Connect with us

Mendagri Tegaskan Tidak Ingin Ada Pengumpulan Massa Pada Tahapan Penetapan Paslon pada Pilkada 2020

Mendagri Tito Karnavian

Jakarta – Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menegaskan bahwa Ia sama sekali tidak mengharapkan terjadi kerumunan sosial, arak-arakan dan pelanggaran protokol kesehatan Covid-19 pada tahapan penetapan pasangan calon (Paslon) 23 September 2020. Sebab, kerumunan massa dapat berpotensi menjadi media penularan Covid-19 dan itu membuat hal yang tidak baik pada pelaksanaan Pilkada 2020.

Berdasarkan hasil evaluasi Kemendagri, ada tiga penyebab sehingga pada pada tanggal 4-6 September silam terjadi pengumpulan masa, yaitu: kurangnya sosialisasi protokol, show off bakal Paslon serta kurangnya koordinasi antar pihak penyelenggara dengan aparatur keamanaan.

“Jelas ini sesuatu yang tidak kita harapkan dan di dalam aturan-aturan yang berhubungan dengan pencegahan Covid-19 kegiatan seperti ini tentu tidak kita inginkan,” tandasnya pada Rapat Koordinasi Kesiapsiagaan dalam Rangka Menghadapi Pilkada Serentak 2020 di Sasana Bakti Praja (SBP) Kemendagri, Jakarta, Selasa (22/09/2020).

Maka dari itu, sebagai hasil pembenaan dan perhatian terhadap keselamatan dan kesehatan masyarakat, Mendagri bersama Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, KPU RI, Bawaslu RI dan DKPP RI mengusulkan dua hal, yaitu: pertama, adanya perbaikan PKPU agar aturan-aturan yang berhubungan dengan ketertiban penerapan protokol kesehatan untuk mencegah Covid-19 lebih di perketat; kedua, menegakkan regulasi tersebut dengan cara kerjasama lintas sektoral karena cara penegakan regulasi di setiap daerah tentu berbeda-beda.

“Regulasi yang dimaksud yang pertama adalah regulasi yang mengatur spesifik mengenai masalah pelaksanaan Pilkada itu diatur dalam Undang-Undang tentang pemilihan kepala daerah dan juga secara spesifik lebih detail oleh peraturan KPU. Hari ini PKPU ini direvisi dan akan diperbaiki kembali, setelah itu dikoordinasikan dengan DPR dan mudah-mudahan hari ini juga bisa di Undangkan,” tuturnya.

Mendagri juga mendorong agar dalam penegakan aturan-aturan Pilkada dan PKPU, Bawaslu dapat memakai kewenangannya sebagai pihak penyelenggara sebagai mitigasi langkah hukum melalui Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu).

Lanjutnya, ada juga peraturan-peraturan lain yang beririsan dengan kepatuhan protokol Covid-19 dan banyak undang-undangnya mulai undang-undang KUHP ada pasal-pasal tentang kerumunan masa yang dapat digunakan sebagai payung hukum penegakan protokol kesehatan.

Kemudian Ia menambahkan, selain PKPU dan KUHP ada lagi payung hukum lainnya yaitu regulasi Peraturan Daerah (Perda) justru akan sangat membantu penegakan hukum di daerah. Dengan harapan, tentunya Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), Satlinmas, TNI dan Polri dapat bertindak sebagai unjuk ombak untuk menegakan aturan tersebut.

“Ada beberapa daerah yang sudah memiliki Perda, ini lebih kuat. Tetapi ada juga yang sudah memiliki Perkada, entah Peraturan Gubernur, Peraturan Walikota., atau Peraturan Bupati. Saya kira semua daerah yang melaksanakan Pilkada dari hasil pengecekan saya semuanya sudah memiliki peraturan itu peraturan daerah atau Perkada,” terangnya.

Mendagri meyakini bahwa penegakan tidak cukup hanya dengan kegiatan responsif, maka perlu dilakukan langkah-langkah proaktif lainnya. Misalnya, mendekati atau memberitahu partai politik (Parpol) dan bakal pasangan calon (paslon) untuk mematuhi seluruh aturan protokol kesehatan Covid-19.

“Ini sebagian sekiranya sudah hampir semua melakukan bahkan ada deklarasi bakal pasangan calon yang ditandatangani oleh bakal pasangan calon,” ungkapnya.

Meskipun ketegasan dan keselamatan masyarakat menjadi prioritas yang tidak terelakan, tetapi Mendagri juga meminta agar dalam penerapannya para aparatur penegakan hukum/keamanan tidak bertindak secara berlebihan.

“Berlebihan artinya main pukul dan lain-lain saya minta betul kendalikan anggota masing-masing, jaga betul nama baik Satpol PP, Satlinmas, jaga baik betul, satu berbuat kurang baik itu akan mempengaruhi citra Satpol PP secara nasional tapi berbuat baik dengan cara-cara yang professional ini akan mendapat apresiasi dan dipatuhi,” ujarnya.

Sekali lagi, Ia mengingatkan agar semua pihak waspada pada Hari Rabu 23 September 2020 dan saling mengingatkan, baik itu para bakal paslon dan pendukungnya untuk tidak melanggar protokol kesehatan dengan melakukan arak-arakan, konvoy, demo, konser dan sebagainya.

“Jadi kita waspadai betul tanggal 23 besok, tidak ada kerumunan, datangi titik-titik simpul tempat-tempat paslon, ingatkan mereka mengenai aturan-aturan yang ada larangan-larangan kerumunan dan lain-lain,” tegasnya.

Baca Selengkapnya
Tulis Komentar

BERITA

Target APK Pendidikan Tinggi Tidak Mungkin Tercapai Jika Biaya Kuliah Mahal

Oleh

Fakta News
Target APK Pendidikan Tinggi Tidak Mungkin Tercapai Jika Biaya Kuliah Mahal
Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah saat kunjungan kerja reses di Kota Medan, Sumatera Utara, Senin (06/05/2024). Foto : DPR RI

Medan – Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap mahalnya biaya pendidikan tinggi di perguruan tinggi negeri. Menurutnya, dengan mahalnya biaya pendidikan tinggi itu dapat menghambat pencapaian target pemerintah dalam meningkatkan Angka Partisipasi Kasar (APK) perguruan tinggi. Menurut data tahun 2023, APK untuk laki-laki hanya 29,12 persen dan untuk perempuan 33,87 persen, angka yang jauh dari target yang diharapkan.

Konsekuensinya, tambah Ledia, dengan biaya pendidikan yang sangat mahal  itu banyak calon mahasiswa yang terhambat untuk melanjutkan pendidikan. “Dengan mahalnya perguruan tinggi negeri ini, bagaimana mungkin kita bisa mencapai target APK yang lebih baik jika banyak anak-anak kita yang tidak mampu melanjutkan pendidikan karena biaya?” ujar Ledia kepada Parlementaria, di Kota Medan, Sumatera Utara, Senin (06/05/2024).

Diketahui, Angka Partisipasi Kasar (APK) Perguruan Tinggi (PT) adalah perbandingan antara jumlah penduduk yang masih bersekolah di jenjang pendidikan Perguruan Tinggi (PT) (tanpa memandang usia penduduk tersebut) dengan jumlah penduduk yang memenuhi syarat resmi penduduk usia sekolah di jenjang pendidikan Perguruan Tinggi (PT) (umur 19- 23 tahun).

Ledia pun mengkritik sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang berlaku di banyak perguruan tinggi, yang menurutnya masih memberatkan bagi sebagian besar calon mahasiswa. “Ada perguruan tinggi dengan sistem UKT yang sangat tinggi, dan ada pula yang menengah namun tetap mahal, belum lagi adanya uang pangkal yang harus dibayar di awal,” ujar politisi Alumni Master Psikologi Terapan dari Universitas Indonesia ini.

Ledia juga menyoroti perlunya sebuah sistem pendidikan tinggi yang lebih pro kepada masyarakat, terutama bagi warga negara Indonesia yang memiliki kemampuan akademis namun ada keterbatasan ekonomi. “Kita perlu membuat sistem yang lebih baik, yang lebih mendukung anak-anak kita untuk bisa kuliah tanpa dibebani biaya yang tidak mampu mereka tanggung,” ujar Politisi Fraksi PKS ini.

Lebih lanjut, Ledia menegaskan bahwa pendidikan tinggi harus diakses oleh semua lapisan masyarakat. “Kita membuat kampus itu mandiri, namun bukan berarti kita bisa mengabaikan warga negara Indonesia, terutama anak-anak muda kita yang sebenarnya punya kemampuan dalam akademisnya tapi tidak dalam ekonominya,” ujarnya.

Kebijakan saat ini, menurut Ledia, harus segera dibahas dan diperbaiki, dengan keterlibatan langsung dari kampus-kampus dan pemerintah untuk mencari solusi yang efektif. “Perlu ada diskusi serius antara pemerintah dengan perguruan tinggi untuk menata ulang sistem pendanaan pendidikan tinggi di negara kita,” tutur Ledia.

Dalam mencari solusi, Ledia juga menyarankan agar perguruan tinggi negeri bisa terhubung lebih baik dengan program beasiswa dan bantuan finansial lainnya yang bisa membantu meringankan beban mahasiswa. “Harus ada lebih banyak opsi beasiswa dan bantuan finansial yang dapat diakses oleh mahasiswa yang membutuhkan,” ucap Ledia.

Ledia berharap bahwa dengan perbaikan sistem yang lebih inklusif dan mendukung, Indonesia bisa mencapai tujuan menjadi negara dengan sumber daya manusia yang unggul pada 2045. “Ini semua tentang membangun fondasi yang kuat untuk pendidikan tinggi di Indonesia, memastikan semua anak berhak dan mampu mendapatkan pendidikan yang layak,” pungkasnya.

Baca Selengkapnya

BERITA

Geramnya Komisi II terhadap Biaya PBB yang Membengkak Akibat Sertifikat Tanah

Oleh

Fakta News
Geramnya Komisi II terhadap Biaya PBB yang Membengkak Akibat Sertifikat Tanah
Anggota Komisi II DPR RI Rosiyati MH Thamrin saat Kunjungan Kerja Reses Tim Komisi II ke Maros, Sulawesi Selatan, Senin (06/05/2024). Foto : DPR RI

Maros – Anggota Komisi II DPR RI Rosiyati MH Thamrin mengecam kebijakan terkait sertifikat tanah yang merugikan masyarakat. Dalam pernyataannya, ia menyampaikan keprihatinannya terhadap biaya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang melonjak drastis setelah penerbitan sertifikat tanah.

“Sangat disayangkan melihat betapa besarnya biaya PBB yang harus ditanggung masyarakat setelah memiliki sertifikat tanah. Hal ini menjadi hambatan besar bagi petani dan pengguna lahan lainnya untuk mendaftarkan tanah mereka,” ujar Rosiyati MH Thamrin saat Kunjungan Kerja Reses Tim Komisi II ke Maros, Sulawesi Selatan, Senin (06/05/2024).

Menurutnya, masyarakat enggan membuat sertifikat tanah karena adanya komponen biaya PBB yang meningkat secara signifikan setelah kepemilikan tanah tersebut bersertifikat. Hal ini berdampak negatif terutama bagi para petani dan pengguna lahan lainnya yang mayoritas hidup dengan penghasilan terbatas.

Rosiayati pun menyerukan pentingnya koordinasi antara pemerintah daerah dan Dinas Pajak untuk meninjau ulang kebijakan terkait tarif PBB. “Saya berharap agar Dinas Pajak dapat mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat yang terdampak dan menyesuaikan tarif PBB dengan lebih adil,” tambahnya.

Kemudian, Politisi Fraksi PDI-Perjuangan itu juga menegaskan bahwa pembenahan terhadap kebijakan tersebut penting dilakukan agar masyarakat merasa lebih terbantu dan terjamin hak-haknya atas tanah yang mereka miliki.

“Pemerintah harus fokus pada upaya mempermudah akses masyarakat terhadap kepemilikan tanah dengan biaya yang terjangkau, sehingga tidak menghambat pembangunan dan kesejahteraan masyarakat,” tutupnya.

Baca Selengkapnya

BERITA

PON XXI Sebentar Lagi, Pembangunan Venue Ternyata Belum Tuntas!

Oleh

Fakta News
PON XXI Sebentar Lagi, Pembangunan Venue Ternyata Belum Tuntas!
Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah saat mengikuti Kunjungan Kerja Reses Tim Komisi X DPR RI, di Kota Medan Sumatera Utara, Senin (06/05/2024). Foto: DPR RI

Medan – Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah mengungkapkan, kekhawatirannya terkait kesiapan pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI yang dijadwalkan pada September 2024 di Aceh dan Sumatera Utara. Ledia menyatakan bahwa meskipun pemerintah daerah telah berkomitmen dengan mengalokasikan dana besar, masih terdapat kekurangan yang perlu ditangani oleh pemerintah pusat.

“Pemerintah Provinsi Sumatera Utara telah mengeluarkan anggaran sekitar Rp2,1 triliun, dan belum lagi dari Pemerintah Kabupaten/Kota dari APBD untuk pembangunan venue dan lain-lain. Namun, ada beberapa hal penting yang masih harus di-cover oleh pemerintah pusat,” ujar Ledia, Medan, Sumatera Utara, Senin (6/5/2024).

Menurutnya, masih ada kebutuhan dana tambahan untuk menyelesaikan infrastruktur yang belum rampung. “Persoalnnya ada hal yang harus dicover oleh pemerintah pusat, apakah itu bisa selesai atau enggak. Kita belum tahu sampai sekarang pemerintah daerah juga enggak bisa apa-apa, itu sangat tergantung dari pusat,” ujarnya.

Ledia juga menyampaikan bahwa Komisi X DPR RI telah mengusulkan agar penundaan PON hingga awal tahun 2025 untuk memastikan semua persiapan bisa tuntas. “Beberapa dari kami sudah mengusulkan untuk ditunda sampai Januari atau Februari 2025 sehingga penyelenggaraannya bisa berjalan dengan baik dan tidak terburu-buru,” tegas Ledia.

Selain itu, Ledia menekankan bahwa ada kesamaan situasi dengan PON sebelumnya di Papua, yang juga harus diundur karena pandemi COVID-19. “Situasinya serupa dengan apa yang terjadi di Papua. Jika memang belum siap, jangan dipaksakan,” tegasnya.

Ledia juga berharap dengan waktu yang masih ada, bisa di optimalkan dengan baik. “Harapan nanti penyelenggarannya bisa berjalan dengan baik, karena ini baru pertama kali diselenggarakan di dua  provinsi, belum lagi setelah itu ada peparnas untuk disabilitas. Nah jadi memang harusnya lebih matang, kalau memang belum siap jangan dipaksakan,” ungkap Ledia.

Pemerintah Provinsi Sumatera Utara telah berkomitmen untuk juga menggunakan venue yang sudah ada dengan memperbaikinya. Namun, Ledia menyatakan, “Sekarang ini yang ditunggu adalah dukungan anggaran dari pemerintah pusat, bisa atau tidak,” ungkapnya.

Ditambah lagi, menurut Ledia, “Telah dianggarkan dari Kementerian Pemuda dan Olahraga sebanyak Rp300 miliar untuk biaya operasional seperti pembayaran wasit dan juri, namun untuk infrastruktur, kecepatan penyelesaian dari pemerintah pusat masih menjadi tanda tanya”.

Kekhawatiran terus mengemuka seiring dengan mendekatnya waktu pelaksanaan PON XXI, dengan banyak pihak berharap agar pemerintah pusat dapat segera mengambil tindakan untuk menyelesaikan persiapan yang masih tertunda.

Baca Selengkapnya