Tulisan Gus Dur: Harlah, Natal dan Maulid
Natal, dalam kitab suci al-Qur’an disebut sebagai “yauma wulida” (hari kelahiran, yang secara historis oleh para ahli tafsir dijelaskan sebagai hari kelahiran Nabi Isa, seperti terkutip: “kedamaian atas orang yang dilahirkan (hari ini)” (salamun yauma wulid) yang dapat dipakaikan pada beliau atau kepada Nabi Daud. Sebaliknya, firman Allah dalam surat al-Maryam: “Kedamaian atas diriku pada hari kelahiranku” (al-salamu ‘alaiyya yauma wulidtu), jelas-jelas menunjuk kepada ucapan Nabi Isa. Bahwa kemudian Nabi Isa “dijadikan” Anak Tuhan oleh umat Kristiani, adalah suatu hal yang lain lagi, yang tidak mengurangi arti ucapan Yesus itu. Artinya, Natal memang diakui oleh kitab suci al-Qur’an, juga sebagai kata penunjuk hari kelahiran beliau, yang harus dihormati oleh umat Islam juga. Bahwa, hari kelahiran itu memang harus dirayakan dalam bentuk berbeda, atau dalam bentuk yang sama tetapi dengan maksud yang berbeda, adalah hal yang tidak perlu dipersoalkan. Jika penulis merayakan Natal adalah penghormatan untuk beliau dalam pengertian yang penulis yakini, sebagai Nabi Allah Swt.
Sedangkan Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi (Saladin the Saracen), penguasa dari wangsa Ayyub yang berkebangsaan Kurdi/ non-Arab itu, enam abad setelah Nabi Muhammad saw wafat, harus berperang melawan orang-orang Kristiani yang dipimpin Richard berhati singa (Richard the Lion Heart) dan Karel Agung (Charlemagne) dari Inggris dan Perancis untuk mempertanggungjawabkan mahkota mereka kepada Paus, melancarkan perang Salib ke tanah suci. Untuk menyemangatkan tentara Islam yang melakukan peperangan itu, Saladin memerintahkan dilakukannya perayaan Maulid Nabi tiap-tiap tahun, di bulan kelahiran beliau. Bahwa kemudian peringatan itu berubah fungsinya, yang tidak lagi mengobarkan semangat peperangan kaum Muslimin, melainkan untuk mengobarkan semangat orang-orang Islam dalam perjuangan (tidak bersenjata) yang mereka lakukan, itu adalah perjalanan sejarah yang sama sekali tidak mempengaruhi asal-usul kesejarahannya.
Jadi jelas bagi kita, kedua peristiwa itu jelas mempunyai asal-usul, dasar tekstual agama dan jenis peristiwa yang sama sekali berbeda. Ini berarti, kemerdekaan bagi kaum Muslimin untuk turut menghormati hari kelahiran Nabi Isa, yang sekarang disebut hari Natal. Mereka bebas merayakannya atau tidak, karena itu sesuatu yang dibolehkan oleh agama. Penulis menghormatinya, kalau perlu dengan turut bersama kaum Kristiani merayakannnya bersama-sama. Dalam literaturfiqh, jika kita duduk bersama-sama dengan orang lain yang sedang melaksanakan peribadatan mereka, seorang Muslim diperkenankan turut serta duduk dengan mereka asalkan ia tidak turut dalam ritual kebaktian. Namun hal ini masih merupakan “ganjalan” bagi kaum muslimin pada umumnya, karena kekhawatiran mereka akan “dianggap” turut berkebaktian yang sama. Karena itulah, kaum Muslimin biasanya menunggu di sebuah ruangan, sedangkan ritual kebaktian dilaksanakan di ruang lain. Jika telah selesai, baru kaum Muslimin duduk bercampur dengan mereka untuk menghormati kelahiran Isa al-Masih.
Inilah “prosedur” yang ditempuh oleh para pejabat kita tanpa mengerti sebab musababnya. Karena jika tidak datang melakukan hal itu, dianggap “mengabaikan” aturan negara, sebuah masalah yang sama sekali berbeda dari asal-usulnya. Sementara dalam kenyataan, agama tidak mempersoalkan seorang pejabat datang atau tidak dalam sebuah perayaan keagamaan. Karena jabatan kenegaraan bukanlah jabatan agama, sehingga tidak ada keharusan apapun untuk melakukannya. Namun seorang pejabat, pada umumnya dianggap mewakili agama yang dipeluknya. Karenanya ia harus mendatangi upacara-upacara keagamaan yang bersifat ‘ritualistik’, sehingga kalau tidak melakukan hal itu ia akan dianggap ‘mengecilkan’ arti agama tersebut. Ini adalah sebuah proses sejarah yang wajar saja. Setiap negara berbeda dalam hal ini, seperti Presiden AS yang tidak dituntut untuk mendatangi peringatan maulid Nabi Saw. Di Mesir umpamanya, Mufti kaum Muslimin -yang bukan pejabat pemerintahan- mengirimkan ucapan selamat Natal secara tertulis, kepada Paus Shanuda (Pausnya kaum Kristen Coptic di Mesir). Sedangkan kebalikannya terjadi di hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, bukan pada hari Maulid Nabi saw. Padahal di Indonesia pejabat beragama Kristiani, kalau sampai tidak mengikuti peringatan Maulid Nabi saw akan dinilai tidak senang dengan Islam, dan ini tentu berakibat pada karier pemerintahannya. Apakah ini merupakan sesuatu yang baik atau justru yang buruk, penulis tidak tahu. Kelanjutan sejarah kita sebagai bangsa, akan menunjukkan kepada generasi-generasi mendatang apakah arti moral maupun arti politis dari “kebiasaan” seperti itu.
Di sini menjadi jelas bagi kita, bahwa arti pepatah lain padang lain ilalang, memang nyata adanya. Semula sesuatu yang mempunyai arti keagamaan (seperti perayaan Natal), lama-kelamaan “dibudayakan” oleh masyarakat tempat ia berkembang. Sebaliknya, semula adalah sesuatu yang “dibudayakan” lalu menjadi berbeda fungsinya oleh perkembangan keadaan, seperti Maulid Nabi saw di Indonesia. Memang demikianlah perbedaan sejarah di sebuah negara atau di kalangan suatu bangsa. Sedangkan di negeri lain orang tidak pernah mempersoalkannya baik dari segi budaya maupun segi keyakinan agama. Karenanya, kita harus berhati-hati mengikuti perkembangan seperti itu. Ini adalah sebuah keindahan sejarah manusia, bukan?
Jerussalem, 20 Desember 2003
Sumber: https://islami.co/tulisan-gus-dur-harlah-natal-dan-maulid/
- Halaman :
- 1
- 2
BERITA
Komisi III Minta Komnas HAM Tingkatkan Peran, Selesaikan Pelanggaran HAM Berat
Jakarta – Wakil Ketua Komisi III DPR RI Pangeran Khairul Saleh memimpin rapat kerja dengan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Dalam rapat ini Komisi III meminta Komnas HAM untuk meningkatkan peran dan mengoptimalkan pelaksanaan tugas dan fungsi dalam mendukung penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM, termasuk pelanggaran HAM berat.
“Baik itu penyelesaian yudisial maupun non-yudisial, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,” ujarnya di ruang rapat Komisi III, Nusantara II, Senayan, Jakarta, Rabu (30/5/2024).
Lebih lanjut Komisi III DPR meminta Komnas HAM untuk segera menyelesaikan peraturan terkait Penilaian Tindak Lanjut Kepatuhan Rekomendasi, agar dapat menjadi informasi dan tolak ukur dalam tindak lanjut rekomendasi yang telah diberikan.
Bahkan Komisi III meminta Komnas HAM dan Komnas Perempuan untuk lebih proaktif dan sinergis dalam mengidentifikasi potensi permasalahan, melakukan penanganan, maupun pendampingan terhadap seluruh pihak, dalam penerapan dan penegakan prinsip-prinsip HAM, termasuk perlindungan terhadap perempuan di seluruh sektor dan kegiatan.
Sementara itu di lain pihak, Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro menyampaikan bahwa pihaknya saat ini tengah menyusun rancangan Peraturan Komnas HAM terkait Penilaian Tindak Lanjut Kepatuhan Rekomendasi Komnas HAM. “Sebagai salah satu upaya pemasangan untuk meningkatkan efektivitas dari rekomendasi yang diberikan oleh Komnas HAM,” papar Atnike saat rapat.
Menurutnya rekomendasi yang diberikan oleh Komnas HAM dari hasil pemantauan, mediasi, maupun kajian tidak selalu ditindaklanjuti oleh stakeholders maupun kementerian/lembaga karena dianggap tidak mengikat. “Sejumlah kasus juga menunjukkan fungsi mediasi Komnas HAM masih belum dipahami sebagai sebuah solusi strategis,” ucap Atnike.
BERITA
Anggaran Pendidikan Kemenag Dinilai Masih Kecil
Jakarta – Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ace Hasan Syadzily menilai besaran anggaran pendidikan yang diterima Kemenag (Kementerian Agama) untuk mendanai seluruh lembaga pendidikan Islam dan keagamaan masih timpang dibanding kementerian lain.
“Soal anggaran pendidikan di bawah Kementerian Agama harus betul-betulan keadilan anggaran. Kalau kita dengar pidato Menteri Keuangan (Sri Mulyani) dalam rapat paripurna, ya anggaran pendidikan Rp630 triliun, tapi kalau Kemenag hanya dapat Rp35 triliun, buat saya mengkhawatirkan,” kata Kang Ace, sapaannya, dalam keterangan persnya, Rabu (29/5/2024).
Politisi Partai Golkar itu menyatakan, selain Sekretariat Jenderal (Sekjen) Kemenag, anggaran terbesar juga diberikan kepada Direktorat Jenderal (Ditjen) Pendidikan Islam (Pendis) Kemenag sebesar Rp35 triliun.
Ada satu hal yang sangat penting untuk didiskusikan bersama adalah soal berbagai hal terkait anggaran pendidikan nasional. Dari penjelasan Plt Dirjen Pendis, berapa persen KIP Kuliah untuk Perguruan Tinggi Agama Islam (PTKAI) dan perguruan tinggi agama lain.
“Apakah PIP, KIP, apakah sudah mencerminkan suatu keadilan anggaran? Rehab ruang kelas juga belum mencerminkan keseluruhan,” ujar dia.
Kang Ace melihat dari total anggaran pendidikan Rp630 triliun di APBN, Kemenag hanya mendapatkan Rp35 triliun, artinya belum mencerminkan suatu kesetaraan anggaran.
“Padahal anak-anak madrasah, yang kuliah di UIN, STAIN, STAI atau di manapun, mereka juga anak-anak bangsa yang sama untuk mendapatkan perlakuan sama dalam akses pendidikan,” tutur Kang Ace.
Ace mengatakan, keputusan tepat telah diambil Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas yang menunda status Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH) bagi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. “Itu keputusan yang tepat. Kalau tidak, meresnya sama mahasiswa. Berat,” ucap dia.
Jujur saja, ujar Ace, hampir sebagian besar siswa dan mahasiswa yang sekolah di bawah Kemenag berlatar belakang sosial ekonomi kelas menengah bawah. Namun penyaluran program KIP dan PIP untuk mereka juga sedikit.
“Itu anehnya. Jadi ada yang salah dari proses pendataan penyaluran program negara untuk kelompok-kelompok yang membutuhkan itu,” ujar Kang Ace.
BERITA
Imbas Kebakaran Smelter Nikel PT KFI, Komisi VII akan Audit Investigasi
Kutai Kartanegara – Anggota Komisi VII DPR RI Nasyirul Falah Amru mengatakan, pihaknya akan segera melakukan audit investigasi terhadap pabrik smelter nikel PT Kalimantan Ferro Industri. Hal tersebut imbas dari peristiwa dua kali ledakan di pabrik smelter PT KFI yang menewaskan pekerja asing dan lokal belum lama ini.
“Kami akan panggil PT KFI beserta seluruh jajaran direksinya, untuk datang ke Gedung Senayan dan kami akan melakukan audit investigasi. Secara mekanisme, bisa dengan membuat panja nikel atau kita panggil secara khusus di Rapat Dengar Pendapat (RDP). Kami juga tentunya akan melibatkan Kementerian Perindustrian dan Kementerian KLHK dari sisi amdalnya, supaya benar-benar kita melihat secara komprehensif sebab terjadinya ledakan,” ujarnya saat memimpin Tim Kunspek Komisi VII DPR mengunjungi PT KFI di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Rabu (29/5/2024).
Menurut Politisi F-PDI Perjuangan ini, pihaknya menilai, hasil dari temuan dilapangan seperti sarana untuk keselamatan kerja dan sebagainya juga masih jauh dari kurang. Walaupun mereka sudah mendatangkan tim dari Kementerian Industri untuk mekanisme aturan pedomannya, tetapi pihaknya menemukan fakta di lapangan masih belum sesuai dengan harapan.
“Saya berpesan agar tidak terulang terjadi kebakaran atau ledakan, yang paling penting ini adalah mesin yang ada di setiap semelter itu perlu dicek selalu setiap periodik. Kemudian, kalibrasi mesin itu juga penting karena dengan begitu kita akan tahu ukuran mesin ini sesuai dengan kapasitasnya dia berproduksi atau tidak. Sehingga, Insya Allah dengan adanya perawatan yang berkala dan pengawasan yang kita lakukan ini Insya Allah tidak akan terjadi kembali,” jelas Nasyirul.
Selain itu, kami juga tidak menemukan alat pemadam kebakaran sepanjang jalan menuju lokasi meledaknya smelter. Kemudian, rambu-rambu yang ada juga masih sangat terbatas sekali, sehinhha dianggap tidak layak untu perusahaan smelter. “Jadi ini harus segera diperbaiki,” imbuhnya.
“Kita menemukan sesuatu yang di luar dugaan, ketika PT KFI lagi dibangun ada proses namanya commissioning atau uji coba tetapi sudah menimbulkan kejadian terjadinya ledakan. Padahal masih tahap uji coba, tetapi dua tenaga kerja asing dan dua pekerja lokal turut menjadi korban akibat ledakan di smelter nikel tersebut,” ucapnya lagi.