

“Kami berharap hasil atau rekomendasi dari Panja Biaya Pendidikan ini menjadi asumsi dasar pengelolaan anggaran pendidikan dalam RAPBN 2025. Dengan demikian tahun depan kita sudah bisa punya skema pengelolaan biaya pendidikan yang bisa memastikan layanan pendidikan murah dan berkualitas,” tutupnya.

Baca Selengkapnya

BERITA

Cegah Degradasi Moral, Penting Membentuk RUU tentang Etika bagi Penyelenggara Negara

Oleh

Fakta News
Cegah Degradasi Moral, Penting Membentuk RUU tentang Etika bagi Penyelenggara Negara
Ketua MKD DPR RI Adang Daradjatun, saat mengikuti Seminar Nasional di Jakarta, Kamis (17/5/2024). Foto: DPR RI

Jakarta – Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI, Adang Daradjatun mengapresiasi masukan dari para narasumber dalam seminar nasional bertema Momentum Penataan Sistem Peradilan Etika Berbangsa dan Bernegara Berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara republik Indonesia 1945.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Prof Jimly Asshiddiqie, sebagai salah satu narasumber misalnya,  berharap agar MKD DPR RI dapat menginisiasi atau memprakasai pembuatan Rancangan Undang-Undang tentang Etika bagi Penyelenggara Negara untuk diusulkan pembahasannya kepada Badan Legislasi (Baleg) DPR RI.

“Yang pasti saya ingin menyampaikan rasa hormat dan apresiasi kepada Para narasumber dan peserta seminar nasional ini. Saat ini merupakan momentum atau kesempatan kita menata sistem peradilan etika berbangsa dan bernegara. Jadi pemikiran dari para narasumber tadi agar kami di DPR membuat undang-undang tentang etika para pejabat negara,” ujar Adang Daradjatun kepada Parlementaria usai Seminar Nasional, Jakarta, Kamis (17/5/2024).

Dijelaskannya, dalam seminar nasional tersebut sempat tercetus untuk mengubah Undang-Undang Dasar untuk memasukan masalah etika para penyelenggara negara. Namun, kemudian terlontar ide untuk cukup membentuk sebuah undang-undang yang memang bisa digunakan untuk mengadili atau menilai suatu etika para penjabat atau penyelenggara negara.

Pasalnya, narasumber dan para peserta seminar tersebut sepakat bahwa belakangan di Indonesia telah terjadi degradasi etika atau moral dalam penyelenggara negara, khususnya tidak beradabnya proses penyelenggaraan negara dalam Proses pemilu kemarin yang tentu sangat memprihatinkan.

Oleh karenanya, menurut Mantan Wakapolri ini, seminar nasional ini dilaksanakan sebagai upaya koreksi terhadap apa yang telah dilakukan dalam rangka melakukan perbaikan kedepan. Sangat jelas seminar ini telah membakar semangat kita semua untuk memiliki atau memperbaiki etika yang lebih baik.

Dipaparkan Politisi dari Fraksi PKS ini, hukum yang mengabaikan etika akan kering, minim makna, dan hanya memberikan kepastian hukum tetapi tidak akan mampu memberikan kepuasan nilai. Karena itu hukum harus berjalan di samudra etika sehingga memberikan kepastian sekaligus kepuasan.

“Membangun sistem etika yang mumpuni berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, merupakan upaya kita dalam menggali nilai-nilai luhur yang terkandung dalam setiap percikan pemikiran dan untaian kata apa yang terkandung dalam Pancasila. Nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai sistem etika tersebut, yakni nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan,” papar anggota Komisi III DPR RI ini.

Seminar ini turut pula dihadiri oleh perwakilan anggota DPRD dari seluruh Indonesia. Sementara itu selain Prof Jimly Assidiqie, hadir juga sebagai narasumber Prof  Siti Zuhro, Prof  Hafid Abas, Prof Yohannes Haryatmoko.

Baca Selengkapnya

BERITA

Ditemukan, Jemaah Umroh Asal Indonesia Tidak Pulang Tapi Lanjut Haji Tanpa Visa Resmi

Oleh

Fakta News
Ditemukan, Jemaah Umroh Asal Indonesia Tidak Pulang Tapi Lanjut Haji Tanpa Visa Resmi
Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Marwan Dasopang, saat melepas keberangkatan jemaah haji kloter 4 di Embarkasi Medan, Sumatera Utara, Kamis (16/5/2024). Foto: DPR RI

Medan – Sebanyak kurang lebih 40 ribu jemaah umroh asal Indonesia dilaporkan tidak kembali ke tanah air pada musim haji tahun 2024. Beberapa di antaranya disinyalir berniat untuk berhaji tanpa visa haji yang resmi.

Melihat kondisi ini, Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Marwan Dasopang mengimbau masyarakat untuk berhati-hati jika ada ajakan berangkat haji tanpa pendaftaran resmi dari pemerintah hingga iming-iming berhaji tanpa antri. Marwan menyebut, saat ini Pemerintah Saudi sudah memperketat pengawasan untuk jemaah haji. Sehingga dikhawatirkan jemaah yang tidak resmi tersebut nantinya justru diamankan pihak Saudi.

“Pemerintah Saudi akan melakukan pengawasan yang ketat. Pengawasan yang ketat ini, dilalui dengan cara diamankan, diamankan itu, ya ditahan dulu, Kita nggak bisa ngurus nanti setelah selesai haji kan cukup lama, paling tidak 40 hari,” jelasnya kepada Parlementaria, saat melepas keberangkatan jemaah haji kloter 4 di Embarkasi Medan, Sumatera Utara, Kamis (16/5/2024).

Untuk itu, Politisi Fraksi PKB ini meminta masyarakat yang berniat untuk berangkat Ibadah Haji agar bersabar dan mengikuti aturan yang ada. Di mana memang di Indonesia antrean haji bervariasi, mulai dari menunggu 15 tahun hingga 45 tahun, bergantung pada daerah masing-masing.

Selain itu, Marwan juga mengingatkan masyarakat yang masih nekat berangkat haji dengan cara yang tidak resmi, dikhawatirkan ibadah hajinya tidak dapat memenuhi standar pelaksanaan ibadah haji. Ia pun juga mengingatkan pemerintah untuk melakukan pengawasan yang ketat, terhadap jemaah-jemaah haji ilegal tersebut.

“Seolah olah beribadah haji, tapi nggak masuk Arafah, hanya di samping samping Arafahnya merasa sudah dipandang di padang Arafah, padahal tidak. Kenapa begitu? Karena masuk Arafah itu portalnya cukup ketat, di pagar mau masuk. Nah kalau dia nggak punya tasreh nggak punya masyair, gak mungkin bisa masuk,” jelas Legislator Dapil Sumatera Utara II ini.

Marwan menambahkan, nantinya pihaknya akan berkoordinasi dengan pemerintah agar tidak lagi menerbitkan visa kunjungan saat musim haji. Hal ini untuk mencegah masyarakat yang ingin berangkat haji tanpa prosedur resmi menggunakan visa kunjungan.

“Memang kunjungan ini kan hak seseorang kunjungan ke Saudi. Tapi ngapain berkunjung ribuan orang pada bulan-bulan haji? Itu ada motif, maka karena itu kunjungan, nanti kami ingin mengajak pemerintah pada saat bulan-bulan haji, visa kunjungan yang akan dipakai oleh orang Indonesia di-cut di imigrasi, tidak boleh berangkat. Karena kita patut mempertanyakan ngapain orang pada saat bulan Haji berkunjung ke Saudi, kunjungan apa itu? Lagian ribuan orang,” tegasnya.

Baca Selengkapnya