BNPT Ajak Tokoh Lintas Agama Buat Program Bangun Kekebalan Bangsa dan Tangkal Paham Radikalisme Terorisme

Jakarta – Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Boy Rafli Amar mengajak tokoh lintas agama membuat program membangun kekebalan bangsa menangkal paham radikal terorisme. Boy menuturkan, tokoh agama merupakan pencerah bagi umat beragama.
“Tentu menjadi kewajiban kita bersama menjaga imunitas bangsa dari berbagai pengaruh-pengaruh virus yang membahayakan umat,” ujar Boy Rafli Amar, dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Minggu (11/4/2021).
Hal ini diungkapkan Boy Rafli Amar saat acara Dialog Kebangsaan bersama Gugus Tugas Pemuka Agama yang tergabung Lembaga Persahabatan Ormas Keagamaan (LPOK) di Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor, Jumat (9/4/2021) malam.
Hadir pula dalam acara tersebut anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Habib Muhammad Luthfi bin Yahya.
Boy Rafli mengatakan, pertemuan dengan para tokoh lintas agama sangat penting untuk membangun daya imunitas menghadapi virus radikalisme yang menjadi ancaman bangsa Indonesia.
Lebih lanjut Boy menyebut ideologi terorisme memiliki karakteristik, yakni intoleran, anti kemanusiaan, memanipulasi teks-teks ajaran agama, termasuk juga mudah menyalahkan pihak-pihak lain yang tidak sejalan pemikirannya.
“Dan kecenderungannya bahkan melakukan yang bersifat destruktif,” ujar Boy.
Sementara itu, Anggota Wantimpres Habib Muhammad Luthfi bin Yahya menyampaikan, dalam hal ini BNPT tak mungkin bekerja sendirian. Sehingga perlu masukan para tokoh lintas agama untuk memikirkan generasi penerus bangsa menjadi pembangun-pembangun bangsa.
Menurut Habib Luthfi, menjadi PR bersama untuk mencegah pengaruh-pengaruh yang akan melenturkan nasionalisme yang ada di republik tercinta ini.
Dalam acara tersebut hadir organisasi keagamaan. Di antaranya, Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), Al Irsyad al Islamiyah, Ittihadiyah, Persatuan Tarbiyah islamiyah (Perti). Lalu, Mathlaul Anwar (MA), Az Zikra, Ikatan Dai Indonesia (Ikadi), Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI), Syarikat Islam Indonesia, Al Washliyah.
Selain itu hadir juga perwakilan dari Persekutuan Gereja Indonesia (PGI), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi). Kemudian, Persatuan Umat Buddha Indonesia (Permabudhi), Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), dan Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin).

BERITA
Komisi IX: Banyak Nakes yang Juga Dukung RUU Kesehatan Dilanjutkan Sampai Selesai

Jakarta – Komisi IX DPR RI memastikan akan mendengarkan aspirasi seluruh lapisan masyarakat terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan yang dibuat dengan metode Omnibus Law. Hal ini menyusul penolakan dari sejumlah Organisasi Profesi (OP) tenaga kesehatan (Nakes), termasuk Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Emanuel Melkiades Laka Lena mengatakan, RUU Kesehatan diharapkan hadir untuk menjadi pendobrak reformasi pelayanan kesehatan di tanah air. Kepada Nakes yang melakukan demonstrasi, ia pun mengingatkan RUU Kesehatan masih dalam proses pembahasan.
“Masih pembahasan dan pendapat publik masih kami dengar sampai saat ini. Kami juga memastikan semua aspirasi akan kami tampung dengan baik,” kata Melki, dalam siaran pers yang diterima Parlementaria, di Jakarta, Selasa (6/6/2023).
Melki memastikan, proses ruang diskusi masih terbuka untuk menerima masukan dari berbagai OP dan stakeholder terkait. “Masukan dari OP, rumah sakit, Puskesmas, akademisi, teman-teman Nakes di mana saja. Dan juga tentu para pasien kami juga mendengarkan keluhan mereka, kami tampung semua agar dapat dirumuskan dalam RUU Kesehatan ini sehingga menjadi persembahan sebagai ulang tahun kemerdekaan kali ini,” papar Politisi Fraksi Partai Golkar ini.
Komisi IX DPR bersama-sama dengan Pemerintah pun disebut selalu berdiskusi dengan pihak-pihak terkait dalam pembahasan RUU Kesehatan. Menurut Melki, masukan dari berbagai elemen juga masuk ke dalam substansi RUU.”Karena sebenarnya dalam berbagai pertemuan yang telah dilakukan selama ini sudah didengarkan masukan dari teman-teman di OP dan sudah jadi rumusan DPR RI,” ujarnya.
Melki menambahkan, sejak penyusunan RUU Kesehatan di Badan Legislasi (Baleg), DPR sudah melibatkan semua pihak, termasuk pimpinan-pimpinan OP Nakes. “Tentunya juga ada dari IDI. Public hearing pemerintah sudah juga, saat masuk tahap pembahasan di Komisi lX sudah diundang 2 (dua) kali konsultasi publik bersama pihak lainnya juga ke fraksi atau anggota panja,” sebut Melki.
Komisi IX DPR RI menyadari, memang tidak semua masukan bisa dipenuhi karena ada banyak kepentingan yang harus diakomodasi. Walau begitu, Melki mengatakan ada banyak praktisi-praktisi kesehatan yang mendukung lahirnya RUU Kesehatan Omnibus Law demi kebaikan yang lebih besar.
“Banyak pribadi pribadi tenaga medis dan tenaga kesehatan yang mendukung pembahasan RUU Kesehatan dilanjutkan sampai selesai sesuai aspirasi banyak pihak. Sampai saat ini pembahasan terbuka mendengar masukan semua OP dan komunikasi dengan OP berjalan baik dengan anggota-anggota panja,” imbuh Melki.
Legislator dari Dapil Nusa Tenggara Timur (NTT) II ini pun menegaskan bahwa isu kriminalisasi terkait profesi Nakes tidak terjadi dalam rumusan RUU Kesehatan. Bahkan di RUU Kesehatan, kata Melki, OP diberikan mandat menyelesaikan masalah pidana melalui jalur internal sebelum dibawa ke ranah hukum.
“Terkait dengan catatan teman-teman OP untuk urusan liberalisasi, juga kami jaga betul agar nasionalisme kemandirian kesehatan tetap berjalan. Isu-isu kriminalisasi juga kami pastikan bahwa pasal-pasal terkait kriminalisasi tenaga kesehatan dan tenaga medis kita jaga betul agar tidak terjadi,” jelasnya.
BERITA
Penyidik Enggan Terapkan UU TPKS, Didik Mukrianto Desak Terbitkan Aturan Teknis

Jakarta – Anggota Komisi III DPR RI Didik Mukrianto meminta pemerintah segera menerbitkan aturan turunan pelaksana Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Aturan teknis UU TPKS disebut akan menjadi jaminan kepastian hukum dalam pengusutan kasus-kasus kekerasan seksual yang masih marak terjadi.
“Kasus kekerasan seksual cenderung meningkat dan menjadi sebuah keprihatinan. Saat ini kita berpotensi menghadapi situasi darurat kekerasan seksual, sehingga harus ada gerak cepat dari pemerintah,” kata Didik Mukrianto dalam keterangan tertulis yang diterima Parlementaria, Selasa (6/6/2023).
Politisi Fraksi Partai Demokrat ini mengatakan implementasi UU TPKS belum efektif lantaran belum ada aturan teknisnya. Didik menyebut, kasus kekerasan seksual di Indonesia bisa menjadi fenomena gunung es dan sumber permasalahan yang lebih besar jika tidak segera tertangani dengan baik. “Untuk itu saya berharap agar pemerintah segera memprioritaskan penyelesaian aturan teknis UU TPKS ini agar penegakan hukumnya bisa masksimal dan optimal,” tuturnya.
Menurut Didik, substansi dalam UU TPKS cukup komprehensif dalam penanganan kasus-kasus kekerasan seksual karena sudah mencakup berbagai pengaturan. “Pengaturan-pengaturan dalam UU TPKS idealnya mampu untuk memberikan perlindungan hukum dan jaminan kepastian hukum terkait dengan berbagai kasus kekerasan seksual,” ujar Didik.
Lewat UU TPKS, penyidik kepolisian secara hukum harus menerima pengaduan perkara kekerasan seksual dalam bentuk apapun. Namun begitu, penanganan kasus kekerasan seksual belum sepenuhnya dapat bergantung pada regulasi tersebut. “Padahal dengan UU TPKS, penyidik kepolisian tidak boleh menolak perkara kasus kekerasan seksual atas alasan apapun,” terangnya.
Didik pun menyoroti banyaknya laporan dari pendamping korban kekerasan seksual mengenai penolakan penyidik kepolisian menggunakan UU TPKS meski sebenarnya sudah dapat diterapkan. Hal ini merujuk pada surat telegram Kapolri nomor ST/1292/VI/RES.1.24/2022 yang meminta semua Kapolda di Indonesia memerintahkan semua institusi kepolisian di semua wilayah untuk menegakkan UU TPKS.
Pada praktiknya, banyak ditemukan penyidik kepolisian menolak menggunakan UU TPKS dengan berbagai alasan. Mulai dari menunggu Peraturan Pemerintah (PP)-nya, belum ada petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) dari institusinya, hingga alasan lebih nyaman dengan aturan yang sudah ada sebelumnya.
Legislator dari Dapil Jawa Timur IX ini mengatakan, penegak hukum masih kerap merespons kasus kekerasan seksual tanpa menggunakan paradigma perlindungan korban. Oleh karenanya, disampaikan Didik, dibutuhkan penerapan UU TPKS agar ada pengakuan dan jaminan hak-hak korban kekerasan seksual.
Untuk itu, Didik meminta pemerintah dapat menyegerakan penerbitan aturan teknis UU TPKS mengingat sudah semakin banyak kasus kekerasan seksual terjadi. “Dengan lahirnya aturan teknis, tidak ada alasan lagi dari penegak hukum untuk tidak menerapkan UU TPKS yang berorientasi kepada korban. Kami mendesak Pemerintah untuk cepat menerbitkan aturan turunan UU TPKS,” kata Didik.
Berdasarkan laporan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), terdapat sebanyak 11.016 kasus kekerasan seksual pada tahun 2022. Dari jumlah tersebut, kasus kekerasan seksual terhadap anak mencapai 9.588, atau naik dari tahun sebelumnya yang berjumlah 4.162 kasus.
Sementara Komisi nasional (Komnas) Perempuan mencatat, kasus kekerasan seksual menjadi yang terbanyak dilaporkan pada tahun 2022. Terdapat 2.228 kasus yang memuat kekerasan seksual atau 65 persen dari total 3.422 kasus kekerasan berbasis gender.
Didik mengingatkan, data-data tersebut belum mencakup kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi tahun ini. Ditambahkan Didik, penyelesaian kasus pelecehan atau kekerasan seksual di Indonesia memerlukan perhatian yang lebih dari pemerintah dan pihak kepolisian. Terlebih, mayoritas korban kekerasan seksual adalah perempuan dan anak.
“Penanganan kasus kekerasan seksual tidak cukup hanya dengan menangkap pelaku. Dan saya optimistis UU TPKS bisa mengakhiri budaya kekerasan dan dapat mewujudkan kesetaraan gender serta zero tolerance terhadap kekerasan seksual,” tutupnya.
BERITA
TB Hasanuddin Soroti Kecilnya Anggaran Penegakan Hukum Kemlu dan Proposal Perdamaian Ukraina-Rusia

Jakarta – Anggota Komisi I DPR RI TB Hasanuddin meminta Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) untuk mengupayakan peningkatan anggaran penegakan hukum. Pasalnya, berdasarkan informasi yang diterima, diketahui anggaran penegakan hukum dalam Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) Kementerian Luar Negeri tahun 2024 hanya sebesar Rp7,5 miliar.
Sebab itu, ia berharap pembahasan peningkatan anggaran, salah satunya pada tersebut bisa dibahas lebih lanjut usai Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato pada 16 Agustus mendatang. “Nanti kesempatan yang lebih detail setelah pidato Presiden pada tanggal 16 Agustus. Sehingga kita bisa diskusi lebih lanjut soal penegakan hukum mengapa hanya Rp7,5 miliar, yang lain-lain nanti kita (juga) diskusikan,” tutur Hasanuddin dalam Rapat Kerja dengan Menteri Luar Negeri Retno L.P. Marsudi di Gedung Nusantara II, DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (6/6/2023).
Di sisi lain, Politisi Fraksi PDI-Perjuangan itu juga mempertanyakan sikap pemerintah Indonesia ketika Menteri Pertahanan Indonesia Prabowo Subianto menyampaikan Proposal Perdamaian untuk Ukraina dan Rusia dalam International Institute for Strategic Studies (IISS) Shangri-La Dialogue ke-20 pada Sabtu (3/6/2023) lalu. Peristiwa tersebut menjadi perhatiannya lantaran muncul penolakan dari Kementerian Pertahanan Ukraina dan Kementerian Luar Negeri Ukraina.
Oleh karena itu, Hasanuddin berharap pemerintah Indonesia melalui kementerian dan lembaga yang mewakili agar saling berkonsolidasi. Hal ini menjadi krusial supaya poin yang disampaikan dalam forum dunia sesuai dengan prosedur yang ditetapkan sekaligus dekat dengan realita yang terjadi saat ini. “Image-nya jadi kurang baik. Pertama, dianggap tidak tahu lapangan. Kedua, kita masuk pada ranah-ranah yang sesungguhnya kurang tepat dan itu sangat merugikan politik luar negeri kita,” pungkasnya.