Connect with us

Kasus Positif Masih Naik Turun, Pemda DIY Perpanjang Status Tanggap Darurat hingga Akhir Agustus

Yogyakarta – Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (Pemda DIY) kembali memperpanjang status tanggap darurat hingga akhir bulan Agustus. Hal itu karena kasus positif COVID-19 di DIY masih naik turun.

“Untuk status tanggap darurat, Pak Gubernur (DIY) sudah menetapkan bahwa nanti akan diperpanjang selama satu bulan lagi,” kata Sekda DIY, Kadarmanta Baskara Aji saat ditemui wartawan di Bangsal Kepatihan, Kompleks Kantor Gubernur DIY, Kecamatan Danurejan, Kota Yogyakarta, Kamis (30/7/2020).

Penetapan itu tertuang dalam Surat Keputusan Gubernur nomor: 227/KEP/2020 tentang penetapan perpanjangan ketiga status tanggap darurat bencana Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di DIY. Surat tertanggal 30 Juli itu diteken langsung oleh Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X.

Menyoal alasan perpanjangan status tersebut, Aji mengaku ada beberapa hal yang mendasari. Di mana salah satunya adalah terkait belum landainya jumlah kasus positif COVID-19 DI DIY

“Ya tentu pertama status bencana nasional sampai hari ini belum dicabut oleh presiden, itu salah satu dasarnya,” ujarnya.

“Kedua, perkembangan kasus konfirmasi positif di DIY masih naik turun masih terjadi, dan beberapa penanganan lain masih diperlukan pada kondisi tanggap darurat, seperti untuk persiapan pemulihan ekonomi dan bansos dan lain-lain masih diperlukan status tanggap darurat,” imbuh Aji.

Diberitakan sebelumnya, Pemda DIY sudah memperpanjang status tanggap darurat hingga tanggal 31 Juli. Hal tersebut karena masyarakat belum sepenuhnya menaati protokol kesehatan dalam mencegah penularan COVID-19.

“Bahwa dari (hasil) rapat menyepakati status tanggap darurat kita perpanjang sampai 31 Juli. Tentu perpanjangan ini ada tujuan dan juga ada catatan-catatan yang mengemuka di rapat tadi,” kata Wakil Ketua Sekretariat Gugus Tugas Penanganan COVID-19 DIY, Biwara Yuswantana, Kamis (25/6).

Hal tersebut diungkapkan Biwara usai mengikuti rapat evaluasi dan tindak lanjut status tanggap darurat COVID-19 di Gedhong Pracimosono, Kompleks Kantor Gubernur DIY, Kecamatan Danurejan, Kota Yogyakarta. Biwara juga menyebut alasan memperpanjang status tersebut.

“Kita menganggap atau menilai kedisiplinan masyarakat dalam menaati protokol kesehatan perlu ditingkatkan. Jadi perlu ada peningkatan pemahaman, edukasi, sosialisasi dan juga patroli-patroli untuk itu,” ucapnya saat itu.

Dalam kesempatan yang sama Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI) Wilayah V menyebut kampus-kampus di DIY boleh menggelar perkuliahan secara offline atau luring. Namun hal tersebut hanya berlaku untuk kriteria khusus.

Kepala LLDIKTI Wilayah V, Prof. Didi Achjari mengatakan, pihaknya telah melaporkan kepada Gubernur dan Wakil Gubernur DIY jika kampus pada dasarnya mengikuti aturan dari Kemendikbud, terutama terkait dengan perkuliahan. Di mana selama ini Mendikbud meminta kampus-kampus melaksanakan perkuliahan secara daring bagi yang memungkinkan.

“Nah, untuk perkuliahan yang memang harus mau tidak mau dilakukan secara luring atau offline, maka dimungkinkan,” katanya saat ditemui wartawan di Bangsal Kepatihan, Kompleks Kantor Gubernur DIY, Kecamatan Danurejan, Kota Yogyakarta, hari ini.

Mengingat banyak mahasiswa yang kemungkinan kembali ke Yogyakarta untuk menyelesaikan program studinya. Apalagi syarat untuk lulus kuliah harus ada kegiatan yang tidak dilaksanakan secara online atau daring.

“Artinya kalau memang di lab atau praktikum, atau kegiatan yang tidak dimungkinkan seperti skripsi, disertasi atau tesis yang harus selesai semester ini dimungkinkan secara luring dengan menerapkan protokol kesehatan ketat,” ujar Didi.

Selanjutnya, soal kedatangan mahasiswa baru atau calon mahasiswa baru ke Yogyakarta, Didi mengaku tidak mewajibkan mereka datang. Mengingat untuk perkuliahan mahasiswa baru tetap secara daring dan untuk tes penerimaan dapat dilakukan secara online.

“Untuk kedatangan maba atau calon maba, saat ini kami melakukan penerimaan mahasiswa secara bersama, jogjaversitas.id, itu memungkinkan calon maba ikut tes tidak secara fisik datang ke Yogyakarta,” katanya.

“Sedangkan kedatangan mereka (maba) menunggu situasi, apakah akhir semester ini sudah reda atau tidak,” lanjutnya.

Didi menjelaskan, saat ini ada 102 Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dan 3 Perguruan Tinggu Negeri (PTN) yang terdiri dari UPV ‘Veteran’ Yogyakarta, ISI Yogyakarta dan UNY. Semuanya berada di bawah koordinasi LLDIKTI Wilayah V, sedangkan UGM tidak karena telah otonom.

“Dari jumlah itu, total mahasiswa yang kami data sekitar 250 ribu (orang), tapi yang di bawah kendali kopertis. PT (perguruan tinggi) agama itu sekitar 50 ribuan, jadi total 300an, belum termasuk yang siswa,” ujarnya.

 

(mjf)

Baca Selengkapnya
Tulis Komentar

BERITA

Target APK Pendidikan Tinggi Tidak Mungkin Tercapai Jika Biaya Kuliah Mahal

Oleh

Fakta News
Target APK Pendidikan Tinggi Tidak Mungkin Tercapai Jika Biaya Kuliah Mahal
Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah saat kunjungan kerja reses di Kota Medan, Sumatera Utara, Senin (06/05/2024). Foto : DPR RI

Medan – Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap mahalnya biaya pendidikan tinggi di perguruan tinggi negeri. Menurutnya, dengan mahalnya biaya pendidikan tinggi itu dapat menghambat pencapaian target pemerintah dalam meningkatkan Angka Partisipasi Kasar (APK) perguruan tinggi. Menurut data tahun 2023, APK untuk laki-laki hanya 29,12 persen dan untuk perempuan 33,87 persen, angka yang jauh dari target yang diharapkan.

Konsekuensinya, tambah Ledia, dengan biaya pendidikan yang sangat mahal  itu banyak calon mahasiswa yang terhambat untuk melanjutkan pendidikan. “Dengan mahalnya perguruan tinggi negeri ini, bagaimana mungkin kita bisa mencapai target APK yang lebih baik jika banyak anak-anak kita yang tidak mampu melanjutkan pendidikan karena biaya?” ujar Ledia kepada Parlementaria, di Kota Medan, Sumatera Utara, Senin (06/05/2024).

Diketahui, Angka Partisipasi Kasar (APK) Perguruan Tinggi (PT) adalah perbandingan antara jumlah penduduk yang masih bersekolah di jenjang pendidikan Perguruan Tinggi (PT) (tanpa memandang usia penduduk tersebut) dengan jumlah penduduk yang memenuhi syarat resmi penduduk usia sekolah di jenjang pendidikan Perguruan Tinggi (PT) (umur 19- 23 tahun).

Ledia pun mengkritik sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang berlaku di banyak perguruan tinggi, yang menurutnya masih memberatkan bagi sebagian besar calon mahasiswa. “Ada perguruan tinggi dengan sistem UKT yang sangat tinggi, dan ada pula yang menengah namun tetap mahal, belum lagi adanya uang pangkal yang harus dibayar di awal,” ujar politisi Alumni Master Psikologi Terapan dari Universitas Indonesia ini.

Ledia juga menyoroti perlunya sebuah sistem pendidikan tinggi yang lebih pro kepada masyarakat, terutama bagi warga negara Indonesia yang memiliki kemampuan akademis namun ada keterbatasan ekonomi. “Kita perlu membuat sistem yang lebih baik, yang lebih mendukung anak-anak kita untuk bisa kuliah tanpa dibebani biaya yang tidak mampu mereka tanggung,” ujar Politisi Fraksi PKS ini.

Lebih lanjut, Ledia menegaskan bahwa pendidikan tinggi harus diakses oleh semua lapisan masyarakat. “Kita membuat kampus itu mandiri, namun bukan berarti kita bisa mengabaikan warga negara Indonesia, terutama anak-anak muda kita yang sebenarnya punya kemampuan dalam akademisnya tapi tidak dalam ekonominya,” ujarnya.

Kebijakan saat ini, menurut Ledia, harus segera dibahas dan diperbaiki, dengan keterlibatan langsung dari kampus-kampus dan pemerintah untuk mencari solusi yang efektif. “Perlu ada diskusi serius antara pemerintah dengan perguruan tinggi untuk menata ulang sistem pendanaan pendidikan tinggi di negara kita,” tutur Ledia.

Dalam mencari solusi, Ledia juga menyarankan agar perguruan tinggi negeri bisa terhubung lebih baik dengan program beasiswa dan bantuan finansial lainnya yang bisa membantu meringankan beban mahasiswa. “Harus ada lebih banyak opsi beasiswa dan bantuan finansial yang dapat diakses oleh mahasiswa yang membutuhkan,” ucap Ledia.

Ledia berharap bahwa dengan perbaikan sistem yang lebih inklusif dan mendukung, Indonesia bisa mencapai tujuan menjadi negara dengan sumber daya manusia yang unggul pada 2045. “Ini semua tentang membangun fondasi yang kuat untuk pendidikan tinggi di Indonesia, memastikan semua anak berhak dan mampu mendapatkan pendidikan yang layak,” pungkasnya.

Baca Selengkapnya

BERITA

Geramnya Komisi II terhadap Biaya PBB yang Membengkak Akibat Sertifikat Tanah

Oleh

Fakta News
Geramnya Komisi II terhadap Biaya PBB yang Membengkak Akibat Sertifikat Tanah
Anggota Komisi II DPR RI Rosiyati MH Thamrin saat Kunjungan Kerja Reses Tim Komisi II ke Maros, Sulawesi Selatan, Senin (06/05/2024). Foto : DPR RI

Maros – Anggota Komisi II DPR RI Rosiyati MH Thamrin mengecam kebijakan terkait sertifikat tanah yang merugikan masyarakat. Dalam pernyataannya, ia menyampaikan keprihatinannya terhadap biaya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang melonjak drastis setelah penerbitan sertifikat tanah.

“Sangat disayangkan melihat betapa besarnya biaya PBB yang harus ditanggung masyarakat setelah memiliki sertifikat tanah. Hal ini menjadi hambatan besar bagi petani dan pengguna lahan lainnya untuk mendaftarkan tanah mereka,” ujar Rosiyati MH Thamrin saat Kunjungan Kerja Reses Tim Komisi II ke Maros, Sulawesi Selatan, Senin (06/05/2024).

Menurutnya, masyarakat enggan membuat sertifikat tanah karena adanya komponen biaya PBB yang meningkat secara signifikan setelah kepemilikan tanah tersebut bersertifikat. Hal ini berdampak negatif terutama bagi para petani dan pengguna lahan lainnya yang mayoritas hidup dengan penghasilan terbatas.

Rosiayati pun menyerukan pentingnya koordinasi antara pemerintah daerah dan Dinas Pajak untuk meninjau ulang kebijakan terkait tarif PBB. “Saya berharap agar Dinas Pajak dapat mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat yang terdampak dan menyesuaikan tarif PBB dengan lebih adil,” tambahnya.

Kemudian, Politisi Fraksi PDI-Perjuangan itu juga menegaskan bahwa pembenahan terhadap kebijakan tersebut penting dilakukan agar masyarakat merasa lebih terbantu dan terjamin hak-haknya atas tanah yang mereka miliki.

“Pemerintah harus fokus pada upaya mempermudah akses masyarakat terhadap kepemilikan tanah dengan biaya yang terjangkau, sehingga tidak menghambat pembangunan dan kesejahteraan masyarakat,” tutupnya.

Baca Selengkapnya

BERITA

PON XXI Sebentar Lagi, Pembangunan Venue Ternyata Belum Tuntas!

Oleh

Fakta News
PON XXI Sebentar Lagi, Pembangunan Venue Ternyata Belum Tuntas!
Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah saat mengikuti Kunjungan Kerja Reses Tim Komisi X DPR RI, di Kota Medan Sumatera Utara, Senin (06/05/2024). Foto: DPR RI

Medan – Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah mengungkapkan, kekhawatirannya terkait kesiapan pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI yang dijadwalkan pada September 2024 di Aceh dan Sumatera Utara. Ledia menyatakan bahwa meskipun pemerintah daerah telah berkomitmen dengan mengalokasikan dana besar, masih terdapat kekurangan yang perlu ditangani oleh pemerintah pusat.

“Pemerintah Provinsi Sumatera Utara telah mengeluarkan anggaran sekitar Rp2,1 triliun, dan belum lagi dari Pemerintah Kabupaten/Kota dari APBD untuk pembangunan venue dan lain-lain. Namun, ada beberapa hal penting yang masih harus di-cover oleh pemerintah pusat,” ujar Ledia, Medan, Sumatera Utara, Senin (6/5/2024).

Menurutnya, masih ada kebutuhan dana tambahan untuk menyelesaikan infrastruktur yang belum rampung. “Persoalnnya ada hal yang harus dicover oleh pemerintah pusat, apakah itu bisa selesai atau enggak. Kita belum tahu sampai sekarang pemerintah daerah juga enggak bisa apa-apa, itu sangat tergantung dari pusat,” ujarnya.

Ledia juga menyampaikan bahwa Komisi X DPR RI telah mengusulkan agar penundaan PON hingga awal tahun 2025 untuk memastikan semua persiapan bisa tuntas. “Beberapa dari kami sudah mengusulkan untuk ditunda sampai Januari atau Februari 2025 sehingga penyelenggaraannya bisa berjalan dengan baik dan tidak terburu-buru,” tegas Ledia.

Selain itu, Ledia menekankan bahwa ada kesamaan situasi dengan PON sebelumnya di Papua, yang juga harus diundur karena pandemi COVID-19. “Situasinya serupa dengan apa yang terjadi di Papua. Jika memang belum siap, jangan dipaksakan,” tegasnya.

Ledia juga berharap dengan waktu yang masih ada, bisa di optimalkan dengan baik. “Harapan nanti penyelenggarannya bisa berjalan dengan baik, karena ini baru pertama kali diselenggarakan di dua  provinsi, belum lagi setelah itu ada peparnas untuk disabilitas. Nah jadi memang harusnya lebih matang, kalau memang belum siap jangan dipaksakan,” ungkap Ledia.

Pemerintah Provinsi Sumatera Utara telah berkomitmen untuk juga menggunakan venue yang sudah ada dengan memperbaikinya. Namun, Ledia menyatakan, “Sekarang ini yang ditunggu adalah dukungan anggaran dari pemerintah pusat, bisa atau tidak,” ungkapnya.

Ditambah lagi, menurut Ledia, “Telah dianggarkan dari Kementerian Pemuda dan Olahraga sebanyak Rp300 miliar untuk biaya operasional seperti pembayaran wasit dan juri, namun untuk infrastruktur, kecepatan penyelesaian dari pemerintah pusat masih menjadi tanda tanya”.

Kekhawatiran terus mengemuka seiring dengan mendekatnya waktu pelaksanaan PON XXI, dengan banyak pihak berharap agar pemerintah pusat dapat segera mengambil tindakan untuk menyelesaikan persiapan yang masih tertunda.

Baca Selengkapnya