Evaluasi Pemilu Serentak 2019 demi Kualitas Demokrasi di Indonesia
Jakarta – Penyelenggaraan pemilu serentak antara pemilihan legislatif dan presiden tidak seindah yang dibayangkan para aktivis demokrasi pada 2013 silam. Efisiensi yang digaungkan sebagai alasan utama justru jadi bumerang. Evaluasi pemilu serentak perlu disegerakan.
Pemilihan umum serentak pada tahun ini tak terlepas gugatan yang diajukan oleh Effendi Ghazali bersama Koalisi Masyarakat untuk Pemilu Serentak ke Mahkamah Konstitusi. Alasannya sangat sederhana, pemilihan legislatif dan presiden bila diserentakkan akan menghemat anggaran dan waktu. Artinya, penyelenggaraannya akan efisien.
Hitung-hitungan anggota Komisi Pemilihan Umum saat itu, Ferry Kurnia Rizkiansyah, anggaran yang bisa dihemat mencapai Rp5 hingga 10 triliun. MK akhirnya mengabulkan sebagian gugatan tersebut.
Dalam amar putusannya, MK menyetujui pemilu serentak juga mempertimbangkan upaya mencegah politik transaksional. Menilik pemilihan presiden 2004 dan 2009, politik transaksional sesaat kerap terjadi.
“Menurut Mahkamah, penyelenggaraan Pilpres harus menghindari negosiasi dan tawar menawar (bargaining) politik yang bersifat taktis demi kepentingan sesaat, sehingga tercipta negosiasi dan koalisi strategis partai politik untuk kepentingan jangka panjang,” kata majelis Hakim MK dalam putusannya.
Pemilu serentak ini juga sesuai dengan maksud utama dari Pasal 22E ayat (2) UUD 1945. Pasal tersebut berbunyi, “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.”
Baca Juga:
- HUT Kopassus ke-67, Presiden Jokowi Ucapkan Selamat Lewat Video
- Tak Bagikan Uang Serangan Fajar, Timses Caleg PKS Pukul Seorang Warga
- Jokowi-Maruf Menang Telak di Taiwan
Tak Sesuai Bayangan
Maksud baik tersebut ternyata tidak sesuai rencana. Penyelenggaraan di lapangan justru menimbulkan banyak masalah.
Soal anggaran, Pemilu 2019 nyatanya punya anggaran yang lebih tinggi, yakni mencapai Rp24,8 triliun. sementara, Pileg dan Pilpres 2014 menghabiskan Rp21,1 triliun. Tentu saja ini belum dikaitkan dengan variabel inflasi selama lima tahun.
Politik transaksional juga masih terjadi. Saat penentuan bakal calon presiden dan wakil presiden, sempat muncul isu adanya mahar di pencalonan Sandiaga Uno.
Lebih parahnya lagi, banyak petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang gugur dalam menjalankan tugas. Total, menurut catatan KPU, ada sekitar 119 petugas KPPS gugur. Itu belum dihitung petugas sakit yang berjumlah 548 orang lantaran beban kerja yang berat lantaran harus menghitung suara Pilpres, Pileg DPR, DPRD I, DPRD II, dan DPD.
“Ada hal teknis tidak diperhitungkan. Penghitungan memakan waktu luar biasa banyak, di beberapa tempat bahkan hampir semua [TPS] jam 12.00 malam masih melakukan penghitungan,” ujar Firman Manan, pengamat dari Universitas Padjadjaran, seperti dikutip dari CNNIndonesia.com.
Selain itu, penggabungan penyelenggaraan Pileg dan Pilpres ini justru menenggelamkan informasi seputar Pileg. Akibatnya, pemilih tak bisa mengetahui informasi soal para caleg yang jumlahnya ribuan.
“Pilihan informasi yang didapatkan pemilih, pemilih tidak cukup informasi terutama di legislatif karena fokus di pilpres,” tutur
Firman juga menilai, Pemilu serentak nyatanya tak bisa memangkas jumlah partai politik secara signifikan. Total, hanya satu partai yang ada di DPR sekarang bakal tak lolos ambang batas parlemen. “Tidak cukup efisien untuk mengurangi jumlah partai,” jelasnya lagi.
Revisi UU Pemilu
Hal senada juga diungkapkan eks Komisioner KPU, Hadar Nafis Gumay. Ia menyatakan, evaluasi terhadap pemilu serentak 2019 harus segera dilakukan usai tahapan usai.
“Baiknya kita kaji betul. Jangan ditunda-tunda, lakukan segera setelah pemilu,” ujar Hadar.
Evaluasi ini, imbuhnya, harus melibatkan seluruh pemegang kebijakan, yakni pemerintah dan DPR. Evaluasi juga harus mencakup revisi UU pemilu.
“Kalau memang kesimpulannya beban kerja berat ini karena sistem pemilu yang terlalu rumit, kita ubah sistemnya,” katanya.
“Sistem yang sekarang membuat kita harus memilih banyak calon. Jadi misalkan calonnya diturunkan dari 12 atau 10 menjadi 6 calon saja. Itu kan dapat mengubah struktur surat suara dan mengurangi beban kerja penyelenggara,” ujar Hadar.
Dwi
BERITA
Komisi III Minta Komnas HAM Tingkatkan Peran, Selesaikan Pelanggaran HAM Berat
Jakarta – Wakil Ketua Komisi III DPR RI Pangeran Khairul Saleh memimpin rapat kerja dengan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Dalam rapat ini Komisi III meminta Komnas HAM untuk meningkatkan peran dan mengoptimalkan pelaksanaan tugas dan fungsi dalam mendukung penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM, termasuk pelanggaran HAM berat.
“Baik itu penyelesaian yudisial maupun non-yudisial, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,” ujarnya di ruang rapat Komisi III, Nusantara II, Senayan, Jakarta, Rabu (30/5/2024).
Lebih lanjut Komisi III DPR meminta Komnas HAM untuk segera menyelesaikan peraturan terkait Penilaian Tindak Lanjut Kepatuhan Rekomendasi, agar dapat menjadi informasi dan tolak ukur dalam tindak lanjut rekomendasi yang telah diberikan.
Bahkan Komisi III meminta Komnas HAM dan Komnas Perempuan untuk lebih proaktif dan sinergis dalam mengidentifikasi potensi permasalahan, melakukan penanganan, maupun pendampingan terhadap seluruh pihak, dalam penerapan dan penegakan prinsip-prinsip HAM, termasuk perlindungan terhadap perempuan di seluruh sektor dan kegiatan.
Sementara itu di lain pihak, Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro menyampaikan bahwa pihaknya saat ini tengah menyusun rancangan Peraturan Komnas HAM terkait Penilaian Tindak Lanjut Kepatuhan Rekomendasi Komnas HAM. “Sebagai salah satu upaya pemasangan untuk meningkatkan efektivitas dari rekomendasi yang diberikan oleh Komnas HAM,” papar Atnike saat rapat.
Menurutnya rekomendasi yang diberikan oleh Komnas HAM dari hasil pemantauan, mediasi, maupun kajian tidak selalu ditindaklanjuti oleh stakeholders maupun kementerian/lembaga karena dianggap tidak mengikat. “Sejumlah kasus juga menunjukkan fungsi mediasi Komnas HAM masih belum dipahami sebagai sebuah solusi strategis,” ucap Atnike.
BERITA
Anggaran Pendidikan Kemenag Dinilai Masih Kecil
Jakarta – Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ace Hasan Syadzily menilai besaran anggaran pendidikan yang diterima Kemenag (Kementerian Agama) untuk mendanai seluruh lembaga pendidikan Islam dan keagamaan masih timpang dibanding kementerian lain.
“Soal anggaran pendidikan di bawah Kementerian Agama harus betul-betulan keadilan anggaran. Kalau kita dengar pidato Menteri Keuangan (Sri Mulyani) dalam rapat paripurna, ya anggaran pendidikan Rp630 triliun, tapi kalau Kemenag hanya dapat Rp35 triliun, buat saya mengkhawatirkan,” kata Kang Ace, sapaannya, dalam keterangan persnya, Rabu (29/5/2024).
Politisi Partai Golkar itu menyatakan, selain Sekretariat Jenderal (Sekjen) Kemenag, anggaran terbesar juga diberikan kepada Direktorat Jenderal (Ditjen) Pendidikan Islam (Pendis) Kemenag sebesar Rp35 triliun.
Ada satu hal yang sangat penting untuk didiskusikan bersama adalah soal berbagai hal terkait anggaran pendidikan nasional. Dari penjelasan Plt Dirjen Pendis, berapa persen KIP Kuliah untuk Perguruan Tinggi Agama Islam (PTKAI) dan perguruan tinggi agama lain.
“Apakah PIP, KIP, apakah sudah mencerminkan suatu keadilan anggaran? Rehab ruang kelas juga belum mencerminkan keseluruhan,” ujar dia.
Kang Ace melihat dari total anggaran pendidikan Rp630 triliun di APBN, Kemenag hanya mendapatkan Rp35 triliun, artinya belum mencerminkan suatu kesetaraan anggaran.
“Padahal anak-anak madrasah, yang kuliah di UIN, STAIN, STAI atau di manapun, mereka juga anak-anak bangsa yang sama untuk mendapatkan perlakuan sama dalam akses pendidikan,” tutur Kang Ace.
Ace mengatakan, keputusan tepat telah diambil Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas yang menunda status Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH) bagi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. “Itu keputusan yang tepat. Kalau tidak, meresnya sama mahasiswa. Berat,” ucap dia.
Jujur saja, ujar Ace, hampir sebagian besar siswa dan mahasiswa yang sekolah di bawah Kemenag berlatar belakang sosial ekonomi kelas menengah bawah. Namun penyaluran program KIP dan PIP untuk mereka juga sedikit.
“Itu anehnya. Jadi ada yang salah dari proses pendataan penyaluran program negara untuk kelompok-kelompok yang membutuhkan itu,” ujar Kang Ace.
BERITA
Imbas Kebakaran Smelter Nikel PT KFI, Komisi VII akan Audit Investigasi
Kutai Kartanegara – Anggota Komisi VII DPR RI Nasyirul Falah Amru mengatakan, pihaknya akan segera melakukan audit investigasi terhadap pabrik smelter nikel PT Kalimantan Ferro Industri. Hal tersebut imbas dari peristiwa dua kali ledakan di pabrik smelter PT KFI yang menewaskan pekerja asing dan lokal belum lama ini.
“Kami akan panggil PT KFI beserta seluruh jajaran direksinya, untuk datang ke Gedung Senayan dan kami akan melakukan audit investigasi. Secara mekanisme, bisa dengan membuat panja nikel atau kita panggil secara khusus di Rapat Dengar Pendapat (RDP). Kami juga tentunya akan melibatkan Kementerian Perindustrian dan Kementerian KLHK dari sisi amdalnya, supaya benar-benar kita melihat secara komprehensif sebab terjadinya ledakan,” ujarnya saat memimpin Tim Kunspek Komisi VII DPR mengunjungi PT KFI di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Rabu (29/5/2024).
Menurut Politisi F-PDI Perjuangan ini, pihaknya menilai, hasil dari temuan dilapangan seperti sarana untuk keselamatan kerja dan sebagainya juga masih jauh dari kurang. Walaupun mereka sudah mendatangkan tim dari Kementerian Industri untuk mekanisme aturan pedomannya, tetapi pihaknya menemukan fakta di lapangan masih belum sesuai dengan harapan.
“Saya berpesan agar tidak terulang terjadi kebakaran atau ledakan, yang paling penting ini adalah mesin yang ada di setiap semelter itu perlu dicek selalu setiap periodik. Kemudian, kalibrasi mesin itu juga penting karena dengan begitu kita akan tahu ukuran mesin ini sesuai dengan kapasitasnya dia berproduksi atau tidak. Sehingga, Insya Allah dengan adanya perawatan yang berkala dan pengawasan yang kita lakukan ini Insya Allah tidak akan terjadi kembali,” jelas Nasyirul.
Selain itu, kami juga tidak menemukan alat pemadam kebakaran sepanjang jalan menuju lokasi meledaknya smelter. Kemudian, rambu-rambu yang ada juga masih sangat terbatas sekali, sehinhha dianggap tidak layak untu perusahaan smelter. “Jadi ini harus segera diperbaiki,” imbuhnya.
“Kita menemukan sesuatu yang di luar dugaan, ketika PT KFI lagi dibangun ada proses namanya commissioning atau uji coba tetapi sudah menimbulkan kejadian terjadinya ledakan. Padahal masih tahap uji coba, tetapi dua tenaga kerja asing dan dua pekerja lokal turut menjadi korban akibat ledakan di smelter nikel tersebut,” ucapnya lagi.