Nduga Menguak Tabir, Merajut Damai
Deklarasi PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) tentang Hak Asasi Pembangunan (UNGA Res. 41/128, 4 Desember 1986) mendefenisikan pembangunan sebagai “proses ekonomi, sosial, kultural, dan politik yang menyeluruh, yang bertujuan untuk memperbaiki secara konsisten kemaslahatan segenap warga dan semua orang, lewat peran serta yang aktif, bebas, dan penuh makna di dalam pembangunan dan dalam distribusi yang adil atas hasil-hasilnya” (Mukadimah). Ditegaskan pula bahwa pembangunan seperti itu adalah hak (entitlement), dimana setiap orang dan semua bangsa (Peoples) adalah pemangku hak (right holder) dari Negara, baik masing-masing maupun bersama, merupakan pengemban tanggung jawab (duty bearer) dari negaranya.
Dewasa ini dalam kajian-kajian keamanan kontenporer berkaitan dengan isu human security (keamanan manusia) negara-negara anggota PBB menempatkan masalah keamanan manusia sebagai prioritas utama yang perlu mendapatkan perhatian lebih serius pasca tragedi 11 September 2001 di Amerika Serikat.
Gagasan bahwa ancaman non militer dalam keamanan global dewasa ini menjadi paramount dengan latar belakang sebagai berikut : (1) peningkatan konflik sipil bersenjata dalam suatu negara; (2) tumbuhnya tuntutan demokrasi; (3) intervensi kemanusiaan oleh PBB; (4) meluasnya kemiskinan dan pengangguran akibat krisis ekonomi sejak tahun 1990-an.
Mahbub ul Hag dalam bukunya “The Crisis of Governance” (Oxford University Press, 2000), mengatakan: “We need to fashion an new concept of human security that is reflected in the lives of our people, not in the weapons of our country” (Kita perlu menciptakan konsep baru keamanan manusia yang tercermin dalam kehidupan rakyat kita, bukan pada senjata negara kita)
Isu keamanan manusia sangat penting dalam kajian-kajian kontemporer secara berlanjut di masa mendatang, karena masalah keamanan kemanusiaan lebih banyak muncul ke permukaan akibat konflik-konflik yang terjadi dewasa ini. Terutama di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Contoh kekinian di Indonesia adalah “Tragedi Nduga”. Disini terlihat bahwa agenda ekonomi dan politik dalam konteks pembangunan di Papua (Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat) ditujukan untuk kesejahteraan maupun perlindungan dan keamanan manusia Orang Asli Papua (OAP) terkesan tidak berjalan sebagaimana semestinya karena tumpang tindih aturan pelaksanaan ataupun tidak ada payung regulasi yang tepat. Disisi lain konsep pembangunan yang diturunkan seharusnya menggunakan pendekatan antropologi-budaya dan bersifat Tematik, Holistik, Integratif, Spasial dan Sustainable (berkelanjutan serta ramah lingkungan). Hal ini tentunya sesuai dengan karakteristik lokal pada masing-masing wilayah budaya yang ada (7 wilayah budaya).
Tragedi Nduga
Ekses dari operasi keamanan di Kabupaten Nduga mengakibatkan banyak masyarakat yang tidak terlibat konflik bersenjata menjadi korban.
“Mereka harus melarikan diri keluar dari kampungnya karena operasi militer yang ada masuk ke kampungnya dan membakar rumah-rumah mereka serta ada masyarakat yang tidak bersalah ikut menjadi korban dan meninggal dunia” ungkap wakil Bupati Nduga kepada penulis di Jakarta pada tanggal 02 Agustus 2019.
Kabupaten Nduga adalah salah satu kabupaten yang berada pada kawasan Taman Nasional Lorentz (Provinsi Papua) yang berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No.154/KPTS-II/1997 Tahun 1997 Tentang Perubahan Fungsi dan Penunjukan Cagar Alam Lorentz seluas 1.907.500 hektar menjadi situs warisan dunia.
Taman Nasional Lorentz (TNL) sebenarnya memiliki kandungan tembaga dan emas yang tinggi dan sudah diketahui sejak awal oleh penemunya (George A. Mealey,Grasberg,1996:hal.270), namun atas inisiatif penemunya TNL diminta untuk dijaga agar dapat diselamatkan bagi sisa peradaban demi keberlangsungan hidup dunia itu sendiri di masa mendatang. Saat ini pembangunan jalan trans Papua melewati kawasan lindung tersebut.
Hal ini tentunya menimbulkan pertanyaan bagi masyarakat awam, khususnya masyarakat adat di sekitar kawasan Lorentz termasuk masyarakat Nduga. Ada apa gerangan???
Daoed Joesoef mengatakan: “Setiap negara miskin yang relatif baru merdeka dan sedang membangun, tanpa perubahan nilai pasti terjerumus dalam perangkap musuh terburuk dari kultur manusia, yaitu “uang”, dewa pembina ekonomi” (Studi strategi,2014:hal.49).
Nduga terus membara sejak 02 Desember 2018, ada 37 kasus penembakan antara aparat keamanan dan kelompok kriminal bersenjata. (Kompas 22 Juli 2019). Secara psikologi apa yang dialami masyarakat terutama anak-anak yang melihat sendiri kekerasan-kekerasan yang terjadi akan menjadi ingatan kolektif (memoria passionis) mereka secara turun temurun yang sewaktu-waktu dapat muncul dalam bentuk ketidakpuasan terhadap pemerintah dan lain-lain.
Terefleksi dari fakta yang dapat kita lihat seperti peristiwa Surabaya, Jayapura, Manokwari, Sorong, Fak-Fak, Jakarta (depan istana Presiden tanggal 22 Agustus 2019) dan terus berlanjut dalam bentuk demonstrasi di beberapa kabupaten hingga saat ini.
Praktik-praktik kekerasan dalam suatu Operasi Militer kadang-kadang berdimensi penyiksaan maupun pembakaran kampung/desa sehingga masyarakat harus exodus ke tempat lain, juga menjadi satu rumpun kategori pelanggaran HAM. Kecanggihan teknologi dewasa ini memudahkan mereka untuk mengekspos pelanggaran tersebut keluar untuk mendapat parhatian dan dukungan baik nasional maupun internasional.
Membuka Tabir, Merajut Damai
Indonesia sebagai negara anggota PBB tentunya harus dapat melaksanakan semua konvensi maupun hukum dan ketentuan internasional yang telah disepakati bersama dalam rangka penyelamatan manusia (rescuing humans) secara universal. Dengan demikian operasi militer di masa damai dalam negara sendiri menghadapi rakyat sendiri yang di beri stigma “kelompok kriminal bersenjata” tentunya harus mengikuti aturan main secara internasional yang sudah kita ratifikasi demi menjaga kehormatan dan citra bangsa Indonesia dalam fora internasional. Ekses dari setiap operasi militer di masa damai maupun perang selalu pasti ada yang diistilahkan “collateral damage” (kerusakan ikutan atau kerusakan tambahan) dan hal itu terjadi di Nduga dimana kampung-kampung pada 11 distrik dibakar, dan 45.000 jiwa masyarakat sipil tidak berdosa harus exodus serta adanya 182 jiwa orang sipil tidak berdosa meninggal akibat operasi militer tersebut. Tentunya hal ini masuk dalam rumpun pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia). Kita sedih dan prihatin karena adanya korban baik di pihak masyarakat maupun apparat keamanan kita.
Pembuatan jalan trans Papua (Habema-Kenyem-Wamena) melewati kawasan lindung TNL belum ada tata ruang kawasannya juga perlu dipertimbangkan secara bijak di masa mendatang. Mengapa??? Karena kawasan ini memiliki keanekaragaman hayati dan budaya yang luar biasa serta perlu diselamatkan untuk kepentingan umat manusia di masa mendatang. Telah ada keputusan menteri kehutanan dan kesepakatan sebagai situs warisan dunia oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) melalui World Heritage Committee (WHC). Pada pertemuan ke-28 WHC disarankan pembuatan jalan untuk dihentikan dan Indonesia supaya membuat Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Tentunya diharapkan bahwa setiap pembangunan yang ada di kawasan strategis nasional seperti TNL harus memiliki AMDAL sebelum pembangunan itu dilaksanakan. Bagi masyrakat setempat kawasan ini merupakan “kawasan sakral” yang dijaga turun-temurun. Dengan demikian pasti timbul pertanyaan dalam diri mereka apakah ini untuk kepentingan ekonomi “oknum-oknum” tertentu seperti halnya Freeport di Grasberg???
Disamping itu perlu ada keputusan Presiden Jokowi tentang perlu tidaknya operasi militer di Papua melawan sekelompok kriminal bersenjata di masa damai dengan merujuk kepada ketentuan-ketentuan internasional yang sudah kita ratifikasi sebagai negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Harapan penulis yang harus dilaksanakan oleh pemerintah adalah operasi dalam rangka penegakan hukum terhadap “oknum-oknum” kriminalitas tersebut oleh pihak Kepolisian RI.
Operasi militer di masa damai perlu pertimbangan politik yang bijak, mengingat bila kita kurang tepat melaksanakannya maka dari pengalaman empiris selama ini Indonesia bisa di kategorikan “High Risk Country”.
Mahatma Gandhi (Pemimpin Spiritual, Politikus dan Pengacara India) mengatakan: “Jadilah kamu manusia yang pada kelahiranmu semua orang tertawa bahagia, tetapi kamu sendiri yang menangis dan pada kematianmu semua orang menangis sedih, tetapi hanya kamu sendiri yang tersenyum” (Zulfa Simatur,2012:hal.301).
BERITA
Komisi III Minta Komnas HAM Tingkatkan Peran, Selesaikan Pelanggaran HAM Berat
Jakarta – Wakil Ketua Komisi III DPR RI Pangeran Khairul Saleh memimpin rapat kerja dengan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Dalam rapat ini Komisi III meminta Komnas HAM untuk meningkatkan peran dan mengoptimalkan pelaksanaan tugas dan fungsi dalam mendukung penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM, termasuk pelanggaran HAM berat.
“Baik itu penyelesaian yudisial maupun non-yudisial, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,” ujarnya di ruang rapat Komisi III, Nusantara II, Senayan, Jakarta, Rabu (30/5/2024).
Lebih lanjut Komisi III DPR meminta Komnas HAM untuk segera menyelesaikan peraturan terkait Penilaian Tindak Lanjut Kepatuhan Rekomendasi, agar dapat menjadi informasi dan tolak ukur dalam tindak lanjut rekomendasi yang telah diberikan.
Bahkan Komisi III meminta Komnas HAM dan Komnas Perempuan untuk lebih proaktif dan sinergis dalam mengidentifikasi potensi permasalahan, melakukan penanganan, maupun pendampingan terhadap seluruh pihak, dalam penerapan dan penegakan prinsip-prinsip HAM, termasuk perlindungan terhadap perempuan di seluruh sektor dan kegiatan.
Sementara itu di lain pihak, Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro menyampaikan bahwa pihaknya saat ini tengah menyusun rancangan Peraturan Komnas HAM terkait Penilaian Tindak Lanjut Kepatuhan Rekomendasi Komnas HAM. “Sebagai salah satu upaya pemasangan untuk meningkatkan efektivitas dari rekomendasi yang diberikan oleh Komnas HAM,” papar Atnike saat rapat.
Menurutnya rekomendasi yang diberikan oleh Komnas HAM dari hasil pemantauan, mediasi, maupun kajian tidak selalu ditindaklanjuti oleh stakeholders maupun kementerian/lembaga karena dianggap tidak mengikat. “Sejumlah kasus juga menunjukkan fungsi mediasi Komnas HAM masih belum dipahami sebagai sebuah solusi strategis,” ucap Atnike.
BERITA
Anggaran Pendidikan Kemenag Dinilai Masih Kecil
Jakarta – Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ace Hasan Syadzily menilai besaran anggaran pendidikan yang diterima Kemenag (Kementerian Agama) untuk mendanai seluruh lembaga pendidikan Islam dan keagamaan masih timpang dibanding kementerian lain.
“Soal anggaran pendidikan di bawah Kementerian Agama harus betul-betulan keadilan anggaran. Kalau kita dengar pidato Menteri Keuangan (Sri Mulyani) dalam rapat paripurna, ya anggaran pendidikan Rp630 triliun, tapi kalau Kemenag hanya dapat Rp35 triliun, buat saya mengkhawatirkan,” kata Kang Ace, sapaannya, dalam keterangan persnya, Rabu (29/5/2024).
Politisi Partai Golkar itu menyatakan, selain Sekretariat Jenderal (Sekjen) Kemenag, anggaran terbesar juga diberikan kepada Direktorat Jenderal (Ditjen) Pendidikan Islam (Pendis) Kemenag sebesar Rp35 triliun.
Ada satu hal yang sangat penting untuk didiskusikan bersama adalah soal berbagai hal terkait anggaran pendidikan nasional. Dari penjelasan Plt Dirjen Pendis, berapa persen KIP Kuliah untuk Perguruan Tinggi Agama Islam (PTKAI) dan perguruan tinggi agama lain.
“Apakah PIP, KIP, apakah sudah mencerminkan suatu keadilan anggaran? Rehab ruang kelas juga belum mencerminkan keseluruhan,” ujar dia.
Kang Ace melihat dari total anggaran pendidikan Rp630 triliun di APBN, Kemenag hanya mendapatkan Rp35 triliun, artinya belum mencerminkan suatu kesetaraan anggaran.
“Padahal anak-anak madrasah, yang kuliah di UIN, STAIN, STAI atau di manapun, mereka juga anak-anak bangsa yang sama untuk mendapatkan perlakuan sama dalam akses pendidikan,” tutur Kang Ace.
Ace mengatakan, keputusan tepat telah diambil Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas yang menunda status Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH) bagi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. “Itu keputusan yang tepat. Kalau tidak, meresnya sama mahasiswa. Berat,” ucap dia.
Jujur saja, ujar Ace, hampir sebagian besar siswa dan mahasiswa yang sekolah di bawah Kemenag berlatar belakang sosial ekonomi kelas menengah bawah. Namun penyaluran program KIP dan PIP untuk mereka juga sedikit.
“Itu anehnya. Jadi ada yang salah dari proses pendataan penyaluran program negara untuk kelompok-kelompok yang membutuhkan itu,” ujar Kang Ace.
BERITA
Imbas Kebakaran Smelter Nikel PT KFI, Komisi VII akan Audit Investigasi
Kutai Kartanegara – Anggota Komisi VII DPR RI Nasyirul Falah Amru mengatakan, pihaknya akan segera melakukan audit investigasi terhadap pabrik smelter nikel PT Kalimantan Ferro Industri. Hal tersebut imbas dari peristiwa dua kali ledakan di pabrik smelter PT KFI yang menewaskan pekerja asing dan lokal belum lama ini.
“Kami akan panggil PT KFI beserta seluruh jajaran direksinya, untuk datang ke Gedung Senayan dan kami akan melakukan audit investigasi. Secara mekanisme, bisa dengan membuat panja nikel atau kita panggil secara khusus di Rapat Dengar Pendapat (RDP). Kami juga tentunya akan melibatkan Kementerian Perindustrian dan Kementerian KLHK dari sisi amdalnya, supaya benar-benar kita melihat secara komprehensif sebab terjadinya ledakan,” ujarnya saat memimpin Tim Kunspek Komisi VII DPR mengunjungi PT KFI di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Rabu (29/5/2024).
Menurut Politisi F-PDI Perjuangan ini, pihaknya menilai, hasil dari temuan dilapangan seperti sarana untuk keselamatan kerja dan sebagainya juga masih jauh dari kurang. Walaupun mereka sudah mendatangkan tim dari Kementerian Industri untuk mekanisme aturan pedomannya, tetapi pihaknya menemukan fakta di lapangan masih belum sesuai dengan harapan.
“Saya berpesan agar tidak terulang terjadi kebakaran atau ledakan, yang paling penting ini adalah mesin yang ada di setiap semelter itu perlu dicek selalu setiap periodik. Kemudian, kalibrasi mesin itu juga penting karena dengan begitu kita akan tahu ukuran mesin ini sesuai dengan kapasitasnya dia berproduksi atau tidak. Sehingga, Insya Allah dengan adanya perawatan yang berkala dan pengawasan yang kita lakukan ini Insya Allah tidak akan terjadi kembali,” jelas Nasyirul.
Selain itu, kami juga tidak menemukan alat pemadam kebakaran sepanjang jalan menuju lokasi meledaknya smelter. Kemudian, rambu-rambu yang ada juga masih sangat terbatas sekali, sehinhha dianggap tidak layak untu perusahaan smelter. “Jadi ini harus segera diperbaiki,” imbuhnya.
“Kita menemukan sesuatu yang di luar dugaan, ketika PT KFI lagi dibangun ada proses namanya commissioning atau uji coba tetapi sudah menimbulkan kejadian terjadinya ledakan. Padahal masih tahap uji coba, tetapi dua tenaga kerja asing dan dua pekerja lokal turut menjadi korban akibat ledakan di smelter nikel tersebut,” ucapnya lagi.