Connect with us
DPR RI

Miliki Potensi Besar, Komisi VII Dukung Eksplorasi dan Slimehole Panas Bumi di Sukabumi

Miliki Potensi Besar, Komisi VII Dukung Eksplorasi dan Slimehole Panas Bumi di Sukabumi
Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto saat memimpin pertemuan Kunjungan Spesifik Komisi VII di Jawa Barat, Jumat, (26/5/2023). Foto: DPR RI

Jakarta – Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto mendorong eksplorasi dan pengeboran slimhole di Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi mengingat besarnya potensi panas bumi di daerah tersebut. Hal ini dikatakannya, meski menurut data yang diterimanya dua titik pengeboran yang telah dilakukan di Sukabumi belum maksimal.

“Di sini ada proyek panas bumi, di mana itu merupakan bagian dari kebijakan, bagaimana negara dalam hal ini Kementerian ESDM mengambil tanggung jawab mengurangi resiko eksplorasi, maka di Cisolok ini telah dilakukan eksplorasi dengan juga mengebor di dua titik yang pertama ngebor 220 meter yang kedua bisa mengukur sampai tingkat kedalaman 800 meter memang belum belum sampai titik ideal karena titik idealnya di angka di atas 1.500 meter dan bisa jadi 2.000 meter. Tetapi yang jelas ada potensi di kawasan tersebut meskipun belum dapat gambaran approvement,” jelas Sugeng usai memimpin Kunjungan Spesifik Komisi VII di Jawa Barat, Jumat, (26/5/2023).

Menurut Politisi Fraksi Partai NasDem ini, potensi panas bumi di Sukabumi, dan Indonesia umumnya sangat besar dan hingga saat ini belum bisa dimanfaatkan dengan optimal. Diketahui, Indonesia memiliki potensi panas bumi yang diperkirakan sekitar 24 GW, namun baru bisa dimanfaatkan sekitar 2.130 MW yang berasal dari 16 PLTP pada 14 WKP atau pemanfaatannya baru sekitar 8,9% dari total sumber daya (potensi) yang dimiliki. Untuk tahun 2020, pemerintah menargetkan kapasitas terpasang untuk panas bumi sebesar 2.270,7 MW.

“Ingat ya, panas bumi kita dorong untuk eksplorasi dan eksploitasi nantinya, karena panas bumi potensinya luar biasa besar. Jadi kita bahkan secara angka, kita nomor dua dunia setelah Amerika tapi pemanfaatannya hari ini memang belum optimal, maka Komisi VII mendorong agar resiko-resiko itu diambil alih oleh negara sebagian, melalui ada APBN-nya. Lantas bagaimana mempertanggungjawabkannya? Nanti kalau sudah approvement angka-angka itu, dan itu dilelang dan dilakukan oleh operator-operator panas bumi, maka itu diganti itu apa yang disebut past cost atau juga sunk cost yang dikeluarkan,” jelasnya.

Namun demikian, dengan tegas Sugeng mengungkapkan eksplorasi ini harus tetap tetap dengan pendekatan ESG (EnvironmentalSocial and Governance). Apalagi mengingat di sekitar daerah project panas bumi ini terdapat wilayah geopark, dan konservasi flora dan fauna.

“Jadi masalah lingkungan yang kita bahas, dari sisi konservasi, tumbuhan kalau ditebang satu harus ditanam seratus dan seterusnya, sehingga keberadaan pembangkit listrik panas bumi itu secara ekonomi itu bagus tetapi secara ekologi juga harus menjadi perhatian utama. Ini lah perlunya juga kita bertemu, kebetulan tadi juga dari Kementerian KLH, ada dinas lingkungan hidup, termasuk dari pemerintah kabupaten sukabumi, yang juga tadi menyatakan daerah di sukabumi ini adalah daerah konservasi flora dan fauna yang harus kita dukung juga karena ini merupakan wilayah Geopark, daerah Pelabuhan ratu sekitarnya itu termasuk yang tadi menjadi wilayah kerja dalam proyek panas bumi tadi,” jelasnya.

Lebih lanjut, Sugeng mengungkapkan keperluan terhadap energi terbarukan ini sangat penting guna mencegah terjadi perubahan iklim. Upaya ini juga dilakukan demi mengurangi energi fosil yang mendominasi dalam mensupport energi kelistrikan dunia dan menurunkan emisi karbon.

“Cepat atau lambat akan kita kurangi (penggunaan energi fosil) sehingga sampai titik optimal 2060 net zero emission. Panas bumi merupakan energi yang besar sekali potensinya di Indonesia termasuk juga tenaga angin, karena disini anginnya itu sampai wilayah garut itu sangat besar, sehingga sangat-sangat mungkin bisa juga dimanfaatkan,” tutupnya.

Baca Selengkapnya
Tulis Komentar

BERITA

Target APK Pendidikan Tinggi Tidak Mungkin Tercapai Jika Biaya Kuliah Mahal

Oleh

Fakta News
Target APK Pendidikan Tinggi Tidak Mungkin Tercapai Jika Biaya Kuliah Mahal
Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah saat kunjungan kerja reses di Kota Medan, Sumatera Utara, Senin (06/05/2024). Foto : DPR RI

Medan – Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap mahalnya biaya pendidikan tinggi di perguruan tinggi negeri. Menurutnya, dengan mahalnya biaya pendidikan tinggi itu dapat menghambat pencapaian target pemerintah dalam meningkatkan Angka Partisipasi Kasar (APK) perguruan tinggi. Menurut data tahun 2023, APK untuk laki-laki hanya 29,12 persen dan untuk perempuan 33,87 persen, angka yang jauh dari target yang diharapkan.

Konsekuensinya, tambah Ledia, dengan biaya pendidikan yang sangat mahal  itu banyak calon mahasiswa yang terhambat untuk melanjutkan pendidikan. “Dengan mahalnya perguruan tinggi negeri ini, bagaimana mungkin kita bisa mencapai target APK yang lebih baik jika banyak anak-anak kita yang tidak mampu melanjutkan pendidikan karena biaya?” ujar Ledia kepada Parlementaria, di Kota Medan, Sumatera Utara, Senin (06/05/2024).

Diketahui, Angka Partisipasi Kasar (APK) Perguruan Tinggi (PT) adalah perbandingan antara jumlah penduduk yang masih bersekolah di jenjang pendidikan Perguruan Tinggi (PT) (tanpa memandang usia penduduk tersebut) dengan jumlah penduduk yang memenuhi syarat resmi penduduk usia sekolah di jenjang pendidikan Perguruan Tinggi (PT) (umur 19- 23 tahun).

Ledia pun mengkritik sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang berlaku di banyak perguruan tinggi, yang menurutnya masih memberatkan bagi sebagian besar calon mahasiswa. “Ada perguruan tinggi dengan sistem UKT yang sangat tinggi, dan ada pula yang menengah namun tetap mahal, belum lagi adanya uang pangkal yang harus dibayar di awal,” ujar politisi Alumni Master Psikologi Terapan dari Universitas Indonesia ini.

Ledia juga menyoroti perlunya sebuah sistem pendidikan tinggi yang lebih pro kepada masyarakat, terutama bagi warga negara Indonesia yang memiliki kemampuan akademis namun ada keterbatasan ekonomi. “Kita perlu membuat sistem yang lebih baik, yang lebih mendukung anak-anak kita untuk bisa kuliah tanpa dibebani biaya yang tidak mampu mereka tanggung,” ujar Politisi Fraksi PKS ini.

Lebih lanjut, Ledia menegaskan bahwa pendidikan tinggi harus diakses oleh semua lapisan masyarakat. “Kita membuat kampus itu mandiri, namun bukan berarti kita bisa mengabaikan warga negara Indonesia, terutama anak-anak muda kita yang sebenarnya punya kemampuan dalam akademisnya tapi tidak dalam ekonominya,” ujarnya.

Kebijakan saat ini, menurut Ledia, harus segera dibahas dan diperbaiki, dengan keterlibatan langsung dari kampus-kampus dan pemerintah untuk mencari solusi yang efektif. “Perlu ada diskusi serius antara pemerintah dengan perguruan tinggi untuk menata ulang sistem pendanaan pendidikan tinggi di negara kita,” tutur Ledia.

Dalam mencari solusi, Ledia juga menyarankan agar perguruan tinggi negeri bisa terhubung lebih baik dengan program beasiswa dan bantuan finansial lainnya yang bisa membantu meringankan beban mahasiswa. “Harus ada lebih banyak opsi beasiswa dan bantuan finansial yang dapat diakses oleh mahasiswa yang membutuhkan,” ucap Ledia.

Ledia berharap bahwa dengan perbaikan sistem yang lebih inklusif dan mendukung, Indonesia bisa mencapai tujuan menjadi negara dengan sumber daya manusia yang unggul pada 2045. “Ini semua tentang membangun fondasi yang kuat untuk pendidikan tinggi di Indonesia, memastikan semua anak berhak dan mampu mendapatkan pendidikan yang layak,” pungkasnya.

Baca Selengkapnya

BERITA

Geramnya Komisi II terhadap Biaya PBB yang Membengkak Akibat Sertifikat Tanah

Oleh

Fakta News
Geramnya Komisi II terhadap Biaya PBB yang Membengkak Akibat Sertifikat Tanah
Anggota Komisi II DPR RI Rosiyati MH Thamrin saat Kunjungan Kerja Reses Tim Komisi II ke Maros, Sulawesi Selatan, Senin (06/05/2024). Foto : DPR RI

Maros – Anggota Komisi II DPR RI Rosiyati MH Thamrin mengecam kebijakan terkait sertifikat tanah yang merugikan masyarakat. Dalam pernyataannya, ia menyampaikan keprihatinannya terhadap biaya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang melonjak drastis setelah penerbitan sertifikat tanah.

“Sangat disayangkan melihat betapa besarnya biaya PBB yang harus ditanggung masyarakat setelah memiliki sertifikat tanah. Hal ini menjadi hambatan besar bagi petani dan pengguna lahan lainnya untuk mendaftarkan tanah mereka,” ujar Rosiyati MH Thamrin saat Kunjungan Kerja Reses Tim Komisi II ke Maros, Sulawesi Selatan, Senin (06/05/2024).

Menurutnya, masyarakat enggan membuat sertifikat tanah karena adanya komponen biaya PBB yang meningkat secara signifikan setelah kepemilikan tanah tersebut bersertifikat. Hal ini berdampak negatif terutama bagi para petani dan pengguna lahan lainnya yang mayoritas hidup dengan penghasilan terbatas.

Rosiayati pun menyerukan pentingnya koordinasi antara pemerintah daerah dan Dinas Pajak untuk meninjau ulang kebijakan terkait tarif PBB. “Saya berharap agar Dinas Pajak dapat mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat yang terdampak dan menyesuaikan tarif PBB dengan lebih adil,” tambahnya.

Kemudian, Politisi Fraksi PDI-Perjuangan itu juga menegaskan bahwa pembenahan terhadap kebijakan tersebut penting dilakukan agar masyarakat merasa lebih terbantu dan terjamin hak-haknya atas tanah yang mereka miliki.

“Pemerintah harus fokus pada upaya mempermudah akses masyarakat terhadap kepemilikan tanah dengan biaya yang terjangkau, sehingga tidak menghambat pembangunan dan kesejahteraan masyarakat,” tutupnya.

Baca Selengkapnya

BERITA

PON XXI Sebentar Lagi, Pembangunan Venue Ternyata Belum Tuntas!

Oleh

Fakta News
PON XXI Sebentar Lagi, Pembangunan Venue Ternyata Belum Tuntas!
Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah saat mengikuti Kunjungan Kerja Reses Tim Komisi X DPR RI, di Kota Medan Sumatera Utara, Senin (06/05/2024). Foto: DPR RI

Medan – Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah mengungkapkan, kekhawatirannya terkait kesiapan pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI yang dijadwalkan pada September 2024 di Aceh dan Sumatera Utara. Ledia menyatakan bahwa meskipun pemerintah daerah telah berkomitmen dengan mengalokasikan dana besar, masih terdapat kekurangan yang perlu ditangani oleh pemerintah pusat.

“Pemerintah Provinsi Sumatera Utara telah mengeluarkan anggaran sekitar Rp2,1 triliun, dan belum lagi dari Pemerintah Kabupaten/Kota dari APBD untuk pembangunan venue dan lain-lain. Namun, ada beberapa hal penting yang masih harus di-cover oleh pemerintah pusat,” ujar Ledia, Medan, Sumatera Utara, Senin (6/5/2024).

Menurutnya, masih ada kebutuhan dana tambahan untuk menyelesaikan infrastruktur yang belum rampung. “Persoalnnya ada hal yang harus dicover oleh pemerintah pusat, apakah itu bisa selesai atau enggak. Kita belum tahu sampai sekarang pemerintah daerah juga enggak bisa apa-apa, itu sangat tergantung dari pusat,” ujarnya.

Ledia juga menyampaikan bahwa Komisi X DPR RI telah mengusulkan agar penundaan PON hingga awal tahun 2025 untuk memastikan semua persiapan bisa tuntas. “Beberapa dari kami sudah mengusulkan untuk ditunda sampai Januari atau Februari 2025 sehingga penyelenggaraannya bisa berjalan dengan baik dan tidak terburu-buru,” tegas Ledia.

Selain itu, Ledia menekankan bahwa ada kesamaan situasi dengan PON sebelumnya di Papua, yang juga harus diundur karena pandemi COVID-19. “Situasinya serupa dengan apa yang terjadi di Papua. Jika memang belum siap, jangan dipaksakan,” tegasnya.

Ledia juga berharap dengan waktu yang masih ada, bisa di optimalkan dengan baik. “Harapan nanti penyelenggarannya bisa berjalan dengan baik, karena ini baru pertama kali diselenggarakan di dua  provinsi, belum lagi setelah itu ada peparnas untuk disabilitas. Nah jadi memang harusnya lebih matang, kalau memang belum siap jangan dipaksakan,” ungkap Ledia.

Pemerintah Provinsi Sumatera Utara telah berkomitmen untuk juga menggunakan venue yang sudah ada dengan memperbaikinya. Namun, Ledia menyatakan, “Sekarang ini yang ditunggu adalah dukungan anggaran dari pemerintah pusat, bisa atau tidak,” ungkapnya.

Ditambah lagi, menurut Ledia, “Telah dianggarkan dari Kementerian Pemuda dan Olahraga sebanyak Rp300 miliar untuk biaya operasional seperti pembayaran wasit dan juri, namun untuk infrastruktur, kecepatan penyelesaian dari pemerintah pusat masih menjadi tanda tanya”.

Kekhawatiran terus mengemuka seiring dengan mendekatnya waktu pelaksanaan PON XXI, dengan banyak pihak berharap agar pemerintah pusat dapat segera mengambil tindakan untuk menyelesaikan persiapan yang masih tertunda.

Baca Selengkapnya