Connect with us

Budaya Urban dan Industrialisasi Keramik Plered

“Abdi ngiriman ieu cau raja, cau emas, cau batu, kopi amis, kopi pahit jeung cerutu ka luluhur urang supados meuleum tiasa sae kalayan lancar; mugi katampi ku Pangeran Panjunan. Nyuhunkeun berkah salamet kalayan lancar dina pangicalanana”.

 

Jujun (42) salah seorang keturunan perajin keramik di Desa Anjun-Plered  menuturkan,  doa tersebut selalu dirapalkan secara turun-temurun itu pada saat akan membakar keramik; biasanya dilakukan pada malam Selasa Kliwon atau malam Jum’at Kliwon.  Sesajen atau dalam bahasa lokal (Sunda) disebut “rujakan”  yang berisikan beberapa jenis buah-buahan seperti   pisang raja, pisang batu, pisang mas serta  kopi manis, kopi pahit dan cerutu,  yang diyakini menjadi kegemaran roh karuhun   pun disajikan dalam talam keramik dan diletakkan  di depan pintu tungku pembakaran. Setelah do’a  selesai dipanjatkan,  api kemudian disulut yang menandakan pembakaran keramik dimulai.  Namun, do’a dan sesajen  tersebut kini jarang terdengar

Yadi (43) teman segenerasi Jujun, membenarkan apa yang dikatakan Jujun. Ditambahkannya, meskipun doa tersebut sudah sangat jarang dirapalkan dan ‘rujakan’  pun hanya sesekali  disajikan,  tapi para perajin keramik di Plered masih memegang teguh  ‘pantangan karuhun’  untuk tidak bermain judi dan melakukan hubungan suami istri selama proses pembakaran keramik berlangsung. Cara dan teknik pembakaran keramik Plered pun masih mengikuti tata cara  yang masih diajarkan dan diturunkan leluhur.

Dengan nada bangga Yadi mengatakan, kualitas keramiki Plered bisa diuji dengan keramik dari daerah lain di Indonesia.  Waktu pembakaran keramik di Plered relatif lebih lama dari daerah lain. Sebagai perbandingan, di Jogjakarta waktu pembakaran keramik hanya dilakukan rata-rata 8 jam, sementara di Plered  bisa mencapai 24 jam. Yadi yang merupakan cucu dari Ki Darma Kapal,  salah satu  tokoh pembuat keramik  Plered disamping  Ki Dasjan, Ki Sarkun, Ki Aspi, dan Ki Entas, mengatakan kakek dan teman segenerasi kakeknya sudah . membuat keramik kasar untuk kebutuhan alat rumah tangga seperti kendi dan tempayan. Bahkan sekitar Desa Anjun (Panjunan)  pada Tahun 1935 tembikar/gerabah kemudian menjadi seperti industri rumah tangga di kawasan ini. Dalam catatan sejarah,  pada tahun yang sama di daerah ini  berdiri satu perusahaan Pemerintah Kolonial Belanda bernama Hendrik De Boa di Warungkandang- Plered yang memproduksi keramik.

DSC02699

Keramik Plered Purwakarta Hari Kartana, Koperasi Ovop Keramik Plered

Yang menarik dalam doa tersebut adalah disebutkannya nama Pangeran Panjunan. Pangeran Panjunan ini  juga disebut baik di Babad Cirebon. Beliau hidup sejaman dengan Sunan Gunung Djati.  Mengingat bahwa Pangeran Panjunan pernah hidup sejaman dengan Sunan Gunung Djati yaitu di sekitar abad ke-15. Hal ini  memberikan  indikasi bahwa tradisi pembuatan keramik di beberapa sentra di Jawa Barat, juga termasuk di kawasan Plered telah ada jauh sebelum kedatangan bangsa Belanda.  Pangeran Panjunan yang bernama asli Maulana Abdurrahman, menyebarluaskan agama Islam ke berbagai daerah di Jawa Barat, sambil mengajarkan keahliannya membuat barang-barang keramik kepada para pengikutnya di daerah yang ia kunjungi.

Sementara itu, dalam catatan sejarah Pemerintah Kolonial Belanda   industri keramik di kawasan Plered sudah ada sejak tahun 1795.  Pada saat itu, disekitar Desa Citalang Purwakarta banyak berdiri Lio-Lio (tempat pembuatan genteng dan batu-bata, gentong, dan tempayan dan alat-alat kebutuhan rumah tangga); sejak itu banyak rumah-rumah penduduk yang semula beratap injuk, sirap, daun kelapa dan alang-alang berganti  menjadi genteng. Namun sumber lain menyebutkan, sejarah Plered dan keramiknya  dimulai  sejak jaman Neolitikum; bukti-bukti sejarah dari penggalian adalah banyak ditemukan benda purbakala peralatan rumah tangga berupa  belanga serta periuk dari tanah liat.

Pendil dan Kendi

Kearifan lokal berupa do’a karuhun, rujakan dan ‘pantangan karuhun’  dalam pembuatan keramik Plered barangkali cukup sukar dipahami. Di dunia akademis keramik bahkan hanya dipandang sebagai produk seni dan kriya; eksperimen dalam pembuatan bahan baku dan teknik  pembakaran dilakukan tanpa mengenal batasan atau suatu pantangan. Namun tidak demikian dengan Jujun. Meskipun pekerjaaannya sebagai peneliti di UPT Litbang Keramik DISKOPINDAG Kabupaten Purwakarta menuntutnya untuk memandang logis dalam pembuatan keramik sebagai produk dari industri,  dia tetap memperlakukan dan memandang keramik sebagai suatu yang sakral.

Telah cukup banyak eksperimen bahan dan teknik pembakaran yang dia lakukan –Produk yang terakhir dia buat adalah Keremik Brintik; Jujun bereksperimen dengan teknik pelapisan dan pembakaran sehingga didapat tekstur keramik yang menyerupai sisik atau kulit yang terkelupas–.  Namun jiwanya tetap bergetar  bila melihat keramik; ‘muringkak  bulu punduk’ kata Jujun  setiap kali memulai  proses pembuatan keramik;  mulai dari ide, meramu bahan, rekayasa bentuk,  pengeringan/penjemuran  hingga proses pembakaran.

8530377231_f68483315e_b

Pengrajin keramik Plered – Foto: Cak Adi

Jujun pun  meyakini bahwa keramik Plered  pada dasarnya mengacu hanya pada dua bentuk saja: pendil dan kendi. Bentuk lainnya adalah turunan atau rekayasa dari dua bentuk dasar itu. Ibarat Kelahiran dan kematian, Pendil dan Kensi bagi masyarakat Desa Anjun melambangkan dua kejadian sakral tersebut. Pendil atau Dalung adalah bentuk keramik keramik yang melambangkan permulaan dari kehidupan di dunia atau kelahiran. Di dalam pendil ini biasanya ari-ari dari bayi yang baru lahir ditempatkan atau dimasukkan untuk kemudian dilarung ke sungai atau dikuburkan di halaman dekat rumah dan diberikan penerangan dari lampu cempor minyak tanah.

Kendi ini tentu bukan melambangkan kematian, melainkan ‘menghormatan’ bagi jasad atau arah dari makam yang dikunjungi. Kendi biasanya selalu menyertai pada saat ‘nyekar’ atau ziarah ke makam dan kendi tersebut sering diletakkan di sisi nisan di atas makam. Di dalam kendi tersebut  diisikan air yang telah didoakan sebelumnya; hal ini tentu lebih kepada ritual budaya tradisional  dari pada ritual keagaaman. Dalam adat teradisi  budaya Sunda, termasuk di Plered-Purwakarta,  kendi juga sering digunakan dalam acara adat seperti  acara pernikahan, peringatan hari ulang tahun yang disebut dengan ‘nakol’ atau ‘injek’  atau minum dari air kendi.

Dalam hal ragam hias dan warna,  keramik Plered khususnya kendi,  pada dasarnya hanya memiliki  atau ragam hias berupa padi dan kapas dan hampir tidak pernah berubah hingga kini. Padi melambangkan kebutuhan dasar manusia akan pangan sedangkan kapas melambangkan kebutuhan dasar manusia akan sandang. Warna keramik Plered pun  hanya terdiri dari empat warna dasar saja yaitu warna  merah, kuning, hitam dan  putih. Keempat warna tersebut tentu tidak muncul secara kontras karena adanya pengaruh dari warna terakota tanah liat itu sendiri; warna putih bahkan mengalami ‘mutasi’ menjadi oranye atau jingga karena adanya perpaduan dengan warna terakota dari dasar keramik.

Budaya Urban dan Industrialisasi

Pada jaman penjajahan Pemerintah Jepang, kerajinan dan industri rumahan keramik di Plered mengalami kemunduran. Para perajin dan penduduk di daerah ini hampir seluruhnya bekerja sebagai romusha, terutama mereka yang berada di sekitar Ciganea dan Gunung Cupu. Pabrik Keramik De Boa milik Pemerintah Kolonial Belanda pun dikuasai dan berganti nama menjadi Toki Kojo.  Pada masa itu  produksi keramik di daerah ini nyaris terhenti; selain sebagai pekerja romusha, banyak perajin tembikar/gerabah ikut maju ke medan peperangan bersama pasukan rakyat di barisan Banteng di Hisbullah menyerbu ke Front Padalarang, Tagog Apu atau Front Warung Jeruk.

Pasca proklamasi setelah keadaan berangsur membaik, produksi keramik Plered perlahan mulai menggeliat. Tahun 1950 bisa dikatakan tahun kebangkitan kerajinan dan industri rumahan keramik di kawasan ini; ketika Bung Hatta Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia membuka resmi induk keramik yang gedungnya dekat Gonggo-Plered. Pada masa itu dari Jakarta mulai didatangkan mesin-mesin untuk menghaluskan tanah liat dari Jerman dan  konon pada masa itu merupakan masa kejayaan keramik Plered karena produksinya  yang relatif tinggi.

Bagaimana dengan produsi keramik saat ini?  Berdasarkan data dari UPTD Litbang Keramik DISKOPINDAG Purwakarta, pada  Tahun 2009/2012 di  Sentra Industi Kecil Keramik Plered terdapat  286 Unit usaha UMKM  dengan jumlah pekerja sekitar 3.000-an orang.  Menurut Jujun dan Yadi, para pengusaha kecil keramik di Plered ini saat ini sedang mengalami krisis atau kekurangan tukang ‘putar’; perajin keramik yang memiliki keahlian menggunakan   alat putar tangan (hand wheel)  atau alat putar kaki (kick wheel).  Saat ini usia perajin yang cakap dibidang ketrampilan ini rata-rata sudah berusia hampir diatas usia produktif; mereka rata-rata bersusia di atas 60 tahun. Hanya beberapa orang saja yang dibawah usia 40-an tahun.

Neni (45) misalnya, ibu yang memiliki  5 (lima) orang cucu  dari 5 (lima)  orang anaknya,  mengatakan tidak satu pun dari keturunannya memiliki ketrampilan ‘memutar’ keramik seperti dia dan tidak satu pun diantara mereka yang ingin atau berminat meneruskan usahanya. “Anak-anak  sekarang  lebih menyukai kerja sebagai buruh pabrik sekitar Purwakarta atau bekerja di bidang lain daripada meneruskan usaha membuat keramik”, katanya pada suatu siang sambil memutar kendi keramiknya.   Neni dan suaminya barangkali adalah pemegang tongkat estafet terakhir usaha keramik keluarganya yang turun temurun.

Lain lagi dengan Shinta (27), yang juga warga Desa Anjun dan secara turun temurun keluarganya memiliki usaha keramik. Shinta sangat trampil ‘memutar keramik’, tapi bagi Shinta memutar keramik  bukanlah pekerjaan utama.  Shinta hanya membuat dan memutar keramik bila ada pesanan yang cukup besar. Sehari-harinya,  Shinta banyak membantu UPTD Litbang Keramik bila ada  pelatihan membuat keramik atau mendemontrasikan cara membuat menggunakan alat putar tangan (hand wheel)  atau alat putar kaki (kick wheel) bila ada kunjungan anak-anak seklolah ke litbang tersebut.  Shinta telah belajar membuat keramik sejak usia 9 tahun atau kelas 3 (tiga) sekolah dasar.

Di desa Anjun, setiap anak di Desa Anjun hampir rata-rata mempunyai kemampuan dan trampil membuat keramik, kata Shinta.  Barangkali karena pekerjaan ini sudah dilakukan turun temurun, tambahnya.  Namun diakuinya, setelah dewasa banyak diantara anak-anak di desanya memilih bekerja di bidang lain seperti menjadi buruh pabrik atau bekerja di kota lainnya. Hanya sebagian kecil yang melanjutkan usaha keluarga dalam membuatkeramik. Anak muda Plered yang sekolah di perguruan tinggi dan telah menjadi sarjana  banyak yang enggan menjadi pengrajin keramik. Membuat keramik saat ini bukanlah pekerjaan menjajikan dan tidak cukup bergengsi karena ‘berlepotan’ dengan tanah dan lumpur. Dengan bercanda Shinta mengatakan, membuat keramik menjadikan anak-anak sekarang sulit memegang HP (handphone) dan takut tangannya atau HP-nya kotor.

Masih menurut Shinta, yang juga dibenarkan Jujun,  para perajin dewasa yang cakap dan trampil pun kini banyak bekerja di luar Plered dan Purwakarta. Mereka bekerja di bidang yang sama, direkrut oleh pengusaha keramik di tempat lain. Biasanya, bila usaha keluarganya mendapat pesanan besar atau order yang cukup besar untuk eksport atau permintaan dalam negeri,  baru mereka pulang sebentar ke desannya membantu usaha keluarga memenuhi order atau pesanan tersebut. Setelah itu,  kembali lagi bekerja di tempat lain. Hal seperti  ini adalah keadaan yang lumrah terjadi di Desa Anjun- Plered, kata Shinta.

Krisis tenaga cakap dan trampil di dalam membuat keramik di Plered memang tidak bisa dihindari. Banyak faktor yang menjadi penyebabnya. Salah satunya, seperti yang dituturkan Yadi, karena adanya  disparitas harga yang sangat mencolok antara perajin dengan penjual keramik di kota sangat tinggai. Sebuah kendi, misalnya. Dari tangan Yadi dan Neni, sebuah kendi hanya dihargai  Rp. 3.000,. sementara bila sampai ke kota, penjual keramik bisa menjualnya  hingga di atas Rp. 20.000 rupiah. Harga yang relatif sangat murah dari para perajin ini  membuat  banyak perajin sukar bertahan untuk  tetap berproduksi sehingga mulai berpikir mencari pekerjaan  lain atau menjadi buruh pekerja keramik di industri-industi keramik atau di daerah lain yang membutuhkan keahliannya.

Kalaupun ada permintaan eksport, Yadi menambahkan, harga yang ditetapkan eksportir sebenarnya tidak terlalu menggiurkan atau memberikan  keuntungan besar. Yang cukup bernilai atau memberikan keuntungan yang relatif besar, justru penjualan dari pasar lokal atau domestik seperti dari pengusaha hotel atau interior design yang memerlukan keramik. Jadi barangkali pasar domestik inilah harus dikembangkan maksimal, Yadi menyarankan.

Tidak ada data pasti berapa sebenarnya jumlah generasi produktif yang memilih profesi lain selain sebagai perajin keramik di Desa Anjun dan desa-desa lainnya di Plered Purwakarta yang merupakan desa sentra keramik. Juga tidak ada survey yang dapat menjelaskan seberapa besar sebenarnya minat generasi muda  Plered untuk meneruskan usaha keluarga yang turun temurun ini. Fenomena yang terlihat, nampaknya para gernerasi muda atau generasi produktif di Plered cenderung memilih bekerja di pabrik-pabrik yang ada di sekitar Purwakarta, Karawangn dan Bekasi atau daerah lainnya.  Apa yang dialami Neni serta yang diceritakan Shinta, Jujun dan Yedi secara kualitatif mungkin dapat menggambarkan fenomena tersebut. Budaya urban generasi mudanya dan industrialisasi yang terjadi di kawasan ini secara perlahan merenggut para perajin keramik dan generasi muda plered dari budaya kerajinan keramiknya.

20140614_105034_keramik-terakota-dari-plered

Keramik terakota dari Plered – foto: tribunnews

Pertanyaan yang barangkali patut untuk dikemukakan adalah apakah mungkin Desa Anjun dan desa-desa lainnya penghasil keramik di Plered ini bisa bertahan sebagai desa perajin keramik?  Satu hal yang harus diperhatikan adalah meskipun menurut kepercayaan masyarakat  Anjun  Plered tanah liat di kawasan ini  tidak akan pernah habis walupun telah diambil terus menerus,  seperti dikisahkan  bahwa tanah liat Plered adalah jelmaan dari nasi-nya Dayang Sumbi, tapi alih fungsi lahan menjadi lokasi perumahan,  industri atau yang lainnya dapat membatasi masyarakat perajin  mengambil tanah liat Dari dalam aseupan Dayang Sumbi yang telah berubah menjadi gunung itu barangkali memang akan terus keluar nasi yang berubah menjadi tanah liat,  tapi bisa jadi suatu saat masyarakat tidak dapat lagi mengambil tanah liat itu karena aseupannya telah ada yang memiliki.

Desa Anjun saat tidak jauh berbeda dengan kawasan permukiman padat di perkotaan. Desa yang merupakan kawasan perkampungan organik dengan jalan-jalan sempit yang berbelok-belok memiliki  arsitekur bangunan pun sama dan serupa dengan arsitektur bangunan di kawasan permukiman perkotaan di Jawa Barat lainnya. Yang membedakannya adalah hampir di setiap rumah ada aktifitas membuat keramik  dan di beberapa lokasi terdapat tungku-tungku pembakaran keramik secara turun temurun dengan halaman yang tidak begitu luas, tapi cukup untuk menjemur keramik sebelum dibakar.

Namun, di Jalan Arteri Plered, outlet keramik rakyat  yang tadinya berderet-deret, 10 tahun terakhir telah banyak berubah. Kini outlet keramik  itu telah banyak yang berganti rupa menjadi bengkel, toko bangunan atau rumah makan.  Do’a dalam budaya untuk menghormati karuhun saat keramik mulai dibakar nampaknya harus  dipanjatkan  dan  ‘rujakan’ kembali  disajikan agar kawasan keramik Plered ramai dikunjungi wisatawan untuk membelinya.

*Lian Lubis, Urban Designer.

Baca Selengkapnya
Tulis Komentar

BERITA

Sudah Saatnya Sistem Zonasi dalam PPDB Dihapuskan

Oleh

Fakta News

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 14 tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) pada TK, SD,SMP, SMA, SMK atau bentuk lain yang sederajat, menelorkan kriteria seleksi masuk sekolah dengan mempertimbangkan urutan prioritas berupa usia dan jarak tempat tinggal ke sekolah sesuai dengan zonasi yang ditetapkan oleh pemerintah daerah sesuai kewenangannya (Sistem Zonasi).

PPDB bertujuan untuk menjamin penerimaan peserta didik baru berjalan secara objektif, transparan, akuntabel, nondiskriminatif, dan berkeadilan dalam rangka mendorong peningkatan akses layanan pendidikan. Namun dalam perjalananya apakah tujuan ideal dari PPDB menggunakan system zonasi tersebut sudah tercapai atau jsutru jauh panggang dari api?

Pertanyaan mendasar tentang penerapan sistem zonasi yang medasarkan pada upaya pemerataan pendidikan adalah apakah lokasi sekolah yang dibangun pemerintah sudah merata pada semua wilayah (anggaplah skala kecamatan) di Indonesia.

Bahwa faktanya pendirian sekolah (di setiap jenjang pendidikan) tidaklah didasarkan pada sebaran dan populasi penduduk, sehingga banyak dijumpai tidak meratanya sebaran sekolah di hampir setiap daerah. Satu sisi beberapa sekolah terdapat dalam satu wilayah (kecamatan), tapi banyak juga dalam satu desa/kelurahan dan kecamatan yang belum tersedia sekolah. Hal ini justru menyebabkan puluhan hingga ratusan calon peserta didik tidak mendaptkan sekolah dikarenakan “kalah” dalam konteks jarak rumah dengan sekolah yang jauh, di luar jarak zonasi yang diperkenankan.

Banyaknya calon siswa yang secara domisili jauh dari sekolah menyebabkan pupusnya kesempatan untuk bisa mengakses pendidikan secara layak, sesuai yang diamanatkan undang-undang. Fakta itu tidak saja di daerah terpencil ataupun luar jawa, bahkan di kota besar sekelas Surabaya juga masih dijumpai. Belum lagi munculnya fenomena pindah KK untuk bisa menjadi dasar untuk memenuhi kriteria zonasi. Ada yang pindah KK ke saudaranya, mencari tempat domisili (apartemen, beli/sewa rumah, dsb.) hingga tawaran pindah KK yang dilakukan oknum, calo, perantara dengan mematok tarif tertentu untuk bisa mengegolkan masuk ke sekolah yang diinginkan.

Atas polemik itu, dimuculkan kebijakan baru berupa jalur baru PPDB selain jalur zonasi, yakni jalur afirmasi (keluarga miskin), jalur prestasi (akademik) dan jalur prestasi non-akademik (olah raga, seni, budaya dsb.) yang persentasenya terus diutak-atik dengan pertimbangan yang kurang jelas. Apakah kebijakan tersebut tepat dan sesuai sasaran? .
Alih-alih memberikan solusi, tapi justru menambah permasalahan baru dalam dunia pendidikan. Awalnya sempat membuat lega dan menjadi oase bagi sebagian masyarakat yang berharap putra-putrinya tetap bisa masuk ke sekolah yang diinginkan, namun nyata justru menimbulkan permasalahan baru karena tidak semudah yang dibayangkan dalam mengakses “jalur alternatif” tersebut.

Beberapa kendala dan permasalahan ternyata sering muncul dan jadi rasan-rasan di kalangan Masyarakat terutama para ibu-ibu. Ada banyak sinyalemen dan desas-desus yang berkenbang mengenai sulitnya ditembus serta penyelewengan dari “jalur alternatif” tersebut. Jalur afirmasi khususnya bagi keluarga miskin (gakin, gamis, SKTM, KIS, KIP, dll) ternyata sulit diakses. Beberapa sekolah juga “enggan” untuk menerima dan memaksimalkan kuota untuk jalur gakin karena nantinya merka akan gratis dan tidak boleh dikenakan pungutan apapun. Ada juga kemunculan gakin baru/dadakan jelang PPDB.

Demikian halnya dengan jalur presetasi baik akademik maupun non akademik. Banyak yang merasa memenuhi kriteria, tapi dalam pengurusannya “dipersulit’ hingga batas pengajuan persyaratan yang diminta tidak bisa terpenuhi. Setali tiga uang, beberapa kabar yang beredar justru muncul anak-anak yang tiba-tiba “berprestasi” dan bisa masuk ke sekolah yang diinginkan. Maka muncullah banyak isu tak sedap tentang “permainan” hingga sejumlah nominal yang harus disiapkan untuk menebus jalur tersebut.

Ada pula fenomena munculnya jalur khusus, yakni “jalur rekom” yang bisa muncul mulai dari yang logis hingga yang tidak masuk akal. Yang logis semisal orang tua yang bekerja di wilayah dekat sekolah bisa meminta rekom agar anaknya bisa diterima di sekolah tersebut. Ada pula jalur rekomendasi mulai dari para pejabat di lingkup pemerintahan, maupun stakeholder pendidikan berbagai lini, yang berlangsung massif baik prodeo maupun “bertarif”. Tentunya hal tersebut berlangsung ekslusif, karen hanya orang-orang tertentu yang mempunyai akses dan koneksi erat saja yang bisa memanfaatkannya.

Semua sinyalemen dan desas-desus tersebut memang sulit dibuktikan hingga ke ranah hukum namun seperti sudah menjadi rahasia umum di masyarakat. Sistem Zonasi dalam PPDB yang ditujukan untuk pemerataan pendidikan justru dalam prakteknya memunculkan berbagai permasalahan yang menambah carut marut permasalahan di dunia pendidikan. Amanat untuk menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen Pendidikan telah gagal diwujudkan. Sudah saatnya sistem zonasi dalam PPDB dengan pertimbangan utama jarak rumah siswa dengan sekolah, dihapuskan, dikembalikan pada sekolah dengan mempertimbangkan aspek sosial kemasyakartan, kompetensi, ketersediaan kuota, prestasi, dan keadilan.

Pemerintah hendaknya melaksanakan tugas utamanya mencerdaskan kehidupan bangsa dengan lebih fokus pada penggodokan kurikulum pendidikan yang lebih canggih dan modern untuk dapat mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat sehingga potensi peserta didik dapat berkembang agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

 

Radian Jadid
*Kepala Sekolah Rakyat Kejawan
*Wakil Sekretaris LKKNU PW Jatim
*Ketua Harian Paguyuban Angkatan 93 ITS

Baca Selengkapnya

BERITA

Wacana Kenaikan Tarif KRL Ancam Kesejahteraan Ekonomi Masyarakat Berpenghasilan Rendah

Oleh

Fakta News
Wacana Kenaikan Tarif KRL Ancam Kesejahteraan Ekonomi Masyarakat Berpenghasilan Rendah
Anggota Komisi V DPR RI Toriq Hidayat. Foto: DPR RI

Jakarta – Wacana kenaikan tarif Commuter Line oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI) akan menempatkan masyarakat Jabodetabek pada tantangan baru yang mengancam kesejahteraan ekonomi mereka. Hal tersebut pun lantas menuai sorotan dari Anggota Komisi V DPR RI Toriq Hidayat.

“Kenaikan tarif KRL Jabodetabek akan memberikan dampak yang signifikan. Terutama bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah (MBR). Kenaikan tarif bisa memperberat beban ekonomi mereka. Dan Ini juga dapat mengakibatkan kesenjangan sosial dan ekonomi yang lebih besar,” ujar Toriq dalam siaran pers yang diterima Parlementaria, Senin (29/4/2024).

Politisi Fraksi PKS tersebut menegaskan bahwa kenaikan tarif tidak sejalan dengan kondisi ekonomi masyarakat, terutama masa pasca pandemi dan ketidakpastian ekonomi yang menyertainya. Dalam beberapa bulan terakhir, harga-harga bahan pokok terus melonjak secara dramatis.

“Kami tahu betul paska pandemi masyarakat terpaksa mengalokasikan sebagian besar pendapatan mereka hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar. Kenaikan tarif hanya akan menambah beban ekonomi mereka. Terutama mereka yang bergantung pada angkutan publik ini setiap hari,” tandasnya.

Terkait hal itu, Toriq menegaskan akan berupaya keras menyerukan kepada Kementerian Perhubungan selaku regulator agar mendengarkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Serta, kemudian meninjau kembali rencana kenaikan tarif ini dan mencari solusi yang lebih adil dan berkelanjutan.

“Kami akan terus memantau perkembangan situasi ini. Dan memastikan bahwa keputusan terkait tarif transportasi publik nantinya harus ada partisipasi aktif dari publik dan memperhitungkan kepentingan dan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh” tutup Toriq.

Sebagaimana diketahui, PT KAI Commuter (KCI) telah mengusulkan kenaikan tarif KRL Jabodetabek yang belum berubah sejak 2016. Saat ini usulan tersebut masih dibahas Pemerintah. Direktur Operasi dan Pemasaran KCI Broer Rizal mengatakan, pihaknya masih menunggu keputusan Pemerintah untuk menaikkan tarif KRL Jabodetabek.

Pasalnya, ketentuan tarif KRL Jabodetabek merupakan kewenangan Kemenhub selaku regulator. “Itu kebijakan dari Pemerintah ya. Kalau kami hanya eksekutor untuk melaksanakan apa yang menjadi keputusan Pemerintah. Usulan dan pembahasannya sudah dilakukan di Kemenhub,” ujarnya saat konferensi pers Angkutan Lebaran 2024 di Jakarta, Selasa lalu (24/4).

Baca Selengkapnya

BERITA

Sukamta: Kota Yogya Perlu Siapkan Peta Jalan Penanganan Sampah Jangka Panjang

Oleh

Fakta News
Sukamta: Kota Yogya Perlu Siapkan Peta Jalan Penanganan Sampah Jangka Panjang
Anggota DPR RI Sukamta. Foto: DPR RI

Jakarta – Anggota DPR RI dari Dapil Provinsi DIY Sukamta menilai Kota Yogyakarta perlu menyiapkan peta jalan (roadmap) untuk penanganan sampah jangka panjang yang menyangkut peningkatkan kasadaran masyarakat. Edukasi secara terus menerus harus dilakukan baik di sekolah, rumah tangga, dan masyarakat.

Tak hanya itu peraturan yang kuat untuk pengurangan sampah juga sangat dibutuhkan. Sukamta mencontohkan perlunya kebijakan kantong plastik berbayar atau larangan penggunaaan kantong belanja plastik sekali pakai. Adapun jangka pendeknya saat ini bisa dengan optimalisasi penampungan di TPST Piyungan.

“Kalau saya dengar, TPST ini kalau ada alat dan SDM yang memamadai masih bisa dimanfaatkan secara optimal untuk sementara waktu hingga 200-300 ton per hari. Pemkot bisa komunikasikan hal ini dengan Pemda DIY. Rencana optimalisasi 3 TPS 3R di Nitikan, Karangmiri dan Kranon bisa segera direalisasi, meski daya tampung 3 TPS ini masih terbatas,” kata Sukamta sebagaimana keterangan kepada media, di Jakarta, Kamis (25/4/2024).

Di sisi lain, Politisi Fraksi PKS ini, menilai di level provinsi, di area perkotaan saat ini masih sering ditemukan sampah di jalan maupun tempat penampungan yang penuh. Menurutnya, Pemerintah perlu memberikan honor kepada para petugas pengambil sampah sebagai salah satu upaya mencegah buang sampah sembarangan.

“Menurut kami perlu ada stimulan atau honor untuk para petugas pengambil sampah rumah tangga, di level RT, RW dan kampung. Ini supaya masyarakat tidak buang sembarangan,” kata Anggota Komisi I DPR RI tersebut.

Sukamta meyakini dengan adanya dana stimulan atau honor tersebut maka para petugas pengambil sampah akan menjalankan tugasnya dengan baik khususnya pengambilan sampah dengan sistem terpilah. “Selama ini warga sudah diminta memilah, akan tetapi (saat) di  (tempat) pembuangan dicampur lagi. Ini perlu jadi perhatian, sehingga perlu ada petugas khusus memilah,” ujarnya.

Sukamta menegaskan dirinya banyak mendapatkan aspirasi dari masyarakat terkait penanganan sampah di Jogja. Hal ini kembali mencuat setelah rencana penutupan TPST secara permanen, sehingga banyak ditemukan sampah di pinggir jalan, salah satunya di perbatasan antara Kota Jogja dengan Bantul atau sebelah utara Gembira Loka.

Baca Selengkapnya