Connect with us
DPR RI

Hergun: Pembentukan Badan Pangan Amanat UU Pangan

Hergun: Pembentukan Badan Pangan Amanat UU Pangan
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Heri Gunawan. Foto: Ist/Man

Jakarta – Sesuai amanat Pasal 126 dan 151 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, Badan Pangan Nasional (BPN) harus dibentuk presiden dan didirikan paling lambat tiga tahun sejak UU Pangan diundangkan. Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Heri Gunawan mengemukakan, mestinya sudah berdiri pada 2015, namun keberadaannya adalah amanat UU Pangan.

“UU Pangan diundangkan pada 2012. Seharusnya pada 2015 BPN sudah didirikan. Namun, hingga awal 2021 atau 9 tahun sejak UU Pangan diundangkan, belum ada tanda-tanda BPN akan didirikan. UU Pangan merupakan hasil kesepakatan pembahasan antara DPR dengan pemerintah. Saatnya pemerintah melaksanakan kesepakatan tersebut sesuai waktu yang ditetapkan,” katanya saat dimintai komentarnya via Whatsapp, Kamis (26/8/2021).

Dikatakan Hergun, sapaan akrab Heri Gunawan, menyikapi belum dilaksanakannya sebagian amanat UU Pangan, Baleg DPR sudah membentuk Panja Peninjauan dan Pemantauan UU Pangan. Fraksi Gerindra dalam Panja tersebut menyuarakan agar pendirian BPN menjadi salah satu rekomendasi Panja. Pemerintah harus segera mendirikan BPN sebagaimana diamanatkan UU Pangan.

“Pada 5 Juli 2021, Rapat Pleno Baleg DPR secara aklamasi meminta pemerintah segera membentuk BPN dan direspon oleh Presiden Jokowi yang pada 29 Juli 2021 menandatangani Perpres Nomor 66 Tahun 2021 tentang Badan Pangan Nasional. DPR pun mengapresiasi atas respon cepat pemerintah atas desakan DPR tersebut. Namun sayangnya, Perpres Nomor 66 Tahun 2021 masih membatasi jenis pangan yang menjadi tugas dan fungsi BPN, yakni hanya pada beras, jagung, kedelai, gula konsumsi, bawang, telur unggas, daging ruminansia, daging unggas, dan cabai,” jelasnya, panjang lebar.

Sementara UU Pangan mendefinisikan pangan mencakup segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air. DPR, tutur Anggota Komisi XI DPR ini, berharap pemerintah dapat merevisi Perpres dengan memperluas jenis pangan yang menjadi tugas dan fungsi BPN sebagaimana definisi pangan dalam UU Pangan. Setidaknya, untuk sementara waktu bisa lebih fokus pada sembilan bahan pokok pangan.

Ketika ditanya soal cita-cita swasembada beras seperti pernah dicapai pada 1984-1988, Hergun melihat, saat ini produksi beras terus menurun, salah satunya dipicu menyusutnya lahan pertanian akibat perubahan paradigma pemerintah dari pertanian ke industri pada 1988. Untuk mengatasi kegagalan mempertahankan swasembda beras, Presiden Soeharto waktu itu mulai mencanangkan program diversifikasi pangan.

“Perlu diketahui, Indonesia pernah meraih Swasembada Beras pada 1984 hingga 1988, saat kepemimpinan Presiden Soeharto. Bahkan, pada 1985, Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) menganugerahi Indonesia medali penghargaan di Roma. Tapi, swasembada tidak bertahan lama karena produksi beras yang terus turun tiap tahun. Pada 1983-1984 terjadi kenaikan produksi beras sebesar 7,8 persen. Namun, pada 1984-1985 turun menjadi 2,3 persen. Pada 1985-1986 turun lagi menjadi 1,7 persen dan 1986-1987 diperkirakan hanya 0,7 persen,” urai legislator dapil Jawa Barat IV tersebut.

Dalam konteks hari ini ketika BPN sudah berdiri, idealnya BPN mampu mewujudkan kembali swasembada beras sebagaimana yang pernah terjadi pada 1984. Pasal 126 UU Pangan mengamanatkan bahwa Badan Pangan Nasional dibentuk untuk mewujudkan Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan, dan Ketahanan Pangan Nasional,” ujar Hergun, seraya melanjutkan, Pasal 127 UU Pangan menegaskan bahwa BPN mempunyai banyak tugas di bidang pangan.

Misalnya, melakukan koordinasi, perumusan, dan penetapan kebijakan ketersediaan pangan dan mengembangkan sistem informasi pangan. Dari pengalaman kepemimpinan Presiden Soeharto setidaknya ada dua syarat penting untuk mencapai swasembada beras. Pertama, memperluas lahan produksi pangan. Dan kedua, melakukan diversifikasi pangan.

“Pemerintah sudah mulai mengembangkan lumbung pangan nasional atau food estate. Salah satunya lahan singkong 30 ribu hektar di Kalimantan Tengah yang dikembangkan oleh Kementerian Pertahanan. Lokasi food estate lainnya berada di Sumatera Utara dan Nusa Tenggara Timur. Dua syarat penting sudah mulai dijalankan, yakni memperluas lahan dan melakukan diversifikasi pangan. BPN bisa berperan dalam pengembangan food estate sebagai salah satu pintu masuk mewujudkan swasembada beras,” pungkas Hergun.

Baca Selengkapnya
Tulis Komentar

BERITA

Target APK Pendidikan Tinggi Tidak Mungkin Tercapai Jika Biaya Kuliah Mahal

Oleh

Fakta News
Target APK Pendidikan Tinggi Tidak Mungkin Tercapai Jika Biaya Kuliah Mahal
Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah saat kunjungan kerja reses di Kota Medan, Sumatera Utara, Senin (06/05/2024). Foto : DPR RI

Medan – Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap mahalnya biaya pendidikan tinggi di perguruan tinggi negeri. Menurutnya, dengan mahalnya biaya pendidikan tinggi itu dapat menghambat pencapaian target pemerintah dalam meningkatkan Angka Partisipasi Kasar (APK) perguruan tinggi. Menurut data tahun 2023, APK untuk laki-laki hanya 29,12 persen dan untuk perempuan 33,87 persen, angka yang jauh dari target yang diharapkan.

Konsekuensinya, tambah Ledia, dengan biaya pendidikan yang sangat mahal  itu banyak calon mahasiswa yang terhambat untuk melanjutkan pendidikan. “Dengan mahalnya perguruan tinggi negeri ini, bagaimana mungkin kita bisa mencapai target APK yang lebih baik jika banyak anak-anak kita yang tidak mampu melanjutkan pendidikan karena biaya?” ujar Ledia kepada Parlementaria, di Kota Medan, Sumatera Utara, Senin (06/05/2024).

Diketahui, Angka Partisipasi Kasar (APK) Perguruan Tinggi (PT) adalah perbandingan antara jumlah penduduk yang masih bersekolah di jenjang pendidikan Perguruan Tinggi (PT) (tanpa memandang usia penduduk tersebut) dengan jumlah penduduk yang memenuhi syarat resmi penduduk usia sekolah di jenjang pendidikan Perguruan Tinggi (PT) (umur 19- 23 tahun).

Ledia pun mengkritik sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang berlaku di banyak perguruan tinggi, yang menurutnya masih memberatkan bagi sebagian besar calon mahasiswa. “Ada perguruan tinggi dengan sistem UKT yang sangat tinggi, dan ada pula yang menengah namun tetap mahal, belum lagi adanya uang pangkal yang harus dibayar di awal,” ujar politisi Alumni Master Psikologi Terapan dari Universitas Indonesia ini.

Ledia juga menyoroti perlunya sebuah sistem pendidikan tinggi yang lebih pro kepada masyarakat, terutama bagi warga negara Indonesia yang memiliki kemampuan akademis namun ada keterbatasan ekonomi. “Kita perlu membuat sistem yang lebih baik, yang lebih mendukung anak-anak kita untuk bisa kuliah tanpa dibebani biaya yang tidak mampu mereka tanggung,” ujar Politisi Fraksi PKS ini.

Lebih lanjut, Ledia menegaskan bahwa pendidikan tinggi harus diakses oleh semua lapisan masyarakat. “Kita membuat kampus itu mandiri, namun bukan berarti kita bisa mengabaikan warga negara Indonesia, terutama anak-anak muda kita yang sebenarnya punya kemampuan dalam akademisnya tapi tidak dalam ekonominya,” ujarnya.

Kebijakan saat ini, menurut Ledia, harus segera dibahas dan diperbaiki, dengan keterlibatan langsung dari kampus-kampus dan pemerintah untuk mencari solusi yang efektif. “Perlu ada diskusi serius antara pemerintah dengan perguruan tinggi untuk menata ulang sistem pendanaan pendidikan tinggi di negara kita,” tutur Ledia.

Dalam mencari solusi, Ledia juga menyarankan agar perguruan tinggi negeri bisa terhubung lebih baik dengan program beasiswa dan bantuan finansial lainnya yang bisa membantu meringankan beban mahasiswa. “Harus ada lebih banyak opsi beasiswa dan bantuan finansial yang dapat diakses oleh mahasiswa yang membutuhkan,” ucap Ledia.

Ledia berharap bahwa dengan perbaikan sistem yang lebih inklusif dan mendukung, Indonesia bisa mencapai tujuan menjadi negara dengan sumber daya manusia yang unggul pada 2045. “Ini semua tentang membangun fondasi yang kuat untuk pendidikan tinggi di Indonesia, memastikan semua anak berhak dan mampu mendapatkan pendidikan yang layak,” pungkasnya.

Baca Selengkapnya

BERITA

Geramnya Komisi II terhadap Biaya PBB yang Membengkak Akibat Sertifikat Tanah

Oleh

Fakta News
Geramnya Komisi II terhadap Biaya PBB yang Membengkak Akibat Sertifikat Tanah
Anggota Komisi II DPR RI Rosiyati MH Thamrin saat Kunjungan Kerja Reses Tim Komisi II ke Maros, Sulawesi Selatan, Senin (06/05/2024). Foto : DPR RI

Maros – Anggota Komisi II DPR RI Rosiyati MH Thamrin mengecam kebijakan terkait sertifikat tanah yang merugikan masyarakat. Dalam pernyataannya, ia menyampaikan keprihatinannya terhadap biaya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang melonjak drastis setelah penerbitan sertifikat tanah.

“Sangat disayangkan melihat betapa besarnya biaya PBB yang harus ditanggung masyarakat setelah memiliki sertifikat tanah. Hal ini menjadi hambatan besar bagi petani dan pengguna lahan lainnya untuk mendaftarkan tanah mereka,” ujar Rosiyati MH Thamrin saat Kunjungan Kerja Reses Tim Komisi II ke Maros, Sulawesi Selatan, Senin (06/05/2024).

Menurutnya, masyarakat enggan membuat sertifikat tanah karena adanya komponen biaya PBB yang meningkat secara signifikan setelah kepemilikan tanah tersebut bersertifikat. Hal ini berdampak negatif terutama bagi para petani dan pengguna lahan lainnya yang mayoritas hidup dengan penghasilan terbatas.

Rosiayati pun menyerukan pentingnya koordinasi antara pemerintah daerah dan Dinas Pajak untuk meninjau ulang kebijakan terkait tarif PBB. “Saya berharap agar Dinas Pajak dapat mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat yang terdampak dan menyesuaikan tarif PBB dengan lebih adil,” tambahnya.

Kemudian, Politisi Fraksi PDI-Perjuangan itu juga menegaskan bahwa pembenahan terhadap kebijakan tersebut penting dilakukan agar masyarakat merasa lebih terbantu dan terjamin hak-haknya atas tanah yang mereka miliki.

“Pemerintah harus fokus pada upaya mempermudah akses masyarakat terhadap kepemilikan tanah dengan biaya yang terjangkau, sehingga tidak menghambat pembangunan dan kesejahteraan masyarakat,” tutupnya.

Baca Selengkapnya

BERITA

PON XXI Sebentar Lagi, Pembangunan Venue Ternyata Belum Tuntas!

Oleh

Fakta News
PON XXI Sebentar Lagi, Pembangunan Venue Ternyata Belum Tuntas!
Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah saat mengikuti Kunjungan Kerja Reses Tim Komisi X DPR RI, di Kota Medan Sumatera Utara, Senin (06/05/2024). Foto: DPR RI

Medan – Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah mengungkapkan, kekhawatirannya terkait kesiapan pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI yang dijadwalkan pada September 2024 di Aceh dan Sumatera Utara. Ledia menyatakan bahwa meskipun pemerintah daerah telah berkomitmen dengan mengalokasikan dana besar, masih terdapat kekurangan yang perlu ditangani oleh pemerintah pusat.

“Pemerintah Provinsi Sumatera Utara telah mengeluarkan anggaran sekitar Rp2,1 triliun, dan belum lagi dari Pemerintah Kabupaten/Kota dari APBD untuk pembangunan venue dan lain-lain. Namun, ada beberapa hal penting yang masih harus di-cover oleh pemerintah pusat,” ujar Ledia, Medan, Sumatera Utara, Senin (6/5/2024).

Menurutnya, masih ada kebutuhan dana tambahan untuk menyelesaikan infrastruktur yang belum rampung. “Persoalnnya ada hal yang harus dicover oleh pemerintah pusat, apakah itu bisa selesai atau enggak. Kita belum tahu sampai sekarang pemerintah daerah juga enggak bisa apa-apa, itu sangat tergantung dari pusat,” ujarnya.

Ledia juga menyampaikan bahwa Komisi X DPR RI telah mengusulkan agar penundaan PON hingga awal tahun 2025 untuk memastikan semua persiapan bisa tuntas. “Beberapa dari kami sudah mengusulkan untuk ditunda sampai Januari atau Februari 2025 sehingga penyelenggaraannya bisa berjalan dengan baik dan tidak terburu-buru,” tegas Ledia.

Selain itu, Ledia menekankan bahwa ada kesamaan situasi dengan PON sebelumnya di Papua, yang juga harus diundur karena pandemi COVID-19. “Situasinya serupa dengan apa yang terjadi di Papua. Jika memang belum siap, jangan dipaksakan,” tegasnya.

Ledia juga berharap dengan waktu yang masih ada, bisa di optimalkan dengan baik. “Harapan nanti penyelenggarannya bisa berjalan dengan baik, karena ini baru pertama kali diselenggarakan di dua  provinsi, belum lagi setelah itu ada peparnas untuk disabilitas. Nah jadi memang harusnya lebih matang, kalau memang belum siap jangan dipaksakan,” ungkap Ledia.

Pemerintah Provinsi Sumatera Utara telah berkomitmen untuk juga menggunakan venue yang sudah ada dengan memperbaikinya. Namun, Ledia menyatakan, “Sekarang ini yang ditunggu adalah dukungan anggaran dari pemerintah pusat, bisa atau tidak,” ungkapnya.

Ditambah lagi, menurut Ledia, “Telah dianggarkan dari Kementerian Pemuda dan Olahraga sebanyak Rp300 miliar untuk biaya operasional seperti pembayaran wasit dan juri, namun untuk infrastruktur, kecepatan penyelesaian dari pemerintah pusat masih menjadi tanda tanya”.

Kekhawatiran terus mengemuka seiring dengan mendekatnya waktu pelaksanaan PON XXI, dengan banyak pihak berharap agar pemerintah pusat dapat segera mengambil tindakan untuk menyelesaikan persiapan yang masih tertunda.

Baca Selengkapnya