Connect with us

FGD ke-2 ASPETI: Jika Memang Salah Prosedur, Berapa Besar Potensi Kerugian Negara akibat Efek Domino yang Muncul?

Jakarta – Asosiasi Penambang Tanah Pertiwi (ASPETI) menggelar acara Forum Group Discussion (FGD) Ke-2 “Quo Vadis Badan Usaha Pertambangan” Potensi Penurunan Pendapatan Negara Akibat efek domino jika RKAB Diterbitkan oleh MINERBA pada periode 2021-2023 dinyatakan salah prosedur, pada Kamis 7 September 2023, di Gedung Joang 45, Menteng, Jakarta Pusat.

Acara yang digelar dihadiri sejumlah praktisi maupun pelaku usaha di bidang pertambangan tanah air. Diskusi yang dimoderatori oleh Niko Adrian ini menghadirkan Arief Setyadi (Ketua Asosiasi Penambang Tanah Pertiwi/ASPETI), Singgih Widagdo ( Indonesia Mining and Energy Forum/IMEF), Djoko Widajatno (Indonesian Mining Associaion/IMA).

Dalam paparannya terkait Potensi Penurunan Pendapatan Negara Akibat efek domino jika RKAB Diterbitkan oleh MINERBA pada periode 2021-2023 dinyatakan salah prosedur, Arief Setyadi menyampaikan kita harus memperoleh gambaran besar mengenai iklim investasi, dimana iklim investasi ini situasi yang akan dipengaruhi oleh kebijakan, tata cara dan prosedur.

“Adapun strategi menjaga iklim investasi oleh pemerintah, memelihara stabilitas ekonomi dan politik, mengembangkan sistem logistic, penyederhanaan regulasi,” kata Arief.

Sementara itu Singgih Widagdo mengapresiasi FGD ke-2 yang di gelar ASPETI, menurutnya kondisi minerba saat ini tidak mudah, kebijakan yang mempercepat ini bisa menjadi hal yang menjebak. RKAB ini kalau sudah ditandatangani berarti itu dikatakan legal. Bagaimana prosesnya itu nanti, selama ini resmi ya tetap dipakai. Kalau RKAB tidak benar, maka control dari lingkungan dan resources menjadi tidak ada.

Sedangkan Djoko Widajatno dari Indonesia Mining Association mengatakan tidak sepenuhnya kisruh RKAB ada di Ditjen Minerba. Justru Djoko, melihat pengusaha tambang juga berperan dalam menyumbang kesalahan dalam penyusunan RKAB.

“Kesalahan yang utama tidak di Minerba, tetapi kesalahan itu ada di pengusaha. Peraturan Pemerintah No 10 Tahun 2000 menyebutkan setiap tambang harus membuat rencana kerja wilayah tambang, kemudian diturunkan dalam rencana jangka pendek,” ucapnya.

Dalam pandangan Djoko, kenapa pengurusan RKAB lama, karena sekarang semua ditarik ke pusat. Sebelumnya kewenangan itu boleh dikeluarkan daerah.

“Prosesnya lama dan dulu daerah boleh melakukan dan itu ingin di tertibkan sejak 2021,” kata Djoko.

Menurut Djoko, kerugian pendapatan negara ini tidak hanya dari RKAB. E-RKAB ini di-hack juga. Penyebab kerugiannya ini dasar hukumnya sudah betul karena memproteksi sumber daya alam kita. Dengan rencana yang tidak konsisten dengan rencana jangka panjang sehingga alam rusak. Negara yang kaya akan sumber daya alam ingin mudah kaya. Etik dalam bisnis terlanggar karena rakus,” paparnya.

“Kita memiliki kewajiban, apabila menyatakan terbaik harus dilakukan terbaik juga. RKAB ini harus dibuat sejujurnya oleh pelaku tambang. Penjualan barang terkadang di manipulasi,” katanya.

Sedangkan dari MGEI STJ Budi Santoso selaku penanggap dalam kegiatan FGD yang digelar ASPETI menurutnya; ada usaha pemerintah dalam rangka penerapan good mining practice yang tercermin di dalam beberapa matrik penting di dalam dokumen RKAB, misalnya ketentuan angka sumber daya dan cadangan.
Rencana penerapan aturan baru tentang RKAB 3 tahun an yang sempat dibahas oleh Ketua IMEF, perlu ada justifikasi yang memadai tentang kesesuaian kebutuhan pemerintah dan industri termasuk bagaimana kontrol dan pelaporan kegiatan tahunannya.

Untuk kebutuhan melakukan pekerjaan yang panjang seperti sebuah operasi penambangan bisa jadi akan memberikan keleluasaan bagi pelaku industri dalam perencanaan kegiatan mereka karena lebih ada kepastian dasar hukum kegiatan mereka dari yang tahunan menjadi 3 tahunan demikian juga bagi pemerintah saat melakukan proyeksi neraca sumber daya dan cadangan nasional dan proyeksi pendapatan negara dari sektor ini.

Hal lain yang perlu dicermati adalah ekses dari permasalahan-permasalahan yang sedang terjadi akhir-akhir ini terhadap layanan publik untuk proses pengajuan dan persetujuan RKAB 2024.

“Memang ada sistem e-RKAB, namum sepengetahuan saya, untuk komoditi batubara sudah relatif tidak ada masalah, namun untuk mineral belum bisa dilakukan seperti yang diinginkan. Ini berpotensi memberikan implikasi serius terhadap kegiatan industri pertambangan tahun depan,” ucapnya.

Sementara itu PUSHEP yang diwakili oleh Bayu Yusya Al Khomi selaku juga sebagai penanggap, menerka bagaimana proses prosedur perizinan dan apakah berdampak pada penurunan pendapatan negara. Menurut Yusya yang dimaksud dengan pasal 33, hak bisa dipakai bisa tidak, konstruksi dalam pasal 33 masuk dalam kepemilikan kolektif atau kepemilikan private?

Yusya juga menambahkan apakah Negara berhak seluruhnya pada sumber daya alam tersebut? Apabila hanya hak tidak kepemilikan maka orang bisa mengeksploitasi, pengaturan dalam konteks RKAB muncul didalam PP 96 2021. Sebelumnya ada pengaturan pengusaha tambang melakukan usaha tambang secara tertulis. Lalu dalam keputusan Menteri 1706 tahun 2017 tersusun prosedur matriks yang harus diisi, artinya secara hukum penyusunan RKAB sudah jelas, persolanya apakah pengusaha tambang bisa mengisi atau tidak, kesalahan dari pemerintah apabila pengusaha tambang ada salah mengisi maka akan mengulang dari awal.

Selain itu juga mantan Kepala Badan Geologi Mbah Rono periode 2014-2016 selaku salah satu penanggap juga menyatakan, masalah gonjang ganjing perizinan. Rumus perizinan harus masih dengan tatap muka, akan berpotensi terjadi ketidak senohoan. “kalau prosedurnya sudah ada semua, sebetulnya perizinan tidak perlu lagi tatap muka, syarat-syaratnya bisa disebar dan ditempel, kemudian disetorkan dan izin keluar,” ucapnya.

Mbah Rono juga menambahkan yang menjadi masalah perizinan itu tidak ada yang pasti, bisa dibeli. Sejatinya tidak ada anak buah yang salah, karena harusnya harus di kontrol oleh atasan apabila sudah di taken.

Baca Selengkapnya
Tulis Komentar

BERITA

Fikri Faqih Minta Pemerintah Perketat Pengawasan Tur Belajar

Oleh

Fakta News
Fikri Faqih Minta Pemerintah Perketat Pengawasan Tur Belajar
Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Abdul Fikri Faqih. Foto: DPR RI

Jakarta – Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Abdul Fikri Faqih meminta pemerintah memperketat pengawasan terhadap kegiatan study tour (tur belajar) yang sudah menjadi kegiatan ‘wajib’ di sekolah-sekolah. Hal tersebut Fikri sampaikan menyusul tragedi kecelakaan bus yang membawa siswa SMK Lingga Kencana Kota Depok saat melakukan study tour ke Ciater, Subang, Jawa Barat, baru-baru ini.

“Perlu dievaluasi menyeluruh mengenai tujuan, manfaat, dan kelayakan program yang sudah menjadi agenda tahunan di sekolah tersebut,” kata Fikri dalam rilis yang diterima Parlementaria, di Jakarta, Rabu (15/5/2024).

Lebih lanjut, ia menyampaikan belasungkawa kepada para keluarga korban tragedi kecelakaan tersebut. Maka dari itu, dirinya mendesak pihak yang bertanggung jawab dihukum sesuai dengan perundangan yang berlaku. Ia pun meminta pemerintah pusat dan daerah untuk mengevaluasi kegiatan study tour agar lebih terarah dan sesuai dengan asas, tujuan, dan kemanfaatan dalam Pendidikan para siswa.

“Misalnya perjalanan tur ke museum, pusat konservasi alam, atau instansi yang memberi edukasi dalam bidang-bidang tertentu,” imbuh Politisi Fraksi PKS ini.

Selain itu, kegiatan study tour yang bertujuan ke lokasi yang jauh, bahkan lintas provinsi dan lintas pulau sebaiknya ditinjau ulang. “Kegiatan ini tentu berbiaya besar dan bisa memberatkan bagi orangtua/wali siswa, kemudian ada faktor kelayakan dan keamanan yang harus dipenuhi dalam perjalanan tur jarak jauh tersebut,” urai Mantan Kepala Sekolah di suatu SMK di daerah Tegal tersebut.

Kegiatan study tour yang dilakukan di dalam kota juga dapat menjadi opsi yang terbaik, selain lebih murah dan lebih singkat waktu tempuhnya. “Tentu disesuaikan dengan tujuan dan manfaat yang mau diambil, karena kemungkinan besar masih banyak potensi di sekitar kota atau kabupaten sesuai domisili sekolah yang dapat menambah wawasan bagi siswa,” tambah dia.

Dengan begitu, sebenarnya kegiatan study tour dalam kota  juga dapat membantu meningkatkan perekonomian UMKM di wilayah asal/ domisili sekolah tersebut. “Wawasan siswa juga tetap diperkaya melalui pengenalan potensi alam, ekonomi, sosial dan budaya di daerahnya sendiri,” tutupnya.

Baca Selengkapnya

BERITA

Tak Hanya Kriteria Fisik, Penerapan KRIS Harus Pastikan Ketersediaan Tenaga Kesehatan dan Obat

Oleh

Fakta News
Tak Hanya Kriteria Fisik, Penerapan KRIS Harus Pastikan Ketersediaan Tenaga Kesehatan dan Obat
Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani. Foto: DPR RI

Jakarta – Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani menyatakan perlu ada kajian lebih lanjut pasca dihapuskannya kelas BPJS Kesehatan menjadi Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) yang diwajibkan terhadap rumah sakit. Sebab, menurutnya, perubahan sistem tersebut, pasti akan memunculkan beberapa konsekuensi dari masyarakat yang menjadi peserta BPJS Kesehatan. Konsekuensi tersebut tidak hanya terkait keharusan memenuhi kriteria fisik, melainkan juga harus memastikan adanya ketersediaan tenaga kesehatan dan juga obat-obatan yang terstandardisasi.

“Banyak rumah sakit yang tidak siap untuk mengimplementasikan Kelas Rawat Inap Standar. Kenapa? Karena memang kalau kita bicara tentang kemampuan rumah sakit, (maka juga terkait) cash flow rumah sakit untuk membuat penyesuaian. Jadi kita minta untuk dilakukan kajian, kenapa? karena ketika kelas rawat inap standar ini diterapkan, diimplementasikan sudah pasti akan terjadi beberapa fenomena ya,” ujar Netty kepada Parlementaria di Gedung Nusantara II, DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (15/5/2024).

Diketahui, penghapusan Kelas BPJS Kesehatan menjadi KRIS tersebut merupakan amanat UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). UU tersebut lalu diturunkan dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.  Salah satunya yakni mengatur penerapan fasilitas ruang perawatan rumah sakit dengan 12 kriteria. Namun implementasinya selalu diundur oleh Pemerintah karena banyak rumah sakit yang tidak siap.

Konsekuensi yang akan terjadi di antaranya yakni adanya gejolak di antara peserta BPJS Kesehatan. Adanya KRIS ini bisa diartikan akan tidak adanya perbedaan antara kelas satu, dua dan tiga karena setiap kelas akan mendapatkan layanan yang sama dengan kamar yang sama. Untuk itu perlu pengkajian, baik mengenai Premi BPJS, Imigrasi Peserta, dan Insentif untuk rumah sakit swasta.

“Jika semua peserta akan mendapatkan layanan yang sama, berarti kan kita harus mulai menghitung atau melibatkan aktuaria untuk menghitung paket INA-CBG. Apakah betul jarum suntiknya, obatnya, alat infusnya itu sama? kalau kemudian semuanya mendapatkan layanan yang sama. Nah ini saya minta kemarin supaya dilakukan kajian apakah Premi BPJS nya masih seperti itu?,” ujarnya.

Imigrasi peserta juga dikhawatirkan akan terjadi, karena pasti banyak peserta yang menganggap tidak adanya perbedaan pelayanan yang didapatkan antara kelas satu, dua dan tiga sehingga semua akan memilih kelas yang rendah saja. “Karena (masyarakat) pasti berpikirnya sama-sama? (Ibaratnya) kok Tuan dengan Pekerja, (bayar preminya) sama. Atasan dengan bawahan (bayar preminya) sekarang  sama gitu, bisa di ruangan yang sama, itu analoginya yang paling mudah,” jelas Politisi Fraksi PKS itu.

Kemudian insentif untuk rumah sakit swasta juga perlu dipikirkan, karena dengan adanya KRIS ini membuat rumah sakit swasta juga perlu melakukan penyesuaian. “Karena kan enggak ada anggaran dari pemerintah untuk rumah sakit swasta, berbeda dengan rumah sakit pemerintah. Ya pastinya mereka mendapatkan anggaran untuk bisa melakukan penyesuaian ruangan, tirai, kamar mandi dan seterusnya,” tambahnya

Namun, menurut Legislator dapil Jawa Barat VIII itu, catatan penting dalam penerapan KRIS ini bukan hanya soal kriteria fisik mengenai fasilitas pelayanan ruang inap saja, yang terpenting juga ketersediaan tenaga kesehatan dan obat bagi para pasien.

“Jadi jangan cuma kemudian kita merasa sudah memberikan layanan terbaik ketika kita bicara fisik, padahal kemudian ada dokter yang tidak datang pada jam prakteknya atau ketika pasien masih banyak dokter sudah pulang atau obat-obatan sebagiannya masih cost sharing, harus ambil dari kocek pasien. Nah hal seperti ini menurut saya perlu dibenahi. Kenapa? karena bagaimanapun ketika kita bicara kesehatan, yang sakit tidak bisa menunggu, yang miskin tidak dapat diabaikan,” tegasnya.

Baca Selengkapnya

BERITA

Forum WWF 2024 Diharapkan Turunkan Konflik Air di Seluruh Dunia

Oleh

Fakta News
Forum WWF 2024 Diharapkan Turunkan Konflik Air di Seluruh Dunia
Wakil Ketua BKSAP Putu Supadma Rudana, saat mengikuti rapat bersama Ms. Yoon Jin selaku Director of 10th World Water Forum di Ruang Delegasi Nusantara III, DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (7/5/2024). Foto: DPR RI

Jakarta – Wakil Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI Putu Supadma Rudana mengatakan, melalui WWF 2024 diharapkan akan melahirkan komitmen bersama terkait air yang disepakati oleh seluruh Parlemen yang ada. Hal ini disampaikan dalam rangka World Water Forum (WWF) 2024 yang akan diselenggarakan di Bali pada 18-25 Mei 2024 mendatang.

“Yang pertama kan jelas untuk meng-evaluasi SDGs Nomor 6 tentang Air dan Sanitasi. Yang kedua bagaimana perspektif ini masa lalu ini harus dihadirkan. Contoh di Bali, karena saya orang Bali, ada Tri Hita Karana hubungan harmoni antara alam manusia dan Sang Pencipta. Yang kedua bagaimana di Bali, air yang disebut tirta selalu dimuliakan ada tempat sucinya, ada bagaimana kita melakukan penyucian dengan air juga, ada bagaimana air ini juga sangat dihormati, dihargai,” kata Putu usai rapat di ruang delgasi, Gedung Parlemen, Jakarta, Rabu (15/5/2024).

Putu menilai pengelolaan air yang benar dapat menurunkan potensi terjadi konflik. Menurutnya, sudah banyak negara yang mengalami konflik karena air contohnya di Sungai Nil. Sementara itu telah terjadi perselisihan selama 10 tahun antara Mesir dan Ethiopia mengenai pasokan air di Sungai Nil. Kedua pihak mencari solusi internasional, namun perundingan yang dipimpin oleh Departemen Luar Negeri AS – dan diikuti oleh Uni Eropa dan PBB – hanya menghasilkan sedikit kesepakatan setelah empat tahun.

“Nah tentu kita harus merawat menata air bagaimana kita juga jangan sampai air ini menimbulkan konflik. Karena banyak negara sudah mulai ada konflik terhadap air di Sungai Nil, jadi Afrika ini sudah menjadi konflik. Nah tentu karena belum menuju potensi itu tentu kita harus mengelola bersama. Kita cari komitmen bersama agar akses terhadap air ini khususnya air bersih bisa diterima oleh masyarakat. Jadi artinya bisa diterima langsung dan masyarakat mendapat kesejahteraan jangan ada beban biaya yang tinggi untuk akses terhadap air,” ungkapnya.

“Nah tentu forum ini sangat monumental sehingga kita berpikir awal sudah baik kita tentu harus sukseskan ke depan. Dan forum ini juga kita memiliki komitmen bagaimana menggerakkan aksi parlemen untuk peduli terhadap air dan pada akhirnya memberikan kesejahteraan kepada masyarakat,” tambahnya. Dengan tema WWF kali ini, “Mobilizing Parliamentary Action on Water For Shared Prosperity”, Putu menjelaskan Parlemen di WWF ingin mengeluarkan sebuah dokumen antara komitmen bersama maupun deklarasi.

Baca Selengkapnya