Connect with us

Menyoal Anggaran Event Annual Meetings International Monetary Fund (IMF)-World Bank Group 2018

Menteri Keuangan Sri Mulyani(foto : okezone.com)

Jakarta – Kendati event berskala internasional, namun bila biayanya mencapai Rp810 miliar, rasanya hanya menghambur-hamburkan biaya saja. Tapi, memang sebesar itulah biaya penyelenggaraan perhelatan akbar Annual Meetings International Monetary Fund (IMF)-World Bank Group 2018 mendatang di Bali.

Biaya penyelenggaraannya cukup fantastis Rp 810 miliar. Meski mendukung, Fraksi Partai Demokrat mengingatkan, pengelolaan dananya harus transparan dan dewan akan terus mengawalnya.

“Asumsinya memang harus dibuat seperti itu (dianggarkan lebih dari biaya yang akan dikeluarkan). Tinggal DPR yang mengawasi prosesnya. Kalau ternyata ada selisih yang dianggarkan, betul tidak dikembalikan ke kas negara,” kata anggota Komisi XI DPR Tutik Kusuma Wardhani, Jumat (15/9/2017).

Dalam rapat dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, persoalan besarnya alokasi APBN untuk penyelenggaraan pertemuan IMF-World Bank Grup 2018 di Bali sempat dipertanyakan. Pasalnya, untuk invent sekelas pertemuan internasional sekalipun anggaran negara yang menelan biaya Rp 1 triliun itu dianggap terlalu besar.

Tutik mengaku, dapat memahami sejumlah pihak yang merasa keberatan, karena mungkin hanya melihat dari sisi pengeluaran negara yang dianggap nantinya menjadi beban negara. Tetapi, dia menilai apabila dilihat lebih jauh keuntungan yang akan diperoleh akan menjadi sebanding dari biaya yang dikeluarkan.

Ada banyak keuntungan yang akan diperoleh Indonesia secara umum dan khususnya masyarakat Bali. Sebab, apabila pertemuan ini dinilai sukses maka kepercayaan internasional terhadap perekonomian Indonesia semakin tumbuh. “Kalau sudah menjadi kepercayaan dunia luar, saya kira baik untuk hubungan multilateral karena itu adalah untuk kepentingan ekonomi,” katanya.

Oleh karena itu, menurut anggota DPR dari daerah pemilihan Bali ini, semua pihak harus mengeyampingkan kepentingan politik pragmatisnya menyikapi program-program bagus pemerintah.  Semua pihak harus mendukung program pemerintah apabila terbukti baik. “Makanya program yang bagus ini kita dukung. Jangan lagi buat kegaduhan. Kalau pemerintah membuat action yang bagus ya harus kita dukung,” katanya.

Tutik mengakui, dana untuk perhelatan ini memang besar karena acaranya juga besar melibatkan 15.000 delegasi dari 189 negara anggota IMF dan World Bank. Bahkan, dana sebesar itu tidak semuanya ditanggung pemerintah. Sebab untuk menghadirkan para delegasi diketahui tidak ditanggung pemerintah Indonesia.

Namun, Indonesia menyiapkan semua fasilitas yang disediakan, bahkan konon menurut Tutik, hotel-hotel di Bali yang disewa sebagian ruangannya akan diubah menjadi kantor para delegasi. Untuk biaya dekorasi mengubah ruang hotel menjadi kantor dan ruang rapat, diakui Tutik, akan menelan biaya besar.

Hal itu dibenarkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Menurutnya, kegiatan tersebut dapat dinikmati langsung untuk masyarakat Indonesia. Misalnya, melalui event organizer dan hotel untuk penginapan dilakukan oleh Indonesia.

“Hotel jadi office, itu furnitur dan lain-lain untuk procurement dalam negeri. Jadi yang menikmati adalah masyarakat sendiri. Seperti komputer yang akan digunakan, nantinya akan dihibahkan ke sekolah-sekolah,” terangnya.

Acara tersebut, lanjut Sri Mulyani, justru bisa membuat industri perhotelan di Bali semakin berkembang. Pasalnya, bulan Oktober merupakan low season atau rendahnya permintaan kamar untuk hotel, namun dengan adanya acara tersebut, maka perhotelan tak akan sepi.

“Oktober itu low season, bahkan hotel-hotel mau tawarkan ruangan dengan harga diskon. Dengan annual meeting ini malah banyak, saya katakan, jangan dikasih diskon, malah kalau bisa dinaikan sedikit karena yang datang itu delegasi,” kata Sri Mulyani.

Lebih lanjut Sri Mulyani mengatakan, anggaran Rp 810 miliar tersebut merupakan hasil cost sharing atau patungan dengan Bank Indonesia (BI). BI bakal menyumbang sebesar Rp 280-300 miliar.

“Kami akan cost sharing dengan BI. Event ini kami estimated termasuk kemarin review untuk IT, karena IMF dan WB akan gunakan standar sana, termasuk i-Cloudnya, kami akan coba ini seefisien mungkin,” terangnya.

Sementara anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) lainnya, beberapa waktu lalu, sempat mengkritisi kegiatan Annual Meetings International Monetary Fund-World Bank Group 2018 nanti, yang memakan anggaran cukup besar, yakni sekitar Rp 810 miliar.

DPR menilai alokasi itu terlalu tinggi mengingat anggaran tersebut tidak termasuk untuk biaya perjalanan dan penginapan para delegasi. “Bagaimana agar kami bisa pahami Rp 810,17 miliar. Bukankah peserta IMF, misal perjalanan, itu tidak ditanggung oleh kita? Rp 810,17 miliar untuk sebuah acara yang digelar di Indonesia dengan harga hotel sekian, itu harus dijelaskan,” kata Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Elviana.

Elviana pun membandingkan anggaran untuk pertemuan tersebut dengan anggaran diklat dana desa yang hanya sebesar Rp 17,5 miliar. Menurutnya anggaran IMF yang begitu besar tak dirasakan langsung oleh masyarakat.

“Saya beri contoh, ada dana yang menonjol tapi tidak memberi efek langsung dan menyentuh langsung rakyat. Sedangkan yang menyentuh langsung hanya dianggarkan sebesar Rp 17,5 miliar tapi yang tidak berdampak langsung justru sampai Rp 810,17 miliar,” tegasnya.

Ternyata anggaran untuk sekali kegiatan tersebut, juga melebihi pagu anggaran di beberapa direktorat jenderal (Ditjen) di Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Coba lihat pagu anggaran di Kemenkeu 2018 di bawah ini :

-Sekretaris Jendral Rp 19 triliun

-Inspektorat Jendral Rp 118,341 miliar

-Ditjen Anggaran Rp 154 miliar

-Ditjen Pajak Rp 7,441 Triliun

-Ditjen Bea Cukai Rp 3,3 triliun

-Ditjen Perimbangan Rp 134 miliar

-Badan Kebijakan Fiskal Rp 157 miliar

-DJPPR Rp 119,511 miliar

-Ditjen Perbendaharaan Rp 12,591 triliun

-Ditjen Kekayaan Negara Rp 872 miliar

-BPPK Rp 731 miliar

M Riz

 

Baca Selengkapnya
Tulis Komentar

BERITA

Target APK Pendidikan Tinggi Tidak Mungkin Tercapai Jika Biaya Kuliah Mahal

Oleh

Fakta News
Target APK Pendidikan Tinggi Tidak Mungkin Tercapai Jika Biaya Kuliah Mahal
Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah saat kunjungan kerja reses di Kota Medan, Sumatera Utara, Senin (06/05/2024). Foto : DPR RI

Medan – Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap mahalnya biaya pendidikan tinggi di perguruan tinggi negeri. Menurutnya, dengan mahalnya biaya pendidikan tinggi itu dapat menghambat pencapaian target pemerintah dalam meningkatkan Angka Partisipasi Kasar (APK) perguruan tinggi. Menurut data tahun 2023, APK untuk laki-laki hanya 29,12 persen dan untuk perempuan 33,87 persen, angka yang jauh dari target yang diharapkan.

Konsekuensinya, tambah Ledia, dengan biaya pendidikan yang sangat mahal  itu banyak calon mahasiswa yang terhambat untuk melanjutkan pendidikan. “Dengan mahalnya perguruan tinggi negeri ini, bagaimana mungkin kita bisa mencapai target APK yang lebih baik jika banyak anak-anak kita yang tidak mampu melanjutkan pendidikan karena biaya?” ujar Ledia kepada Parlementaria, di Kota Medan, Sumatera Utara, Senin (06/05/2024).

Diketahui, Angka Partisipasi Kasar (APK) Perguruan Tinggi (PT) adalah perbandingan antara jumlah penduduk yang masih bersekolah di jenjang pendidikan Perguruan Tinggi (PT) (tanpa memandang usia penduduk tersebut) dengan jumlah penduduk yang memenuhi syarat resmi penduduk usia sekolah di jenjang pendidikan Perguruan Tinggi (PT) (umur 19- 23 tahun).

Ledia pun mengkritik sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang berlaku di banyak perguruan tinggi, yang menurutnya masih memberatkan bagi sebagian besar calon mahasiswa. “Ada perguruan tinggi dengan sistem UKT yang sangat tinggi, dan ada pula yang menengah namun tetap mahal, belum lagi adanya uang pangkal yang harus dibayar di awal,” ujar politisi Alumni Master Psikologi Terapan dari Universitas Indonesia ini.

Ledia juga menyoroti perlunya sebuah sistem pendidikan tinggi yang lebih pro kepada masyarakat, terutama bagi warga negara Indonesia yang memiliki kemampuan akademis namun ada keterbatasan ekonomi. “Kita perlu membuat sistem yang lebih baik, yang lebih mendukung anak-anak kita untuk bisa kuliah tanpa dibebani biaya yang tidak mampu mereka tanggung,” ujar Politisi Fraksi PKS ini.

Lebih lanjut, Ledia menegaskan bahwa pendidikan tinggi harus diakses oleh semua lapisan masyarakat. “Kita membuat kampus itu mandiri, namun bukan berarti kita bisa mengabaikan warga negara Indonesia, terutama anak-anak muda kita yang sebenarnya punya kemampuan dalam akademisnya tapi tidak dalam ekonominya,” ujarnya.

Kebijakan saat ini, menurut Ledia, harus segera dibahas dan diperbaiki, dengan keterlibatan langsung dari kampus-kampus dan pemerintah untuk mencari solusi yang efektif. “Perlu ada diskusi serius antara pemerintah dengan perguruan tinggi untuk menata ulang sistem pendanaan pendidikan tinggi di negara kita,” tutur Ledia.

Dalam mencari solusi, Ledia juga menyarankan agar perguruan tinggi negeri bisa terhubung lebih baik dengan program beasiswa dan bantuan finansial lainnya yang bisa membantu meringankan beban mahasiswa. “Harus ada lebih banyak opsi beasiswa dan bantuan finansial yang dapat diakses oleh mahasiswa yang membutuhkan,” ucap Ledia.

Ledia berharap bahwa dengan perbaikan sistem yang lebih inklusif dan mendukung, Indonesia bisa mencapai tujuan menjadi negara dengan sumber daya manusia yang unggul pada 2045. “Ini semua tentang membangun fondasi yang kuat untuk pendidikan tinggi di Indonesia, memastikan semua anak berhak dan mampu mendapatkan pendidikan yang layak,” pungkasnya.

Baca Selengkapnya

BERITA

Geramnya Komisi II terhadap Biaya PBB yang Membengkak Akibat Sertifikat Tanah

Oleh

Fakta News
Geramnya Komisi II terhadap Biaya PBB yang Membengkak Akibat Sertifikat Tanah
Anggota Komisi II DPR RI Rosiyati MH Thamrin saat Kunjungan Kerja Reses Tim Komisi II ke Maros, Sulawesi Selatan, Senin (06/05/2024). Foto : DPR RI

Maros – Anggota Komisi II DPR RI Rosiyati MH Thamrin mengecam kebijakan terkait sertifikat tanah yang merugikan masyarakat. Dalam pernyataannya, ia menyampaikan keprihatinannya terhadap biaya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang melonjak drastis setelah penerbitan sertifikat tanah.

“Sangat disayangkan melihat betapa besarnya biaya PBB yang harus ditanggung masyarakat setelah memiliki sertifikat tanah. Hal ini menjadi hambatan besar bagi petani dan pengguna lahan lainnya untuk mendaftarkan tanah mereka,” ujar Rosiyati MH Thamrin saat Kunjungan Kerja Reses Tim Komisi II ke Maros, Sulawesi Selatan, Senin (06/05/2024).

Menurutnya, masyarakat enggan membuat sertifikat tanah karena adanya komponen biaya PBB yang meningkat secara signifikan setelah kepemilikan tanah tersebut bersertifikat. Hal ini berdampak negatif terutama bagi para petani dan pengguna lahan lainnya yang mayoritas hidup dengan penghasilan terbatas.

Rosiayati pun menyerukan pentingnya koordinasi antara pemerintah daerah dan Dinas Pajak untuk meninjau ulang kebijakan terkait tarif PBB. “Saya berharap agar Dinas Pajak dapat mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat yang terdampak dan menyesuaikan tarif PBB dengan lebih adil,” tambahnya.

Kemudian, Politisi Fraksi PDI-Perjuangan itu juga menegaskan bahwa pembenahan terhadap kebijakan tersebut penting dilakukan agar masyarakat merasa lebih terbantu dan terjamin hak-haknya atas tanah yang mereka miliki.

“Pemerintah harus fokus pada upaya mempermudah akses masyarakat terhadap kepemilikan tanah dengan biaya yang terjangkau, sehingga tidak menghambat pembangunan dan kesejahteraan masyarakat,” tutupnya.

Baca Selengkapnya

BERITA

PON XXI Sebentar Lagi, Pembangunan Venue Ternyata Belum Tuntas!

Oleh

Fakta News
PON XXI Sebentar Lagi, Pembangunan Venue Ternyata Belum Tuntas!
Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah saat mengikuti Kunjungan Kerja Reses Tim Komisi X DPR RI, di Kota Medan Sumatera Utara, Senin (06/05/2024). Foto: DPR RI

Medan – Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah mengungkapkan, kekhawatirannya terkait kesiapan pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI yang dijadwalkan pada September 2024 di Aceh dan Sumatera Utara. Ledia menyatakan bahwa meskipun pemerintah daerah telah berkomitmen dengan mengalokasikan dana besar, masih terdapat kekurangan yang perlu ditangani oleh pemerintah pusat.

“Pemerintah Provinsi Sumatera Utara telah mengeluarkan anggaran sekitar Rp2,1 triliun, dan belum lagi dari Pemerintah Kabupaten/Kota dari APBD untuk pembangunan venue dan lain-lain. Namun, ada beberapa hal penting yang masih harus di-cover oleh pemerintah pusat,” ujar Ledia, Medan, Sumatera Utara, Senin (6/5/2024).

Menurutnya, masih ada kebutuhan dana tambahan untuk menyelesaikan infrastruktur yang belum rampung. “Persoalnnya ada hal yang harus dicover oleh pemerintah pusat, apakah itu bisa selesai atau enggak. Kita belum tahu sampai sekarang pemerintah daerah juga enggak bisa apa-apa, itu sangat tergantung dari pusat,” ujarnya.

Ledia juga menyampaikan bahwa Komisi X DPR RI telah mengusulkan agar penundaan PON hingga awal tahun 2025 untuk memastikan semua persiapan bisa tuntas. “Beberapa dari kami sudah mengusulkan untuk ditunda sampai Januari atau Februari 2025 sehingga penyelenggaraannya bisa berjalan dengan baik dan tidak terburu-buru,” tegas Ledia.

Selain itu, Ledia menekankan bahwa ada kesamaan situasi dengan PON sebelumnya di Papua, yang juga harus diundur karena pandemi COVID-19. “Situasinya serupa dengan apa yang terjadi di Papua. Jika memang belum siap, jangan dipaksakan,” tegasnya.

Ledia juga berharap dengan waktu yang masih ada, bisa di optimalkan dengan baik. “Harapan nanti penyelenggarannya bisa berjalan dengan baik, karena ini baru pertama kali diselenggarakan di dua  provinsi, belum lagi setelah itu ada peparnas untuk disabilitas. Nah jadi memang harusnya lebih matang, kalau memang belum siap jangan dipaksakan,” ungkap Ledia.

Pemerintah Provinsi Sumatera Utara telah berkomitmen untuk juga menggunakan venue yang sudah ada dengan memperbaikinya. Namun, Ledia menyatakan, “Sekarang ini yang ditunggu adalah dukungan anggaran dari pemerintah pusat, bisa atau tidak,” ungkapnya.

Ditambah lagi, menurut Ledia, “Telah dianggarkan dari Kementerian Pemuda dan Olahraga sebanyak Rp300 miliar untuk biaya operasional seperti pembayaran wasit dan juri, namun untuk infrastruktur, kecepatan penyelesaian dari pemerintah pusat masih menjadi tanda tanya”.

Kekhawatiran terus mengemuka seiring dengan mendekatnya waktu pelaksanaan PON XXI, dengan banyak pihak berharap agar pemerintah pusat dapat segera mengambil tindakan untuk menyelesaikan persiapan yang masih tertunda.

Baca Selengkapnya