Connect with us

Kolaborasi Pemerintah Indonesia dengan Badan Dunia untuk Petani Indonesia

Dr. A.M. Fachir, Wakil Menteri Luar Negeri RI pada pembukaan Lokakarya Internasional Tentang Peningkatan Kesejahteraan Petani Skala Kecil(kemlu.go.id)

Jakarta – Kementerian Luar Negeri akan berjuang untuk meningkatkan kesejahteraan petani skala kecil melalui intensifikasi diplomasi pangan yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan dalam perumusan kebijakan maupun pelaksanaan diplomasi. “Melalui kerja sama internasional, upaya-upaya litigasi Indonesia di Dispute Settlement Body WTO, dan upaya-upaya lainnya yang melibatkan para pemangku kepentingan, Kementerian Luar Negeri akan terus berjuang untuk petani Indonesia,” ujar Dr. A.M. Fachir, Wakil Menteri Luar Negeri RI pada pembukaan Lokakarya Internasional Tentang Peningkatan Kesejahteraan Petani Skala Kecil, Senin (6/11) di Hotel Fairmont, Jakarta.

Sedangkan dalam tataran internasional, Sidang Majelis Umum PBB pada bulan ini akan mendeklarasikan United Nations Decade of Family Farming, suatu deklarasi negara-negara anggota PBB yang menyatakan bahwa satu dekade ke depan terhitung dari tahun 2019-2028 fokus dan upaya masyarakat internasional untuk meningkatkan kesejahteraan pertanian keluarga, dimana komponen terbesarnya adalah petani skala kecil, akan diintensifkan.

Dr. Bayu Krisnamurthi, selaku salah satu pembicara dalam konferensi ini menyatakan bahwa sejak berdirinya WTO pada tahun 1995, terdapat 266 kasus yang terkait dengan isu pertanian. Hal ini mengindikasikan betapa sensitif dan pentingnya isu pertanian bagi seluruh negara, termasuk Indonesia. “Hal ini tidaklah mengherankan jika kita melihat petani di dunia yang keseluruhannya berjumlah 570 juta, sehingga menjadikan isu ini sensitif baik dari aspek ekonomi maupun politik.”

Lokakarya ini juga membahas mengenai Legal Guide on Contract Farming, suatu panduan hukum yang disusun oleh FAO, UNIDROIT, dan IFAD yang memberikan panduan penyusunan kontrak bagi petani skala kecil dengan pihak swasta. Dalam paparannya di hadapan 100 peserta yang berasal dari kalangan pemerintah, asosiasi petani, asosiasi pelaku usaha, kelompok masyarakat madani, dan juga akademisi, Secretary General ad interim UNIDROIT, Profesor Anna Veneziano, menyarankan agar penyusunan kontrak antara petani dan pihak swasta dipandu oleh pihak ketiga guna memastikan keadilan hukum bagi kedua belah pihak dan menghindari ketentuan-ketentuan yang merugikan.

Pihak UNIDORIT menyatakan bahwa pertanian yang didasarkan pada kontrak hukum selain akan memberikan kepastian penyerapan produk pertanian juga akan memberikan kemudahan akses terhadap modal. Namun demikian, petani juga perlu untuk memastikan kepastian produksi, baik dari segi kualitas maupun ketepatan waktu, untuk menghindari pelanggaran kontrak yang tentunya akan berdampak negatif bagi petani itu sendiri.

Sementara itu, FAO yang diwakili oleh FAO Representative, Mark Smulders, menyatakan setidak-tidaknya terdapat tiga aspek yang harus diperhatikan untuk meningkatkan kesejahteraan petani skala kecil. “peningkatan produktivitas dan kapasitas, akses terhadap informasi, dan akses terhadap pasar merupakan kunci terhadap peningkatan kesejahteraan petani skala kecil” ujar Mark Smulders.

Senada dengan apa yang disampaikan oleh FAO Representative Indonesia, Ronald Hartman, Country Director IFAD, menegaskan bahwa sektor pertanian merupakan kunci terhadap pengentasan kemiskinan. Di Indonesia sendiri, dari keseluruhan pertanian yang ada di Indonesia, 68 persen di antaranya adalah pertanian skala kecil. Disampaikan bahwa salah satu yang menjadi kendala terhadap pengembangan sektor pertanian di Indonesia adalah sarana infrastruktur yang terasa masih belum memadai. Dalam hal ini, disampaikan bahwa dalam hal pembangunan infrastruktur, Indonesia berada di urutan 62 dari 140 negara.

Lokakarya internasional tentang peningkatan kesejahteraan petani ini terselenggara berkat kolaborasi Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pertanian, KBRI Roma, dan tiga badan dunia internasional, yaitu FAO, UNIDROIT, dan IFAD serta secara khusus mendatangkan petani-petani dari daerah.

Mewakili para petani dari daerah yang hadir, Bapak H. Tawa Amirudin, seorang petani padi dari Kuningan, Jawa Barat pada lokakarya ini secara simbolis memberikan satu ikat padi kepada Wakil Menteri Luar Negeri RI sebagai bentuk kepercayaan petani kepada Kementerian Luar Negeri untuk memperjuangkan nasib mereka.

Direktorat Perdagangan, Komoditas, dan Kekayaan Intelektual, selaku penyelenggara lokakarya ini berencana untuk meningkatkan kolaborasi dengan badan-badan dunia untuk lebih mengedepankan kepentingan petani skala kecil Indonesia. Dalam hal ini, Direktur Tri Purnajaya dalam pidato penutupannya, menyampaikan, “Badan-badan dunia yang terkait dengan pangan telah menyatakan komitmen mereka untuk memperkuat kerja sama dengan pemerintah Indonesia untuk meningkatkan kesejahteraan petani skala kecil. Komitmen ini perlu disambut dan kita semua perlu padu dalam langkah kita menuju petani Indonesia yang lebih sejahtera,” paparnya.

 

Ping.

Baca Selengkapnya
Tulis Komentar

BERITA

Target APK Pendidikan Tinggi Tidak Mungkin Tercapai Jika Biaya Kuliah Mahal

Oleh

Fakta News
Target APK Pendidikan Tinggi Tidak Mungkin Tercapai Jika Biaya Kuliah Mahal
Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah saat kunjungan kerja reses di Kota Medan, Sumatera Utara, Senin (06/05/2024). Foto : DPR RI

Medan – Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap mahalnya biaya pendidikan tinggi di perguruan tinggi negeri. Menurutnya, dengan mahalnya biaya pendidikan tinggi itu dapat menghambat pencapaian target pemerintah dalam meningkatkan Angka Partisipasi Kasar (APK) perguruan tinggi. Menurut data tahun 2023, APK untuk laki-laki hanya 29,12 persen dan untuk perempuan 33,87 persen, angka yang jauh dari target yang diharapkan.

Konsekuensinya, tambah Ledia, dengan biaya pendidikan yang sangat mahal  itu banyak calon mahasiswa yang terhambat untuk melanjutkan pendidikan. “Dengan mahalnya perguruan tinggi negeri ini, bagaimana mungkin kita bisa mencapai target APK yang lebih baik jika banyak anak-anak kita yang tidak mampu melanjutkan pendidikan karena biaya?” ujar Ledia kepada Parlementaria, di Kota Medan, Sumatera Utara, Senin (06/05/2024).

Diketahui, Angka Partisipasi Kasar (APK) Perguruan Tinggi (PT) adalah perbandingan antara jumlah penduduk yang masih bersekolah di jenjang pendidikan Perguruan Tinggi (PT) (tanpa memandang usia penduduk tersebut) dengan jumlah penduduk yang memenuhi syarat resmi penduduk usia sekolah di jenjang pendidikan Perguruan Tinggi (PT) (umur 19- 23 tahun).

Ledia pun mengkritik sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang berlaku di banyak perguruan tinggi, yang menurutnya masih memberatkan bagi sebagian besar calon mahasiswa. “Ada perguruan tinggi dengan sistem UKT yang sangat tinggi, dan ada pula yang menengah namun tetap mahal, belum lagi adanya uang pangkal yang harus dibayar di awal,” ujar politisi Alumni Master Psikologi Terapan dari Universitas Indonesia ini.

Ledia juga menyoroti perlunya sebuah sistem pendidikan tinggi yang lebih pro kepada masyarakat, terutama bagi warga negara Indonesia yang memiliki kemampuan akademis namun ada keterbatasan ekonomi. “Kita perlu membuat sistem yang lebih baik, yang lebih mendukung anak-anak kita untuk bisa kuliah tanpa dibebani biaya yang tidak mampu mereka tanggung,” ujar Politisi Fraksi PKS ini.

Lebih lanjut, Ledia menegaskan bahwa pendidikan tinggi harus diakses oleh semua lapisan masyarakat. “Kita membuat kampus itu mandiri, namun bukan berarti kita bisa mengabaikan warga negara Indonesia, terutama anak-anak muda kita yang sebenarnya punya kemampuan dalam akademisnya tapi tidak dalam ekonominya,” ujarnya.

Kebijakan saat ini, menurut Ledia, harus segera dibahas dan diperbaiki, dengan keterlibatan langsung dari kampus-kampus dan pemerintah untuk mencari solusi yang efektif. “Perlu ada diskusi serius antara pemerintah dengan perguruan tinggi untuk menata ulang sistem pendanaan pendidikan tinggi di negara kita,” tutur Ledia.

Dalam mencari solusi, Ledia juga menyarankan agar perguruan tinggi negeri bisa terhubung lebih baik dengan program beasiswa dan bantuan finansial lainnya yang bisa membantu meringankan beban mahasiswa. “Harus ada lebih banyak opsi beasiswa dan bantuan finansial yang dapat diakses oleh mahasiswa yang membutuhkan,” ucap Ledia.

Ledia berharap bahwa dengan perbaikan sistem yang lebih inklusif dan mendukung, Indonesia bisa mencapai tujuan menjadi negara dengan sumber daya manusia yang unggul pada 2045. “Ini semua tentang membangun fondasi yang kuat untuk pendidikan tinggi di Indonesia, memastikan semua anak berhak dan mampu mendapatkan pendidikan yang layak,” pungkasnya.

Baca Selengkapnya

BERITA

Geramnya Komisi II terhadap Biaya PBB yang Membengkak Akibat Sertifikat Tanah

Oleh

Fakta News
Geramnya Komisi II terhadap Biaya PBB yang Membengkak Akibat Sertifikat Tanah
Anggota Komisi II DPR RI Rosiyati MH Thamrin saat Kunjungan Kerja Reses Tim Komisi II ke Maros, Sulawesi Selatan, Senin (06/05/2024). Foto : DPR RI

Maros – Anggota Komisi II DPR RI Rosiyati MH Thamrin mengecam kebijakan terkait sertifikat tanah yang merugikan masyarakat. Dalam pernyataannya, ia menyampaikan keprihatinannya terhadap biaya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang melonjak drastis setelah penerbitan sertifikat tanah.

“Sangat disayangkan melihat betapa besarnya biaya PBB yang harus ditanggung masyarakat setelah memiliki sertifikat tanah. Hal ini menjadi hambatan besar bagi petani dan pengguna lahan lainnya untuk mendaftarkan tanah mereka,” ujar Rosiyati MH Thamrin saat Kunjungan Kerja Reses Tim Komisi II ke Maros, Sulawesi Selatan, Senin (06/05/2024).

Menurutnya, masyarakat enggan membuat sertifikat tanah karena adanya komponen biaya PBB yang meningkat secara signifikan setelah kepemilikan tanah tersebut bersertifikat. Hal ini berdampak negatif terutama bagi para petani dan pengguna lahan lainnya yang mayoritas hidup dengan penghasilan terbatas.

Rosiayati pun menyerukan pentingnya koordinasi antara pemerintah daerah dan Dinas Pajak untuk meninjau ulang kebijakan terkait tarif PBB. “Saya berharap agar Dinas Pajak dapat mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat yang terdampak dan menyesuaikan tarif PBB dengan lebih adil,” tambahnya.

Kemudian, Politisi Fraksi PDI-Perjuangan itu juga menegaskan bahwa pembenahan terhadap kebijakan tersebut penting dilakukan agar masyarakat merasa lebih terbantu dan terjamin hak-haknya atas tanah yang mereka miliki.

“Pemerintah harus fokus pada upaya mempermudah akses masyarakat terhadap kepemilikan tanah dengan biaya yang terjangkau, sehingga tidak menghambat pembangunan dan kesejahteraan masyarakat,” tutupnya.

Baca Selengkapnya

BERITA

PON XXI Sebentar Lagi, Pembangunan Venue Ternyata Belum Tuntas!

Oleh

Fakta News
PON XXI Sebentar Lagi, Pembangunan Venue Ternyata Belum Tuntas!
Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah saat mengikuti Kunjungan Kerja Reses Tim Komisi X DPR RI, di Kota Medan Sumatera Utara, Senin (06/05/2024). Foto: DPR RI

Medan – Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah mengungkapkan, kekhawatirannya terkait kesiapan pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI yang dijadwalkan pada September 2024 di Aceh dan Sumatera Utara. Ledia menyatakan bahwa meskipun pemerintah daerah telah berkomitmen dengan mengalokasikan dana besar, masih terdapat kekurangan yang perlu ditangani oleh pemerintah pusat.

“Pemerintah Provinsi Sumatera Utara telah mengeluarkan anggaran sekitar Rp2,1 triliun, dan belum lagi dari Pemerintah Kabupaten/Kota dari APBD untuk pembangunan venue dan lain-lain. Namun, ada beberapa hal penting yang masih harus di-cover oleh pemerintah pusat,” ujar Ledia, Medan, Sumatera Utara, Senin (6/5/2024).

Menurutnya, masih ada kebutuhan dana tambahan untuk menyelesaikan infrastruktur yang belum rampung. “Persoalnnya ada hal yang harus dicover oleh pemerintah pusat, apakah itu bisa selesai atau enggak. Kita belum tahu sampai sekarang pemerintah daerah juga enggak bisa apa-apa, itu sangat tergantung dari pusat,” ujarnya.

Ledia juga menyampaikan bahwa Komisi X DPR RI telah mengusulkan agar penundaan PON hingga awal tahun 2025 untuk memastikan semua persiapan bisa tuntas. “Beberapa dari kami sudah mengusulkan untuk ditunda sampai Januari atau Februari 2025 sehingga penyelenggaraannya bisa berjalan dengan baik dan tidak terburu-buru,” tegas Ledia.

Selain itu, Ledia menekankan bahwa ada kesamaan situasi dengan PON sebelumnya di Papua, yang juga harus diundur karena pandemi COVID-19. “Situasinya serupa dengan apa yang terjadi di Papua. Jika memang belum siap, jangan dipaksakan,” tegasnya.

Ledia juga berharap dengan waktu yang masih ada, bisa di optimalkan dengan baik. “Harapan nanti penyelenggarannya bisa berjalan dengan baik, karena ini baru pertama kali diselenggarakan di dua  provinsi, belum lagi setelah itu ada peparnas untuk disabilitas. Nah jadi memang harusnya lebih matang, kalau memang belum siap jangan dipaksakan,” ungkap Ledia.

Pemerintah Provinsi Sumatera Utara telah berkomitmen untuk juga menggunakan venue yang sudah ada dengan memperbaikinya. Namun, Ledia menyatakan, “Sekarang ini yang ditunggu adalah dukungan anggaran dari pemerintah pusat, bisa atau tidak,” ungkapnya.

Ditambah lagi, menurut Ledia, “Telah dianggarkan dari Kementerian Pemuda dan Olahraga sebanyak Rp300 miliar untuk biaya operasional seperti pembayaran wasit dan juri, namun untuk infrastruktur, kecepatan penyelesaian dari pemerintah pusat masih menjadi tanda tanya”.

Kekhawatiran terus mengemuka seiring dengan mendekatnya waktu pelaksanaan PON XXI, dengan banyak pihak berharap agar pemerintah pusat dapat segera mengambil tindakan untuk menyelesaikan persiapan yang masih tertunda.

Baca Selengkapnya